Friday, 28 October 2022
Thursday, 27 October 2022
Nietzsche: Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah (Esai Translasi)
Antara tahun 1873 dan 1876, Nietzsche menerbitkan buku Unfashionable Observations/Untimely Meditations/Thoughts Out of Season (bahasa Jerman: Unzeitgemässe Betrachtungen) yang terdiri dari empat karyanya. Bagian kedua dari bukunya ini adalah esai yang sering dialihbahasakan dan diberi judul “The Use and Abuse of History for Life/Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah untuk Kehidupan” (1874). Namun, terjemahan yang lebih akurat dari karyanya tersebut adalah “On the Uses and Disadvantages of History for Life/Tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah untuk Kehidupan”.
Makna dari “Sejarah” dan “Kehidupan”
Dua istilah kunci dalam judul, “sejarah” dan “kehidupan” digunakan dalam cara yang sangat luas. Nietzsche secara khusus memaknai “sejarah” sebagai pengetahuan historis dari budaya-budaya sebelumnya (misalnya Yunani, Roma, Renaisans), yang mencakup pengetahuan tentang filsafat masa lampau, sastra, seni, musik, dan sebagainya. Tapi dia juga memikirkan pengetahuan secara umum, termasuk komitmen pada prinsip-prinsip ilmiah atau metode ilmiah yang ketat, dan juga kesadaran-diri terkait historisitas-umum yang terus-menerus menempatkan waktu dan budaya seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang telah datang sebelumnya.
Istilah “kehidupan” tidak didefinisikan dengan jelas di dalam esainya ini. Di satu titik, Nietzsche menggambarkannya sebagai “sebuah kegelapan mengemudikan kekuatan keinginan-diri yang tidak terpuaskan”, tetapi itu tidak banyak memberi tahu kita. Apa yang tampaknya paling sering dia pikirkan, ketika berbicara tentang “kehidupan”, adalah sesuatu seperti keterlibatan yang dalam, kaya, dan kreatif dengan dunia tempat seseorang tinggal. Di sini, seperti dalam semua tulisannya, penciptaan budaya yang mengesankan sangat penting bagi Nietzsche.
Apa yang Ditentang Nietzsche
Pada awal abad ke-19, Hegel (1770-1831) telah membangun filsafat sejarah yang melihat sejarah peradaban sebagai perluasan kebebasan manusia dan pengembangan kesadaran-diri yang lebih besar mengenai sifat dan makna sejarah. Filsafat Hegel sendiri merepresentasikan tahap tertinggi yang belum dicapai dalam pemahaman-diri manusia. Setelah Hegel, secara umum diterima bahwa pengetahuan tentang masa lalu adalah hal yang baik. Faktanya, abad kesembilan belas berbangga diri karena lebih terinformasi secara historis daripada zaman sebelumnya.
Nietzsche, bagaimanapun, seperti yang dia suka lakukan, mempertanyakan kepercayaan luas ini.
Dia mengidentifikasi 3 pendekatan terhadap sejarah: yang monumental, yang antikuarian, dan yang kritis. Masing-masing dapat digunakan dengan cara yang baik, tetapi masing-masing memiliki bahayanya sendiri.
Pendekatan Sejarah yang Monumental
Pendekatan ini berfokus pada contoh-contoh kebesaran manusia, individu yang “memperbesar konsep manusia … memberikan rasa puas yang lebih indah”. Nietzsche tidak menyebutkan nama, tetapi dia agaknya merujuk kepada orang-orang seperti Musa, Yesus, Pericles, Socrates, Caesar, Leonardo, Goethe, Beethoven, dan Napoleon. Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh semua individu hebat adalah kesediaan yang angkuh untuk mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan kesejahteraan materi mereka. Orang-orang seperti itu dapat menginspirasi kita untuk meraih kebesaran diri kita sendiri. Mereka adalah antidote keletihan-dunia.
Tapi pendekatan sejarah yang monumental membawa bahaya-bahaya tertentu. Ketika kita melihat tokoh-tokoh masa lalu ini sebagai inspirasi, kita mungkin mendistorsi sejarah dengan mengabaikan keadaan-keadaan unik yang memunculkannya. Sangat mungkin bahwa tidak ada figur seperti itu yang bisa muncul lagi karena keadaan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Bahaya lain terletak pada cara dari beberapa orang yang memperlakukan pencapaian besar di masa lalu (misalnya tragedi Yunani, lukisan Renaisans) sebagai sesuatu yang kanonikal. Mereka dipandang memberi paradigma bahwa seni kontemporer tidak boleh menantang atau menyimpang dari konvensi seni yang sudah ada sejak masa lampau.
Ketika digunakan dengan cara ini, sejarah yang monumental dapat menghalangi jalan menuju pencapaian budaya yang baru dan orisinal.
Pendekatan Sejarah yang Antikuarian
Pendekatan ini mengacu pada pendalaman ilmiah dalam beberapa periode masa lalu atau budaya masa lalu. Ini adalah pendekatan sejarah yang khas akademisi. Berguna membantu kita untuk meningkatkan makna dari identitas suatu budaya. Misalnya, ketika penyair kontemporer memperoleh pemahaman mendalam tentang tradisi puitis tempat mereka berasal, ini memperkaya karya mereka sendiri. Mereka mengalami “kepuasan sebatang pohon dengan akar-akarnya”.
Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan tersembunyi. Terlalu banyak tenggelam dalam masa lalu dengan mudah mengarah pada keterpesonaan yang tidak cerdik dan penghormatan terhadap apa pun yang lama, terlepas dari apakah itu benar-benar mengagumkan atau menarik. Pendekatan sejarah yang antikuarian dengan mudah merosot menjadi keterpelajaran belaka, di mana tujuan melakukan sejarah telah lama dilupakan. Dan pemujaan terhadap masa lalu dapat menghambat orisinalitas. Produk-produk budaya masa lalu dipandang begitu gemilang, sehingga kita hanya bisa berpuas diri dengannya dan tidak mencoba menciptakan sesuatu yang baru.
Pendekatan Sejarah yang Kritis
Pendekatan sejarah ini hampir berkebalikan dari pendekatan sejarah yang antikuarian. Alih-alih memuja masa lalu, sejarah yang kritis menolaknya sebagai bagian dari proses menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, gerakan-artistik-orisinal seringkali sangat kritis dan penuh kritik terhadap gaya yang mereka coba gantikan (cara penyair Romantik menolak diksi buatan penyair abad ke-18). Bahayanya di sini, bagaimanapun, kita akan bersikap tidak adil terhadap masa lalu. Secara khusus, kita akan gagal untuk melihat bagaimana elemen-elemen dalam budaya masa lalu yang kita benci itu diperlukan; bahwa mereka adalah salah satu elemen yang melahirkan kita.
