Monday, 7 April 2025

Surat untuk Ma Chérie III

Kepada RP yang... Arghhhhhhhhh

Bogor, 7 April 2025


spinning on that dizzy edge

i kissed her face & kissed her head

& dreamed of all the different ways

i had to make her glow

“why are you so far away?” she said,

“why won't you ever know

that i'm in love with you,

that i'm in love with you.”

selain perasaan ngenbrut (kangen brutal), ada beberapa hal yang ingin kutuliskan dalam surat ini.

1. nampaknya kau tidak akan pernah bosan untuk bertanya “apakah kau mencintaiku?” & aku juga tampaknya tidak akan pernah bosan untuk mengatakan “tentu saja, sayangku”.


2. aku masih tak menyangka bahwa kejadian absurd tak hanya menimpa Sisifus, Gregor Samsa, & Vladimir-Estragon tapi juga kita berdua. bahwa absurditas itu terjadi pula ketika kita sedang di Taman Literasi, Blok M—kau sedang mengeluhkan perihal masakan American-Chinese yang menurut lidahmu begitu aneh (dengan dahi mengkerut, kau mengaduh mengapa kau memesan tofu tapi yang datang malah tahu; juga soal terongnya yang jauh di bawah standar rasa terong olahan ibumu)—& aku hanya mengangguk-ngangguk saja macam Chef Juna yang mengerti tataboga tapi kebetulan sakit gigi, sehingga malas bicara—kemudian dua orang asing dengan senyum hangat bagai kawan lama di perantauan, menghampiri kita—mereka memperkenalkan diri sebagai Nick & Nathan—& mereka, tanpa bisa diprediksi dukun manapun, mengatakan bahwa sedang membikin klip musik Anugerah Terindah - Andmesh & tertarik menjadikan kita berdua sebagai aktor-aktrisnya—& voilà, kita syuting selama kurang lebih tiga jam—berakhir dengan makan croissant (baca: kwahsong) di sebuah kafe à la Prancis sembari berbincang campur saling melempar jokes gerrrrr abis dengan Nick juga Nathan & dua kawan mereka yang sialnya kulupa namanya.


3. aku suka senyummu yang manis. manisnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gula dalam tubuhku, sehingga aku semakin punya alasan lebih untuk menghindari godaan minuman-minuman tidak sehat bergula tinggi yang terpajang rapi di chiller setiap toko ritel.


4. aku sudah menitipkan Didi (boneka bebekku itu) padamu. tak lupa pula telah kusemprotkan parfumku (Korloff Addiction Petale) ke sekujur tubuh petitenya. untuk jaga-jaga, misal, misalnya, pada suatu malam yang sepi atau suatu sore yang brengsek, kau kangen padaku, maka seminimal-minimalnya kau bisa menciumi Didi & membayangkannya sebagai aku. tenanglah, bibir bebek itu sama besarnya seperti bibirku.


5. aku cukup kecewa, sebenarnya, dengan pertemuan pertama kita. bahwa dari empat puluh tujuh wishlist-autis yang sudah kubuat dengan susah payah, hanya tiga yang terealisasi.


6. kita sudah sepakat bahwa maskulinitas bukanlah punggungku yang lebar, bahuku yang bulat, atau dadaku yang bidang tapi sebuah tindakan sederhana ketika sepagi itu aku bangun tidur (aku benci bangun pagi) lalu kau bilang kau kedatangan bulan—& tanpa banyak cakap—aku turun dari lantai tiga menuju lobi—membuka gmaps—mengetahui bahwa minimarket terdekat berjarak sekitar satu koma delapan kilometer—berjalan mengarungi kerasnya trotoar Kebayoran Baru menggunakan sandal Bobopod—untuk membelikanmu pembalut Laurier Active Day (yang ada sayapnya)—demi mencegah darah mengalir tidak pada tempatnya. 


7. tentu saja aku masih merasa bersalah-berdosa soal pemesanan Bobopod. sebab, seperti konsep hotel kapsul, kamar mandinya umum alias terpisah dari kamar tidur. & kau, punya semacam ketakutan tak terjelaskan terhadap konsep mandi dengan tata letak yang ekstrover seperti itu. ya, itu memang salahku. sepenuhnya salahku. memesan dengan grasa-grusu. & sialnya, koala bajingan itu tak menyediakan tombol refund. kau marah selama hampir tujuh jam lamanya padaku soal itu. tapi nasi sudah menjadi bubur, & bubur sudah membikin Haji Sulam naik haji.


