Thursday, 9 September 2021

Cerpen: Aldrich dan Mimpinya Menjadi Wordsmith

Aldrich (2021) by Didie SW
Pemuda miskin itu bercita-cita menjadi penempa kata-kata: penulis. Tepatnya Wordsmith. Cita-cita yang cukup ganjil di sebuah hamlet (desa yang lebih kecil dari village), yang hampir genap menjadi surga para tukang besi.

Ferroshire adalah hamlet yang memiliki 2 ritus peribadatan: setiap pagi warganya yang hanya berjumlah 69 jiwa menyembah patung paron setinggi 13 kaki—yang berlapiskan emas—setiap malam, mengitari sebuah bangun ruang; kubus besar berwarna putih yang di dalamnya ada sebongkah meteorit (benda langit yang terdiri dari kombinasi mineral nikel dan besi) sembari menenggak Wine Putih (sejenis minuman dari anggur yang dapat memabukkan) hingga tak sadarkan diri sampai pagi.

Ferroshire, cukup jauh dari town (kota yang lebih kecil dari city). Begitu pun dengan Aldrich yang cukup jauh dari cita-citanya. Ia hidup bersama kedua orang tuanya yang naif, religius sekaligus bodoh. Sehari-hari Aldrich membaca buku-buku bekas, sesekali mengarang puisi, seduakali prosa, kadang-kadang cerpen dan berbagai karya sastra lainnya di perpustakaan Loreshire yang berjarak sekitar 4 mil jauhnya.

***

Aku memiliki nama lengkap yang terdengar sangat arkais: Aldrich Wildburn. Aku suka membaca. Tapi keluargaku tak pernah membaca bahwa aku suka membaca. Ayahku adalah seorang Shaman (dukun) yang taat dan puritan bernama James Archaicson. Sejatinya, ia adalah satu-satunya dukun di Ferroshire. Meskipun ia selalu mengatakan, berkali-kali, dirinya adalah Cleric (pemuka agama) bukan seorang Shaman.

Sedangkan ibuku, yang bernama Dorothy Swan adalah seorang petani anggur yang tak memiliki Winery (kebun anggur). Ibuku hanya diberi kewenangan untuk mengelola kebun anggur milik bersama, warga Ferroshire. Karena ia dikenal handal dalam memfermentasi anggur dengan varietas Seyval Blanc menjadi Wine Putih untuk keperluan acara peribadatan.

Kedua orang tuaku tak pernah mengamini keinginan anak semata wayangnya ini, karena mereka merasa menjadi Wordsmith adalah hal paling pandir yang dilakukan oleh seorang pemuda dari Ferroshire. Ditambah, ayahku terus memaksa anaknya yang kikuk ini—menjadi tukang besi yang mengultuskan logam mulia dan meteorit dengan Lingua Sacra (mantra-mantra; bahasa liturgis) secara turun temurun.

***

Saya paham. Sungguh saya begitu paham. Saya rasa, saya sudah sangat lama hidup di hamlet suci ini. Di dunia ini. Pengalaman hidup saya sudah banyak. Bahkan terlalu banyak jika saya ceritakan. Saya tahu apa yang terbaik bagi anak saya. Saya hanya ingin melihatnya tumbuh seperti anak-anak biasa lainnya. Menjadi seorang Smith (pandai besi).

Seperti yang sudah ditakdirkan. Dalam kitab suci. Semenjak hamlet ini didirikan Dewi Vulva Yang Mahakubus dengan komposisi logam, meteorit dan anggur. Semua itu terepresentasikan dalam ibadah suci kami. Menjadi Cleric tentu adalah tugas suci. Seperti semua anak lelaki di Ferroshire yang bercita-cita untuk menjadi Smith. Dan menjadi pembuat anggur yang piawai, serupa istriku, yang selalu dimimpikan setiap anak perempuan. Saya yakin. Sangat yakin.

Saya tahu, Aldrich anakku, pasti merasa terasing bahkan diasingkan—oleh teman-teman sebayanya. Semuanya sudah belajar untuk menjadi Smith yang tekun dan pandai. Saya sebenarnya malu. Malu untuk mengakui. Menerima kenyataan. Jika anakku satu-satunya malah menjadi seorang kutu buku yang berpenampilan absurd. Dan berkelakuan kikuk.