Masalah yang Disebabkan oleh Terlalu Banyak Pengetahuan Sejarah
Dalam pandangan Nietzsche, budaya Jerman/budaya Eropa/budayanya (dan dia mungkin akan mengatakan budaya kita juga) telah membengkak dengan terlalu banyak pengetahuan. Dan ledakan pengetahuan ini tidak melayani “kehidupan”—dengan kata lain, tidak mengarah pada budaya kontemporer yang lebih kaya, lebih bersemangat, lebih hidup. Di sisi lain, para akademisi terobsesi dengan metodologi dan analisis yang canggih. Dengan melakukan itu, mereka kehilangan tujuan sebenarnya dari apa yang mereka kerjakan. Mereka terus-menerus tidak sadar bahwa yang paling penting bukan apakah metodologi mereka masuk akal, tetapi apakah apa yang mereka lakukan berguna untuk memperkaya kehidupan dan budaya kontemporer ataukah tidak.
Seringkali terjadi—alih-alih mencoba menjadi kreatif dan orisinal, orang-orang terpelajar justru membenamkan diri dalam kegiatan ilmiah yang relatif kering. Hasilnya adalah kita hanya memiliki pengetahuan tentang budaya, bukannya memiliki budaya yang hidup. Alih-alih benar-benar mengalami sesuatu, kita mengambil sikap ilmiah yang terpisah dari sejarah itu sendiri. Orang-orang mungkin berpikir di sini, misalnya, perbedaan di antara lukisan atau komposisi musik, dan memperhatikan bagaimana itu mencerminkan pengaruh tertentu dari seniman atau komposer sebelumnya.
Di tengah-tengah esainya, Nietzsche mengidentifikasi lima kelemahan spesifik dari memiliki terlalu banyak pengetahuan sejarah. Sisanya merupakan elaborasi dari poin-poin ini. Lima kelemahan tersebut adalah:
Menciptakan terlalu banyak kontras antara apa yang ada di pikiran orang-orang dan cara mereka hidup. Misalnya, filsuf yang membenamkan dirinya dalam Stoikisme tidak lagi hidup seperti seorang Stoa; mereka hanya hidup seperti orang lain. Filsafatnya secara murni teoretis. Bukan sesuatu yang benar-benar dijalani.
Membuat kita berpikir bahwa kita lebih superior dari zaman sebelumnya. Kita cenderung melihat kembali periode-periode sebelumnya sebagai sesuatu yang lebih inferior dari kita dalam berbagai hal, terutama, mungkin, di bidang moralitas. Sejarawan modern bangga akan objektivitas mereka. Tapi jenis sejarah terbaik bukanlah jenis yang sangat objektif dalam pengertian ilmiah yang kering. Sejarawan terbaik bekerja seperti seniman yang membawa-menghidupkan zaman sebelumnya ke kehidupan kontemporer kita.
Mengganggu naluri-naluri dan menghambat perkembangan kedewasaan. Untuk mendukung gagasan ini, Nietzsche secara khusus mengeluhkan cara para akademisi modern yang terlalu cepat menjejalkan diri dengan terlalu banyak pengetahuan. Hasilnya adalah mereka kehilangan kedalaman. Spesialisasi ekstrem, ciri lain dari ilmu pengetahuan modern, menjauhkan mereka dari kebijaksanaan, yang membutuhkan pandangan yang lebih luas tentang berbagai hal.
Membuat kita menganggap bahwa diri kita adalah peniru yang lebih inferior dari pendahulu kita.
Mengarah pada ironi dan sinisme.
Dalam menjelaskan poin 4 dan 5, Nietzsche memulai kritiknya yang berkelanjutan terhadap Hegelianisme. Esai diakhiri dengan dia mengungkapkan harapan kepada “golongan muda”, yang sepertinya dia maksudkan karena mereka belum cacat oleh terlalu banyak pendidikan.
Di Latar Belakang – Richard Wagner
Dalam esai ini, Nietzsche tidak mengutip kawannya pada saat itu: komposer Richard Wagner. Tapi dalam menarik kontras antara mereka yang hanya tahu tentang budaya dan mereka yang secara kreatif terlibat dengan budaya, dia hampir pasti menganggap Wagner sebagai contoh dari tipe yang kedua. Pada saat itu, Nietzsche bekerja sebagai profesor, di Universitas Basel di Swiss. Basel merepresentasikan pengetahuan historis. Kapan pun dia bisa, dia akan naik kereta api ke Luzern untuk mengunjungi Wagner, yang pada saat itu sedang menyusun Der Ring des Nibelungen-nya. Rumah Wagner di Tribschen mewakili “kehidupan”. Bagi Wagner, jenius-kreatif yang juga seorang yang suka bertindak, terlibat penuh di dunia, dan bekerja keras untuk meregenerasi budaya Jerman melalui opera—mencontohkan bagaimana seseorang dapat menggunakan masa lalu (tragedi Yunani, legenda Nordik, musik klasik Romantik) dalam cara yang sehat untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.
Wednesday, 26 October 2022
Menyelami dan Mencurigai Stoikisme
“Kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas.”
—Seneca, On the Shortness of Life (2005)
Di dunia modern pascapandemi yang niscaya serba tak pasti—di tengah-tengah probabilitas tertinggi perang dunia ketiga yang dimulai di atas hasrat aneksasi negara pemenang perang dunia kedua—di ambang resesi ekonomi global dan krisis iklim yang secara fondasional tak terhindarkan—sekaligus di zaman di mana kapitalisme telah sedemikian meraksasa bagai gedung-gedung tinggi yang mencakar langit seperti saat ini—“ketakutan” manusia dengan pasti jauh lebih berani, jauh lebih kuat. Pada gilirannya, ketakutan tersebut bahkan bertransformasi sedemikian rupa menjadi “kecemasan” berlebih—yang lebih melumpuhkan dari sebuah rudal balistik dengan hulu ledak nuklir yang siap ditembakkan.
Apa yang ditulis pada tahun 49 SM oleh Seneca—seorang tokoh filosofis Romawi terkemuka dan filsuf Stoik yang begitu lekat dengan ajaran Stoikisme, dalam esainya itu—bisa dikatakan menemukan pembenarannya dan relevan dengan segenap kehidupan kontemporer kita. Kegamangan, kekhawatiran, kebingungan, keraguan, tekanan-tekanan emosional, depresi, dan kecemasan tak berujung pangkal hampir selalu hidup 24x7 jam di pikiran kita. Secara tak langsung, juga mengokohkan konvensi bahwa pikiran manusia adalah Perang Badar paling kubra. Kita, kini, memberi lebih banyak kekuatan kepada ketakutan dan memicu kecemasan kita untuk menjadi lebih beringas. Banyak dari kita juga menggunakan salah satu kemampuan manusia yang paling berguna—berimajinasi—pada hal-hal yang secara fundamental keliru, misalnya, menyesali masa lalu dan terlalu memikirkan masa depan. Tak ada carpe diem hari ini, meminjam istilah Horace, seorang penyair Romawi yang bertaklid pada Epikureanisme (salah satu dari tiga Mazhab Filsafat besar pada Periode Helenistik—yang juga satu era dengan Stoikisme dan Pyrrhonisme).
