Wednesday, 19 October 2022

Manifesto Kesuraman: Menyoal Perihal Bunuh Diri, Penderitaan, dan Beban Kesadaran

“Haruskah aku bunuh diri, ataukah meminum kopi? Tapi pada akhirnya seseorang akan membutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup ketimbang bunuh diri.”

—Camus, La Mort heureuse (2013)

Kutipan di atas—adalah kutipan seorang filsuf-absurdis kenamaan asal Prancis (yang berkali-kali menolak dicap sebagai seorang eksistensialis) yang secara teknis, memang menegasikan konsep ‘harapan’. Seseorang yang punya mulut sebesar kolam lele dan otak sebesar tahi lele pun tahu bahwa kutipan tersebut suicidal, gelap, suram, cenderung nihilis serta pesimistis, dan seperti menyangkal kehidupan. Tapi apakah memang demikian—bahwa hidup sebegitu menyeramkannya? Apakah “mengada” sebagai seorang manusia merupakan keadaan-tak-menyenangkan yang sama sekali tak terbantahkan? Apakah kematian adalah panasea untuk kehidupan yang hanya berisi montase-montase penderitaan? Dan apakah penderitaan adalah problema yang ditimbulkan oleh “kesadaran”?

Bunuh Diri

Banyak dari kita menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah manifestasi dari kebodohan yang hakiki. Beberapa dari kita memandangnya sebagai keegoisan yang pandir dan keliru. Secara kesejarahan, khususnya sejarah Barat—di Yunani kuno, bunuh diri dianggap sebagai tindakan tercela. Seseorang yang telah melakukan bunuh diri, bahkan, tak mendapat upacara kematian (sesuai kultur-kepercayaan yang ada dan berlaku). Sebab mereka, pada dasarnya, lebih memercayai bahwa hidup adalah “hadiah”, adalah anugerah yang diberikan oleh para Dewa—bukan kutukan yang nauseatik (seperti yang secara implisit diungkapkan oleh Sartre, seorang filsuf-penulis-eksistensialis)—sehingga, membunuh diri sendiri merupakan sebentuk penghinaan kepada para Dewa.

Akan tetapi, apa makna dari mitologi kolektif tersebut di mata seseorang—yang secara depresif—melihat hidup-kehidupan sebagai sesuatu yang nirmakna? Seperti talang air di hadapan musim panas. Jika bunuh diri adalah respons paling rasional dari dunia yang secara fundamental tak bermakna—dedengkot filsuf Yunani, Socrates, secara implisit menyoal hal tersebut di dalam keyakinannya bahwa tubuh “menghalangi” pemahaman manusia akan makna. Pendek kata, dia mendefinisikan kematian sebagai proses “terpisahnya jiwa dari tubuh”—dengan kata lain, menegaskan bahwa kematian adalah satu-satunya proses di mana manusia dapat memahami konsep-konsep abstrak, misalnya terkait “makna eksistensial”. Interpretasi lebih luasnya—jika kita tak takut untuk hidup, kita semestinya juga tak takut untuk mati. Meskipun, orang-orang di Yunani kuno, pada akhirnya, memvonis mati Socrates atas tuduhan “keimanan” dan merusak pikiran kawula muda Athena. Namun melalui kematiannya yang monumental, Socrates sang martir mengajak kita agar jangan takut untuk menatap mata kematian (demi mempertahankan-menjalankan prinsip-prinsip yang diamini secara pribadi).


“Di detik-detik terakhir, sebelum eksekusinya, Socrates berkhotbah bahwa seorang filsuf seharusnya tak takut mati karena filsafat adalah praktik (untuk) mati.”

