Saturday, 30 July 2022

Sartre versus Camus (Esai Translasi)

SFJ
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua ikon utama kehidupan intelektual Prancis abad ke-20, khususnya pada tahun 1940—1960. Karya dan komitmen mereka bersinggungan dan saling merespon begitu banyak tantangan bagi dunia.

Pengantar Sartre versus Camus: Perang dan Filsafat: Latar Belakang Sejarah

Hubungan Sartre-Camus telah memodelkan filsafat Prancis pasca-Perang Dunia II.

Sejak tahun 1943, Sartre dan Camus, berkawan baik, keduanya di mana-mana bersama. Publik, tanpa detail yang jelas, bahkan mencantumkan penulis Nausea dan The Stranger itu di bawah label yang sama: “Eksistensialis”.

Setelah pembebasan Prancis yang dimulai pada 6 Juni 1944, eksistensialisme lebih dari sekadar filsafat yang sedang digemari, ini adalah gaya hidup dan tempat: Saint-Germain-des-Prés (wilayah Paris).  The Existentialism Is a Humanism merangkum filsafat ini dengan baik.

Bagi khalayak banyak dapat diringkas dalam satu kalimat: “eksistensi mendahului esensi”.

Eksistensialisme Sartre dirancang pertama sebagai filsafat kebebasan dan tanggung jawab: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan makhluk yang takdirnya telah ditentukan sebelumnya. Menurut kata kunci hari ini, tentang 'komitmen'.

Camus tentu tidak menolak untuk terlibat, tetapi ia menolak label “eksistensialis” dan bahkan seorang filsuf. Sejak tahun 1947, ketidak sepakatan politik antara Sartre dan Camus memperdalam Camus untuk mencela kubu Stalin, bagian dari "rumah tangga" Sartre yang Komunis.

Pada tahun 1952, Jeanson (teman Sartre) diterbitkan dalam jurnal Sartre, “Modern Times”, sebuah laporan yang sangat kritis terhadap The Rebel. Buku terakhir Camus dianggap reaksioner, dan penuh penilaian yang keliru. Camus, tidak memedulikan Jeanson, merespon langsung ke Sartre. Edisi berikutnya dari “Modern Times” diterbitkan di sebelah surat dar itanggapan keras Camus kepada Sartre:

“Campuran gelap antara rasa puas diri dan kerentanan selalu memperkecil hati untuk mengatakan seluruh kebenaran … Mungkin Anda miskin, tetapi Anda tidak lagi miskin. Anda adalah warga negara dan seperti Jeanson yang seperti saya … moral Anda pertama kali diubah menjadi moralisme, hari ini lebih dari sekadar sastra, besok mungkin menjadi tidak bermoral.”

Camus dan Sartre tidak akan pernah bertemu. Namun, empat tahun kemudian, ketika Tentara Merah menumpas pemberontakan di Budapest, Sartre pada gilirannya (diikuti oleh sejumlah besar intelektual) memutuskan hubungan dengan Partai Komunis. Akan tetapi, perang di Aljazair antara Sartre dengan seorang pendukung kemerdekaan, Camus, yang masih ingin percaya pada jalan penyelesaian yang damai, kembali pecah.

Camus dan Eksistensialisme

Albert Camus (1913—1960), yang dianugerahi Penghargaan Nobel pada tahun 1957, adalah kawan pertama Jean-Paul Sartre yang kemudian menjadi lawannya. Tidak seperti Sartre, yang seorang laki-laki borjuis, Camus adalah laki-laki pinggiran kota yang miskin. Camus merasa mewakili pemikiran Mediterania, dengan kata lain, kemurnian dari (Yunani, Latin, klasik). Kemurnian antara instrumental dalam desain absurd dan manusia absurd adalah segalanya, di atas semua yang memikirkan dengan jernih perihal kehidupan. Sikap “Hellenik” atau “Hellenistik” ini bahkan lebih menonjol meskipun bersentuhan dengan budaya Arab atau Spanyol, tetapi Camus sama sekali tidak dipengaruhi dan terpengaruh Islam (meskipun bersentuhan langsung dengan budaya Arab).