Menyelami Stoikisme
“Kau memiliki kekuasaan atas pikiran—bukan peristiwa-peristiwa di luar sana. Sadarilah ini, dan kau akan menemukan kekuatan.”
—Aurelius, Meditations (2006)
Sependek pengetahuan penulis—Stoikisme, kokoh ditopang tiga serangkai: Seneca sang intelektual, Aurelius sang kaisar, dan Epictetus sang budak. Akan tetapi, perlu digarisbawahi dari yang telah ditekskan oleh Seneca dan Aurelius di atas, meskipun tujuannya baik, yakni untuk menghentikan pikiran-pikiran liar manusia yang sering kali di luar wilayah kendali (dalam terma Dikotomi Kendali)—tetapi, pada saat yang sama bertendensi untuk menjustifikasi seseorang untuk menjadi individu yang masa bodoh dan apatis. Manusia, dalam konteks humaniora, adalah makhluk sosial—atau Homo Homini Socius, menukil istilah dari Seneca sendiri—namun mengapa filsafatnya malah cenderung menjerumuskan seseorang ke dalam ke-ignorant-an yang menjengkelkan dan ke-indifferent-an yang menyebalkan?
Bukankah Seneca mencetuskan istilah tersebut sebagai antitesis dari nukilan drama berjudul Asinaria karya sastrawan Romawi, Plautus, yang menuliskan—lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit; manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi manusia lainnya?
Memang benar, bahwa kita sudah sebijaknya mengendalikan apa-apa yang bisa kita kendalikan—yang keliru adalah ketika kita hidup à la Stoik dengan menegasikan perasaan orang-orang terdekat kita sendiri. Secara psikologis, setiap manusia pasti memiliki hal-hal personal yang sangat dia pedulikan, misalnya, kesehatan keluarganya, perasaan pasangannya, teman-temannya, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi realitas dapat berjalan begitu acak berengseknya dan orang-orang yang kita pedulikan mengalami kemalangan—lantas larut dalam kesedihan—kemudian mereka membuka mulut dan kita memasang telinga. Secara naturalistik, adalah wajar untuk ikut bersedih—adalah normal jika kita kesal, stres, gelisah atau bahkan marah ketika hal-hal buruk terjadi pada kita atau orang-orang yang kita sayangi.
Mencurigai Stoikisme
“Kita seharusnya tak mengendalikan amarah, tetapi menghancurkannya—sepenuhnya—untuk apa kita mengendalikan sesuatu yang secara fundamental jahat?”
—Seneca, De Ira (circa 4 SM - 65 M)
Kemampuan paling berguna dan natural yang dimiliki manusia, selain berimajinasi, adalah curiga—dalam cetak biru manusia, jauh di lubuk kesadaran kita ada semacam kehendak untuk curiga (the will to skeptic). Maka, mari kita pergunakan kecurigaan itu untuk melihat bagaimana corak pemikiran Seneca dari kutipannya di atas—yang secara sepintas terlihat begitu bahlul, irasional, dan nonsens. Kecurigaan ini pun berlanjut dengan memandang bahwa filosofi teras ini, pada titik tertentu, seperti bertekad untuk tak mengeluh atau tak menunjukkan perasaan sama sekali—terutama ketika sesuatu yang buruk terjadi.
Katanya Nietzsche, menurut interpretasi penulis, secara cukup eksplisit dalam bukunya Beyond Good and Evil (2011): “para Stoik memilih untuk melihat segala sesuatu secara keliru—dengan menyangkal, menekan, dan mematikan perasaannya sendiri.” Stoikisme, secara esensial, tak lebih dari belajar untuk berhenti peduli. Ketika seseorang mulai mempelajari Stoikisme, dia akan punya kecondongan untuk menyadari bahwa dirinya telah membuang banyak energi berharga untuk peduli tentang hal-hal yang tak layak untuk dipedulikan—sebab idealnya, semestinya, dia berhenti memedulikan itu semua—bahkan perasaannya sendiri.
Sekilas, tak ada beda, tak ditemukan distingsi antara Stoikisme dengan Toxic Positivity—dengan Defense Mechanisms berbentuk kepura-puraan yang tak perlu: sebentuk penyangkalan emosi yang berpuncak pada upaya sekuat tenaga menciptakan suasana atau kondisi yang memaksakan diri agar selalu berpikir positif. Adalah waras dan komikal, jika penulis melukiskan hipotesa bahwa Absurdisme adalah Nihilisme yang memilih untuk mengonsumsi ganja berjenis indica—maka Stoikisme adalah Nihilisme yang secara sadar menyutikkan anestesi kepada hatinya.
Lagipula, apa yang buruk dari kesedihan? Bukankah banyak orang besar dan karya besar justru berasal dari keadaan yang dikonotasikan secara fundamental negatif dan buruk oleh para Stoik itu? Nocturne-nya Chopin, Les Fleurs du mal-nya Baudelaire, Fear and Trembling-nya Kierkegaard, The Old Guitarist-nya Picasso, The Theory of Everything-nya Hawking, dan lain-lain. Secara historis, kesedihan (dan kemurungan) tampak begitu adiluhung dan menjadi rahim yang melahirkan begitu banyak magnum opus—yang luar biasa artistik, puitis, dan berguna bagi kehidupan. Berangkat dari pemahaman bahwa filsafat para Stoa ini adalah sebuah seni untuk berhenti memedulikan hal-hal yang dirasa tak penting, misalnya kemarahan dan kesedihan—atau Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, seperti bukunya Manson, seorang penulis bergaya sarkastik yang mempopulerkan Stoikisme beberapa tahun terakhir ini.
Semakin Mencurigai Stoikisme
“Kekayaan tak terdiri dari memiliki harta yang banyak, tetapi memiliki keinginan yang sedikit.”
—Epictetus
Pertanyaannya adalah—mengapa Stoikisme mendapatkan begitu banyak eksposur, atau secara lebih heroik banalnya mengalami kebangkitan dan menjelma sebagai “industri” yang mainstream—di abad ke-21, khususnya beberapa tahun belakangan? Mungkin, karena realitas manusia semakin dipenuhi keputusasaan, kolaps serta kacau ketika dan setelah pandemi. Kita terlalu lelah dengan berita kematian dan membutuhkan pegangan, semacam struktur yang rigid dan panduan untuk mencintai kesederhanaan (meskipun hidup sederhana itu banyak pikiran). Akan tetapi, dengan tak bermaksud untuk mengadvokasi hedonisme sama sekali—kutipan Epictetus di atas adalah opium yang menyesatkan. Mengapa demikian?
