Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata setelah 'Hidup' ...
Bogor, 14 Agustus 2022
“... & when i wake up tomorrow,
will i see another dawn?
as the days turns so hollow,
will i stare across my lawn
to find you whisper stranger things
my love?
i can't explain at all,
i crave to hear the fiction
when you call ...”
selamat pagi, Bila. selamat siang, Bila. selamat sore, Bila. selamat malam, Bila. selamat, Bila, kau telah bertransformasi—menjelma kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata bilangan, kata sambung, kata depan, kata sandang, & kata seru—bagi kata-kataku, bagi puisi-puisiku, bagiku.
tapi, pertama-tama, aku ingin menukil-menyentil katanya Baudelaire (iya, penyair Prancis yang grandeur itu; yang disebut-sebut sebagai “penyair abad kesembilan belas terbesar” oleh Proust dalam esainya di tahun 1922) yang kukira cukup menarik sekaligus asik untuk kita renungi terlebih dahulu: setiap orang haruslah menjadi pemabuk, entah dengan wine, dengan puisi, dengan kebajikan seperti yang mereka inginkan. mabuklah! teruslah mabuk! sudah waktunya untuk mabuk! agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk!
di tengah-tengah teks-teksku yang cenderung gelap & hampir selalu membuatmu terengah-engah ketika membacanya, aku ingin terang-terangan: bahwa tubuh waktu sudah membusuk, pikiran-perasaanku sudah mabuk (bahkan terlampau mabuk), & terbila-bila bilamana keimpulsifanku yang naif secara tak sporadis mencoba mengeja namamu dengan liris, Bila.
bila-bila nanti aku tak lagi terbila-bila bila sedang mengingat-meracauimu, Bila, maka bila mungkin—kau mesti memahaminya. bilamasa itu telah tiba, bila perlu kau jangan sedih bila saja aku dimabuk 2 botol anggur merah dengan es batu—ditambah segunung putus asa—dikali nostalgia (yang sejatinya lebih tepat disebut sebagai saudade) terhadap perasaan hiper-bucin yang sebelumnya tak pernah kualami seumur hidupku selaku seorang manusia. sebab ...
“bila bom khawatir diledakkan
akan tumbuh surat-surat genrifinaldy.”
katamu, Bila, kau sudah lama tak mengarang karya sastra & hal-hal terkait keperempuanan. katamu, Bila, waktu tak mengizinkanmu membaca buku-buku teori atau sekadar buku-buku fiksi—sebab seluruh waktumu telah kaugunakan untuk menghadapi realitas yang semakin hari kian gila & tak danta. sejujurnya, hatiku retak ketika mengetahui: kau tak memiliki sedetik pun waktu untuk menyelesaikan skripsimu.
Bila, waktu memanglah babi hutan, tetapi apa/bagaimana/siapa yang mampu lepas dari waktu & lari dari kenyataan bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan? maaf bila aku kesurupan Aristoteles di waktu yang tepat sasaran. “waktu adalah ... proyektil peluru yang melesat dari masalalu, melewati masakini, menuju masadepan, & membunuh setiap kemungkinan-kesempatan yang sudah tertutup-terlewatkan.”
kutipan di atas adalah konsep Waktu Linier menurut para intelektual Barat campur secuil kebangsatan Nihilisme yang pahit & menggigil dalam rongga dadaku.
o Bila, bila tak ada ide-ide pandir seperti cinta platonik bla-bla-bla (yang pada akhirnya memicu momen puitik di setiap lamunanku) yang lahir dari kekeliruan kalkulasi interaksi antar neuron di dalam kepalaku—yang dikomunikasikan secara ritmis melalui satuan bahasa di mulutku kepadamu ... kurasa semuanya tak akan serumit ini.
bila aku tak lagi menulis surat untukmu, Bila, semoga kita bukanlah orang yang salah di waktu yang salah.
Sincerely,
Mas Aldy