—Plato, Phaedo (2012)

Namun di sisi lain, Socrates bersikeras bahwa bunuh diri itu tetaplah salah, karena manusia adalah milik para Dewa. Muridnya, Plato, secara eksplisit, membahas bunuh diri di dalam dua bukunya. Pertama, Phaedo (380 SM)—di mana dia menyajikan semacam larangan ilahiah pada praktik bunuh diri—yang kemungkinan besar merupakan metafora untuk menjelaskan bahwa seseorang tak boleh mencoba untuk mati “sebelum waktunya”—sebelum seseorang itu punya “kecukupan” untuk menghadapi kematian. Kemudian, dalam The Laws (361 SM), Plato mengklaim bahwa bunuh diri—itu memalukan dan pelakunya harus dimakamkan di kuburan tak bernisan. Muridnya Plato, Aristoteles, bahkan mengutuk tindakan bunuh diri dengan lebih brutal dan nasionalis—dengan menyebutkan dua alasan penolakan moral: Pertama, bunuh diri adalah tindakan fatalis seorang eskapis yang pasti pengecut; kedua, bunuh diri adalah representasi ketakadilan terhadap negara dan secara ekonomis menurunkan pendapatan negara—atau sederhananya, merugikan negara.

Tapi kita mesti melupakan Socrates, Plato, atau Aristoteles, dan mengingat-ngingat kapan terakhir kali kita bertindak sebagai miniatur tuhan bagi individu lain—sebab bunuh diri itu sungguh kompleks dan tak sesederhana bahwa seseorang ingin mati saja. Tak ada yang benar-benar tahu apa motif terbesar-terkuat dari orang-orang yang melakukan bunuh diri. Namun ada beberapa buku, misalnya, Le Suicide (2013) karya Durkheim—sang sosiolog gigan, yang menyajikan studi sosiologis tentang fenomena bunuh diri. Berdasarkan data yang diperolehnya, Durkheim berpendapat bahwa bunuh diri tak hanya disebabkan oleh faktor psikologis atau emosional, tetapi juga oleh faktor sosial. Durkheim beralasan bahwa integrasi sosial, secara khusus, merupakan faktor yang paling memengaruhi. Semakin seseorang terintegrasi secara sosial—semakin kecil pula kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan bunuh diri. Secara cukup kontras, Freud—si psikolog yang tak kalah gigan, melihat bunuh diri sebagai hal-perihal yang lebih personal—bahkan menurutnya, hasrat untuk bunuh diri pada dasarnya dimiliki seluruh manusia. Namun, hasrat itu dapat ditekan dalam kondisi normal—tetapi, bunuh diri lebih merupakan bentuk kemarahan terhadap diri sendiri bila seseorang tersebut memiliki riwayat depresi.

Maka, jika memang humanisme dan otonomi-diri (à la Locke, Bapak Liberalisme) nyata adanya, tak ada yang lebih tak manusiawi dari pemaksaan kehendak—tak ada yang lebih buruk dan najis dari terus menerus meminta seseorang yang secara mendasar ingin mati—untuk tetap hidup. Lingkungan sosial kita, secara garis besar, sudah telanjur menanamkan prinsip bahwa membincangkan bunuh diri (dan hal-hal negatif) adalah sesuatu yang tabu sekaligus tolol dan terbilang rendah sekaligus “inferior”. Praktis, ruang-ruang bercerita semakin sempit dan orang-orang semakin malu untuk curhat mengenai kepecundangannya. Seakan dunia memang diliputi kebanalan yang kejam dan tak ada satu inci pun tempat bagi orang-orang medioker untuk berkeluh-kesah mengenai masalah-masalah hidupnya dan nihilitasnya. Seorang penulis, Manson, lewat bukunya yang laris dan berwarna sarkastik—The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life (2016) dan Stoikisme melalui konsep Dikotomi Kendali-nya—memperkeruh problema ini—seolah-olah mencitrakan bahwa manusia yang ideal adalah si paling bodo amat dan si paling mampu bersabar serta si paling bisa “membunuh” dimensi psikologisnya.