Sebab kutipan di atas adalah kutipan yang hanya baik bagi seorang budak macam Epictetus di dalam konteks realitasnya, tetapi merupakan kutipan yang luar biasa buruk dan berbahaya bagi manusia, atau tepatnya, bagi para budak korporat yang secara tak sadar telah dieksplotasi para pemilik alat produksi. Ada kecurigaan mendasar yang rasional bahwa Stoikisme adalah agenda para kapitalis untuk menihilkan kemungkinan-kemungkinan pembangkangan para pekerja di bawah gurita kapitalisme. Sebab, Stoikisme seperti meniadakan eksistensi, kehendak bebas, dan otentisitas personal setiap manusia. Dengan kata lain, Stoikisme memungkinkan kepatuhan, kepasrahan, ketaatan bagi kaum pekerja yang tentu disenangi para eksploitator.
Bagaimana dengan prinsip utama Stoa tentang hidup sesuai dengan alam? Nyatanya, ada kemungkinan besar bahwa alam tak memiliki harmoni atau keteraturan. Ada pula kebolehjadian bahwa hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang antipodal. Satu-satunya yang menyatukan manusia dengan alam hanyalah konsep-konsep metafisik serta mitos-mitos sakral yang mirip seperti pemikiran para filsuf pra-Socrates dan slogan Panteisme Spinoza—deus sive natura; yang secara dogmatis dan percaya diri, meleburkan eksistensi dan sifat-sifat salbiyah Tuhan yang niscaya mahabaik dengan Alam yang mahaabsurd, mahaenigmatik, mahasporadis.
Jika memang manusia dengan alam memiliki hubungan yang “baik”, mungkin tak ada pandemi. Atau jika hubungan makhluk lain seperti dinosaurus dengan alam itu “baik”, maka mungkin 66 juta tahun lalu tak ada gempuran asteroid yang jatuh ke bumi dan menjadi hujan meteor lantas dengan lekas membuat makhluk-makhluk gigan tersebut punah. Pada akhirnya, kembali pada Stoikisme, Seneca pun memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Mungkin trauma, mungkin juga benar-benar lelah karena terus menerus bersabar ketika menjadi penasihat Kaisar Nero yang secara sinting membakar kota Roma.
Referensi:
MA, Moch Aldy. 2022. “Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme”. Zona Nalar;
Seneca. 2005. On the Shortness of Life. Penguin Books;
Aurelius, Marcus. 2006. Meditations. Penguin Books;
Epictetus. 1995. The Discourses. Everyman;
Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;
Holiday, Ryan. 2016. The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living. Portfolio;
Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Penerbit Buku Kompas;
Dyson, Stephen L. “THE PORTRAIT OF SENECA IN TACITUS.” Arethusa, vol. 3, no. 1, 1970, pp. 71–83. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/26306995. Accessed 20 Oct. 2022;
Tuesday, 25 October 2022
Puisi: Ode untuk Bila
Sunday, 23 October 2022
Translasi Puisi-Puisi Baudelaire
Puisi: Malam yang Kebiru-biruan
Wednesday, 19 October 2022
Manifesto Kesuraman: Menyoal Perihal Bunuh Diri, Penderitaan, dan Beban Kesadaran
“Haruskah aku bunuh diri, ataukah meminum kopi? Tapi pada akhirnya seseorang akan membutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup ketimbang bunuh diri.”
—Camus, La Mort heureuse (2013)
Kutipan di atas—adalah kutipan seorang filsuf-absurdis kenamaan asal Prancis (yang berkali-kali menolak dicap sebagai seorang eksistensialis) yang secara teknis, memang menegasikan konsep ‘harapan’. Seseorang yang punya mulut sebesar kolam lele dan otak sebesar tahi lele pun tahu bahwa kutipan tersebut suicidal, gelap, suram, cenderung nihilis serta pesimistis, dan seperti menyangkal kehidupan. Tapi apakah memang demikian—bahwa hidup sebegitu menyeramkannya? Apakah “mengada” sebagai seorang manusia merupakan keadaan-tak-menyenangkan yang sama sekali tak terbantahkan? Apakah kematian adalah panasea untuk kehidupan yang hanya berisi montase-montase penderitaan? Dan apakah penderitaan adalah problema yang ditimbulkan oleh “kesadaran”?
Bunuh Diri
Banyak dari kita menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah manifestasi dari kebodohan yang hakiki. Beberapa dari kita memandangnya sebagai keegoisan yang pandir dan keliru. Secara kesejarahan, khususnya sejarah Barat—di Yunani kuno, bunuh diri dianggap sebagai tindakan tercela. Seseorang yang telah melakukan bunuh diri, bahkan, tak mendapat upacara kematian (sesuai kultur-kepercayaan yang ada dan berlaku). Sebab mereka, pada dasarnya, lebih memercayai bahwa hidup adalah “hadiah”, adalah anugerah yang diberikan oleh para Dewa—bukan kutukan yang nauseatik (seperti yang secara implisit diungkapkan oleh Sartre, seorang filsuf-penulis-eksistensialis)—sehingga, membunuh diri sendiri merupakan sebentuk penghinaan kepada para Dewa.
Akan tetapi, apa makna dari mitologi kolektif tersebut di mata seseorang—yang secara depresif—melihat hidup-kehidupan sebagai sesuatu yang nirmakna? Seperti talang air di hadapan musim panas. Jika bunuh diri adalah respons paling rasional dari dunia yang secara fundamental tak bermakna—dedengkot filsuf Yunani, Socrates, secara implisit menyoal hal tersebut di dalam keyakinannya bahwa tubuh “menghalangi” pemahaman manusia akan makna. Pendek kata, dia mendefinisikan kematian sebagai proses “terpisahnya jiwa dari tubuh”—dengan kata lain, menegaskan bahwa kematian adalah satu-satunya proses di mana manusia dapat memahami konsep-konsep abstrak, misalnya terkait “makna eksistensial”. Interpretasi lebih luasnya—jika kita tak takut untuk hidup, kita semestinya juga tak takut untuk mati. Meskipun, orang-orang di Yunani kuno, pada akhirnya, memvonis mati Socrates atas tuduhan “keimanan” dan merusak pikiran kawula muda Athena. Namun melalui kematiannya yang monumental, Socrates sang martir mengajak kita agar jangan takut untuk menatap mata kematian (demi mempertahankan-menjalankan prinsip-prinsip yang diamini secara pribadi).
“Di detik-detik terakhir, sebelum eksekusinya, Socrates berkhotbah bahwa seorang filsuf seharusnya tak takut mati karena filsafat adalah praktik (untuk) mati.”
—Plato, Phaedo (2012)
Namun di sisi lain, Socrates bersikeras bahwa bunuh diri itu tetaplah salah, karena manusia adalah milik para Dewa. Muridnya, Plato, secara eksplisit, membahas bunuh diri di dalam dua bukunya. Pertama, Phaedo (380 SM)—di mana dia menyajikan semacam larangan ilahiah pada praktik bunuh diri—yang kemungkinan besar merupakan metafora untuk menjelaskan bahwa seseorang tak boleh mencoba untuk mati “sebelum waktunya”—sebelum seseorang itu punya “kecukupan” untuk menghadapi kematian. Kemudian, dalam The Laws (361 SM), Plato mengklaim bahwa bunuh diri—itu memalukan dan pelakunya harus dimakamkan di kuburan tak bernisan. Muridnya Plato, Aristoteles, bahkan mengutuk tindakan bunuh diri dengan lebih brutal dan nasionalis—dengan menyebutkan dua alasan penolakan moral: Pertama, bunuh diri adalah tindakan fatalis seorang eskapis yang pasti pengecut; kedua, bunuh diri adalah representasi ketakadilan terhadap negara dan secara ekonomis menurunkan pendapatan negara—atau sederhananya, merugikan negara.