Eksistensialisme Camus adalah eksistensialis yang putus asa, tetapi tanpa nausea dan disgust ala Sartrean. Eksistensialisme Camus adalah peramal putus asa, pendiri kebesaran manusia dan humanisme Camusian.

Manusia absurd adalah pusat pemikiran Camus. Seperti para filsuf eksistensialis lainnya, perasaan absurditas adalah konsekuensi dari sifat dasar keberadaan manusia—tidak terbatas pada wajah absolut yang dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Camus, absurditas tidak terletak pada manusia ataupun alam semesta: ini adalah hasil dari pengamatannya dan realisasi paradoks itu. Beberapa sikap dimungkinkan. Camus menolak sikap eskapis (melarikan diri): bunuh diri, yang ditarik kembali dengan menghapusnya, salah satu istilah dari kontradiksi (penekanan kesadaran). Ia juga menolak doktrin-doktrin bahwa dunia ini terletak di luar dasarnya dan harapan yang akan memberi makna pada kehidupan, keyakinan agama, pemikiran bunuh diri filosofis (Kierkegaard, Jaspers, Shestov).

Manusia absurd adalah seseorang yang menerima tantangan dengan lugas, ini adalah dasar dari pemberontakannya yang membawanya untuk mengambil baik kebebasannya, tetapi juga kontradiksinya sendiri dengan memutuskan untuk hidup dengan hasrat dan hanya dengan apa yang ia ketahui.

Karya Camus:

The Myth of Sisyphus (1942)

The Rebel (1951)

The Stranger (1944)

The Plague (1947)

The Fall (1956)

Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme: 1946

Ketika mempertimbangkan objek yang diproduksi seperti buku atau pemotong kertas, objek ini dibuat oleh seorang pengrajin yang terinspirasi oleh konsep yang diamaksud dengan konsep potong kertas, dan juga teknik bagian pra-produksi dari konsep tersebut, yang pada dasarnya adalahr esep. Jadi, pembuka adalah objek yang bekerja dengan cara tertentu dan, di sisi lain, juga memiliki manfaat yang pasti, dan kita tidak dapat mengasumsikan seorang manusia yang akan menghasilkan pisau kertas tanpa mengetahui apa yang akan melayani tujuannya. Mari kita katakan bahwa untuk pemotong, bensin—yaitu semua resep dan kualitas yang dapat memproduksi dan mendefinisikannya—mendahului eksistensi, dan kehadiran di depan saya, seperti pembuka surat atau buku semacam itu ditentukan. Di sini kita memiliki penglihatan teknis tentang dunia di mana kita dapat mengatakan bahwa tahap-tahap produksi itu mendahului eksistensi.

Eksistensialisme ateistik, yang saya wakili, […] mengatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsep apa pun dan makhluk ini adalah manusia atau, seperti yang dikatakan Heidegger, realitas-manusia1. Apa yang dimaksud di sini bahwa eksistensi mendahului esensi? Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada, terjadi, muncul di dunia, dan itu ditentukan kemudian. Manusia, sebagai mana dikandung oleh eksistensialisme, tidak dapat didefinisikan, adalah bahwa ia bukan yang pertama. Itu akan terjadi, dan itu akan menjadi seperti yang telah terjadi. Jadi, tidak ada kodrat manusia, karena tidak ada sosok Adikodrati yang memikirkannya. Manusia tidak hanya seperti yang berkembang, tetapi seperti yang diinginkannya, dan ketika ia berkembang dari sana, seperti yang ia inginkan setelah momentum keberadaan ini, manusia tidak lain adalah apa adanya. Ini adalah prinsip pertama eksistensialisme.  […]

Maksudnya manusia pertama-tama ada, artinya manusia terutama adalah apa yang dilemparkan ke masa depan, dan apa yang secara sadar melihat ke masa depan. Manusia pada dasarnya adalah sebuah proyek yang dihayati secara subjektif, dari pada buih, pembusukan atau kembang kol, tidak ada yang ada sebelum proyek ini, tidak ada yang di surga yang dapat dipahami2, dan manusia apa yang pertama kali harus diproyeksikan.

