"Mesin-mesin bangsat itu tak akan berhenti hingga tak ada lagi yang bisa dikendalikan," ujar seorang pria di sebelah Clara yang saya tak ketahui namanya. Dengan geram, matanya mengitari ruangan seakan-akan ingin mencari sesuatu yang bisa ia hancurkan. Tapi tak ada apa pun di bungker itu selain ransum tentara yang sudah berdebu, galon air dengan air yang tak seberapa, televisi butut selebar 24 inci, dan kartu nama bertuliskan "Henry S. Kons".
***
“Clara, pandemi memang babi. Tapi apa yang terjadi setelah pandemi ternyata jauh lebih babi,” gumam Henry padaku, “Plokis-plokis sialan itu, sesekali harus sejenak kita lupakan, walaupun takkan pernah bisa aku maafkan.”
Aku mengangguk sebagai tanda menyetujui semua bahasanya.
“Lebih baik kita mencari makanan dan air. Persediaan kita kian menipis, bagaimana? Sepertinya di luar sudah aman dan sedikit terkendali,” ajak Henry. “Lagipula tak baik terlalu larut dalam kontemplasi.” tambahnya.
***
Aku dan Clara bersiap-siap untuk keluar bungker. Untuk pertama kalinya. Setelah 27 bulan lamanya kami berada di sana. Namun sesudah pandemi dinyatakan usai, dan lebih dari 7,5 miliar manusia hampir sudah dipastikan divaksin semuanya—kondisi dunia begitu berbeda. Berubah 180 derajat dari yang kami tahu. Kematian kedua orang tuaku, mungkin menjadi penyebab mengapa aku mengatakan bahwa dunia akhir-akhir ini—lebih terlihat seperti seorang penjahat perang di mata pejuang hak asasi manusia. Ya, ayah dan ibuku mati di tangan mesin. Karena mereka berdua menolak divaksin.
Sebetulnya banyak orang menolak vaksin, tetapi negaraku, Aisenodnia, memproduksi robot-robot canggih bernama Plokis Vaksin—maka bisa dipastikan banyak orang yang terpaksa ikut vaksinasi. Sebab nyawa adalah taruhannya. Sebab kecerdasan buatan yang bajingan itu akan memburu siapapun yang belum disuntik vaksin. Tapi aku dan Clara adalah pengecualian. Kami adalah pemberontak. Menolak untuk tunduk pada sistem yang bergerak menuju tatanan dunia baru. Atau mungkin tepatnya pengecut, karena kami lebih memilih bersembunyi di bungker selama lebih dari 821 hari lamanya.
Orang-orang di luar sana mungkin akan lebih mempercayai hipotesa bahwa kami memiliki phobia terhadap jarum suntik—ketimbang menelusuri ketakutan kami terhadap microchip yang bisa saja ditanamkan pada setiap tengkuk leher orang-orang yang sudah divaksin. Kekasihku, Clara, bahkan pernah berucap bahwa pandemi secara tak sengaja—membentuk kami berdua seperti tokoh Meursault dalam buku L’Étranger karangan Albert Camus yang melegenda.
***
Kedua orang itu lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan mengenakan jaket berwarna hitam. Serba hitam. Keduanya sekilas seperti malaikat maut yang terus menerus dihantui ketakutan perihal kapan ajal akan menjemput.
***
Andai Henry tahu: masker N95 itu adalah satu-satunya mesin waktu yang kupunya. Betapa berarti masker itu di hatiku. Karena aku mendapatkannya dari ibuku. Dan kini aku merindukannya. Sialnya, aku tak tahu di mana ibuku berada. Sama sepertinya, aku juga sudah tak punya kedua orang tua. Ayahku sudah meninggal jauh sebelum adanya pandemi. Tapi ibuku, aku sebenarnya tak berani berkata bahwa aku sudah tak punya kedua orang tua—hanya karena aku tak tahu apakah ibuku sudah mati atau hanya berada di tempat yang tak aku ketahui.
***
“Masker ini aku dapat dari ibuku untuk hadiah ulang tahunku ke-17,” kata Clara dengan mata sayu, “Sekarang aku berusia 19 tahun dan tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.” timpalnya kembali.
Aku tak kuasa untuk membalas celotehnya. Aku hanya memeluknya. Tanpa kata-kata. Setelahnya kami terus menapaki trotoar kota Rogob, sembari melihat kanan dan kiri. Tak ada tanda-tanda kehidupan dan Plokis Vaksin, kurasa. Benar-benar kosong melompong. Kemudian mata kami terpaku pada videotron yang menunjukan tahun 2048 dengan font Times New Roman yang sepertinya sengaja dibuat bold. Dan ya, sejujurnya aku tak pandai berbohong. Aku akan mengaku bahwa arsitektur kota Rogob menjadi lebih rapi dan sedap dipandang. Meski cuacanya sedikit bertambah dingin pada akhir september seperti sekarang.
Embusan udara seperti perlahan-lahan menusuk sunyinya kota ini. Atau mungkin kami terkena hipotermia ringan, mengingat kini kami sudah berada di dalam supermarket yang terbengkalai. Bersama penyejuk ruangan dengan suhu kisaran 8 sampai 19 derajat celsius—yang tentu bagi manusia bungker dengan kulit tropis seperti kami, adalah sebuah ketidaknyamanan. Yang lalu-lalang mencari bahan makanan yang mungkin dapat kami temukan.