Tapi kita mesti melupakan Socrates, Plato, atau Aristoteles, dan mengingat-ngingat kapan terakhir kali kita bertindak sebagai miniatur tuhan bagi individu lain—sebab bunuh diri itu sungguh kompleks dan tak sesederhana bahwa seseorang ingin mati saja. Tak ada yang benar-benar tahu apa motif terbesar-terkuat dari orang-orang yang melakukan bunuh diri. Namun ada beberapa buku, misalnya, Le Suicide (2013) karya Durkheim—sang sosiolog gigan, yang menyajikan studi sosiologis tentang fenomena bunuh diri. Berdasarkan data yang diperolehnya, Durkheim berpendapat bahwa bunuh diri tak hanya disebabkan oleh faktor psikologis atau emosional, tetapi juga oleh faktor sosial. Durkheim beralasan bahwa integrasi sosial, secara khusus, merupakan faktor yang paling memengaruhi. Semakin seseorang terintegrasi secara sosial—semakin kecil pula kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan bunuh diri. Secara cukup kontras, Freud—si psikolog yang tak kalah gigan, melihat bunuh diri sebagai hal-perihal yang lebih personal—bahkan menurutnya, hasrat untuk bunuh diri pada dasarnya dimiliki seluruh manusia. Namun, hasrat itu dapat ditekan dalam kondisi normal—tetapi, bunuh diri lebih merupakan bentuk kemarahan terhadap diri sendiri bila seseorang tersebut memiliki riwayat depresi.
Maka, jika memang humanisme dan otonomi-diri (à la Locke, Bapak Liberalisme) nyata adanya, tak ada yang lebih tak manusiawi dari pemaksaan kehendak—tak ada yang lebih buruk dan najis dari terus menerus meminta seseorang yang secara mendasar ingin mati—untuk tetap hidup. Lingkungan sosial kita, secara garis besar, sudah telanjur menanamkan prinsip bahwa membincangkan bunuh diri (dan hal-hal negatif) adalah sesuatu yang tabu sekaligus tolol dan terbilang rendah sekaligus “inferior”. Praktis, ruang-ruang bercerita semakin sempit dan orang-orang semakin malu untuk curhat mengenai kepecundangannya. Seakan dunia memang diliputi kebanalan yang kejam dan tak ada satu inci pun tempat bagi orang-orang medioker untuk berkeluh-kesah mengenai masalah-masalah hidupnya dan nihilitasnya. Seorang penulis, Manson, lewat bukunya yang laris dan berwarna sarkastik—The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life (2016) dan Stoikisme melalui konsep Dikotomi Kendali-nya—memperkeruh problema ini—seolah-olah mencitrakan bahwa manusia yang ideal adalah si paling bodo amat dan si paling mampu bersabar serta si paling bisa “membunuh” dimensi psikologisnya.
Pertanyaannya adalah, apa yang lebih alamiah dan purba dari air mata, dari sebentuk kemarahan spontan, dari keputusasaan yang pasrah, dari masalah-masalah yang secara fundamental tak memiliki jalan keluar? Tak ada. Perlu digarisbawahi bahwa selain suka bergosip (Homo Homini Gossiping), suka bercerita (Homo Narrans), suka bermain-main (Homo Ludens), suka bersosial (Homo Homini Socius), suka menikam sesamanya (Homo Homini Lupus)—seharusnya para ilmuwan, sosiolog, sejarawan, atau siapa pun—menambah julukan baru bagi manusia, yakni suka mengeluh (Homo Homini Hadeuh). Lebih dari 400 tahun setelah Renaissance, Aufklärung, Revolusi Industri, Revolusi Ilmiah—nyatanya, tak benar-benar secara komprehensif mengubah sifat-karakteristik dasar manusia yang pada dasarnya memanglah suka mengeluh dan misuh-misuh. Meskipun, tak ada yang harus dirubah dari hal-hal alamiah tersebut. Maka, adalah suatu kebahlulan luar biasa manakala lingkungan sosial seperti menutup lubang-lubang telinga bagi sesama manusia. Sebab, secara esensial, ketiadaan ruang untuk bercerita meningkatkan potensi bunuh diri. Tempat bercerita mungkin adalah bare mininum—mungkin juga sesuatu yang sekiranya sudah “cukup” untuk meredam intensi-tendensi bunuh diri.
“... dan kemudian, aku memiliki alam dan seni dan puisi, dan jika itu tidaklah cukup—lantas apa yang cukup?”
—van Gogh, Dear Theo (1995)
Masih menyoal kebenaran, menurut filsuf pascastrukturalis asal Negara Croissant—Foucault, tak ada kebenaran yang tak berkorelasi dengan “kekuatan”, dengan superioritas. Pada gilirannya, diskursus ini akan mengarah pada pertanyaan lain yang nihil jawaban final: Apakah bunuh diri memang dilakukan oleh seseorang yang “lemah” dan merupakan tindakan inferior yang memalukan? Lantas, kekuatan atau superioritas macam apa yang ingin kita bangun di atas nilai-nilai sosial di tengah-tengah masyarakat yang hipokrit dan sok kuat? Secara moralitas umum, bunuh diri memiliki wajah Dewa Janus—dengan kata lain, memiliki dua sisi yang saling antipodal. Sisi yang pertama bermotif teistik dan nasionalistik—misalnya, jihad, jibakutai, kamikaze, atau puputan—yang dikategorikan sebagai kemartiran/kepahlawanan yang terhormat. Sisi yang kedua adalah kebalikannya. Sehingga, akan ironi rasanya untuk menelan fakta pahit bahwa bunuh diri dengan motif eksternal (agama, bangsa, dll.) merupakan tindakan yang berkonotasi positif—sementara bunuh diri dengan motif internal (kehendak bebas, kedirian, individualitas) bersinonim dengan kenegatifan.
“Mereka mengatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan seorang pengecut; juga menyatakan bahwa hanya orang gila yang melakukan itu; dan hal lain yang membuat orang bunuh diri terlihat buruk; atau mereka membuat pernyataan yang irasional bahwa bunuh diri itu salah; cukup jelas bahwa setiap orang di dunia ini memiliki sisi yang tak dapat disentuh oleh orang lain, yaitu kehidupan pribadinya sendiri.”
