Wednesday, 14 September 2022

Bila Aku Menulis Lagi Surat Untukmu


Kepada Bila yang ... Hmmm

Bogor, 13 September 2022

“... sing me something soft
sad & delicate
or loud & out of key
sing me anything
we're glad for what we've got
done with what we've lost
our whole lives laid out
right in front of us

sing like you think no one's listening
you would kill for this
just a little bit
just a little bit
you would
you would ...”

selamat dini hari, Bila. aku bingung bagaimana memulai surat ini, itulah mengapa aku mengawalinya dengan lirik lagu Existentialism on Prom Night (selain karena aku tahu Kau suka menyanyi & menggeluti Eksistensialisme). walaupun sebenarnya, sejujurnya, aku lebih bingung mengenai “mengapa” aku menulis selamat dini hari, Bila & “mengapa” aku menulis lagi surat untukmu, Bila. kebingungan lainnya berasal dari betapa bingungnya pikiran-perasaanku yang sama sekali tak menyangka kita akan kembali saling bertukar-teks setelah aku menerbitkan tulisan “Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu”—tetapi kemarin Kau malah mem-vidcall-ku—aku mengangkatnya & sekitar 3 jam lamanya kita mengaktifkan mulut & menyalakan telinga.

Bil, apakah kau menyadari bahwa di alinea pertama saja sudah ada setidaknya 4 kebingungan yang kutelurkan? Kau tak sadar, ya? hahahaha lupakan ... intinya akan kutekskan beberapa kebingungan yang bising di dalam kepalaku (yang terkadang kurasa tak perlu juga kuberi medium kata-kata—biarkan saja meledak senyap di dalam kepala) pada surat tak berguna ini. sebelum itu aku ingin curhat-menarasikan kebingungan yang bacot-banget ini dulu, ya.

beberapa hari lalu, aku menerjemahkan 2 esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (katakanlah Kau bertanya mengapa aku melakukannya) aku bersedia mengalihbahasakannya karena sehari sebelum tawaran penerjemahan itu kusanggupkan—aku mencoba simulasi IELTS & mendapatkan skor 80 dengan label 'advanced' atau setara 601-625 dalam skor TOEFL. alasan terbesarnya justru bukan aku merasa jago basa enggres, tetapi aku bingung mengapa pula skorku sedemikian besarnya—pedahal grammar-ku masih acakadut—& dari kebingungan itulah aku menantang diriku sendiri untuk bergulat di batas-batas antara bahasa ibu & bahasa blonde.

semacam intermezzo: kau tahu, Bil, skill speaking basa elizabethasu-ku ini seperti bule-bloon yang tentu saja bukan native speaker asal London, yang ... diduga sedang sariawan namun memaksakan untuk kumur-kumur Listerine. apalagi bahasa jurusanmu itu, aduh, amandelku bisa kambuh. bila Kau ingat, aku pernah berkata bahwa berbahasa macam orang Paris berpotensi besar membuatku sakit tenggorokan dengan cukup kronis.

ok, back to the curhat ... esai yang pertama kualihbahasakan garis besarnya tentang Panduan Pembebasan Individual di Era Postmodern. esai kedua, gambaran besarnya membahas kedepresifan manusia, hal-ihwal penderitaan, dampak teknologi, sampai kebusukan-kebusukan society. ini, Bil, efek psikologis yang kualami paska-penerjemahan: yang pertama, tulisan Vetuyara itu membuat kedua tanganku ingin mencipta molotov (dari sebotol anggur merah Cap Orang Tua yang botolnya entah berapa banyak akan kutenggak semasih aku muda + seluruh baju-bajuku yang sudah kumal + bensin pertalite yang kini mahal) lalu melemparkannya ke wajah borjuis muda yang tekun flexing di sosial media—yang gemar membacot di seminarnya yang ... overprice mengenai omong kosong kerja keras & kerja cerdas dengan percaya diri sekaligus dumb-ass;

yang kedua, lebih parah, Le Chien Rifki (penulisnya) kupikir adalah seorang demotivator ulung yang sukses membahasakan pesimisme dengan begitu optimis. si anjing itu sungguh sangat hadeuh, Bil. ia menghidupkan seribu Macbeth yang berperangai seperti Deadpool sedang existential dread di lubuk kesadaranku. dengan piawai-bangsatnya ia juga menggemakan kegagalan Dazai menjadi seorang manusia & pada gilirannya melukiskan betapa terancamnya kata hidup dalam kamusku bila aku terlalu banyak mengonsumsi esai-esai Cioran.