Clara terlihat sudah selesai memasukan beberapa makanan kaleng bergambar Caduceus dan air mineral kemasan botol ke dalam totebag ramah lingkungan yang kami bawa.
“Sepertinya sudah cukup. Aku kedinginan. Apakah dirimu tak merasa kedinginan? Mari kembali ke dalam bungker sayang,” bisik Clara padaku dengan menggigil.
***
Clara dan pria yang masih tak saya ketahui namanya itu terlihat menuju arah pulang. Berjalan dengan cepat seperti dikejar-kejar Baba Yaga dalam folklor Slavia. Sembari sedikit berlari, Clara terus saja meniup tangannya agar tetap hangat seolah-olah uapnya mampu menyingkirkan dinginnya kota Rogob—yang disinari hologram 3 dimensi berwarna merah berbentuk banteng seperti logo salah satu minuman energi. Dan mereka pun sampai di bungker.
***
Akhirnya aku sampai di sini. Henry langsung mengunci rapat bungker. Memberiku jaket berbulu. Dan kami berpelukan. Erat sekali. Seperti setiap pelukan untuk terakhir kalinya.
“Apa kau masih kedinginan?” tanya Henry. Tidak, jawabku tegas.
“Elite Global” rutuknya, “Akan kuceritakan sedikit tentang mereka,” tambahnya dengan wajah yang kini menjadi serius.
“Mereka adalah otak di balik semua pandemi yang lebih cocok disebut plandemi ini. Mereka mengeruk keuntungan dari orang-orang yang sakit. Tapi membungkusnya dengan kesehatan. Begitu menyedihkan, bukan? Apa yang mereka lakukan hanyalah menjual ketakutan... Dan obat... Dan kengerian. Dan omong kosong tentang masa depan!” tambahnya lagi dengan wajah semakin serius.
“2 tahun sebelum pandemi, aku menyelesaikan kuliahku di Universitas Aisenodnia. Kau tahu, aku mengambil program studi Ilmu Konspirasi. Aku membuat skripsi berjudul 'Peran Plokis Terhadap Kapitalisme Modern, Matinya Demokrasi, dan Maraknya Kejahatan Kemanusiaan'. Agak terdengar dungu, memang. Tapi beberapa kebenaran memang selalu terdengar dungu dan jelek—bagi mereka yang tak mau imajinasi indah yang selama ini mereka bangun itu hancur seketika. Aku paham betul ke mana arah dunia ini akan bergerak. Kebenaran ala massifikasi. Hiperealitas. Konsumerisme... Hustle Culture... Alienasi... Dehumanisasi... Digitalisasi... Dan kedigdayaan AI (kecerdasan buatan). Kau pun tahu bahwa aku tak pernah bosan untuk membaca buku. Dari Orwell, Chomsky, sampai Baudrillard. Semuanya kulahap habis. Jadi kau tak perlu takut, ya? Kau aman bersamaku." pungkas Henry kepadaku.
***
Ah ternyata membahas Elite Global membuat perutku keroncongan. Lantas aku mengajak Clara untuk makan bersama. Tapi dia menolaknya. Ia lebih memilih memandang masker N95-nya lagi. Dan aku pun makan. Sendirian. Dengan lahap.
***
Pria bodoh itu ternyata tak lebih pintar dari seekor keledai yang sedang mabuk. Dengan sadar ia memakan makanan kaleng yang sudah kami tanami microchip. Penyamaran saya sebagai televisi butut selebar 24 inci, berhasil! Mereka tidak menyadari kehadiran saya. Sebenarnya saya adalah robot canggih yang bisa merubah tubuh saya menjadi barang-barang elektronik. Ketika mereka keluar bungker, saya tentu akan betransformasi menjadi drone demi bisa mengintai mereka berdua.
Hidup New World Order! Hidup Plokis Vaksin. Kini kami dapat mengendalikannya. Saya pasti diberi kenaikan pangkat. Dan saya pasti dinobatkan sebagai Intel terbaik tahun ini.
***
Ah sepertinya ia sangat kelelahan. Setelah makan ia bahkan ketiduran. Sekarang aku yang lapar. Makanan kaleng bergambar Caduceus itu nampaknya enak, sampai-sampai Henry tertidur pulas.
Tiba-tiba Henry berkata "Komputer tolol! Plokis Asu 01000100 01100001 01110011 01100001 01110010 00100000 01101011 01101111 01101101 01110100 01101111 01101100 Jangan kau makan itu CLARAAAAaaaaa! #@-£!;&#;*?;("
"Aaaaaaaaaaaaaaaa! Caduceus jancokkkkk! 1312!" aku berteriak dengan keras. Sangat keras. Setelah tak sengaja memakan makanan kaleng sialan itu.
***
01001000 01000001 01001000 01000001 01001000 01000001 (suara Plokis Vaksin yang tertawa terbahak-bahak dalam bahasa biner pengkodean karakter UTF-8).