8. aku suka wangi parfummu. wanginya, menurutku, seperti lagu Just Like Heaven - The Cure. macam memori baik yang menari di antara riang & melankoli: manis, segar, & sedikit misterius dengan sentuhan dreamy. kalau aku boleh sok tahu, kubayangkan notes-nya barangkali begini.


top notes (kesan pertama, seperti intro lagu yang ringan & catchy):


bergamot—cerah & sedikit tajam, seperti tawa di tepi pantai.

blackcurrant—buah yang manis namun punya keasaman yang menggoda.

pink pepper—ada sedikit rempah yang menggugah, seperti detak jantung pertama kali jatuh cinta.


heart notes (bagian inti, di mana lagu mulai terasa dalam):


violet—lembut & floral, membawa rasa nostalgia.

lily of the valley—ringan & bersih, seperti udara pagi yang belum terpapar polusi.

rose de mai—romantis, tapi tidak berlebihan, seperti pengantin muda yang tersenyum manja.


base notes (jejak terakhir, yang tertinggal lama di kulit, seperti bait terakhir lagu):


musk—intim & personal, seperti pelukan panjang setelah tarian yang lambat.

sandalwood—hangat & membumi, menjaga aroma tetap lembut.

ambrette—ada nuansa sensual alami, seperti kenangan yang tak bisa dijelaskan tapi terasa tebal & dekat.


9. ini agak cukup disayangkan. aku merasa kita tidak cukup lama melakukan deeptalk. kita terdistraksi oleh terlalu banyak hal remeh-temeh. tapi tak apa, kelak matahari akan terbit esok pagi & kita akan bertemu lagi. dalam tempo yang secepat-cepatnya. semoga.


10. aku benar-benar tidak tahu rasanya sakit haid. tapi, andai rasa sakit itu bisa ditransfer, maka silakan saja transfer semuanya pada tubuhku. katakanlah lewat cubitan atau gigitan. terserah. as you wish.


11. kupikir, & kurasa, kau punya bakat fotografer. kau mengerti cara mengambil gambar yang apik & estetik untuk diunggah di sosial media. maka ketika kuberikan kamera DSLR (Nikon D5100 yang terlalu jadul itu) padamu, vibes-nya seperti memberi katana pada seorang samurai.


12. aku ingin terus mengingat & mencatat. memelukmu & merindukanmu. & menciumimu & merindukanmu. aku ingin terus bernapas & punya banyak hal untuk kuceritakan padamu sebelum kau tidur.


13. aku sebenarnya tidak bisa LDR. tapi aku punya ‘why’. & itu sudah cukup. sebab “he who has a why to LDR for can bear almost any how”.


14. aku sadar, kita sama-sama begitu mudah menangis bukan sebab memotong bawang. & that's cute.


15. aku ingin terus menerus mendengarmu yapping, Radiyappingku.


16. aku ingin memutar As the World Caves In - Matt Maltese & menangis di pundakmu.


17. aku ingin kau membacakan Animal Farm-nya Orwell sebelum aku tidur & mencium pipiku setiap kali binatang-binatang di dalam ceritanya mulai berbicara. 


18. aku ingin kita menonton film I Origins (2014) & kau mencium kelopak mataku setiap ada scene atau dialog tentang mata.


19. aku terlalu banyak ingin. sangat tidak Buddha. tidak sesuai dengan kalung Siddharta Gautama yang melingkari leherku. aku tidak tahu apakah itu kabar baik atau kabar buruk. semoga baik. semoga.


untuk sementara, mungkin itu saja, kasihku.