Pertanyaannya adalah, apa yang lebih alamiah dan purba dari air mata, dari sebentuk kemarahan spontan, dari keputusasaan yang pasrah, dari masalah-masalah yang secara fundamental tak memiliki jalan keluar? Tak ada. Perlu digarisbawahi bahwa selain suka bergosip (Homo Homini Gossiping), suka bercerita (Homo Narrans), suka bermain-main (Homo Ludens), suka bersosial (Homo Homini Socius), suka menikam sesamanya (Homo Homini Lupus)—seharusnya para ilmuwan, sosiolog,  sejarawan, atau siapa pun—menambah julukan baru bagi manusia, yakni suka mengeluh (Homo Homini Hadeuh). Lebih dari 400 tahun setelah Renaissance, Aufklärung, Revolusi Industri, Revolusi Ilmiah—nyatanya, tak benar-benar secara komprehensif mengubah sifat-karakteristik dasar manusia yang pada dasarnya memanglah suka mengeluh dan misuh-misuh. Meskipun, tak ada yang harus dirubah dari hal-hal alamiah tersebut. Maka, adalah suatu kebahlulan luar biasa manakala lingkungan sosial seperti menutup lubang-lubang telinga bagi sesama manusia. Sebab, secara esensial, ketiadaan ruang untuk bercerita meningkatkan potensi bunuh diri. Tempat bercerita mungkin adalah bare mininum—mungkin juga sesuatu yang sekiranya sudah “cukup” untuk meredam intensi-tendensi bunuh diri.

“... dan kemudian, aku memiliki alam dan seni dan puisi, dan jika itu tidaklah cukup—lantas apa yang cukup?”

—van Gogh, Dear Theo (1995)

Standar “kecukupan” setiap orang pasti berbeda-beda—cukup adalah sesuatu yang sangat personal—seseorang sangat mungkin merasa eksistensi dan yang hal-hal terkait dirinya tak pernah cukup—sehingga bunuh diri menurutnya adalah jalan pintas. Dalam kacamata yang lebih luas, tanpa moralitas objektif—semuanya “boleh”. Dengan demikian, bunuh diri, sejatinya, bukanlah kesalahan objektif (merujuk pada kebenaran objektif yang dianut masyarakat luas). Dalam pendekatan yang lebih ekstrem dan berbau pascamodern, meminjam kutipan raja kritik—Nietzsche, bahwa tak ada kebenaran objektif, hanya ada interpretasi—hanya ada kebenaran subjektif. Namun, di samping hal-perihal yang definitif itu—sekalipun ada kebenaran objektif, bukankah hidup tetaplah hal-perihal yang sangat subjektif? Tak ada satu pun entitas yang mampu merasakan penderitaan seseorang secara paripurna. Ketika seseorang bercerita mengenai duka laranya, misalnya, seseorang yang mendengar cerita tersebut hanya akan merasakan duka lara tersebut (dalam semacam simulasi impuls emosi, dalam bentuk empati) bukan benar-benar secara langsung dan intens mengalami.

Masih menyoal kebenaran, menurut filsuf pascastrukturalis asal Negara Croissant—Foucault, tak ada kebenaran yang tak berkorelasi dengan “kekuatan”, dengan superioritas. Pada gilirannya, diskursus ini akan mengarah pada pertanyaan lain yang nihil jawaban final: Apakah bunuh diri memang dilakukan oleh seseorang yang “lemah” dan merupakan tindakan inferior yang memalukan? Lantas, kekuatan atau superioritas macam apa yang ingin kita bangun di atas nilai-nilai sosial di tengah-tengah masyarakat yang hipokrit dan sok kuat? Secara moralitas umum, bunuh diri memiliki wajah Dewa Janus—dengan kata lain, memiliki dua sisi yang saling antipodal. Sisi yang pertama bermotif teistik dan nasionalistik—misalnya, jihad, jibakutai, kamikaze, atau puputan—yang dikategorikan sebagai kemartiran/kepahlawanan yang terhormat. Sisi yang kedua adalah kebalikannya. Sehingga, akan ironi rasanya untuk menelan fakta pahit bahwa bunuh diri dengan motif eksternal (agama, bangsa, dll.) merupakan tindakan yang berkonotasi positif—sementara bunuh diri dengan motif internal (kehendak bebas, kedirian, individualitas) bersinonim dengan kenegatifan.

“Mereka mengatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan seorang pengecut; juga menyatakan bahwa hanya orang gila yang melakukan itu; dan hal lain yang membuat orang bunuh diri terlihat buruk; atau mereka membuat pernyataan yang irasional bahwa bunuh diri itu salah; cukup jelas bahwa setiap orang di dunia ini memiliki sisi yang tak dapat disentuh oleh orang lain, yaitu kehidupan pribadinya sendiri.”