—Schopenhauer, Studies in Pessimism: The Essays (2004)
Lalu bagaimana dengan mati bunuh diri secara legal? Setidaknya sampai November 2021, hanya ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia: Belgia, Kanada, Kolombia, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, dan Spanyol. Pada akhirnya, pada suatu pagi yang luar biasa membosankan, di suatu negara berkembang yang religius masyarakatnya—seseorang yang secara esensial ingin mati—lebih mungkin untuk tetap menyeduh kopinya lagi dan merasakan kemalangan-kemalangan—seperti biasa; dan Sisifus akan tetap mendorong batunya tanpa henti, setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, sampai jantungnya tak lagi berdetak. Akan tetapi, seseorang benar-benar harus membayangkan Camus sakit maag dan Sisifus asam urat.
Penderitaan
“Hidup adalah rangkaian kecelakaan kereta tanpa akhir, dengan sedikit kebahagiaan sebagai pariwara.”
—Deadpool (2016)
Tak ada beda antara apa yang diucapkan Deadpool dengan apa yang seumur hidup digaungkan oleh Schopenhauer, salah satu filsuf Barat yang paling pesimis dan suram. Hidup, bagi Pak Tua dari Danzig yang begitu membenci Hegel (juragan idealisme) ini, adalah rentetan penderitaan konstan—sementara kebahagiaan hanyalah intermezzo yang berpuncak pada kesia-siaan total dan final: kematian. Schopenhauer adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—atau filsuf-pesimis—meminjam istilah teknis profesor UCLA, Dienstag—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Schopenhauer, Camus, Nietzsche, Unamuno, dan Cioran—kurang lebih sebagai korpus dari tradisi Pesimisme.
Schopenhauer, melalui The World as Will and Representation (2012) memaparkan visi kehidupan yang sangat pesimistis, dan inti dari visi itu adalah gagasannya tentang Will/Kehendak: kekuatan irasional yang buta, yang terus-menerus berjuang, yang merupakan esensi yang menggerakan dunia. Kehendak kosmis ini memanifestasikan atau mengekspresikan dirinya melalui setiap individu dalam bentuk dorongan seksual dan “Kehendak untuk Hidup” yang dapat dilihat di seluruh alam raya. “Kehendak” ini adalah sumber dari berbagai kesengsaraan karena pada dasarnya tak pernah bisa terpuaskan. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang untuk mengurangi penderitaannya adalah dengan menemukan cara untuk menenangkan kehendaknya sendiri; dan fungsi seni-kesenian, menurutnya, adalah untuk meredam Kehendak ini.
Di sisi lain, paradoksnya, jika esai filsafat Hume—seorang filsuf spesialis “nature”, yang berjudul “On Tragedy”, wiracarita Lucretius—penyair-filsuf Romawi, “De rerum natura”, dan “Elements of Law: Natural and Politic” (1640) karya Hobbes—salah satu filsuf berpengaruh, disintesiskan—maka terkonstruksi sebuah hipotesa bahwa rasa sakit dan penderitaan adalah sebuah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan. Tapi apakah iya? Apakah secara “nature” manusia merupakan makhluk yang masokis, yang begitu menginginkan rasa sakit dan penderitaan? Seorang filsuf yang lekat dengan tema rasa sakit, Bataille, mempunyai pemikiran yang setidaknya bisa sedikit menjawab—dia memiliki istilah teknis ‘violent ejaculation’ untuk menggambarkan sensasi erotis yang nyaris mendekati kematian. Sensasi yang terus dieksploitasi oleh Clara, tokoh dalam film Salo: 120 Days of Sodom (1975) garapan sutradara-intelektual Pasolini. Pertanyaan yang lebih fundamentalnya kemudian: Apakah benar manusia satu kesatuan dengan penderitaan? Mungkin iya, mungkin sangat iya. Nietzsche dan Buddhisme, secara garis besar, memiliki kesepakatan filosofis bahwa kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan. Nietzsche, secara gagah berani bahkan menulis dalam bukunya Genealogy of Morals (2012): “manusia, adalah hewan yang paling berani dan paling rentan menderita, yang tak menyangkal penderitaan—manusia menginginkannya, bahkan mencarinya, dengan catatan bahwa manusia ditunjukkan makna dan tujuan dari sebuah penderitaan.”
Sedangkan Buddhisme, mengutip Religion and Nothingness (1983) karya filsuf-profesor asal Nippon Nishitani—mengandung Four Noble Truths (Empat Kebenaran Mulia): berisi Duhkha—menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan—kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi; yang kedua, Samudaya—menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan; kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Dengan demikian, melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan (dari siklus kematian), yang pada akhirnya—mengarah ke nirvanā/nirwana.
“Hidup tak lebih dari sekadar ilusi, seperti seorang aktor malang yang mondar-mandir dan khawatir selama berjam-jam di atas panggung dan kemudian namanya tak pernah terdengar lagi. Hidup hanyalah kisah yang diceritakan oleh para idiot, penuh dengan kebisingan, dan gangguan emosional, tetapi tanpa makna apa pun.”
—Shakespeare, The Tragedy of Macbeth (2013)
Tapi pada titik tertentu, manusia harus hidup dalam realitas dan menghilangkan delusinya—lantas dengan lekas menghapus mitos-mitos metafisik macam nirwana, swarga, firdaus, elysium, atau valhalla dari kamus kepalanya. Manusia mesti hidup dalam realitas yang benar-benar sejati. Meskipun jika itu adalah hidup di sisi yang jauh lebih “noir”, misalnya, sisi seorang pengarang yang melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 5 kali dan pada akhirnya meninggal bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya ke dalam air pada hari ulang tahunnya yang ke-39—seperti Dazai—yang juga dengan jujur serta piawai-depresifnya menarasikan kegagalan-kegagalan manusia di dalam bukunya Ningen Shikakku alias No Longer Human (2012). Memang mengerikan, tetapi bukankah kenyataan tak pernah datang dengan muka seperti bayi? Lebih lanjut, Dazai secara tak langsung membidani pertanyaan: Apakah kehidupan adalah permainan catur yang sudah sekakmat? Atau jika menukil kembali kredo Chairil: Apakah hidup hanya menunda kekalahan?
Kedua pertanyaan tersebut memang terdengar tendensius, bohemian, dan serampangan. Tapi bukankah hidup manusia memang seperti dipenuhi kerinduan akan kebahagiaan dan alasan, tetapi di mana-mana—kita hanya disesaki keheningan dunia yang tak masuk akal. Sains (dan modernitas) telah mendemistifikasi mitos-mitos usang dan hiburan lama manusia di dalam sistem kepercayaan dan agama—dengan secara ilmiah mengungkapkan bahwa alam semesta adalah tempat kosong yang dingin, mahabesar, dan terus mengembang.
“Lihat kembali titik mungil itu. Itu adalah Bumi. Adalah rumah. Adalah kita. Di atasnya semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua orang yang pernah kita dengar, setiap manusia yang pernah ada, menjalani hidup mereka. Keseluruhan dari kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama yang percaya diri, ideologi, dan doktrin ekonomi, setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pencipta dan perusak peradaban, setiap raja dan hamba, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang penuh harapan, penemu dan pengembara, setiap pengajar moral, setiap politisi korup, setiap superstar, setiap pemimpin tertinggi, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies kita tinggal di sana—di atas butiran debu kosmik yang bergantung pada sinar matahari.