Sincerely,

Gerry

Thursday, 27 March 2025

Dua Puluh Lima

bayangkan... kau sedang memacu pelan kuda besimu di lajur kiri untuk mengawal motor kawanmu yang disetut oleh kawanmu yang lain sebab kehabisan bensin kemudian di depanmu nampak mobil bak menderek mobil bak lain pakai tali tambang pada tanjakan cukup curam—& seperti yang bisa diharapkan logika—talinya pegat lalu mobil bak yang diderek tersebut remnya blong, mundur keos ke belakang, menghantam motor kawanmu, sehingga motornya oleng lantas menabrak motormu & knalpot motor kawanmu yang panas juga keras hampir mematahkan anklemu. 


alur di atas bukanlah alur templat dalam film Final Destination. namun kejadian absurd tujuh hari sebelum hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima. tapi keabsurdan tidak berhenti sampai di situ: ketika kumintai tanggung jawab perihal bagaimana nasib kakiku yang nyeri kepada sopir mobil bak itu, aku menyadari sesuatu, kaki kanan sopir itu buntung.


& begitulah hidup membawaku pada umur seperempat abad: semua serba aneh, penuh komedi gelap, sulit dimengerti. 


****


hari ini, aku terbangun dengan perasaan bahwa sekarang aku berdiri di ambang jurang: terlalu muda untuk bijak tapi juga terlalu tua untuk tolol. 


jam dinding masih berdetak dengan irama yang sedikit mencurigakan. sebuah amplop tanpa nama tergeletak di bawah pintu. aku membukanya dengan hati-hati. namun, isinya hanyalah selembar kertas kosong. aku tersenyum kecil. sampai detik ini, aku tak yakin apakah aku punya hak untuk mengeluh. jadi aku hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang baru saja diskakmat dalam permainan catur melawan dirinya sendiri. 


di hadapan kebingungan, barangkali memang tak ada yang bisa dilakukan selain menertawakan diri sendiri. kata seseorang dalam diriku, seperempat abad adalah kapak tumpul yang menari-nari di atas urat nadi. perpaduan antara harapan yang tertunda & kesialan yang terlalu akrab.


aku membikin secangkir kopi yang terasa pahit, tapi tidak cukup pahit untuk memicu emosi. saat aku duduk, ponselku bergetar. sebuah pesan singkat dari kawan lamaku, “selamat ulang tahun! semoga hidup lembut kepadamu.”


aku membalas dengan tiga buah emotikon jempol, merasa bahwa itu cukup mewakili eksistensiku saat ini.


di luar, dunia berjalan seperti biasa. orang-orang tampak sibuk dengan urusan yang tampaknya mendesak, meskipun aku curiga banyak dari mereka juga sedang berpura-pura mengerti apa yang sebenarnya terjadi.


di sini, aku bercermin. “jatuhmu tak pernah indah tapi keras kepalamulah,” kataku pelan pada pantulan itu. lingkaran hitam di bawah matanya masih menandai malam-malam panjang. & pening-pening yang tak kunjung hilang di batoknya, pada gilirannya, jadi semacam kerutan kecil di kening.


& untuk sesaat, aku merasa bayanganku tersenyum. atau mungkin hanya ilusi optik. 


tapi di tengah pertanyaan tidak penting itu, aku menambahkan satu sendok makan gula pasir pada kopiku & menyadari dua hal yang pasti: setidaknya gula masih manis & aku belum habis.