 1 – realitas manusia: dalam bahasa Jerman, diterjemahkan Dasein (secara harfiah "berada di sana"), yang berarti cara keberadaan manusia, karena ia masih direncanakan.

 2 - Di surga dapat dipahami: di langit ide, rumah, menurut Plato, esensi dari semua hal.

Jean-Paul Sartre versus Albert Camus

Sartre dan Camus telah menulis karya tanpa pernah mengetahui bahwa karya-karya itu akan membuat mereka terkenal. Sartre menghargai The Stranger, sementara Camus tertarik pada Nausea dan The Wall. Akan tetapi, kita tidak bisa membayangkan pandangan dunia yang lebih berlawanan dari pada Sartre, dibayangi oleh kengerian alam yang mendalam, dan Camus, oleh cinta Mediterania yang terang. Persahabatan sulit bergabung dengan kedua penulis itu setelah Pembebasan Prancis, Camus tidak pernah berhenti untuk menjauhkan vis-à-vis eksistensialisme Sartre. Pecahnya mereka, yang menyebabkan kegemparan besar pada tahun 1952 mungkin menandai perbedaan politik, Sartre mengalami lebih banyak simpati dan Camus tumbuh dan mengalami kengerian dari komunisme Soviet. Namun, ia menghabiskan sebagian besar perceraian antara dua konsepsi kehidupan dan sastra: humanisme, pemberontakan, cinta kebahagiaan, cinta "bentuk yang baik" Camus, komitmen politik, revolusi, obsesi dengan rasa bersalah, jijik dengan "sastra" di Sartre. Jika di luar semua perbedaan ini ada suatu kesatuan tertentu antara karya mereka masing-masing, itu ada di cakrawala tahun yang sama, yang umum bagi mereka dan mereka membantu membentuknya bersama. Dapat dijelaskan bahwa eksistensialis mememiliki sedikit melampaui cakupan sebuah generasi, dan ia tidak memiliki literatur yang subur yang telah menunjukkan dua puluh tahun sebelumnya, surealisme. Mentor pembelajar ini memiliki, tetapi tidak banyak.

*****

Sumber Literatur: Tim, "Sartre vs. Camus: The battle of french philosophers, February 17, 2022, " in Philosophy & Philosophers, February 17, 2022, https://www.the-philosophy.com/sartre-vs-camus.

Sunday, 24 July 2022

Transendensi Ego à la Sartre (Esai Translasi)


Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

The Transendence of the Ego adalah esai filsafat yang diterbitkan oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1936. Di dalamnya, dia mengemukakan pandangannya bahwa the self (diri) atau “ego” bukanlah sesuatu yang seseorang (kita) sadari.

Model kesadaran yang dikemukakan Sartre dalam esai ini dapat diuraikan sebagai berikut. Kesadaran selalu intensional (disengaja); yaitu, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. 'Objek' kesadaran dapat berupa hampir semua jenis hal: objek fisik, proposisi, keadaan, citra atau suasana hati yang diingat—apa pun yang dapat ditangkap oleh kesadaran. Inilah “prinsip intensionalitas” yang menjadi titik pangkal fenomenologi (Edmund) Husserl.

Sartre meradikalisasi prinsip ini dengan menegaskan bahwa kesadaran tidak lain hanyalah intensionalitas (prinsip kunci filsafat Husserl; kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu 'Consciousness on Something', seperti halnya kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi dirinya sendiri). Artinya, kesadaran adalah aktivitas yang murni, dan menyangkal bahwa ada "ego" yang terletak di dalam, di balik atau di bawah kesadaran sebagai sumbernya atau ada kondisi yang diperlukan. Pembenaran klaim ini adalah salah satu tujuan utama Sartre dalam The Transendence of the Ego.

