kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
Godardisme: Membangun Filosofi dalam “Vivre sa vie” (Esai Translasi)
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
“Tuhan telah mati!”
Dalam bahasa Jerman, Gott ist tot! adalah ungkapan yang paling lekat dikaitkan kepada Nietzsche. Namun ada ironi di sini karena Nietzsche bukanlah orang pertama yang mengemukakannya. Penulis Jerman, Heinrich Heine (yang Nietzsche kagumi), mengatakannya lebih dulu. Tapi Nietzsche sebagai seorang filsuf memiliki misi pribadi untuk menanggapi pergeseran budaya yang dramatis dengan ungkapan “Tuhan telah mati”.
Ungkapan tersebut pertama kali muncul di awal Book Three dari The Gay Science (1882). Kemudian ungkapan itu menjadi ide sentral dalam aforisme masyhur (125) berjudul Orang Gila, yang dimulai dengan:
“Pernahkah kau mendengar tentang orang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, yang berlari ke pasar, dan menangis tanpa henti: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”—Karena banyak dari mereka yang tak percaya pada Tuhan berdiri di sekitarnya saat itu, dia memancing banyak tawa. Apakah dia tersesat? Tanya seseorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lain. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut kepada kita? Apakah dia sudah melakukan perjalanan? Mengungsi ke negeri lain?—Sehingga mereka berteriak-teriak dan tertawa.
Orang gila itu melompat ke tengah-tengah mereka dan menusuk mereka dengan matanya. “Di mana Tuhan?” dia menangis; “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuhnya—kau dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Tapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita bisa meminum lautan? Siapa yang memberi kita lap serap untuk menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan rantai bumi dari mataharinya? Ke mana ia bergerak sekarang? Ke mana kita bergerak? Jauh dari seluruh matahari? Bukankah kita terus-menerus menyelam? Mundur, ke samping, ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada yang naik? Atau turun? Apakah kita tak tersesat, seperti melalui ketiadaan yang tak terbatas? Apakah kita tak merasakan napas dari ruang hampa? Bukankah semakin dingin? Bukankah malam terus-menerus mendekati kita? Apakah kita tak perlu menyalakan lentera di pagi hari? Apakah kita belum mendengar suara penggali kubur yang mengubur Tuhan? Apakah kita belum mencium bau busuk ilahi? Dewa-dewi juga membusuk. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.”
“Tak pernah ada tindakan yang lebih besar; dan siapa pun yang lahir setelah kita—demi tindakan ini, ia akan menjadi bagian dari sejarah yang lebih tinggi dari semua sejarah sampai saat ini.” Ditemui oleh ketidakpahaman, ia menyimpulkan:
“Aku datang terlalu dini … Peristiwa luar biasa ini masih dalam perjalanan, masih berkeliaran; itu belum sampai ke telinga seorang manusia. Petir dan guntur membutuhkan waktu; cahaya bintang membutuhkan waktu; tindakan-tindakan, meskipun dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka ketimbang bintang yang paling jauh—namun mereka telah melakukannya sendiri.”
Hal pertama yang cukup jelas dan menjadi poin adalah bahwa pernyataan “Tuhan telah mati” adalah paradoks. Tuhan, secara definitif, itu abadi dan mahakuasa. Dia bukanlah entitas yang bisa mati. Jadi apa maksud dari ungkapan bahwa Tuhan telah “mati”? Gagasannya beroperasi pada beberapa tingkatan.
Maksud yang paling jelas dan penting hanyalah ini: Dalam peradaban Barat, agama pada umumnya, dan Kekristenan, khususnya, berada dalam kemerosotan yang tidak dapat diubah. Ia kehilangan atau telah kehilangan tempat sentral yang telah dipegangnya selama dua ribu tahun terakhir. Ini berlaku di setiap bidang: dalam politik, filsafat, sains, sastra, seni, musik, pendidikan, kehidupan sosial sehari-hari, dan dalam kehidupan spiritual dari batin setiap individu.