Friday, 31 January 2025

Surat untuk Ma Chérie II

Kepada RP yang... Arghhhhhhhhh

Bogor, 30 Januari 2025


besar kemungkinan ini akan terdengar sangat Kafka-Milena tapi peduli setan... aku tak peduli. kuharap besok dunia kiamat, sehingga aku tak lagi merasa punya waktu. lalu aku tanpa ragu, tanpa basa-basi, naik kereta, & tiba di depan pintu rumahmu di Cheribon, seraya bilang: “ikutlah denganku, sayang. hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? sewaktu kita berbicara lewat sambungan telepon, waktu yang cemburu telah surut & pergi: carpe diem! rampaslah hari ini, & taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari. ikutlah denganku, sayang. & lupakan idemu tentang bagaimana kita akan kerja bakti mendorong lempeng bumi. mari tinggalkan sarang biawak ini. ikutlah denganku, sayang. kita akan memangkas jarak, menekuk waktu. sambil meludahi jarak, & mengutuk waktu. kita akan saling mencintai tanpa kalut, tanpa keraguan, tanpa rasa takut, & tanpa kecemasan. sehingga kau tak lagi mesti bertanya, seberapa rindu gigiku kepada kulitmu. & aku tak mesti menjawab pertanyaan redundan yang sudah jelas jawabannya seperti apakah aku mencintaimu atau tidak. sebab besok dunia kiamat. & aku barangkali akan terlalu sibuk memeluk-menciumimu sampai dipisahkan meteor & lengking sangkakala merusak gendang telingaku. maka ikutlah denganku, sayang. mari menari di atas hari kematian waktu.” masalah bermula ketika kita merasa punya waktu, atau harus memperhitungkan waktu. tetapi bagaimana jika kita tidak punya waktu? atau bagaimana jika waktu adalah entitas tengil-bajingan yang tidak berpihak kepada kita? jauh di lubuk hati, tuhan tahu seberapa muak aku mendengar suaramu melalui panggilan suara. & jauh di ujung langit, tuhan pun bosan mendengar ‘bangsat’ yang kuucap bertubi. kuharap besok dunia ini kiamat, sehingga kita bisa saling memeluk satu sama lain erat-erat. hangat. dekat. tanpa sekat.


Sincerely,

Gerry

Wednesday, 8 January 2025

Surat untuk Ma Chérie

Kepada RP yang ....

Bogor, 5 Januari 2025


you could be my unintended

choice to live my life extended

you could be the one i'll always love


you could be the one who listens

to my deepest inquisitions

you could be the one i'll always love...

sejak bertahun-tahun yang lalu, aku sudah curiga kalau aku mengidap sapioseksual. bukan. artinya bukan aku turn on ketika melihat sapi. oh sapi! oh sapi! bukan. & tentu, kau cukup pandai untuk memahami bahwa sapioseksual adalah istilah untuk membahasakan ketertarikan romantik terhadap seseorang berdasarkan kecerdasan & isi pikirannya. & barangkali itulah salah seribu aku menyukaimu, selain sebab kau—katakanlah—begitu kyut, gorjes, menggemaskan, matang secara emosional, atau punya suara yang begitu krispi serta terasa umami.


aku suka bagaimana kau mengaransemen argumen, memilah kata, memilih kalimat. kupikir-pikir hampir selalu logis & akurat. & di setiap perbincangan kita di telepon, selalu ada semacam orgasme intelektual yang kurasakan. sebuah orgasme yang meningkatkan rasa ingin hidup seminimalnya lima kali reinkarnasi lagi. you are so damn good that i would love to destroy my body at the gym to build a greek god's body you can only touch, work my ass off to sell my soul in capitalism, immerse my useless idealism to fuckin burial, & detrimental the state for corrupting three hundred trillion then jailed for six half years.


di sisi yang lain, aku cukup mengerti bahwa ketika aku mencintai sinar bulan, maka aku juga mesti mencintai sisi gelapnya. aku maklum & mahfum bahwa beautiful soul are shaped by ugly experience. aku cukup mengerti sisi gelap di balik kau begitu cinta membaca adalah sebab ketidaan seeorang yang memahami. kau piawai menulis sebab menyadari ketiadaan seseorang yang mendengarkan. & kau gemar melukis sebab tiada yang melihat-mengamati.


tapi sayangku, ma chérie, bukankah setiap orang pada dasarnya mengantongi trauma masa lalu di saku mereka? buka matamu, sayangku, & lihatlah sekeliling kita: anger issue membentuk atlet, parent issue membentuk guru, obsessive compulsive disorder membentuk arsitek, identity issue membentuk aktor, perfectionism membentuk desainer, emotional issue membentuk psikolog, validation issue membentuk influenser, ethical issue membentuk pengacara, money issue membentuk akuntan, health issue membentuk dokter, control issue membentuk polisi, & seterusnya & seterusnya.


lalu, apa yang kau takuti? apa yang kau risaukan? aku telah jatuh cinta dua kali. pertama ketika mencintai kelebihan-kelebihanmu, kedua ketika mencintai kekurangan-kekuranganmu. i always find perfection in imperfection. aku memang mencintai kerlip bintang, tapi lengkap dengan langit gelap di sekelilingnya.