Sartre pertama-tama membedakan antara dua mode kesadaran: kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan. Kesadaran yang tak-terefleksikan hanyalah kesadaran Aku yang biasa tentang hal-hal selain kesadaran itu sendiri: burung, lebah, sepotong musik, makna kalimat, wajah yang teringat, dan lain-lain. Menurut Sartre, kesadaran pada saat yang sama menempatkan dan menggenggam objeknya. Dan dia menggambarkan kesadaran seperti itu sebagai "posisional" dan sebagai "thetic".  Apa yang Sartre maksud dengan istilah-istilah ini tidak sepenuhnya jelas, tetapi dia tampaknya mengacu pada fakta bahwa dalam kesadaran Aku tentang apa pun, ada aktivitas dan kepasifan.

Kesadaran suatu objek adalah posisional karena ia menempatkan objek: yaitu, ia mengarahkan dirinya sendiri ke objek (misalnya apel, atau pohon) dan memerhatikannya. Ini adalah "thetic" dalam kesadaran yang menghadapkan objeknya sebagai sesuatu yang diberikan kepadanya, atau sebagai sesuatu yang telah ditempatkan.

Sartre juga mengklaim bahwa kesadaran, bahkan ketika tidak merefleksikan, minimal selalu sadar akan dirinya sendiri. Mode kesadaran ini dia gambarkan sebagai "non-posisional" dan "non-thetic" yang menunjukkan bahwa dalam mode ini, kesadaran tidak memosisikan dirinya sebagai objek, juga tidak dihadapkan dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, kesadaran diri yang tidak dapat direduksi ini dianggap sebagai kualitas yang tetap dari kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan.

Kesadaran yang terefleksikan adalah kesadaran yang memosisikan dirinya sebagai objeknya. Pada dasarnya, kata Sartre, kesadaran yang terefleksikan dan kesadaran yang merupakan objek refleksi ("kesadaran yang direfleksikan") adalah identik (serupa). Namun demikian, kita dapat membedakanya, setidaknya dalam abstraksi, dan membicarakan tentang dua kesadaran di sini: yang merefleksikan dan yang terefleksikan.

Tujuan utamanya dalam menganalisis kesadaran diri adalah untuk menunjukkan bahwa refleksi diri tidak mendukung tesis bahwa ada ego yang terletak di dalam atau di balik kesadaran. Sartre pertama-tama membedakan dua jenis refleksi: (1) refleksi pada keadaan sebelum kesadaran yang diingat oleh pikiran melalui memori—maka keadaan sebelum kesadaran ini sekarang menjadi objek kesadaran saat ini; dan (2) refleksi di masa yang benar-benar saat ini—di mana kesadaran menguasai dirinya seperti sekarang untuk objeknya. Refleksi retrospektif dari jenis pertama, menurutnya, hanya mengungkapkan kesadaran objek yang tak-terefleksikan bersama dengan kesadaran diri non-posisional yang merupakan fitur kesadaran yang tetap.

Itu tidak mengungkapkan kehadiran "Aku" di dalam kesadaran. Refleksi jenis kedua, yang merupakan jenis yang dilakukan (René) Descartes ketika dia menyatakan "Aku berpikir, maka Aku ada," sepertinya dianggap lebih mungkin untuk mengungkapkan jenis "Aku" ini. Sartre menyangkal hal ini, bagaimanapun, dengan alasan bahwa "Aku" yang biasanya dianggap ditemukan oleh kesadaran di sini, pada kenyataannya, hanyalah produk refleksi. Di pertengahan esainya, dia memberikan penjelasannya tentang bagaimana hal ini terjadi.

Ringkasan Singkat

Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut. Momen-momen terpisah dari kesadaran reflektif disatukan dengan ditafsirkan sebagai pancaran dari keadaan, tindakan, dan karakteristik Aku, yang semuanya melampaui momen refleksi saat ini. Misalnya, kesadaran Aku untuk membenci sesuatu sekarang dan kesadaran Aku untuk membenci hal yang sama pada momen lain disatukan oleh gagasan bahwa "Aku" membenci hal itu—kebencian menjadi keadaan yang bertahan melampaui momen-momen kebencian yang disadari.