—Schopenhauer, Studies in Pessimism: The Essays (2004)

Lalu bagaimana dengan mati bunuh diri secara legal? Setidaknya sampai November 2021, hanya ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia: Belgia, Kanada, Kolombia, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, dan Spanyol. Pada akhirnya, pada suatu pagi yang luar biasa membosankan, di suatu negara berkembang yang religius masyarakatnya—seseorang yang secara esensial ingin mati—lebih mungkin untuk tetap menyeduh kopinya lagi dan merasakan kemalangan-kemalangan—seperti biasa; dan Sisifus akan tetap mendorong batunya tanpa henti, setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, sampai jantungnya tak lagi berdetak. Akan tetapi, seseorang benar-benar harus membayangkan Camus sakit maag dan Sisifus asam urat.

 Penderitaan


 “Hidup adalah rangkaian kecelakaan kereta tanpa akhir, dengan sedikit kebahagiaan sebagai pariwara.”

 —Deadpool (2016)

Tak ada beda antara apa yang diucapkan Deadpool dengan apa yang seumur hidup digaungkan oleh Schopenhauer, salah satu filsuf Barat yang paling pesimis dan suram. Hidup, bagi Pak Tua dari Danzig yang begitu membenci Hegel (juragan idealisme) ini, adalah rentetan penderitaan konstan—sementara kebahagiaan hanyalah intermezzo yang berpuncak pada kesia-siaan total dan final: kematian. Schopenhauer adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—atau filsuf-pesimis—meminjam istilah teknis profesor UCLA, Dienstag—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Schopenhauer, Camus, Nietzsche, Unamuno, dan Cioran—kurang lebih sebagai korpus dari tradisi Pesimisme.

Schopenhauer, melalui The World as Will and Representation (2012) memaparkan visi kehidupan yang sangat pesimistis, dan inti dari visi itu adalah gagasannya tentang Will/Kehendak: kekuatan irasional yang buta, yang terus-menerus berjuang, yang merupakan esensi yang menggerakan dunia. Kehendak kosmis ini memanifestasikan atau mengekspresikan dirinya melalui setiap individu dalam bentuk dorongan seksual dan “Kehendak untuk Hidup” yang dapat dilihat di seluruh alam raya. “Kehendak” ini adalah sumber dari berbagai kesengsaraan karena pada dasarnya tak pernah bisa terpuaskan. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang untuk mengurangi penderitaannya adalah dengan menemukan cara untuk menenangkan kehendaknya sendiri; dan fungsi seni-kesenian, menurutnya, adalah untuk meredam Kehendak ini.

Di sisi lain, paradoksnya, jika esai filsafat Hume—seorang filsuf spesialis “nature”, yang berjudul “On Tragedy”, wiracarita Lucretius—penyair-filsuf Romawi, “De rerum natura”, dan “Elements of Law: Natural and Politic” (1640) karya Hobbes—salah satu filsuf berpengaruh, disintesiskan—maka terkonstruksi sebuah hipotesa bahwa rasa sakit dan penderitaan adalah sebuah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan. Tapi apakah iya? Apakah secara “nature” manusia merupakan makhluk yang masokis, yang begitu menginginkan rasa sakit dan penderitaan? Seorang filsuf yang lekat dengan tema rasa sakit, Bataille, mempunyai pemikiran yang setidaknya bisa sedikit menjawab—dia memiliki istilah teknis ‘violent ejaculation’ untuk menggambarkan sensasi erotis yang nyaris mendekati kematian. Sensasi yang terus dieksploitasi oleh Clara, tokoh dalam film Salo: 120 Days of Sodom (1975) garapan sutradara-intelektual Pasolini. Pertanyaan yang lebih fundamentalnya kemudian: Apakah benar manusia satu kesatuan dengan penderitaan? Mungkin iya, mungkin sangat iya. Nietzsche dan Buddhisme, secara garis besar, memiliki kesepakatan filosofis bahwa kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan. Nietzsche, secara gagah berani bahkan menulis dalam bukunya Genealogy of Morals (2012): “manusia, adalah hewan yang paling berani dan paling rentan menderita, yang tak menyangkal penderitaan—manusia menginginkannya, bahkan mencarinya, dengan catatan bahwa manusia ditunjukkan makna dan tujuan dari sebuah penderitaan.”