Sincerely,

Gerry

Tuesday, 31 December 2024

Boys Don't Cry, Men Do

kita tidak perlu malu dengan air mata kita sendiri.”

—Dickens, Great Expectations (1861) 


salah seorang kawanku, sebut saja G, percaya bahwa “menangis adalah dosa terbesar yang bisa dilakukan lelaki”—sebab menurutnya menjadi tanda paling nyata dari kepincangan-kelemahan. pada mulanya, tolol menjadi satu-satunya kata yang terlontar dari mulutku. tapi kemudian aku mencoba menanam paham bahwa kepercayaan yang dianutnya itu berangkat dari ’maskulinitas toksik’ yang secara halus diamini alam bawah sadarnya. sebab setolol apapun argumennya soal maskulinitas bla bla bla, G hanyalah korban bencana dari sistem patriarki. sebagaimana aku. bedanya G tercuci otaknya, aku tidak.


maskulinitas toksik, sederhananya, adalah versi berbahaya & berlebihan dari sifat-sifat maskulin tradisional. katakanlah mensupresi emosi, memamerkan brutalitas, & menolak apa pun sifat yang secara stereoritipikal dianggap feminin. di titik tertentu, mereka bermetamorfosis menjadi pembenci perempuan (misoginis) & memandang perempuan sebagai objek, bukan subjek. hanya sebagai “lubang pemuas biologis batang”. & sepengamatanku, sekitar tujuh dari sepuluh lelaki di tempatku ngegym punya isi kepala yang kurang lebih seperti ini. sesekali aku bisa tahan bergumul, seringnya aku ingin menjadi sosok yang kubenci dengan cara membuka jok bagasi motorku & mengambil air gun & mengokang & melubangi otak mereka yang menjijikan. i was born to be a villain who kills extremely dumb people, but socially forced to be a good civil.


bagaimana bisa seorang manusia yang dilahirkan dari rahim perempuan bukan batang pohon pisang berakhir menjadi pembenci perempuan? maka aku mencoba mengurai benang kusutnya & darinya lahirlah salah satu simpulan curiga alasan di balik lelaki menjadi begitu misoginis tak lain merupakan kemurkaan tidak masuk akal terhadap fakta bahwa dalam masyarakat saat ini, perempuan memiliki pilihan & salah satu pilihan tersebut adalah menolak berhubungan seks dengan lelaki yang menginginkannya. lelaki bermental tempe & berotak selangkangan seperti ini, tentu, tidak suka jika mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. jadi pada dasarnya, mereka membenci perempuan sebab mereka tidak punya cukup kekuatan untuk bisa mengendalikannya. semacam keputusasaan kekanak-kanakan yang memang lazimnya berakhir dengan naik pitam campur kutuk-mengutuk.


“jika kau belum pernah makan sambil menangis, kau tidak akan tahu seperti apa rasanya hidup.”


—von Goethe


kembali menyoal G, misalkan ia kutub utara, maka aku kutub selatan. persetan halal-haram, aku menilai bahwa menangis adalah privilese manusia sebagai hewan yang punya “hati”. sependek pengetahuanku, menurut konsensus ilmiah saat ini, hewan tidak menangis dalam arti meneteskan air mata emosional seperti yang dilakukan manusia. dengan kata lain, hanya manusia yang memproduksi air mata untuk mengekspresikan emosi, sehingga menangis merupakan sifat unik manusia. sebab meskipun hewan dapat memproduksi air mata untuk melumasi mata mereka, air mata ini tidak terkait dengan tekanan emosional.


secara personal, bisa dibilang, aku adalah tipikal lelaki yang mudah menangis dengan ratusan gaya & ribuan alasan. banyak jalan menuju Roma, banyak pula jalanku untuk meneteskan air mata. aku bisa menangis bukan hanya karena kelilipan, memakan makan pedas, atau sedang mengupas bawang. aku bahkan bisa menangis (hanya karena) membaca puisi yang menurutku begitu palung mariana, mendengar lagu yang begitu magis, menonton film yang begitu emosional, apalagi ditinggalkan perempuan yang begitu kucintai—bahkan melebihi diriku sendiri.