Seseorang mungkin keberatan: namun, tentu saja, masih ada jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Barat, yang masih sangat religius. Ini tidak diragukan lagi benar, tetapi Nietzsche tidak menyangkalnya. Dia menunjuk ke tren yang sedang berlangsung yang, seperti yang dia tunjukkan, kebanyakan orang belum sepenuhnya memahami. Tapi trennya tetap tidak terbantahkan.
Di masa lalu, agama sangat penting dalam budaya kita. Musik terhebat, seperti Bach – Mass In B Minor, bersifat religius dalam segi inspirasi. Karya seni terbesar dari Renaissance, seperti The Last Supper karya Leonardo da Vinci, secara khusus bertema keagamaan. Ilmuwan seperti Copernicus, Descartes, dan Newton, adalah orang-orang yang sangat religius. Gagasan ketuhanan memainkan peran kunci dalam pemikiran para filsuf seperti Aquinas, Descartes, Berkeley, dan Leibniz. Seluruh sistem pendidikan diatur oleh gereja. Sebagian besar orang dibaptis, menikah dan dimakamkan oleh gereja, dan menghadiri gereja secara teratur sepanjang hidup mereka.
Tidak satu pun dari hal-hal di atas benar lagi adanya. Kehadiran di gereja di sebagian besar negara Barat telah jatuh ke dalam jumlah yang sedikit, sekitar sembilan orang bahkan kurang. Sekarang banyak individu lebih menyukai upacara yang sekuler, yang tidak bersifat keagamaan saat perayaan kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dan di antara para intelektual—ilmuwan, filsuf, penulis, dan seniman—kepercayaan agama hampir tidak berperan dalam pekerjaan dan karya-karya mereka.
Jadi ini adalah alasan pertama dan paling mendasar di mana Nietzsche berpikir bahwa Tuhan telah mati. Budaya kita menjadi semakin sekuler. Alasannya tidak sulit untuk dipahami. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Era Pencerahan di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi. Dikombinasikan dengan industrialisasi pada abad ke-19, kekuatan teknologi yang berkembang pesat yang dilepaskan oleh ilmu pengetahuan, juga memberi orang-orang semacam rasa kontrol yang lebih besar atas alam. Merasa tidak berdaya melawan kekuatan irasional juga memainkan perannya dalam mengikis keyakinan beragama.
Seperti yang dijelaskan Nietzsche di bagian lain The Gay Science, klaimnya bahwa Tuhan telah mati bukan hanya klaim tentang kepercayaan agama. Dalam pandangannya, banyak dari pola pikir kita yang secara standar membawa unsur-unsur agama yang tidak kita sadari. Misalnya, sangat mudah untuk berbicara tentang alam seolah-olah alam mengandung makna dan tujuan. Atau jika kita berkata alam semesta seperti sebuah mesin yang hebat, metafora ini membawa implikasi yang halus bahwa mesin itu dirancang oleh seseorang. Mungkin yang paling mendasar dari semuanya adalah asumsi kita bahwa ada yang namanya kebenaran objektif. Yang kita maksud dengan ini adalah sesuatu seperti cara dunia akan digambarkan dari “sudut pandang mata tuhan”—sudut pandang yang tidak hanya di antara banyak perspektif, tetapi adalah Satu Perspektif Sejati yang tunggal. Bagi Nietzsche, semua ilmu pengetahuan harus berangkat dari perspektif yang terbatas.
Selama ribuan tahun, gagasan tentang Tuhan (atau para dewa-dewi) telah menjadi jangkar bagi pemikiran kita terhadap dunia. Ini sangat penting sebagai landasan moralitas. Prinsip-prinsip moral yang kita ikuti (Jangan membunuh. Jangan mencuri. Membantu mereka yang membutuhkan, dll.) mengandung otoritas agama di belakangnya. Dan agama memberikan motif untuk mematuhi aturan-aturan ini, karena agama memberi tahu kita bahwa kebajikan akan dihargai dan yang sebaliknya akan dihukum. Apa yang terjadi jika permadani ini ditarik?