Sedangkan Buddhisme, mengutip Religion and Nothingness (1983) karya filsuf-profesor asal Nippon Nishitani—mengandung Four Noble Truths (Empat Kebenaran Mulia): berisi Duhkha—menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan—kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi; yang kedua, Samudaya—menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan; kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Dengan demikian, melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan (dari siklus kematian), yang pada akhirnya—mengarah ke nirvanā/nirwana.

“Hidup tak lebih dari sekadar ilusi, seperti seorang aktor malang yang mondar-mandir dan khawatir selama berjam-jam di atas panggung dan kemudian namanya tak pernah terdengar lagi. Hidup hanyalah kisah yang diceritakan oleh para idiot, penuh dengan kebisingan, dan gangguan emosional, tetapi tanpa makna apa pun.”

—Shakespeare, The Tragedy of Macbeth (2013)

Tapi pada titik tertentu, manusia harus hidup dalam realitas dan menghilangkan delusinya—lantas dengan lekas menghapus mitos-mitos metafisik macam nirwana, swarga, firdaus, elysium, atau valhalla dari kamus kepalanya. Manusia mesti hidup dalam realitas yang benar-benar sejati. Meskipun jika itu adalah hidup di sisi yang jauh lebih “noir”, misalnya, sisi seorang pengarang yang melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 5 kali dan pada akhirnya meninggal bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya ke dalam air pada hari ulang tahunnya yang ke-39—seperti Dazai—yang juga dengan jujur serta piawai-depresifnya menarasikan kegagalan-kegagalan manusia di dalam bukunya Ningen Shikakku alias No Longer Human (2012). Memang mengerikan, tetapi bukankah kenyataan tak pernah datang dengan muka seperti bayi? Lebih lanjut, Dazai secara tak langsung membidani pertanyaan: Apakah kehidupan adalah permainan catur yang sudah sekakmat? Atau jika menukil kembali kredo Chairil: Apakah hidup hanya menunda kekalahan?

Kedua pertanyaan tersebut memang terdengar tendensius, bohemian, dan serampangan. Tapi bukankah hidup manusia memang seperti dipenuhi kerinduan akan kebahagiaan dan alasan, tetapi di mana-mana—kita hanya disesaki keheningan dunia yang tak masuk akal. Sains (dan modernitas) telah mendemistifikasi mitos-mitos usang dan hiburan lama manusia di dalam sistem kepercayaan dan agama—dengan secara ilmiah mengungkapkan bahwa alam semesta adalah tempat kosong yang dingin, mahabesar, dan terus mengembang.

 

“Lihat kembali titik mungil itu. Itu adalah Bumi. Adalah rumah. Adalah kita. Di atasnya semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua orang yang pernah kita dengar, setiap manusia yang pernah ada, menjalani hidup mereka. Keseluruhan dari kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama yang percaya diri, ideologi, dan doktrin ekonomi, setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pencipta dan perusak peradaban, setiap raja dan hamba, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang penuh harapan, penemu dan pengembara, setiap pengajar moral, setiap politisi korup, setiap superstar, setiap pemimpin tertinggi, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies kita tinggal di sana—di atas butiran debu kosmik yang bergantung pada sinar matahari.

Bumi adalah panggung yang begitu kecil di arena kosmik yang mahaluas. Pikirkan sungai-sungai darah yang ditumpahkan oleh para jenderal dan para kaisar itu sehingga, dalam kemuliaan dan kemenangan, mereka bisa menjadi penguasa sesaat dari sepersekian titik. Pikirkan kekejaman tak berujung yang dilakukan oleh penghuni satu sudut piksel ini kepada penghuni sudut lain yang hampir tak dapat dibedakan, seberapa sering kesalahpahaman mereka, betapa inginnya mereka saling membunuh, betapa kuatnya kebencian mereka.

Kepura-puraan kita, kesombongan yang kita bayangkan, delusi bahwa kita memiliki beberapa posisi istimewa di Semesta, ditantang oleh setitik cahaya yang pucat ini. Planet kita adalah titik sepi dalam kegelapan kosmik yang menyelimuti. Dalam ketakjelasan kita, dalam keluasan ini, tak ada petunjuk bahwa pertolongan akan datang dari antah berantah untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.

