Author: Stephen Hawking
Title: A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes
Format: 213 pages, Paperback
ISBN: 9780553380163 (ISBN10: 0553380168)
Published: September 1, 1998 by Bantam Books
Language: English
"What is the nature of time? Will it ever come to an end? Can we go back in time? Some day these answers may seem as obvious to us as the Earth orbiting the sun, or perhaps as ridiculous as a tower of tortoises. Only time, that's what we say." —The Theory of Everything (2014)
Mula-mula, saya ingin memberi semacam mukadimah & membangun jukstaposisi sependek pengetahuan saya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa saya sama sekali tak bermaksud untuk menciptakan dikotomi yang tak perlu agar pembahasan ini terkesan seperti suatu bahasan yang teatrikal & enigmatik pada saat yang sama (atau malah menjadi omong kosong yang membingungkan). Faktanya, diskursus tentang 'Waktu' adalah Perang Dingin (atau jika menggunakan istilah yang lebih kolosal; adalah Perang Kurukshetra). Antara konsep Waktu Linier yang digaungkan oleh Agama-agama Samawi/Abrahamik & sebagian besar Intelektual Barat versus konsep Waktu Sirkuler yang diserukan oleh Agama-agama Ardhi & mayoritas Intelektual Timur.
Pada praktiknya, Agama-agama Samawi/Abrahamik (yang berwarna akhirat-sentris) memiliki kecondongan untuk memberi kita pandangan linier tentang peristiwa & waktu yang melingkupinya—bahwa waktu tidak pernah datang dua kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Sebaliknya, Agama-agama Ardhi memberi kita pandangan yang bersebrangan—bahwa waktu datang berulang kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak akan habis.
Secara singkat, Waktu Linier: gagasan bahwa waktu adalah anak panah yang melesat dari masa lalu, melewati masa kini, & menuju masa depan. Dengan kata lain, hidup hanyalah sekali—& tentu mengandung corak pemikiran yang cenderung menegasikan kemungkinan adanya Reinkarnasi (kelahiran kembali). Sedangkan Waktu Sirkuler: anggapan bahwa waktu adalah roda yang berputar, atau bandul yang bergerak ritmis, konstan, & pasti, dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Sehingga, setiap objek & peristiwa niscaya kembali ke posisi asalnya.
Di Yunani kuno, Kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi, yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di konsep Kalachakra (roda waktu) pada teks-teks Buddhis & dalam genealogi Buddhisme di India & di Tibet (baik secara gamblang maupun samar).
Dalam tradisi pemikiran di Nusantara, khususnya masyarakat Jawa, kita akan menemukan konsep
Cakra Manggilingan yang hampir identik dengan Kalachakra, tetapi lebih komprehensif & ekstensif membahas waktu dalam konteks siklus hidup manusia. Dalam bahasa Sanskerta, Cakra bisa diartikan sebagai roda/cakram—sedangkan Manggilingan dalam bahasa Jawa mengandung makna "yang berputar"—sehingga interpretasi filosofisnya adalah bahwa kehidupan laksana roda yang kadang di atas, kadang di bawah, kadang di kiri, kadang di kanan ... hidup kadang bahagia, kadang sengsara, & seterusnya, & seterusnya.
Di Mesir kuno, kita akan menemukan simbol-simbol arkaik yang mengindikasikan konsep Waktu Sirkuler. Adalah Ouroboros/Uroboros, seekor ular (atau mungkin lebih tepatnya naga) yang sedang memakan ekornya sendiri sebagai simbol perulangan waktu (& keabadian). Ouroboros/Uroboros memasuki sendi-sendi tradisi pemikiran Barat melalui ikonografi Mesir kuno & tradisi magis Yunani—juga diadopsi sebagai simbol dalam Gnostisisme & Hermetisisme—terutama dalam ilmu alkimia oleh para alkemis. Kemudian, pasca berkembangnya agama Kristen, di Barat, gagasan Waktu Sirkuler tak lagi populer.
Review Bukunya
Jika rahasia & teka-teki kosmos adalah sebotol minuman bersoda, maka buku ini adalah pembuka tutup botol berbentuk hukum-hukum sains yang mengatur jagat raya. Agar kita tak terjebak dalam glorifikasi sains yang bermajas hiperbola, saya pikir kita tetap harus setuju dengan Hawking bahwa Tuhan tak hanya bermain dadu, tetapi dia melempar dadu itu ke tempat yang tak dapat kita temukan. A Brief History of Time, ditulis dalam bahasa yang saya kira cukup cair & lumayan ramah di kepala, sebab sudah di-downgrade sedemikian rupa (tetapi tetap dengan pertimbangan intelektual, tentunya) dengan harapan tak mereduksi makna aslinya sekaligus mudah dibaca-dipahami-dicerna seseorang yang bahkan tak selalu berpikir secara ilmiah & jarang bersinggungan dengan bahasa-bahasa fisika (kira-kira begitu ... kata sales marketing buku ini, yang kalau boleh jujur, saya sama sekali tak setuju di bagian mudah dibaca-dipahami-dicerna).