Bumi adalah panggung yang begitu kecil di arena kosmik yang mahaluas. Pikirkan sungai-sungai darah yang ditumpahkan oleh para jenderal dan para kaisar itu sehingga, dalam kemuliaan dan kemenangan, mereka bisa menjadi penguasa sesaat dari sepersekian titik. Pikirkan kekejaman tak berujung yang dilakukan oleh penghuni satu sudut piksel ini kepada penghuni sudut lain yang hampir tak dapat dibedakan, seberapa sering kesalahpahaman mereka, betapa inginnya mereka saling membunuh, betapa kuatnya kebencian mereka.
Kepura-puraan kita, kesombongan yang kita bayangkan, delusi bahwa kita memiliki beberapa posisi istimewa di Semesta, ditantang oleh setitik cahaya yang pucat ini. Planet kita adalah titik sepi dalam kegelapan kosmik yang menyelimuti. Dalam ketakjelasan kita, dalam keluasan ini, tak ada petunjuk bahwa pertolongan akan datang dari antah berantah untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.
Bumi adalah satu-satunya dunia yang sejauh ini diketahui memiliki kehidupan. Tak ada tempat lain, setidaknya dalam waktu dekat, di mana spesies kita dapat bermigrasi. Mengunjungi, ya. Tinggal dan menetap, belum. Suka atau tidak, untuk saat ini Bumi adalah tempat kita berdiri.
Telah dikatakan bahwa astronomi adalah kerendahatian dan pengalaman yang membangun karakter. Mungkin tak ada demonstrasi yang lebih baik dari kebodohan-kesombongan manusia selain gambaran jauh dari dunia kecil kita ini. Bagiku, itu menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk memperlakukan satu sama lain dengan lebih baik, dan untuk melestarikan dan menghargai titik biru pucat, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal ini.”
—Sagan, Pale Blue Dot (2013)
Secara simultan, penderitaan manusia niscaya bertambah parah ketika kita membaca teks dari buku Sagan, Pale Blue Dot (yang terinspirasi oleh potret yang diambil oleh Voyager 1 pada 14 Februari 1990; ketika pesawat ruang angkasa itu meninggalkan wilayah planet kita ke pinggiran tata surya)—dan secara sadar menyadari bahwa kita hanyalah debu kosmik yang nirmakna. Pada gilirannya, di kesepian paling sunyi, jiwa manusia mendambakan transendensi, tetapi, seperti yang ditulis seorang novelis avant-garde—Beckett, dalam Waiting for Godot (2011) melalui tokoh bernama Pozzo: “manusia melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.”
Ketakcocokan mendasar antara keinginan psikis dan apa yang disediakan oleh kenyataan, adalah sesuatu yang membuka satu juta gerbang penderitaan. Pada dasarnya, hewan juga menderita, tetapi rasa sakit manusia jauh lebih meremukkan dan memualkan—sebab manusia memiliki kemampuan berefleksi, menyimpan memori, melihat ke masa yang akan datang, merasai trauma masa lalu—dan membidani kecemasan yang memiliki potensi begitu tinggi mengonstruksi penderitaan. Jika secara biologis manusia adalah hewan pun manusia adalah hewan yang tak bahagia, ditinggalkan, dan dipaksa untuk menemukan jalan hidupnya—seperti yang Cioran, sang filsuf-negatif, sabdakan dalam bukunya On the Heights of Despair (2013)—yang secara sekilas tak berbeda jauh suramya dengan Dazai. Jadi, apakah memilih untuk tetap hidup dan merasai penderitaan sama dengan menunda kekalahan—di samping kenyataan bahwa kematian tak bisa menutup lubang makna yang ditinggalkan kehidupan? Mungkin, iya. Mungkin, tidak. Namun, semisal di masa depan nanti, manusia bisa berevolusi menjadi Homo Deus (tuhan) pun manusia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya kecuali kebahagiaan. Mengapa demikian?
Sebab nampaknya kita harus merevisi aforisme Latin yang lekat dengan figur Renaissance di Britania Raya, Bacon: bahwa scientia potentia est; knowledge is a power; pengetahuan adalah kekuatan. Kemudian menggantinya dengan: knowledge is a power that makes humans suffer; pengetahuan adalah kekuatan yang membuat manusia menderita. Mungkin kita juga harus sepakat dengan frasa penyair Gray: ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan—dalam buku puisinya yang berjudul The Poems (2012). Di jurang nihilitas, seseorang niscaya mengetahui ada skenario yang tampak jauh lebih buruk dan jelek dari ini semua—bahwa manusia sudah kalah, jauh sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi, agar manifesto kesuraman yang tak berguna ini terkesan tak terlalu suram, mungkin kita mesti setuju dengan penulis-surealis—Murakami, yang menyatakan bahwa rasa sakit memang tak terhindarkan—tetapi penderitaan adalah opsional—yang secara liris dia tekskan melalui bukunya—What I Talk About When I Talk About Running (2008).
Beban Kesadaran
“frankly, human consciousness
is a heavy burden.
that’s why some of us—
consciously, choose uncosciousness
& be a junkie:
religion, philosophy,
ideology, political party,
or other shit to retreat
from the bitterness of reality—
such a coward, who can’t live forward
to shone the darkside of time—
in the face of presently.
: o life! are humans
the closest metaphor
for the most pathetic slaves
of certainty—on the dead planet
who enclose uncertainty?”
—Moch Aldy MA, dari puisi berjudul Slaves of Certainty (2022)
Para
filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadaran” (the
problem of consciousness)—seolah-olah problema kesadaran merupakan problema
yang sudah jelas pemetaannya. Descartes si bapak filsafat modern, pun berupaya
menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Menurutnya,
pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada
tubuh—dan pikiran adalah entitas yang mandiri, juga terlepas dari tubuh.
Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa.
Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan
epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Tapi, pada akhir
dekade 1950-an pandangan ini mulai didebat dari berbagai penjuru.
Di akhir abad ke-16 dan di awal abad ke-17, Descartes secara monumental meneriakkan kredo: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada)—dan setelahnya menguatkan konvensi umum bahwa manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, sebab hal tersebut menunjukkan fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran. Descartes, secara tak langsung, juga mengonstruksi persepsi bahwa rasio, akal, pikiran, dan kesadaran merupakan sesuatu yang positif dan baik. Secara jukstaposisi, Unamuno, guru intelektual Cioran, dalam bukunya Tragic Sense of Life (2008) menyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia—yang tentu berkonotasi negatif dan buruk. Filsafat Cioran—yang berangkat dari Unamuno—mempertajam serta menguatkan anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit. Akan tetapi, pertanyaannya, kesadaran akan apa? Waktu. Menurutnya, waktu memungkinkan seorang makhluk menderita. Akal/pikiran/kesadaran kita mampu merefleksikan dan memiliki pemahaman penuh tentang eksistensi masa lalu dan masa depan. Cioran menyatakan bahwa kemampuan manusia ini memiliki efek samping yang menakutkan, misalnya, pengetahuan bahwa eksistensi kita ada—dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Di sisi lain, hewan seperti ular, badak, burung, paus—ketika mereka merasakan rasa sakit, tak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti manusia—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.