“aku bukanlah übermensch

aku juga bisa nangis

jika kekasih hatiku

pergi meninggalkan aku


ayahku selalu berkata padaku

laki-laki tak boleh nangis

harus selalu kuat harus selalu tangguh

harus bisa jadi tahan banting

...”


—Superman, The Lucky Laki (2009)


& jauh di lubuk hati paling dalam, aku sebenarnya ingin meludahi Sudjiwo ketika ia mengatakan bahwa “tuhan menciptakan tangis perempuan agar lelaki melupakan tangisnya sendiri”. bagiku, kalimatnya ini indah sebagai puisi, berbahaya sebagai landasan berpikir. tangis perempuan adalah milik perempuan. tangis lelaki adalah milik lelaki. memosisikan luapan tangis perempuan hanya sebagai distraksi agar lelaki melupakan tangisnya sendiri cenderung mendegradasi & menginferiorkan nilai tangis perempuan. di sisi lain, seakan-akan tangis laki-laki ada untuk tidak dihiraukan. dalam bahasa tataboga, seolah-seolah tangis perempuan adalah garnis & tangis lelaki adalah main course atau hidangan utama yang tidak boleh dimakan.


di titik kesadaran semacam ini, aku teringat filsuf feminis asal Prancis, de Beauvoir, dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949), katanya: “One who is not born is the Other, but woman”. menurutnya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak & dibentuk. dengan demikian perempuan tertindas & terpenjara sekaligus tertendang dari kursi kesetaraan. tapi terkadang aku merasa, di bawah cengkraman gurita patriaki, lelaki pun tidak terlahir melainkan dibentuk sedemikian rupa & cara. menjadi mesin yang tak akan berbicara, misalnya. itulah mengapa pada titik yang lebih ekstrem, kawanku G menganggap lelaki tidak (seharusnya) bercerita. sebab menurutnya, lelaki yang bercerita itu culun alias cupu binti boti-bencong. 


G, bagiku, adalah satu dari sekian faktor yang berandil besar menyumbang data-statistik delapan puluh persen bunuh diri dilakukan lelaki. aku percaya bahwa yang membikin seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya selain ketiadaan telinga yang bersetia mendengar apapun keluh kesahnya, adalah keengganan untuk membuka mulut & mengeluarkan apa-apa yang terganjal di kerongkongan dalam bentuk bahasa. entah dalam bentuk cerita-cerita sederhana atau tetes air mata menyesakkan dada. 


meski pada beberapa momen, aku ingin mengganti kata ‘marah’ menjadi ’menangis’ dalam buku The Nicomachean Ethics yang ditulis filsuf Yunani, Aristoteles, sehingga kurang lebih menjadi seperti ini: “menangis itu mudah, tetapi menangis pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang cocok, demi tujuan yang benar, & dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”


bagiku, seorang lelaki sejati mestilah sadar bahwa dengan menangis ia menunjukan sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya, alih-alih kerapuhan atau bahkan kegagalan sebuah sistem mesin kesepian yang pada dasarnya didesain untuk terus menerus mengucapkan ‘interlinked’ seperti tokoh K dalam film Blade Runner 2049 (2017) garapan Villeneuve ketika merindukan sosok Joi.


“...

i tried to laugh about it

cover it all up with lies

i tried to laugh about it

hiding the tears in my eyes

'cause boys don't cry

boys don't cry

...”


—Boys Don't Cry - The Cure (1979)


di akhir perbicanganku dengan G, sambil memutar lagu The Cure, ia bilang, “boys don't cry.” aku mengangguk sebanyak tiga kali sebagai upaya menghargai argumen. “boys don't cry, men do.” begitu timpalku kemudian memasang senyum pepsodent. raut wajahnya seakan tidak setuju. “humans don't cry.” tambahnya. “but angels do.” kataku. & raut wajahnya semakin tidak setuju.

Thursday, 19 December 2024

Beberapa Hal yang Bisa Kutulis setelah Tiga Bulan Membership Gym

 

“apa-apa yang hampir membunuhmu, membikinmu ingin pergi ke gym & merobek ototmu.”