Tindakan menampilkan fungsi yang serupa.  Jadi, ketika Descartes menegaskan "Aku sekarang meragukan" kesadarannya tidak terlibat dalam refleksi murni pada dirinya sendiri seperti pada saat ini, momen ini. Dia membiarkan sebuah kesadaran bahwa saat ini keraguan adalah bagian dari tindakan yang dimulai sebelumnya dan akan berlanjut selama beberapa waktu untuk menginformasikan refleksinya. Momen-momen keraguan yang terpisah disatukan oleh tindakan, dan kesatuan ini diekspresikan dalam "Aku" yang dia sertakan dalam pernyataannya.

Maka, "ego", tidak ditemukan dalam refleksi—selain diciptakan oleh dirinya sendiri. Namun, itu bukan abstraksi, atau ide belaka.  Sebaliknya, ini adalah "totalitas konkret" dari kondisi kesadaran reflektif Aku, yang dibentuk olehnya dalam cara seperti melodi yang dibentuk dengan nada-nada terpisah. Kita memang, kata Sartre, menangkap ego "dari sudut mata kita" ketika kita berefleksi;  tetapi jika kita mencoba untuk fokus padanya dan menjadikannya objek kesadaran, itu pasti menghilang, karena itu hanya muncul melalui kesadaran yang merefleksikan dirinya sendiri (bukan pada ego, yang merupakan sesuatu yang lain).

Kesimpulan yang ditarik Sartre dari analisisnya tentang kesadaran adalah bahwa fenomenologi tidak memiliki alasan untuk menempatkan ego di dalam atau di balik kesadaran. Dia mengklaim, lebih lanjut, pandangannya tentang ego sebagai sesuatu yang merefleksikan konstruksi kesadaran, dan yang oleh karena itu harus dianggap hanya sebagai objek kesadaran lain yang, seperti semua objek lainnya, mentransendensikan kesadaran, memiliki keunggulan-keunggulan yang nyata. Secara khusus, ia memberikan sanggahan atas solipsisme (gagasan bahwa dunia tersusun dari Aku dan isi pikiran Aku), membantu kita mengatasi skeptisisme mengenai keberadaan/eksistensi dari pikiran-pikiran orang lain, dan meletakkan dasar bagi filsafat para eksistensialis (baca: eksistensialisme) yang benar-benar melibatkan dunia nyata (manusia) dan benda-benda.

*****

Sumber Literatur:

'A Summary of Sartre's 'The Transcendence of the Ego' – ThoughtCo.

Friday, 15 July 2022

Give Poems A Chance

Deep down in our hearts, not only are we all tired of conflicts and wars, we fear and hate them. From Russia's aggression into Ukraine to Yemen's bloody civil war, from Myanmar coup d'état against the civilian government to the Taliban's takeover of Afghanistan. People around the world need to do something. We need to be echoing peace, but at first, frankly, we need to see and absorb sadness and agony from the war victims, from endlessly conflicts that claim millions of lives, from real suffering that has the same tone—from east to west, south to north.

Such tragedies create a womb for magnum opus literary works—poetry of human suffering, anger, frustration but also hopes. And no doubt, we can interpret peace by poetry, by poems as have been created by young people in the Southeast Asian region.

The ASEAN Institute for Peace and Reconciliation organized last year a poetry competition for ASEAN's young citizens, and asked the region's renowned writers and poets: Okky Madasari (Indonesia), Melizarani T. Selva (Malaysia), and Hariz Fadhilah (Brunei Darussalam), to review and select the best poems.

The Institute then published a book of these best poems on Jan. 13, with Okky Madasari becoming the editor of this 56-page book titled "ASEAN Peace Poems".

Calm before the storm

Yizhi Ria Riangmi (Indonesia)

When peace comes,
you will not find her on the edge of an olive branch,
or a ceasefire;
she will not be in the silence of the Tabernacle
or in the gentle waves lapping against your calves at the beaches;
only remnants of her remain in the temples,
not even on quiet hills overlooking sleeping skyscrapers.

If peace comes,
you will feel her on the brims of tidal waves just as they cascade
across the shore,
after a fire, when the walls are dampened, blackened with
lingering soot, ash thickening the air,
in hospitals, during a doctor's long shift; they always say silent
hallways are a bad omen;
in the thick of a protest, voices reverberating across the streets,
the aftermath of a break-up, when the lovers leave;

When peace comes,
you will not find her serene.
Instead,
she courts chaos
like Saturn yearning for Jupiter's kiss,
long awaiting his passing
for her moment of bliss.

#2

This anthology flows quite smoothly from every poem to another poem, making it difficult to simply stick with just reading a few poems from it and exit. Each poem is like walking together, gathering in the midst of a cold square, and sue things that must be voiced with the pureness sound of children inside their beings. The metaphors are done in vibrant colors. They range from strong-lined imaginary filled with a piece of agony to obscure scenes of a tropic beauty.

The contexture of words that we construct and formulate in such a way, which we call poetry—was an intellectual and creative medium to explore the many forms of duality, for instance, peace and conflict: from simple moments of tranquility, to complex arrangements of harmony; from ordinary restlessness of consciousness, to knotty composition of despondence.

In this collection of close and warm poetry, there is a kind of personal nerve-racking that is nicely conjured by the magic of language—into a collective urgency related to the climate crisis, global peace, unto the future of this world. Turning the pages of this anthology poems is a voyage of sounds, color, odour, and heterogeneous forms of psychological expression through the medium of text.

The Formula of Peace

Dani (Indonesia)

A little girl asked Einstein, "What is the formula of peace?" She
thought it would be the most challenging question and the
most serious scientific problem Einstein had ever encoun-
tered. "The greatest physicist in the world, can we really have
perpetual peace?" She wondered why war happened.
She could not accept, if humans were longing for peace, why
they still committed violence from time to time.
"Is it the universal theorem of physics, the absolute law of
the universe?" She was severely disturbed, why people could
conduct heinous crimes against humanity in the name of
peace. Thus, the little girl asked Einstein again, "What is the
formula of peace?"
"EMC².
Empathy, Mindfulness, Critical Inquiry and Compassion."

#25

Beneath the ASEAN Peace Poems, there is an ancient longing for peace, of home, of past, of present, of future, of nature. There is a kind of utopia that is the antithesis of violence, anger, and war. It is heartwarming when read every poem by using conscience. Like attending a monumental campaign—which invites the reader to linger, consider, to stop talking, and start listening.

With poetry we can muse our reality, devise our existence, and redefine our collective values such as peace. And sorrowful worlds are gasoline for artistic or poetic inspiration. The poets or artists would go into furor poeticus (ecstasy), poetic madness, mystic experience, or divine frenzy—when they are feeling blue.

No Place Like Zamboanga

Earl Carlo Guevarra (Philippines)

I say that there's no place like my hometown
Where the sun sets over the Sulu Sea
Yet I can't go back now to my own town

The crabs and lobsters are fresh in my town There are pink sand
beaches for all to see
I say that there's no place like my hometown

My loved ones all wait for me to come down home and have a
party under the tree
Yet I can't go back now to my own town

These pure islands have palm trees as their crown with fine sand
beaches for all to roam free
I say that there's no place like my hometown
There are rivers and falls just outside town Inside virgin woods
that would make one glee Yet I can't go back now to my own town

Everyone's taking selfies in another town and post on Instagram
of the great sights they see
I say that there's no place like my hometown
Yet I can't go back now to my own town

#14

Lattermost, poetry can't change the world instantly, poetry just slowly changes the way we see the world. Poetry causes us to question our perception, interpretation of everyday reality, and in the end raises global awareness to jointly make the world a million times better place to live in.

As John Lennon screamed to the world to give peace a chance in 1969 as a protest against US involvement in the Vietnam War, now it's time for us to give poems a chance to touch the hearts of the war gods, leaders, and people from all walks of life.

May all beings be happy.

Link to download the book: https://asean-aipr.org/resources/asean-peace-poems/