Saturday, 27 August 2022

Ateisme dan Eksistensialisme (Esai Translasi)

Pandemonium (1841) by Martin
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha


Meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak teolog Kristen dan bahkan beberapa teolog Yahudi telah menggunakan tema-tema eksistensialis dalam tulisan-tulisan mereka, adalah fakta bahwa eksistensialisme jauh lebih mudah dan lebih umum diasosiasikan dengan ateisme—daripada dengan jenis teisme apa pun, entah Kristen atau yang lainnya. Tidak semua ateis adalah eksistensialis, tetapi seorang eksistensialis agaknya punya tendensi untuk menjadi ateis daripada menjadi teis—dan ada alasan bagus untuk ini.


Pernyataan paling definitif tentang eksistensialisme ateistik kiranya berasal dari tokoh paling menonjol dalam eksistensialisme ateistik itu sendiri, Jean-Paul Sartre, dalam kuliahnya yang diterbitkan pada format buku berjudul L'existentialisme est un humanisme/Existentialism Is a Humanism (1946):


“Eksistensialisme ateistik, yang saya representasikan, menyatakan dengan konsistensi yang lebih besar bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada satu makhluk yang keberadaannya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsepsi apa pun. Makhluk itu adalah manusia ...”


Filsafat Eksistensialisme


Ateisme adalah keseluruhan sisi dari filsafat Sartre, dan bahkan, dia berpendapat bahwa ateisme adalah konsekuensi yang diperlukan bagi siapa pun yang mendalami eksistensialisme secara serius. Ini tidak berarti bahwa eksistensialisme menghasilkan argumen-argumen filosofis yang menentang keberadaan tuhan atau menyangkal argumen-argumen teologis dasar tentang keberadaan tuhan—itu bukan jenis hubungan yang dimiliki oleh eksistensialisme dan ateisme.


Sebaliknya, hubungan itu lebih merupakan masalah kesesuaian dalam hal suasana hati dan kecenderungan. Tidak perlu bagi seorang eksistensialis untuk menjadi seorang ateis, tetapi lebih mungkin untuk menciptakan "kecocokan" yang lebih kuat dengan ateisme—ketimbang dengan teisme. Ini karena banyak tema-tema yang paling umum dan fundamental dalam eksistensialisme lebih masuk akal di alam semesta yang tidak memiliki tuhan— ketimbang di alam semesta yang dipimpin oleh tuhan yang mahakuasa, mahatahu, mahahadir, dan mahabaik.


Maka, eksistensialisme ateistik seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre bukanlah posisi yang diperoleh setelah penelusuran filosofis dan refleksi teologis, melainkan diterima sebagai konsekuensi dari mengambil gagasan-gagasan dan sikap-sikap tertentu pada kesimpulan logisnya.


Tema Utama


Yang selalu menjadi tema utama dalam filsafat Sartre adalah "kemenjadian" dan eksistensi manusia: Apa artinya kemenjadian dan apa artinya menjadi manusia? Menurut Sartre, tidak ada sifat mutlak, tetap, abadi—yang sesuai dengan kesadaran manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia dicirikan oleh “ketiadaan”—apa pun yang kita klaim sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah ciptaan kita sendiri, seringkali melalui proses memberontak-melawan batasan-batasan eksternal.


Inilah kondisi kemanusiaan—kebebasan mutlak di dunia. Sartre menggunakan frasa "l'existence précède l'essence/eksistensi mendahului esensi" untuk menjelaskan gagasan ini, kebalikan dari metafisika tradisional dan konsepsi tentang sifat realitas. Kebebasan ini, pada gilirannya, memproduksi kecemasan dan ketakutan karena, tanpa Tuhan, umat manusia dibiarkan sendiri dan tanpa sumber arah atau tanpa tujuan eksternal.


Maka, perspektif eksistensialis “cocok” dengan ateisme karena eksistensialisme menganjurkan pemahaman tentang dunia bahwa tuhan tidak memiliki peran signifikan untuk "dimainkan". Di dunia ini, manusia dilemparkan kembali pada diri mereka sendiri untuk menciptakan makna dan tujuan melalui pilihan-pilihan pribadi mereka—ketimbang menemukannya melalui hubungan erat dengan kekuatan-kekuatan irasional di luar dirinya (tuhan).


Kesimpulan


Namun, ini tidak berarti bahwa eksistensialisme dan teisme atau eksistensialisme dan agama sama sekali tidak sejalan. Terlepas dari filsafatnya, Sartre selalu mengklaim bahwa keyakinan agama tetap bersamanya—mungkin bukan sebagai ide intelektual—melainkan sebagai komitmen emosional. Dia menggunakan bahasa-bahasa (bercorak) agama dan citraan-citraan agama di seluruh tulisannya dan cenderung memandang agama secara positif, meskipun dia tidak percaya adanya tuhan dan menolak kebutuhan akan tuhan sebagai dasar keberadaan manusia.


*****


Sumber Literatur


Existentialist Philosophy and Atheistic Thought (Not all atheists are existentialists, but an existentialist is probably more likely to be atheistic than theistic—and there are good reasons for this) – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/atheism-and-existentialism-250975