Nietzsche tampaknya berpikir bahwa respons pertama adalah kebingungan dan kepanikan. Seluruh bagian Orang Gila yang dikutip di atas penuh dengan pertanyaan menakutkan. Turun ke dalam kekacauan dipandang sebagai salah satu kemungkinan. Tapi Nietzsche melihat kematian Tuhan sebagai bahaya besar dan peluang besar. Ini memberi kita kesempatan untuk membangun “tabel nilai” yang baru, yang akan mengungkapkan cinta yang baru ditemukan dari dunia ini dan kehidupan ini. Karena salah satu keberatan utama Nietzsche terhadap Kekristenan adalah bahwa dengan memikirkan kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan setelah kematian, sehingga pada akhirnya keagamaan merendahkan nilai kehidupan itu sendiri.
Maka, setelah kecemasan besar yang diungkapkan dalam Book III, Book IV dari The Gay Science adalah ekspresi mulia dari pandangan yang mengafirmasi kehidupan.
Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.
Aku sendirian di pekuburan yang menghadap ke desa ketika seorang wanita hamil datang ke sini. Aku segera pergi, supaya tidak melihat pembawa mayat wanita ini dari jarak dekat, atau untuk merenungkan kontras antara rahim yang agresif dan pusara yang usang—antara janji-janji ilusif dan akhir dari semua omong kosong ini. (Cioran, 1998)
Jika benar bahwa dengan kematian kita sekali lagi menjadi seperti sebelumnya, bukankah lebih baik untuk mematuhi kemungkinan murni itu, tidak bergerak darinya? Apa gunanya jalan memutar ini, ketika kita mungkin tetap selamanya dalam keterpenuhan yang tidak disadari? (Cioran, 1998)
Kita tidak terburu-buru menuju kematian, kita melarikan diri dari malapetaka kelahiran, para penyintas berjuang untuk melupakannya. Ketakutan akan kematian hanyalah proyeksi ke masa depan dari ketakutan yang berasal dari momen pertama kehidupan kita. Tentu saja, kita enggan menganggap kelahiran sebagai momok: bukankah hal itu telah ditanamkan dalam diri kita sebagai kebaikan yang berkuasa—tidakkah kita diberitahu bahwa yang terburuk datang terakhir, bukan pada awal kehidupan kita? Namun kejahatan, kejahatan yang sebenarnya, ada di belakang, bukan di depan kita. Apa yang luput dari Yesus tidak luput dari Buddha: “Jika tiga hal tidak ada di dunia, o para murid, Yang Sempurna tidak akan hadir di dunia ...” Dan di hadapan usia tua dan kematian, Sang Buddha menempatkan fakta kelahiran, sumber dari setiap kelemahan, setiap bencana. (Cioran, 1998).
Bogor, 13 September 2022
“... sing me something soft
sad & delicate
or loud & out of key
sing me anything
we're glad for what we've got
done with what we've lost
our whole lives laid out
right in front of us
sing like you think no one's listening
you would kill for this
just a little bit
just a little bit
you would
you would ...”
selamat dini hari, Bila. aku bingung bagaimana memulai surat ini, itulah mengapa aku mengawalinya dengan lirik lagu Existentialism on Prom Night (selain karena aku tahu Kau suka menyanyi & menggeluti Eksistensialisme). walaupun sebenarnya, sejujurnya, aku lebih bingung mengenai “mengapa” aku menulis selamat dini hari, Bila & “mengapa” aku menulis lagi surat untukmu, Bila. kebingungan lainnya berasal dari betapa bingungnya pikiran-perasaanku yang sama sekali tak menyangka kita akan kembali saling bertukar-teks setelah aku menerbitkan tulisan “Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu”—tetapi kemarin Kau malah mem-vidcall-ku—aku mengangkatnya & sekitar 3 jam lamanya kita mengaktifkan mulut & menyalakan telinga.
