Tuesday, 6 September 2022

Puisi: Ode untuk Frin-frin

Ode untuk Frin-frin

kau, membuatku mencintai sekaligus mengutuki dunia fana yang juga bedebah ini: mencintai, sebab kau dengan piawai bangsatnya membuat aku yang keparat ini—secara sinting ingin hidup seribu tahun lagi; 

mengutuk, karena kau dengan lihai brengseknya membuatku menyadari—bahwa waktu ternyata sudah berlari serupa bajingan paling asu bahkan sebelum kita bertemu, sebelum ia mencair dalam setiap ciuman pertama anak Adam & Hawa, sebelum kembali membeku dalam malam-malam—tanpa dekapanmu yang matahari. 

& di sini, di tempat aku mencipta puisi, aku masih mencoba mencintai bulan yang dengan laknatnya bertelanjang dada—seperti sedang menghitung berapa banyak ciuman yang akan kita punya—dalam satu kali inkarnasi, seorang manusia yang separuh tubuhnya—adalah bentuk paling buduk dari melankoli. 

atau mungkin sialnya, ia sedang menunggu mitos-mitos perihal katarsis—demi menghapus jahanamnya pertanyaan, dari air mata sebuah rindu: “sampai kapankah kita akan saling mencintai sekaligus mengutuki—betapa sundalnya dunia di tengah-tengah menyebalkannya kemabukan cinta—yang sungguh membagongkan ini?”

(2021) 

Ode untuk Frin-frin II

bunga fritillaria mekar di musim semi, seperti sungai yang berjanji—untuk menghanyutkan Ophelia. separuh langit retak jadi hujan, jadi air bah. jadi sepotong writer’s block yang pecah dalam puisi, lalu jadi tanda baca yang tak pernah selesai bertanya: “kira-kira, berapa kali sebuah bahasa pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya dari seorang pecundang yang memilih diam seribu bahasa—ketika berada di depan kekasihnya?”

sedang mitos-mitos masih tumbuh di kedua bola matamu, sayangku. seperti rindu yang kabur dari pertanyaan tentang waktu. jadi sebilah perang yang berkecamuk pada malam-malam brengsek—berlatar biru paling glumi, tanpa dekapanmu yang matahari. sebelum tuhan meniupkan kata sifat dari surga; ke dalam ciuman pertama sepasang manusia yang dimabuk cinta.

setelah penyair dalam pembuluh darahku, tiba-tiba berubah, jadi seperti ambulans yang terjebak macet—kala dirimu dengan sangsi bertanya: “sampai kapankah kau akan berjihad melawan sepi campur sunyi, seperti orang tolol—sebab melakukannya dengan seorang diri?”

(2022)

Ode untuk Frin-frin III

mitos-mitos masih menunggu demistifikasi. dalam bayang-bayang ilmu pengetahuan pasca-pandemi. aku mengutuki lisensi puitika yang tak berguna. rinduku padamu, bermetamorfosa. jadi semacam piano butut yang separuh purna. pada simfoni paling sunyi. jadi imbesil. seperti eksil dari sejarah orang lain yang tragikomedi.

aku menunggu deus ex machina. di matamu, bahasa sudah terbakar. baunya vitamin d yang overdosis. menolak padam. seperti cahaya tuhan di perpustakaan alexandria. hangus. tanpa sisa. tanpa ampun. & tanpa sangsi, memilih hanyut di sungai-sungai—tempat antropolog berkata: “konon katanya, peradaban selalu dimulai di lembah-lembah yang dialiri air—& berakhir ketika seorang lelaki gagal mentransfigurasi airmata sebuah rindu jadi puisi.”

(2022)