***

Pasalnya, tindak-tanduk Aldrich memanglah avant-garde (tidak lazim alias sering menabrak batas-batas norma dan budaya yang ada).

Sebagai contoh, di hamlet tersebut, para pria memiliki rambut klimis—tetapi Aldrich memiliki rambut absurd yang lebih mirip dengan rambut seekor keledai di film Shrek—bernama Donkey ketimbang rambut manusia di Ferroshire. Bahkan ada semacam lelucon yang terkenal di desa Ferroshire: “Andai kata kau adalah seorang pendatang yang memiliki otak secemerlang Isaac Newton saat tertimpa buah apel—maka kau tetap tak akan pernah mengetahui alasan mengapa hamlet ini dinamai Ferroshire bila kau memilih untuk duduk dan berbincang bersama seorang keledai yang memperkenalkan diri sebagai Aldrich selama lebih dari 3 menit.”

Seiring dengan berjalannya waktu. Aldrich muak dengan semuanya: keadaan, keluarga, desa dan kepercayaan yang dianut di sana. Mimpinya untuk menjadi Wordsmith pun tak dapat ia tahan-tahan lagi. Saat Aldrich Wildburn mulai beranjak dewasa, ia memutuskan untuk pergi ke town: Illuminatown. Adalah kota kecil yang berisi para filsuf yang terkenal bijak—juga para bangsawan yang sangat menghargai filosofi, seni dan sastra.

“Barangkali dengan pergi ke town lain di sebelah barat sana, aku bisa mewujudkan mimpiku bahkan mengubah nasib kita,” ucap Aldrich Wildburn dengan lirih kepada kedua orang tuanya.

Mendengar hal itu, James malah naik pitam, karena ternyata ia dan Dorothy sudah menghabiskan seluruh tabungannya untuk mendaftarkan Aldrich ke Sekolah Pandai Besi terbaik di Ferroshire. Pendek kata, Aldrich terlibat pertengkaran dengan kedua orang tuanya. Ia bahkan ditonjok ayahnya sampai 2 buah gigi serinya—tanggal bersama darah yang mengalir dari gusinya.

Aldrich juga mendapat makian yang menyayat hati: Anak biadab! Lihatlah, betapa gagalnya kau menjadi anak. Durhaka... Kau adalah anak yang gagal dan hanya akan menjadi manusia yang gagal! Aib keluarga! Beban keluarga.

***

Aku diusir dari rumah tepat di sepertiga malam. Aku berjalan dengan sempoyongan. Lalu sampai di ujung hamlet laknat ini: tempat di mana semua penghuninya yang dungu mengitari kubus putih searah jarum jam—dalam keadaan mabuk dan setengah trace (kesurupan). Ketika ibadah tutup mata (menutup mata selama 300 detik sembari melafalkan mantra-mantra yang dikarang Shaman) dimulai, aku dengan cepat mengencingi kubus itu kemudian berlari.

Pada pagi buta, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan semua kebodohan ini, sebelum orang-orang menyembah patung paron emas setinggi 13 kaki—aku melumurinya dengan tinjaku sendiri. Dengan dendam yang membara, aku berencana merantau ke Illuminatown yang akan kutempuh dengan berjalan kaki selama 27 hari.

***

Pada siang hari, para tetua hamlet mengumpulkan seluruh warganya. Bertanya. Siapa bajingan yang tega mengencingi dan melumuri tempat paling suci di Ferroshire—dengan air seni dan tinja. Semua diam. Namun salah satu tetua hamlet menyadari satu hal, ada satu orang yang tak datang: Aldrich.

***

“Anak jahanam! Berengsek!” teriak saya tanpa sadar. Sontak seluruh mata tertuju pada saya. Saya dipanggil oleh para tetua hamlet. Setelah saya berunding dengan mereka. Selepas meredakan berang yang kepalang mengudara di dalam kepala. Saya dan para tetua, sepakat membuat sayembara.

