[Bagian dari VARIABLES, serangkaian esai tentang seni & politik Jean-Luc Godard]
Dipublikasikan pertama kali di website filmcapsule.com pada 19 November 2014
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha
*terjemahan ini didedikasikan untuk Godard—& terbit 2 minggu pascakematiannya pada 13 September 2022.
***
Jean-Luc Godard sering dilabeli sebagai sutradara/pembuat film intelektual, yang biasanya tampak seperti istilah yang sombong, mewakili sesuatu seperti “didaktik” atau bersifat mendidik—& “obtus” atau sulit dipahami. & terkadang itu mungkin benar. Tapi jika Godard adalah pembuat film intelektual, itu bukanlah suatu sikap gaya-gayaan atau kepura-puraan, tetapi pendalaman yang sungguh-sungguh terhadap konsep tentatif di ruang lingkupnya. Prancis 1960-an adalah sarang wacana politik & diskursus filosofis, Godard & rekan-rekan New Wave-nya (yang dulunya para teoritikus kemudian beralih menjadi sutradara) adalah bagian integral dari lingkungan ini. Wajar jika diskursus ini mulai merembes ke dalam film-film mereka.
Vivre sa vie (1962) karya Godard, misalnya, kaya akan eksistensialisme. Baik dalam bentuk maupun isinya, kisah terjunnya seorang single mother berusia 22 tahun ke dalam prostitusi ini seringkali tampak dimotivasi oleh prinsip-prinsip pembentukan-diri à la eksistensialisme, tetapi anggapan mengenai eksistensialisme dalam film ini tetaplah ambigu. Apakah Nana Kleinfrankenheim (yang diperankan Anna Karina) memang bebas untuk menjalani kehidupan yang dia pilih, ataukah dia malah ditentukan oleh ketiadaan kehendak bebas yang kentara? Apakah otonomi individu, ataukah kecenderungan untuk menolak makna itulah yang mendefinisikan Vivre sa vie?
Salah satu prinsip eksistensialisme yang sering hadir baik secara bentuk maupun isi film tersebut adalah keselarasan antara ajaran & cara hidup seseorang, antara perkataan & tindakan. Dengan prinsip ini, Godard pasti akan menjadi model yang mengagumkan bagi para sinefil untuk film abad ke-20 & ke-21. Pertama sebagai kritikus & teoritikus yang setia, kemudian sebagai pembuat film yang ulet & produktif, Godard mempraktekkan apa-apa yang dia khotbahkan. Tulisan-tulisannya tentang kekuatan & politik dari film diaktualisasikan dalam karyanya, sebagaimana karyanya itu sendiri ada sebagai perpanjangan dari teori & filosofinya sendiri.
Tapi apakah integritas yang sama antara kata-kata & tindakan ini ada pada Nana di Vivre sa vie? Eksistensialisme bergantung pada pembentukan “gagasan yang lebih personal tentang ‘kebenaran’ (Flynn 2),” sebuah esensi unik untuk setiap individu yang berfungsi sebagai peta filosofisnya mengarungi kehidupan. Meskipun Nana sangat menginginkan kebenarannya sendiri, di sepanjang film dia menjadi “didefinisikan” bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak orang lain.
Godard & Karina mencirikan Nana melalui luapan emosinya, serta rasa ingin tahu & perhatiannya yang naif. Misalnya, dalam satu adegan kunci, Nana dengan berurai air mata menonton The Passion of Joan of Arc karya Carl Theodor Dryer tahun 1928. Kekuatan emosional dari adegan yang sangat sunyi ini bergantung pada ketepatan Godard & Karina dalam menangani respons emosional Nana yang dalam & hampir sublim, yang menunjukkan penerimaan perasaannya, sebagai prinsip lain dari eksistensialisme. Adegan kunci lain dalam film ini memperlihatkan Nana yang mencoba membangun filosofinya sendiri, tetapi setelah Nana berbincang dengan filsuf-sungguhan (Brice Parain), Nana semakin bingung dengan teori pertamanya tentang kehidupan.
Cita-cita Eksistensialisme difokuskan pada individu manusia dalam “pengejaran identitas & makna (Flynn 8),” namun dalam Vivre sa vie, Nana secara rutin ditolak agensi dalam mengejar identitasnya sendiri, sama seperti dia tidak dapat menciptakan sistem maknanya sendiri. Godard mencapai ini dengan secara konsisten & radikal menyasar Nana dalam konteks peran sosialnya, sebagai karyawan toko kaset, calon aktris, ibu yang rindu, model yang tidak antusias, & tentu saja, pelacur. Masing-masing peran ini ditentukan oleh fungsinya bagi orang lain, bukan oleh esensinya sendiri. Sebagai seorang aktris & model khususnya, Nana tampaknya bersedia tunduk pada kehendak sutradara atau fotografer, melepaskan identitasnya sendiri untuk mengenakan topeng sebagai “performer”. Sebagai pelacur, Nana kembali dicirikan oleh fungsinya untuk orang lain, namun bahkan sebutan sederhananya sebagai “pelacur Raoul” lenyap saat dia berganti germo, yang mengakibatkan kehancurannya. Meskipun dia mencari integritas eksistensial demi menjalani hidupnya sendiri, untuk dirinya sendiri—Nana menolak pilihanya di setiap kesempatan.
Meskipun Godard dalam Vivre sa vie memasukkan penelusuran à la eksistensialisme, elemen-elemen ini sebagian besar negatif, sebagai pengingat bahwa apa yang Nana cari mati-matian tidak akan pernah didapatkan. Mungkin sebaliknya, film ini merupakan ekspresi dari pembentukan-diri Godard sendiri sebagai seorang pemikir & seniman. Kehadiran sang sutradara dalam film tersebut tampak muncul melalui pembacaan “The Oval Portrait” karya Edgar Allan Poe. Dengan teknik close-up ke wajah Karina, narasi Poe dibacakan oleh suara Godard sendiri, menggantikan aktor yang membaca buku itu. Saat Godard membaca kegilaan seorang seniman dengan rendering gambar istrinya, dengan mengesampingkan Nana, penonton akan menyadari hubungan pribadi yang mendalam dari cerita ini dengan hubungan Godard & Karina, yang mengancam dedikasi Godard terhadap karyanya sendiri.
Ditempatkan di akhir film, adegan ini mengganggu pembacaan eksistensialis terhadap Vivre sa vie seraya “memperluas” film demi mencakup kehidupan Godard dan Karina. Meskipun Godard “melipat” dirinya ke dalam jalinan film, langkah ini tidak bertentangan dengan pencarian Nana untuk filosofi eksistensialnya, itu justru meluas menuju ke arah Godard sendiri. Godard tidak merusak integritas Nana, tetapi sebaliknya—menegaskan integritasnya sendiri, menyusun pernyataan tesis dari filosofi sinematik pribadinya.
Referensi:
Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford.