Thursday, 25 August 2022

Yang Mungkin Kukarang secara Ringkas sebelum Benar-benar Pulang dari Galnas

dokumentasi pribadi

aku menulis memoar kecil ini di sebuah taman besar—masih dalam area Galeri Nasional. sekarang pukul 15:33 WIB. & aku baru saja selesai mengikuti pameran tetap; melihat-lihat koleksi seni rupa negara ini—yang menurutku begitu ... adiluhung. selain karena karya-karya seni memanglah miniatur museum—yang hidup & menyimpan sepotong riwayat hidup, sepotong sejarah, sepotong ruang & sepotong waktu. seperti membius kedua bola mataku (& kacamataku)—kemudian mengambil alih kesadaranku untuk berkata dalam hati: betapa jenius, imajinatif, & kreatifnya para seniman bangsa ini. terdengar agak hiperbolis, tetapi begitulah yang kurasakan.

***

beberapa orang yang melihatku—mungkin akan berasumsi, bahwa aku keluar dari galeri seperti orang tolol yang mabuk darat di tanah orang lain; tanah yang orang-orangnya selalu terlihat terburu-buru (di sini, di Jakarta, aku percaya dengan kredo dari penyembah Konsep Waktu Linier: bahwa waktu adalah uang) ketimbang seseorang yang baru saja terhipnotis oleh daya magis sebuah lukisan. sekali lagi, aku tak berupaya meromantisasi. tak sama sekali. malah, aku mendapat semacam pengalaman artistik yang agak pelik (atau bahkan mustahil) untuk kubahasakan.

***

sedikit bercerita, 3 hari sebelum aku berkunjung ke Galeri Nasional, kawanku yang perlente, berkata bahwa aku ini dilettante—ada 2 lema makna dilettante jika mengutip dari Merriam-Webster (iya, perusahaan dari Paman Sam yang menerbitkan buku referensi, khususnya kamus, yang sudah berdiri semenjak tahun 1831 itu): pertama, seseorang yang memiliki minat dangkal dalam seni atau cabang pengetahuan lain; kedua, seorang pengagum atau pecinta seni. 

aku mencoba untuk berbaik sangka pada kawanku itu—ia merujuk pada lema makna yang kedua. tapi aku tak bisa menghentikan kecurigaanku bahwa kawanku itu memiliki postulat (yang kupikir cenderung gegabah): bahwa mulutku sebesar paus sperma dengan otak sebesar makanan paus sperma (zooplankton, biota mikro yang kira-kira hanya berukuran 0,2-2mm).

sependek pengetahuanku, aku ini memang tak terlalu bakat menggambar-melukis (membuat gambar-gambar kolase à la surealisme & dadaisme menggunakan software editing masih bisa, sedikit). kecerdasan visual-spasialku (& mungkin juga kecerdasan musikalku) hanya sebesar planet biru pucat bernama bumi di mata lensa pesawat luar angkasa Voyager 1 dari jarak 8 triliun kilometer (sekitar 0,8456006672196924 tahun cahaya).

9 jenis kecerdasan buatan Gardner, psikolog & profesor di Harvard University itu, hampir semuanya kuhabiskan untuk kecerdasan eksistensial (baca: kecerdasan untuk melamun dengan serius)—yang pada akhirnya membuatku memutilasi-merekonstruksi sebab di dalam setiap tindakanku, misalnya, mengapa pula aku memikirkan bacot kawanku yang bahkan dengan bahasa tubuh bangga campur segunung rasa percaya diri berkata: lukisan fresko "The Creation of Adam" yang merupakan bagian dari langit-langit Kapel Sistina, yang dilukis sekitar tahun 1508–1512, yang dianggap sebagai ekspresi klasik seni Renaisans & salah satu lukisan Renaisans terbaik pada abad ke-15 & ke-16—itu karya da Vinci, bukan Michaelangelo.

***

sejujurnya, aku ingin mencoba memetakan makna dari lukisan sureal Ivan Sagita berjudul "Meraba Diri"—berukuran 90 cm x 72 cm—dengan cat minyak di atas kanvas—yang dilukis pada tahun 1988 ... yang kalau boleh sok tahu, lukisan ini kupikir bertema pencarian jati diri, keperempuanan, & suwung (kekosongan) yang menggunakan simbol-simbol sosiokultural Jawa—3 figur perempuan yang sejajar tersebut adalah tanda dari proses transfigurasi (tangan, aku interpretasi sebagai upaya pengidentifikasian diri): pertama, yang di kiri, adalah penanda dari diri yang belum/tak-diidentifikasi; kedua, yang di kanan, adalah penanda dari diri yang mulai mengindentifikasi; ketiga, yang di tengah, adalah penanda dari diri yang telah diidentifikasi (sebagai perempuan Jawa, dicirikan dengan atribut sanggul).

pertanyaannya adalah, mengapa diri yang telah diidentifikasi berada di tengah? apakah itu berarti bahwa puncak tertinggi dari kesejatian diri adalah kemoderatan? atau mengapa diri yang belum/tak-diidentifikasi cenderung menggunakan komposisi warna yang lebih cerah? apakah hal-hal menyangkut identitas kebudayaan mempu menggelapkan/menyuramkan diri & membikin kita semakin jauh dari suwung? & yang lebih umum, apakah kesadaran tertinggi adalah ketika kita mampu secara filosofis melepaskan atribut-atribut kultural yang berpangkal dari letak geografis?