Ya sayembara. Bagi siapa saja. Siapa saja yang bisa membawa batang hidung si tolol Aldrich ke hadapan saya dan para tetua hamlet,  akan dihadiahi 1001 keping emas 24 karat dan sebuah tiket untuk mengakses 72 rumah bordil yang ada di Ferroshire seumur hidupnya. Hadiah yang sangat menggiurkan. Tentu hadiah itu akan diberikan oleh tetua hamlet. Saya tidak punya harta dan kuasa sebanyak itu. Tapi saya, saya berjanji, kepada siapapun yang memenangkan sayembara. Saya akan memberikannya sebuah ilmu gaib yang dipercaya dapat melunakkan besi dengan tangan. Seperti mukjizat David.

***

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun demi tahun. Tak ada yang memenangkan sayembara itu. Setelah kepergian Aldrich yang entah ke mana, James dan Dorothy selalu memikirkan keadaan anaknya itu. Mereka berdua jadi sakit-sakitan.

Selepas kejadian itu James pensiun lalu digantikan Shaman yang baru. Begitu juga dengan Dorothy yang terlalu tua untuk sekadar menggarap Winery. Warga hamlet tak ada yang peduli pada mereka berdua.

Tapi tidak dengan Aldrich, yang diam-diam ternyata mengirimi mereka uang dan makanan dengan nama samaran ‘Hamba Vulva’ Mereka berdua tak menyadari, selama ini anaknya masih peduli kepada kedua orang tuanya.

***

“Wahai suamiku, selama ini aku bertanya-tanya siapakah orang di balik Hamba Vulva yang setiap bulan selalu mengirimi kita uang dan makanan yang banyak,” ujarku dengan kebingungan kepada suamiku.

“Saya tidak tahu. Satu yang saya tahu, tentu itu semua bukan dari si tolol Aldrich!” seru suamiku, James.

“Lantas jika bukan anak kita, siapa lagi? Mungkin kau pun tahu, setelah kau dan aku pensiun... Tepatnya setelah kejadian itu, warga Ferroshire tak pernah peduli lagi kepada kita. Jadi rasanya tak mungkin jika uang dan makanan itu berasal dari kantong dan dapur mereka,” balasku, dengan intonasi dan nada yang masih sama.

“Terserah. Jika itu yang ingin kau percaya. Aku hanya percaya. Makanan dan uang ini adalah hasil dari pekerjaan kita yang suci. Mengabdikan jiwa dan raga pada Dewi Vulva. Sekarang kita tinggal menikmati buahnya. Sudahlah, malam sudah terlalu malam. Lebih baik kau istirahat. Sudah ya? Aku lapar,” tutup suamiku yang kemudian mematikan lampu, lalu pergi ke meja makan untuk makan malam, sendirian.

***

Ayah. Ibu. Andai kalian tahu, sekarang aku sudah sukses. Impianku sudah tercapai. Mereka bahkan memanggilku dengan sebutan Shakespeare yang baru. Terkadang mereka melabeliku sebagai reinkarnasi Dante, penyair idolaku. Bagian terbaiknya aku selalu bahagia, punya banyak uang dan koneksi yang luas.

Di sini, orang-orang begitu menghargai hobiku, tulisanku—diriku. Di sini, aku bertemu banyak orang hebat. Terlalu hebat untuk aku gambarkan kepada kalian. Kepala mereka seperti perpustakaan. Mata mereka begitu banyak. Karena mereka, mempunyai begitu banyak sudut pandang. Mulut mereka begitu seksi ketika mengucapkan kosakata yang tak pernah aku tahu. Town ini seperti tak pernah bosan membuatku terkagum-kagum, mungkin karena sangat kontras dengan Ferroshire, tempat di mana aku dilahirkan.

Ayah. Ibu. Aku takkan pernah lupa darimana aku berasal. Namun pertama-pertama, maafkan aku. Bagian terburuknya adalah aku takkan pulang. Sampai kapanpun. Aku sudah nyaman di sini. Tapi atas dasar cinta kepada kedua orang tua. Aku akan menyisihkan setengah dari penghasilkanku dan sedikit makanan untuk kalian berdua. Semoga itu dapat membantu.

Aku tahu, kalian bahkan tak tahu aku masih hidup atau sudah mati. Apalagi mempercayai akulah orang di balik 'Hamba Vulva'. Namun percayalah, cinta seorang anak kepada ayah dan ibu takkan pernah luntur seperti cinta ayah dan ibu kepada anaknya. Percayalah, aku cinta kepada kalian berdua, selalu.