Ungkapan puitis yang Cioran gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”. Setidaknya, di masyarakat, ada dua istilah hiper-klise tentang waktu: Pertama, semua akan indah pada waktunya; kedua, biarlah waktu menjawabnya. Apakah benar semua akan indah pada waktunya? Bagaimana jika kita sudah pada waktunya, tetapi keindahan itu tak pernah ada? Apakah benar waktu bisa menjawab pertanyaan manusia? Bukankah waktu hanyalah satuan fisika untuk mengukur berapa lama subjek mengada? Bukankah waktu tak pernah menjawab apa-apa dan hanya kesadaran yang menjawab semuanya? Jika kita menggunakan sedikit isi kepala Hawking dalam A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (1998) alias konsep Waktu Linier, ditemukan tesis bahwa garis kehidupan selalu menunjuk ke masa depan; sementara itu, di sisi lain, masa depan selalu membawa kita selangkah lebih dekat dengan kematian. Masa lalu membawa kita ke masa kini, dan masa kini akan membawa kita ke masa depan (menuju kematian yang tak terbantahkan dan tak terhindarkan). Maka dari itu, adalah ganjil jika kita berharap lebih kepada “waktu”.
Filsuf-fenomenolog, Heidegger, menggunakan istilah Dasein (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman mengada yang khas manusia; dan dalam bukunya—Being and Time (2008)—dia memiliki istilah yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa absurd jika kita berharap banyak kepada waktu—istilah teknisnya Sein-zum-Tode: singkatnya, makhluk yang secara sadar menyadari bahwa dia sedang berjalan menuju kematian yang benar-benar tak terelakkan; makhluk yang menyadari bahwa dirinya berada dalam ‘bingkai’ yang disebut waktu. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka.
Meskipun kematian adalah takdir definitif yang diterima secara universal. Heidegger, memiliki premis bahwa kematian memungkinkan makna. Di lain sisi, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru “mengambil” makna ini. Eksistensialis Prancis lain—de Beauvoir, memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir secara brutal mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tak adil”. Tapi, L'homme est Condamné à Être Libre; manusia dikutuk untuk bebas—kata Sartre. Manusia dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kehendak bebas: kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di planet ini tak terbatas. Manusia yang fana tak mampu melakukannya. Kefanaan, di sisi lain, juga meningkatkan potensi kesia-siaan. Tak ada yang bisa menjamin bahwa menulis, misalnya, adalah bekerja untuk keabadian. Tak ada yang tahu bahwa apa-apa yang kita usahakan seumur hidup akan bermanfaat, berguna, atau bermakna nantinya. Tak ada yang bisa memastikan bahwa 100 tahun dari sekarang akan ada seseorang yang dapat mengenali apalagi mengingat-ngingat dengan liris eksistensi kita.
Dengan demikian, dengan mengakui temporalitas kita, kesementaraan kita—di mana kita dapat memahami kesementaraan keberadaan—keputusan-keputusan yang kita buat mengandung semacam “beban-beban” tertentu. Sehingga, kesadaran akan kematian, merupakan beban kesadaran yang luar biasa berat. Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Kemungkinan kematian, yang hidup di dalam urat nadi dan neuron di dalam otak manusia—yang bertahan sepanjang napas berembus—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan-pilihan yang kita buat. “Sein-zum-Tode adalah neraka!”—pungkas Sartre kepada Heidegger sembari menangis dan mengacungkan jari tengah.
“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.
Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk.
Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”
—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)
Referensi:
MA,
Moch Aldy. 2022. “An Oasis for the Stranded, Losers”. Omong-Omong Media;
MA,
Moch Aldy. 2022. “Friedrich Nietzsche and So On and So On”. Omong-Omong Media;
Pratama,
Angga. 2022. “Marx, Cioran, Penderitaan, dan Revolusi”. Omong-Omong Media;
Camus,
Albert. 2013. A Happy Death. Kindle Edition: Penguin Classics;
Durkheim,
Èmile. 2013. Le Suicide. Kindle Edition: Presses Èlectroniques de France;
Nietzsche,
Friedrich. 2012. Genealogy of Morals. Kindle Edition: Start Publishing LLC;
Nishitani,
Keiji. 1983. Religion and Nothingness. University of California Press;
Harari,
Yuval N. 2014. Sapiens: A Brief History of Humankind. Kindle Edition: Vintage;
Manson,
Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to
Living a Good Life. Harper;
Schopenhauer,
Arthur. 2012. The World As Will And Idea. Kindle Edition;
Dienstag,
Joshua Foa. 2009. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton
University Press;
Unamuno,
Miguel de. 2008. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications;
Beckett,
Samuel. 2011. Waiting for Godot: A Tragicomedy in Two Acts. Kindle Edition:
Grove Press;
Shakespeare,
William. 2013. The Tragedy of Macbeth. Simon & Schuster;
Dazai,
Osamu. 2012. No Longer Human. Kindle Edition: New Directions;
Murakami,
Haruki. 2008. What I Talk About When I Talk About Running. Kindle Edition:
Vintage;
Hawking,
Stephen. 1998. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes.
Bantam Books;
Heidegger,
Martin. 2008. Being and Time. Harper Perennial Modern Classics;
Sagan,
Carl. 2011. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space. Kindle
Editions: Ballantine Books;
Simpson,
Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;
Gray,
Thomas. 2012. The Poems. General Books;
Van
Gogh, Vincent. 1995. Dear Theo. Plume Books;
Cholbi,
Michael, “Suicide”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021
Edition), Edward N. Zalta (ed.);
Laios,
K., Tsoukalas, G., Kontaxaki, M. I., Karamanou, M., & Androutsos, G.
(2014). Suicide in ancient Greece. Psychiatrike = Psychiatriki, 25(3), 200–207;
Gavis,
Meghan (2020) “Suicide According to Socrates and Camus,” Parnassus: Classical
Journal: Vol. 7, Article 7;
Fadaie,
Shakiba. 2021. “Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death”. The
University of British Columbia, Shakiba Fadaie;
Fadaie,
Shakiba. 2020. “Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and
Buddhism”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;
Olszewski,
Fernando. 2020. “Cioran, the philosophy of despair and its ethical
implications”. Metaphysical Exile;
Borghini,
Andrea. 2019. “The Paradox of Tragedy”. ThoughtCo.;
Sawitra
Mustika, I Ketut. 2021. “Penderitaan dan Jalan Pembebasan yang Mungkin”.
Lingkar Studi Filsafat Cogito;
Wattimena, Reza A.A. 2009. “Manusia dan Kesadaran”. Rumah Filsafat.