selain itu, aku ingin sedikit sok tahu fafifu tentang lukisan abstrak Abas Alibasyah yang berjudul "Garuda"—berukuran 100 cm x 66 cm—dengan cat minyak pada kanvas—dilukis pada tahun 1969; ada semacam ingatan kolektif yang mencoba mengetuk-ngetuk persepsiku: bahwa modernisasi merupakan jiwa zaman pada akhir 1960 sampai awal tahun 1970—sehingga mendorong perubahan bentuk menjadi lebih abstrak (yang kalau boleh jujur, lukisan itu lebih terlihat seperti sesosok manusia yang berdiri ketimbang makhluk mitologis semacam Garuda). di samping fakta bahwa Orde Baru melahirkan semacam estetika yang memuja segala hal yang serba samar—& ambigu dalam perkara politik. entah atas alasan keamanan, maupun karena selera visual yang memang selalu bertransformasi—dari waktu ke waktu.

***

Seni dan Politik memang tak dapat dipisahkan. karya seni sejak zaman kuda makan besi (baca: dari zaman dahulu) sudah sangat lama menjadi medium kritik sosial. terkadang membuat kita seperti terkena efek mandela. terkadang pula, menjadi efek kupu-kupu bagi mereka yang ingin menghayati mitos-mitos di dalamnya. & sering kali, aku dibuat sangat penasaran—misalnya, tentang bagaimana unsur-unsur surealitas & hal-hal abstrak bekerja di dalam kepala seorang seniman? atau jika karya seni bukan merupakan produk pikiran (melainkan produk perasaan); aku tetap penasaran. 

rasa penasaran semacam itu, pada gilirannya, membuatku takut untuk mati muda. yang kutakutkan dari mati muda—bukan tak akan pernah merasakan bagaimana rasanya berkeluarga, menjadi bapak, membesarkan seorang anak, & segala macam tetek bengek domestik rumah tangga—aku takut jika dikubur di dalam tanah sedalam 6 kaki dengan miliaran pertanyaan; yang masih tersisa di dalam batok kepalaku.

aku masih sulit untuk berkompromi dengan hal-hal seperti itu. bentuk kompromi yang sama seperti ketika aku menemukan wajah kebingungan yang sama—di antara teman-temanku di kelas ketika bersekolah dulu, ketika seorang guru Seni Budaya dengan caranya yang hambar, menerangkan hal-ihwal berwarna seni dengan cara yang sama sekali tak artsy (alias membosankan): seni yang hanya berkutat pada bagaimana melestarikan budaya & tradisi—tanpa pernah mengedukasi-membagi-perspektif tentang, misalnya, betapa pentingnya dekonstruksi, hal-hal yang berkelindan dengan seni, segala sesuatu tak bisa dilepaskan dari segala bentuk seni, atau tentang petuah kuno berbau seni dari bahasa Latin ... Ars Longa, Vita Brevis; hidup itu singkat, seni itu panjang (abadi).

oleh karenanya, 12 tahun aku belajar sesuatu bernama seni di sekolah—hasilnya adalah aku tak tertarik sama sekali terhadap dunia kesenian—setidaknya sebelum aku bersentuhan cukup intens dengannya ketika keadaan mengharuskanku menyelaminya.

***

aku juga muak dengan anggapan masyarakat yang ortodoks: bahwa semakin lukisan-lukisan bercorak realis atau mendekati objek aslinya—lukisan itu semakin bernilai seni. tapi aku juga tak mengerti, mengapa para pelukis yang buta warna—kini dianggap unik di sekolah-sekolah seni. terkadang, aku berpikir bahwa komposisi karya seni hanyalah rasa gabut seniman campur absurditas dunia. tapi tak sesederhana itu juga, kupikir.

maksudku begini, (mungkin) karya seni adalah hasil dari mekanisme kompleks alam bawah sadar—semacam buah yang bersumber dari seniman itu sendiri. maka tak heran, lukisan yang terkesan serampangan justru berasal dari sistem semiotik (& sistem kognitif) yang kompleks dari pembuatnya. masalahnya adalah aku tak kuliah seni, & seni bukanlah ilmu eksakta—jadi yang kulakukan sebenarnya hanyalah hipotesa yang lahir dari praduga-praduga (yang pada titik tertentu, sebenarnya tak perlu & tak penting untuk ditekskan).

ah gawat. aku semakin melantur tak karuan. tapi bukankah hidup yang asik—dimulai dari memproduksi serangkaian eksperimen-eksperimen kecil untuk menafsir kemungkinan-kemungkinan baru? bukankah menghancurkan kebekuan-kebekuan adalah sama dengan memberontak pada keabsurdan & kefanaan dunia bajingan ini? bukankah kesenian (& kesusastraan) tak akan pernah ada tanpa yang absurd & yang sementara?

sebelum aku ketinggalan kereta, & tulisan ini tak jelas arahnya—alangkah baiknya sekarang aku meluncur menuju Stasiun Gondangdia—lantas menutup tulisan ini dengan kutipan Pak Tua dari Danzig (yang menginspirasi Nietzsche) & kutipanku yang suka bermain di wilayah interteks Nietzche:

"treat a work of art like a prince: let it speak to you first."
—Schopenhauer

"bagi kehidupan yang absurd & sementara, kenormalan adalah bencana—tanpa seni, hidup adalah kiamat yang paling kubra."
—Genrifinaldy

Jakarta, 2 Januari 2022.