Bil, apakah kau menyadari bahwa di alinea pertama saja sudah ada setidaknya 4 kebingungan yang kutelurkan? Kau tak sadar, ya? hahahaha lupakan ... intinya akan kutekskan beberapa kebingungan yang bising di dalam kepalaku (yang terkadang kurasa tak perlu juga kuberi medium kata-kata—biarkan saja meledak senyap di dalam kepala) pada surat tak berguna ini. sebelum itu aku ingin curhat-menarasikan kebingungan yang bacot-banget ini dulu, ya.
beberapa hari lalu, aku menerjemahkan 2 esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (katakanlah Kau bertanya mengapa aku melakukannya) aku bersedia mengalihbahasakannya karena sehari sebelum tawaran penerjemahan itu kusanggupkan—aku mencoba simulasi IELTS & mendapatkan skor 80 dengan label 'advanced' atau setara 601-625 dalam skor TOEFL. alasan terbesarnya justru bukan aku merasa jago basa enggres, tetapi aku bingung mengapa pula skorku sedemikian besarnya—pedahal grammar-ku masih acakadut—& dari kebingungan itulah aku menantang diriku sendiri untuk bergulat di batas-batas antara bahasa ibu & bahasa blonde.
semacam intermezzo: kau tahu, Bil, skill speaking basa elizabethasu-ku ini seperti bule-bloon yang tentu saja bukan native speaker asal London, yang ... diduga sedang sariawan namun memaksakan untuk kumur-kumur Listerine. apalagi bahasa jurusanmu itu, aduh, amandelku bisa kambuh. bila Kau ingat, aku pernah berkata bahwa berbahasa macam orang Paris berpotensi besar membuatku sakit tenggorokan dengan cukup kronis.
ok, back to the curhat ... esai yang pertama kualihbahasakan garis besarnya tentang Panduan Pembebasan Individual di Era Postmodern. esai kedua, gambaran besarnya membahas kedepresifan manusia, hal-ihwal penderitaan, dampak teknologi, sampai kebusukan-kebusukan society. ini, Bil, efek psikologis yang kualami paska-penerjemahan: yang pertama, tulisan Vetuyara itu membuat kedua tanganku ingin mencipta molotov (dari sebotol anggur merah Cap Orang Tua yang botolnya entah berapa banyak akan kutenggak semasih aku muda + seluruh baju-bajuku yang sudah kumal + bensin pertalite yang kini mahal) lalu melemparkannya ke wajah borjuis muda yang tekun flexing di sosial media—yang gemar membacot di seminarnya yang ... overprice mengenai omong kosong kerja keras & kerja cerdas dengan percaya diri sekaligus dumb-ass;
yang kedua, lebih parah, Le Chien Rifki (penulisnya) kupikir adalah seorang demotivator ulung yang sukses membahasakan pesimisme dengan begitu optimis. si anjing itu sungguh sangat hadeuh, Bil. ia menghidupkan seribu Macbeth yang berperangai seperti Deadpool sedang existential dread di lubuk kesadaranku. dengan piawai-bangsatnya ia juga menggemakan kegagalan Dazai menjadi seorang manusia & pada gilirannya melukiskan betapa terancamnya kata hidup dalam kamusku bila aku terlalu banyak mengonsumsi esai-esai Cioran.