Bil, kau kan tahu bahwa gelar 'MA' di belakang namaku bukan Master of Arts, melainkan Master of Anguish. Kau apalagi, menyandang gelar Ph.D ... Pretty-huge Despair (sumpah, aku sama sekali tak tertawa). tapi berjuta tapi, bukan berarti aku rela, memberimu lampu hijau, atau lebih sinting lagi menganjurkan—jika pada akhirnya kau benar-benar lelah & memilih untuk membunuh dirimu sendiri. mengapa aku menukil perihal suicide? sebab hari ini ada puisimu yang masuk melalui pintu watsap-ku—isinya kira-kira begini:

Tuhan,
Aku hanya ingin mati.

—Bila

(Jakarta, 13 September 2022)

Kau mesti tahu bahwa aku senang bila Kau mengirimkan puisimu kepadaku. tapi aku bingung mau merespon puisimu yang satu ini bagaimana atau dengan pendekatan masturbasi pikiran (khas terma-terma kefilsafatan) yang seperti apa. kupikir, pada titik tertentu, fafifu filsafat malah memperburuk keadaan, khususon Filsafat Prancis (Kau tentu lebih suhu dariku terkait ini, misalnya, lebih memahami bahwa philosophical notion from a croissant country memang cenderung, bukan cenderung juga sih, tetapi memang noir). semisal aku ngueng-ngueng luas Stoikisme = ½ × S × K ... pun juga tak guna—sebab kita bukan anak kandung Seneca yang punya seolympus Ke-sa-bar-an.

paling banter ya aku tekskan begini: “wanna talk?”—atau menelponmu (& aku akan menempatkan kedua telingaku dalam mode siap-siaga-bencana-airmata, tanpa mengeluarkan suara apalagi saran bila tak Kau pinta), atau berjuta kali meneror-menggedor notifikasimu à la admin slot bila Kau tak kunjung mengangkat panggilan gawat-darurat itu. tapi aku & ke-overthinking-an-ku tahu, yang terjadi di realitas-babi adalah wanna talk? itu tak kunjung ceklis dua.

& voilà, aku hariwang padamu, Bila. aku lupa apakah sudah cerita ini ataukah belum: kandungan suudzon pada neuron kepalaku berkali-kali lipat jauh lebih banyak dari anjuran husnudzon di dalam ayat-ayat malaikat sekalipun ia tipikal malaikat yang mahamemaksa. aku hanya menuliskan kejujuranku. o ya, aku hampir lupa, hari ini Godard (iya Godard yang Jean-Luc, yang sutradara, penulis skenario, & produser asal negara oui—juga orang ngaruh dalam kebangkitan & sepak terjang gerakan sinema Prancis itu) kini telah mati—omong-omong, ia adalah salah satu figur penting dalam proses kreatif kepenulisanku yang suram, biru, & tak kreatif-kreatif amat.

Bil, sekarang sudah pukul 2 pagi. & alih-alih membayangkan bagaimana Sisifus berbahagia, kepalaku malah semakin bertendensi untuk membayangkan skenario kiamat kubra. aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tentangmu, tak menjadi kenyataan. meski kutahu, bahwa jauh di dasar hatiku—aku masih bingung bagaimana doa bekerja—& masih begitu membenci harapan.

“ ... someday you will die
but i'll be close behind
i'll follow you into the dark

no blinding light
or tunnels, to gates of white
just our hands clasped so tight
waiting for the hint of a spark

if Heaven & Hell decide
that they both are satisfied
illuminate the no's on their vacancy signs
if there's no one beside you
when your soul embarks
then I'll follow you into the dark ...”

Sincerely,

Mas Aldy