Di dalamnya pembaca akan menemukan siluet-siluet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perennial (yang tak pernah selesai dibahas), misalnya tentang bagaimana awal mula alam semesta atau seperti apa bentuknya di masa depan. Di dalamnya pembaca akan menemukan pertanyaan-jawaban berbau kosmologi (saya tertawa ketika menggunakan diksi 'kosmologi', sebab di salah satu adegan film berjudul "The Theory of Everything" yang mengudara pada tahun 2014—Hawking berkata bahwa kosmologi adalah semacam agama untuk seorang ateis yang cerdas) misalnya tentang ...
Newton, Einstein, & para fisikawan gigan lain yang merevolusi cara kita berpikir tentang bagaimana objek bergerak; di era posmodern yang serba-relatif—kecepatan cahaya tetaplah fix & konstan—sehingga kita tak selalu dapat mengukur kecepatan sesuatu itu relatif terhadap sesuatu yang lain; teori relativitas menyatakan bahwa waktu itu tak tetap; sebuah bintang bermassa berat yang mati akan menjadi singularitas yang disebut lubang hitam; lubang hitam tak sehitam itu; lubang hitam menyedot (hampir) segalanya; ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa waktu hanya dapat bergerak maju (senada dengan konsep Waktu Linier); meskipun para ilmuan sepakat bahwa "awal mula" dimulai dengan ledakan besar, mereka tak tahu secara pasti bagaimana tepatnya itu terjadi; fisikawan belum mampu menyatukan relativitas umum & mekanika kuantum.
Saya membaca "A Brief History of Time" karya Stephen Hawking ini dalam versi e-book menggunakan perangkat Kindle Basic 10th Gen—sewaktu di dalam rangkaian KRL dari Stasiun Jurang Mangu—transit, Stasiun Tanah Abang—transit, Stasiun Manggarai—sampai Stasiun Bogor. Selain karena saya memang mengidap mabuk perjalanan, & mesti berdiri selama lebih dari 2 jam lamanya—RAM otak saya ini tergolong rendah & terlalu payah untuk mencerna buku-buku sains yang berat—sehingga, yang terjadi setelahnya adalah adegan muntah-mengeluarkan roti kasur & susu UHT (yang saya konsumsi pada pagi hari sebelum berangkat) di kamar mandi umum Stasiun Bogor.
Meski percaya bukanlah satuan fisika, pereviu percaya bahwa ada sekitar 3 hal yang bisa diutarakan setelah membaca A Brief History of Time: Pertama, pembaca setidaknya dapat menyadari betapa dirinya hanyalah debu kosmik di kosmos yang mahabongsor, mahaluas, mahaabsurd, mahamisteri, mahamembingungkan, & mahahaha; kedua, buku ini punya tendensi membuat pembaca melamun dengan lebih nikmat, lebih asoy, lebih tumaninah; ketiga, pembaca tak akan pernah melihat langit dengan cara yang sama lagi—jika kesadarannya menyadari bahwa ada sekitar 100 miliar hingga 200 miliar galaksi—dengan lebih dari 3 triliun planet di setiap galaksi—yang berputar-berotasi-berevolusi di tengah semesta aneh yang secara konstan terus mengembang ini.
Pada akhirnya, membaca buku ini mengingatkan saya pada ungkapan monumental, nothing really matters, dari Freddie (iya, Freddie Mercury—yang juga mengutip nama martir ilmu pengetahuan bernama Galileo; yang dihukum mati oleh gereja, yang pada saat itu lebih memilih untuk percaya bahwa bumi adalah datar) di lagu Bohemian Rhapsody. Dengan kata lain, A Brief History of Time, cenderung membuat saya berpikir bahwa buku ini dengan brutal seperti ingin menegaskan ulang eksistensi saya yang besar kemungkinan memanglah tak memiliki makna, alias tak berguna. Pada gilirannya, pada titik tertentu, saya kira buku ini juga membuat seulas senyum meraksasa di wajah Schopenhauer yang sepertinya sepanjang waktunya tak bosan-bosan untuk berkata bahwa hidup ini meaningless.
Jadi, yang benar itu Waktu Linier atau Waktu Sirkuler? entahlah ... hanya tukang jam tangan yang suka ngaret yang tahu.
Semoga semua keberadaan lekas berbahagia, sebelum sekitar 7 miliar hingga 8 miliar tahun lagi matahari yang kita ketahui bersama itu akan mengeluarkan serangkaian suara letupan-letusan yang tak teratur sekaligus tak menentu—& mati—lantas menjadi lubang hitam yang baru.
"It is clear that we are just an advanced breed of primates on a minor planet orbiting around a very average star, in the outer suburb of one among a hundred billion galaxies. BUT, ever since the dawn of civilization people have craved for an understanding of the underlying order of the world. There ought to be something very special about the boundary conditions of the universe. And what can be more special than that there is no boundary? And there should be no boundary to human endeavor. We are all different. However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there is life, there is hope." —The Theory of Everything (2014)