—(bukan) Nietzsche

setelah tiga bulan ngegym, aku menyadari sesuatu: gym bukanlah soal melatih biceps atau triceps, tapi melatih accept—tentang menerima & kemudian mengonversi sakit secara mental menjadi sakit secara fisikal. sakit pikiran-perasaan menjadi sakit badan. mengubah masa lalu menjadi massa otot. membakar kalori & ingatan-memori.


kukira begitu. rasa-rasanya begitu. sebab ketika berdiskusi sesuatu yang personal dengan beberapa gymbroku, mereka semua telah/sedang mengalami masalah yang hampir membunuhnya. dari masalah asmara, keluarga, sampai pekerjaan. dari ditinggal nikah, ditinggal ayah, sampai lelah punya atasan yang bajingan. aku curiga bahwa mereka pada dasarnya ingin berdiri di atas kaki mereka sendiri, sebab jika mereka berdiri di atas kaki orang lain maka orang itu akan bilang, “tolong kaki saya sakit.”


& mungkin, para gymbroku pergi ke gym dengan harapan untuk mendistraksi atau bahkan mengubah satu masalah menjadi satu set repetisi tambahan plus satu teriakan panjang yang akan selalu kalah kencang dengan suara musik edm full bass penghancur gendang telinga dari spiker bluetooth di gym. tapi apapun harapannya... yang diangkat tetaplah dumbell terlalu berat biang kerok telapak tangan kapalan.


secara personal gym benar-benar mengubahku. ketika pertama kali datang, berat badanku cuma empat puluh kg (cuma setara toren air merk penguin ukuran dua ribu liter tanpa isi). dengan tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter, tentu berat segitu membikinku nampak sangat tunggu kiris—tak jauh berbeda dengan tiang gawang sepakbola liga tarkam—ketimbang gapura kabupaten. dengan tubuh genetik ectomorph yang kurus kering, aku sadar mesti bulking.


oleh karenanya, berlandaskan motivasi membentuk badan dewa Yunani, aku ngegym enam kali seminggu & makan enam kali setiap hari (dengan porsi seperti seorang kuli Bandung Bondowoso yang akan membangun Candi Prambanan dalam satu malam).


selain itu, setiap hari, aku tak pernah absen untuk mengonsumsi dada ayam & telor rebus sebanyak dua belas butir. dengan asupan protein sesinting itu, bisa kupastikan bahwa misalkan aku kentut, maka baunya lebih menyiksa ketimbang belerang di Kawah Ratu, Gunung Salak (ini serius, bukan lelucon. kalau tak percaya, boleh dicoba). maka tak heran dalam kurun waktu tiga bulan, berat badanku naik signifikan. naik dua belas kilogram. 


gym tidak hanya mengubah secara fisikal, tetapi juga mental. aku menjadi lebih disiplin. katakanlah disiplin untuk tetap pergi menuju tempat gym, meski hujan menghadang & meningkatkan gaya gravitasi kasur penyebab rebahan. aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi ngegym—bahkan jika itu adalah meteor sebesar bus telolet basuri. 


selain itu, aku juga menjadi lebih disiplin untuk menjaga pola makan: menghindari goreng-gorengan & minum minuman dengan kadar gula yang kemungkinan besar bisa memicu diabetes melitus tipe dua dalam kira-kira sepuluh tahun ke depan.  


berkat gym, kini aku sadar bahwa olahraga sama pentingnya dengan olahrasa. aku teringat slogan para guru penjas yang berasal dari pepatah Latin seorang penyair Romawi bernama Juvenal: mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). 


aku juga sadar bahwa badan yang atletis tak pernah bisa dibeli dengan uang. hanya disiplin yang memungkinkannya. meski pada akhirnya, setelah ngegym, aku mendapat masalah baru: body dysmorphia. sebuah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terus menerus mencemasi kekurangan penampilan fisiknya. katakanlah, biceps kurang besar, triceps kurang kekar, shoulder kurang lebar, back kurang doritos (v taper), perut kurang sixpack, chest kurang bidang, legs kurang gigan, & seterusnya.


doms hari ini adalah otot baru esok hari.”

pada akhirnya, seseorang barangkali bertanya: how do you survive your injuries? & aku cuma ingin menjawab: i just kept lifting.