Bumi adalah satu-satunya dunia yang sejauh ini diketahui memiliki kehidupan. Tak ada tempat lain, setidaknya dalam waktu dekat, di mana spesies kita dapat bermigrasi. Mengunjungi, ya. Tinggal dan menetap, belum. Suka atau tidak, untuk saat ini Bumi adalah tempat kita berdiri.

Telah dikatakan bahwa astronomi adalah kerendahatian dan pengalaman yang membangun karakter. Mungkin tak ada demonstrasi yang lebih baik dari kebodohan-kesombongan manusia selain gambaran jauh dari dunia kecil kita ini. Bagiku, itu menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk memperlakukan satu sama lain dengan lebih baik, dan untuk melestarikan dan menghargai titik biru pucat, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal ini.”

—Sagan, Pale Blue Dot (2013)

Secara simultan, penderitaan manusia niscaya bertambah parah ketika kita membaca teks dari buku Sagan, Pale Blue Dot (yang terinspirasi oleh potret yang diambil oleh Voyager 1 pada 14 Februari 1990; ketika pesawat ruang angkasa itu meninggalkan wilayah planet kita ke pinggiran tata surya)—dan secara sadar menyadari bahwa kita hanyalah debu kosmik yang nirmakna. Pada gilirannya, di kesepian paling sunyi, jiwa manusia mendambakan transendensi, tetapi, seperti yang ditulis seorang novelis avant-garde—Beckett, dalam Waiting for Godot (2011) melalui tokoh bernama Pozzo: “manusia melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” 

Ketakcocokan mendasar antara keinginan psikis dan apa yang disediakan oleh kenyataan, adalah sesuatu yang membuka satu juta gerbang penderitaan. Pada dasarnya, hewan juga menderita, tetapi rasa sakit manusia jauh lebih meremukkan dan memualkan—sebab manusia memiliki kemampuan berefleksi, menyimpan memori, melihat ke masa yang akan datang, merasai trauma masa lalu—dan membidani kecemasan yang memiliki potensi begitu tinggi mengonstruksi penderitaan. Jika secara biologis manusia adalah hewan pun manusia adalah hewan yang tak bahagia, ditinggalkan, dan dipaksa untuk menemukan jalan hidupnya—seperti yang Cioran, sang filsuf-negatif, sabdakan dalam bukunya On the Heights of Despair (2013)—yang secara sekilas tak berbeda jauh suramya dengan Dazai. Jadi, apakah memilih untuk tetap hidup dan merasai penderitaan sama dengan menunda kekalahan—di samping kenyataan bahwa kematian tak bisa menutup lubang makna yang ditinggalkan kehidupan? Mungkin, iya. Mungkin, tidak. Namun, semisal di masa depan nanti, manusia bisa berevolusi menjadi Homo Deus (tuhan) pun manusia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya kecuali kebahagiaan. Mengapa demikian?

Sebab nampaknya kita harus merevisi aforisme Latin yang lekat dengan figur Renaissance di Britania Raya, Bacon: bahwa scientia potentia est; knowledge is a power; pengetahuan adalah kekuatan. Kemudian menggantinya dengan: knowledge is a power that makes humans suffer; pengetahuan adalah kekuatan yang membuat manusia menderita. Mungkin kita juga harus sepakat dengan frasa penyair Gray: ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan—dalam buku puisinya yang berjudul The Poems (2012). Di jurang nihilitas, seseorang niscaya mengetahui ada skenario yang tampak jauh lebih buruk dan jelek dari ini semua—bahwa manusia sudah kalah, jauh sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi, agar manifesto kesuraman yang tak berguna ini terkesan tak terlalu suram, mungkin kita mesti setuju dengan penulis-surealis—Murakami, yang menyatakan bahwa rasa sakit memang tak terhindarkan—tetapi penderitaan adalah opsional—yang secara liris dia tekskan melalui bukunya—What I Talk About When I Talk About Running (2008).

Beban Kesadaran

“frankly, human consciousness

is a heavy burden.

that’s why some of us—

consciously, choose uncosciousness

& be a junkie:

religion, philosophy,

ideology, political party,

or other shit to retreat

from the bitterness of reality—

such a coward, who can’t live forward

to shone the darkside of time—

in the face of presently.