Bil, kau kan tahu bahwa gelar 'MA' di belakang namaku bukan Master of Arts, melainkan Master of Anguish. Kau apalagi, menyandang gelar Ph.D ... Pretty-huge Despair (sumpah, aku sama sekali tak tertawa). tapi berjuta tapi, bukan berarti aku rela, memberimu lampu hijau, atau lebih sinting lagi menganjurkan—jika pada akhirnya kau benar-benar lelah & memilih untuk membunuh dirimu sendiri. mengapa aku menukil perihal suicide? sebab hari ini ada puisimu yang masuk melalui pintu watsap-ku—isinya kira-kira begini:
Tuhan,
Aku hanya ingin mati.—Bila
(Jakarta, 13 September 2022)
Kau mesti tahu bahwa aku senang bila Kau mengirimkan puisimu kepadaku. tapi aku bingung mau merespon puisimu yang satu ini bagaimana atau dengan pendekatan masturbasi pikiran (khas terma-terma kefilsafatan) yang seperti apa. kupikir, pada titik tertentu, fafifu filsafat malah memperburuk keadaan, khususon Filsafat Prancis (Kau tentu lebih suhu dariku terkait ini, misalnya, lebih memahami bahwa philosophical notion from a croissant country memang cenderung, bukan cenderung juga sih, tetapi memang noir). semisal aku ngueng-ngueng luas Stoikisme = ½ × S × K ... pun juga tak guna—sebab kita bukan anak kandung Seneca yang punya seolympus Ke-sa-bar-an.
paling banter ya aku tekskan begini: “wanna talk?”—atau menelponmu (& aku akan menempatkan kedua telingaku dalam mode siap-siaga-bencana-airmata, tanpa mengeluarkan suara apalagi saran bila tak Kau pinta), atau berjuta kali meneror-menggedor notifikasimu à la admin slot bila Kau tak kunjung mengangkat panggilan gawat-darurat itu. tapi aku & ke-overthinking-an-ku tahu, yang terjadi di realitas-babi adalah wanna talk? itu tak kunjung ceklis dua.
& voilà, aku hariwang padamu, Bila. aku lupa apakah sudah cerita ini ataukah belum: kandungan suudzon pada neuron kepalaku berkali-kali lipat jauh lebih banyak dari anjuran husnudzon di dalam ayat-ayat malaikat sekalipun ia tipikal malaikat yang mahamemaksa. aku hanya menuliskan kejujuranku. o ya, aku hampir lupa, hari ini Godard (iya Godard yang Jean-Luc, yang sutradara, penulis skenario, & produser asal negara oui—juga orang ngaruh dalam kebangkitan & sepak terjang gerakan sinema Prancis itu) kini telah mati—omong-omong, ia adalah salah satu figur penting dalam proses kreatif kepenulisanku yang suram, biru, & tak kreatif-kreatif amat.
Bil, sekarang sudah pukul 2 pagi. & alih-alih membayangkan bagaimana Sisifus berbahagia, kepalaku malah semakin bertendensi untuk membayangkan skenario kiamat kubra. aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tentangmu, tak menjadi kenyataan. meski kutahu, bahwa jauh di dasar hatiku—aku masih bingung bagaimana doa bekerja—& masih begitu membenci harapan.
“ ... someday you will die
but i'll be close behind
i'll follow you into the dark
no blinding light
or tunnels, to gates of white
just our hands clasped so tight
waiting for the hint of a spark
if Heaven & Hell decide
that they both are satisfied
illuminate the no's on their vacancy signs
if there's no one beside you
when your soul embarks
then I'll follow you into the dark ...”
Sincerely,
Mas Aldy
Bayangkan sebuah film romantis-melankolis berwarna hitam & putih—seperti itulah Cigarettes After Sex terdengar. Sang vokalis, Greg Gonzalez, memulai band ini pada tahun 2008, tetapi baru pada tahun 2015—melalui single “Affection”—mereka sukses meledak. CAS baru saja mengeluarkan album self-titled yang mengesankan & kami memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Gonzalez.
“Aku hanya mencoba untuk hidup semaksimal mungkin, setiap hari. & jika aku romantis dengan seseorang, aku suka jika keromantisanku itu menjadi sesuatu yang patut dikenang.”—Greg Gonzalez, Vokalis Cigarettes After Sex
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.
Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.
Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung
Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).
Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.
Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung
Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.
Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.
Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.
Tiadanya Tuhan
Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.
Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.
Individual namun Bertanggung Jawab
Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.
Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.
Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain.
Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.
*****
Sedikit Catatan
Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".
Sumber Literatur
Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956