: o life! are humans

the closest metaphor

for the most pathetic slaves

of certainty—on the dead planet

who enclose uncertainty?

—Moch Aldy MA, dari puisi berjudul Slaves of Certainty (2022)

Para filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadaran” (the problem of consciousness)—seolah-olah problema kesadaran merupakan problema yang sudah jelas pemetaannya. Descartes si bapak filsafat modern, pun berupaya menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Menurutnya, pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh—dan pikiran adalah entitas yang mandiri, juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa. Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Tapi, pada akhir dekade 1950-an pandangan ini mulai didebat dari berbagai penjuru.

Di akhir abad ke-16 dan di awal abad ke-17, Descartes secara monumental meneriakkan kredo: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada)—dan setelahnya menguatkan konvensi umum bahwa manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, sebab hal tersebut menunjukkan fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran. Descartes, secara tak langsung, juga mengonstruksi persepsi bahwa rasio, akal, pikiran, dan kesadaran merupakan sesuatu yang positif dan baik. Secara jukstaposisi, Unamuno, guru intelektual Cioran, dalam bukunya Tragic Sense of Life (2008) menyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia—yang tentu berkonotasi negatif dan buruk. Filsafat Cioran—yang berangkat dari Unamuno—mempertajam serta menguatkan anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit. Akan tetapi, pertanyaannya, kesadaran akan apa? Waktu. Menurutnya, waktu memungkinkan seorang makhluk menderita. Akal/pikiran/kesadaran kita mampu merefleksikan dan memiliki pemahaman penuh tentang eksistensi masa lalu dan masa depan. Cioran menyatakan bahwa kemampuan manusia ini memiliki efek samping yang menakutkan, misalnya, pengetahuan bahwa eksistensi kita ada—dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Di sisi lain, hewan seperti ular, badak, burung, paus—ketika mereka merasakan rasa sakit, tak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti manusia—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Ungkapan puitis yang Cioran gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”Setidaknya, di masyarakat, ada dua istilah hiper-klise tentang waktu: Pertama, semua akan indah pada waktunya; kedua, biarlah waktu menjawabnya. Apakah benar semua akan indah pada waktunya? Bagaimana jika kita sudah pada waktunya, tetapi keindahan itu tak pernah ada? Apakah benar waktu bisa menjawab pertanyaan manusia? Bukankah waktu hanyalah satuan fisika untuk mengukur berapa lama subjek mengada? Bukankah waktu tak pernah menjawab apa-apa dan hanya kesadaran yang menjawab semuanya? Jika kita menggunakan sedikit isi kepala Hawking dalam A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (1998) alias konsep Waktu Linier, ditemukan tesis bahwa garis kehidupan selalu menunjuk ke masa depan; sementara itu, di sisi lain, masa depan selalu membawa kita selangkah lebih dekat dengan kematian. Masa lalu membawa kita ke masa kini, dan masa kini akan membawa kita ke masa depan (menuju kematian yang tak terbantahkan dan tak terhindarkan). Maka dari itu, adalah ganjil jika kita berharap lebih kepada “waktu”. 

Filsuf-fenomenolog, Heidegger, menggunakan istilah Dasein (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman mengada yang khas manusia; dan dalam bukunya—Being and Time (2008)—dia memiliki istilah yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa absurd jika kita berharap banyak kepada waktu—istilah teknisnya Sein-zum-Tode: singkatnya, makhluk yang secara sadar menyadari bahwa dia sedang berjalan menuju kematian yang benar-benar tak terelakkan; makhluk yang menyadari bahwa dirinya berada dalam ‘bingkai’ yang disebut waktu. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. 

Meskipun kematian adalah takdir definitif yang diterima secara universal. Heidegger, memiliki premis bahwa kematian memungkinkan makna. Di lain sisi, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru “mengambil” makna ini. Eksistensialis Prancis lain—de Beauvoir, memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir secara brutal mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tak adil”. Tapi, L'homme est Condamné à Être Libre; manusia dikutuk untuk bebas—kata Sartre. Manusia dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kehendak bebas: kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di planet ini tak terbatas. Manusia yang fana tak mampu melakukannya. Kefanaan, di sisi lain, juga meningkatkan potensi kesia-siaan. Tak ada yang bisa menjamin bahwa menulis, misalnya, adalah bekerja untuk keabadian. Tak ada yang tahu bahwa apa-apa yang kita usahakan seumur hidup akan bermanfaat, berguna, atau bermakna nantinya. Tak ada yang bisa memastikan bahwa 100 tahun dari sekarang akan ada seseorang yang dapat mengenali apalagi mengingat-ngingat dengan liris eksistensi kita.

Dengan demikian, dengan mengakui temporalitas kita, kesementaraan kita—di mana kita dapat memahami kesementaraan keberadaan—keputusan-keputusan yang kita buat mengandung semacam “beban-beban” tertentu. Sehingga, kesadaran akan kematian, merupakan beban kesadaran yang luar biasa berat. Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Kemungkinan kematian, yang hidup di dalam urat nadi dan neuron di dalam otak manusia—yang bertahan sepanjang napas berembus—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan-pilihan yang kita buat. “Sein-zum-Tode adalah neraka!”—pungkas Sartre kepada Heidegger sembari menangis dan mengacungkan jari tengah.


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.

Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk.

Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”

—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Referensi:

MA, Moch Aldy. 2022. “An Oasis for the Stranded, Losers”. Omong-Omong Media;

MA, Moch Aldy. 2022. “Friedrich Nietzsche and So On and So On”. Omong-Omong Media;

Pratama, Angga. 2022. “Marx, Cioran, Penderitaan, dan Revolusi”. Omong-Omong Media;

Camus, Albert. 2013. A Happy Death. Kindle Edition: Penguin Classics;

Durkheim, Èmile. 2013. Le Suicide. Kindle Edition: Presses Èlectroniques de France;

Nietzsche, Friedrich. 2012. Genealogy of Morals. Kindle Edition: Start Publishing LLC;

Nishitani, Keiji. 1983. Religion and Nothingness. University of California Press;

Harari, Yuval N. 2014. Sapiens: A Brief History of Humankind. Kindle Edition: Vintage;

Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;

Schopenhauer, Arthur. 2012. The World As Will And Idea. Kindle Edition;

Dienstag, Joshua Foa. 2009. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press;

Unamuno, Miguel de. 2008. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications;

Beckett, Samuel. 2011. Waiting for Godot: A Tragicomedy in Two Acts. Kindle Edition: Grove Press;

Shakespeare, William. 2013. The Tragedy of Macbeth. Simon & Schuster;

Dazai, Osamu. 2012. No Longer Human. Kindle Edition: New Directions;

Murakami, Haruki. 2008. What I Talk About When I Talk About Running. Kindle Edition: Vintage;

Hawking, Stephen. 1998. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes. Bantam Books;

Heidegger, Martin. 2008. Being and Time. Harper Perennial Modern Classics;

Sagan, Carl. 2011. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space. Kindle Editions: Ballantine Books;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Gray, Thomas. 2012. The Poems. General Books;

Van Gogh, Vincent. 1995. Dear Theo. Plume Books;

Cholbi, Michael, “Suicide”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.);

Laios, K., Tsoukalas, G., Kontaxaki, M. I., Karamanou, M., & Androutsos, G. (2014). Suicide in ancient Greece. Psychiatrike = Psychiatriki, 25(3), 200–207;

Gavis, Meghan (2020) “Suicide According to Socrates and Camus,” Parnassus: Classical Journal: Vol. 7, Article 7;

Fadaie, Shakiba. 2021. “Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;

Fadaie, Shakiba. 2020. “Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;

Olszewski, Fernando. 2020. “Cioran, the philosophy of despair and its ethical implications”. Metaphysical Exile;

Borghini, Andrea. 2019. “The Paradox of Tragedy”. ThoughtCo.;

Sawitra Mustika, I Ketut. 2021. “Penderitaan dan Jalan Pembebasan yang Mungkin”. Lingkar Studi Filsafat Cogito;

Wattimena, Reza A.A. 2009. “Manusia dan Kesadaran”. Rumah Filsafat.