“Kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas.”
—Seneca, On the Shortness of Life (2005)
Di dunia modern pascapandemi yang niscaya serba tak pasti—di tengah-tengah probabilitas tertinggi perang dunia ketiga yang dimulai di atas hasrat aneksasi negara pemenang perang dunia kedua—di ambang resesi ekonomi global dan krisis iklim yang secara fondasional tak terhindarkan—sekaligus di zaman di mana kapitalisme telah sedemikian meraksasa bagai gedung-gedung tinggi yang mencakar langit seperti saat ini—“ketakutan” manusia dengan pasti jauh lebih berani, jauh lebih kuat. Pada gilirannya, ketakutan tersebut bahkan bertransformasi sedemikian rupa menjadi “kecemasan” berlebih—yang lebih melumpuhkan dari sebuah rudal balistik dengan hulu ledak nuklir yang siap ditembakkan.
Apa yang ditulis pada tahun 49 SM oleh Seneca—seorang tokoh filosofis Romawi terkemuka dan filsuf Stoik yang begitu lekat dengan ajaran Stoikisme, dalam esainya itu—bisa dikatakan menemukan pembenarannya dan relevan dengan segenap kehidupan kontemporer kita. Kegamangan, kekhawatiran, kebingungan, keraguan, tekanan-tekanan emosional, depresi, dan kecemasan tak berujung pangkal hampir selalu hidup 24x7 jam di pikiran kita. Secara tak langsung, juga mengokohkan konvensi bahwa pikiran manusia adalah Perang Badar paling kubra. Kita, kini, memberi lebih banyak kekuatan kepada ketakutan dan memicu kecemasan kita untuk menjadi lebih beringas. Banyak dari kita juga menggunakan salah satu kemampuan manusia yang paling berguna—berimajinasi—pada hal-hal yang secara fundamental keliru, misalnya, menyesali masa lalu dan terlalu memikirkan masa depan. Tak ada carpe diem hari ini, meminjam istilah Horace, seorang penyair Romawi yang bertaklid pada Epikureanisme (salah satu dari tiga Mazhab Filsafat besar pada Periode Helenistik—yang juga satu era dengan Stoikisme dan Pyrrhonisme).
Menyelami Stoikisme
“Kau memiliki kekuasaan atas pikiran—bukan peristiwa-peristiwa di luar sana. Sadarilah ini, dan kau akan menemukan kekuatan.”
—Aurelius, Meditations (2006)
Sependek pengetahuan penulis—Stoikisme, kokoh ditopang tiga serangkai: Seneca sang intelektual, Aurelius sang kaisar, dan Epictetus sang budak. Akan tetapi, perlu digarisbawahi dari yang telah ditekskan oleh Seneca dan Aurelius di atas, meskipun tujuannya baik, yakni untuk menghentikan pikiran-pikiran liar manusia yang sering kali di luar wilayah kendali (dalam terma Dikotomi Kendali)—tetapi, pada saat yang sama bertendensi untuk menjustifikasi seseorang untuk menjadi individu yang masa bodoh dan apatis. Manusia, dalam konteks humaniora, adalah makhluk sosial—atau Homo Homini Socius, menukil istilah dari Seneca sendiri—namun mengapa filsafatnya malah cenderung menjerumuskan seseorang ke dalam ke-ignorant-an yang menjengkelkan dan ke-indifferent-an yang menyebalkan?
Bukankah Seneca mencetuskan istilah tersebut sebagai antitesis dari nukilan drama berjudul Asinaria karya sastrawan Romawi, Plautus, yang menuliskan—lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit; manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi manusia lainnya?
Memang benar, bahwa kita sudah sebijaknya mengendalikan apa-apa yang bisa kita kendalikan—yang keliru adalah ketika kita hidup à la Stoik dengan menegasikan perasaan orang-orang terdekat kita sendiri. Secara psikologis, setiap manusia pasti memiliki hal-hal personal yang sangat dia pedulikan, misalnya, kesehatan keluarganya, perasaan pasangannya, teman-temannya, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi realitas dapat berjalan begitu acak berengseknya dan orang-orang yang kita pedulikan mengalami kemalangan—lantas larut dalam kesedihan—kemudian mereka membuka mulut dan kita memasang telinga. Secara naturalistik, adalah wajar untuk ikut bersedih—adalah normal jika kita kesal, stres, gelisah atau bahkan marah ketika hal-hal buruk terjadi pada kita atau orang-orang yang kita sayangi.
Mencurigai Stoikisme
“Kita seharusnya tak mengendalikan amarah, tetapi menghancurkannya—sepenuhnya—untuk apa kita mengendalikan sesuatu yang secara fundamental jahat?”
—Seneca, De Ira (circa 4 SM - 65 M)
Kemampuan paling berguna dan natural yang dimiliki manusia, selain berimajinasi, adalah curiga—dalam cetak biru manusia, jauh di lubuk kesadaran kita ada semacam kehendak untuk curiga (the will to skeptic). Maka, mari kita pergunakan kecurigaan itu untuk melihat bagaimana corak pemikiran Seneca dari kutipannya di atas—yang secara sepintas terlihat begitu bahlul, irasional, dan nonsens. Kecurigaan ini pun berlanjut dengan memandang bahwa filosofi teras ini, pada titik tertentu, seperti bertekad untuk tak mengeluh atau tak menunjukkan perasaan sama sekali—terutama ketika sesuatu yang buruk terjadi.
Katanya Nietzsche, menurut interpretasi penulis, secara cukup eksplisit dalam bukunya Beyond Good and Evil (2011): “para Stoik memilih untuk melihat segala sesuatu secara keliru—dengan menyangkal, menekan, dan mematikan perasaannya sendiri.” Stoikisme, secara esensial, tak lebih dari belajar untuk berhenti peduli. Ketika seseorang mulai mempelajari Stoikisme, dia akan punya kecondongan untuk menyadari bahwa dirinya telah membuang banyak energi berharga untuk peduli tentang hal-hal yang tak layak untuk dipedulikan—sebab idealnya, semestinya, dia berhenti memedulikan itu semua—bahkan perasaannya sendiri.
Sekilas, tak ada beda, tak ditemukan distingsi antara Stoikisme dengan Toxic Positivity—dengan Defense Mechanisms berbentuk kepura-puraan yang tak perlu: sebentuk penyangkalan emosi yang berpuncak pada upaya sekuat tenaga menciptakan suasana atau kondisi yang memaksakan diri agar selalu berpikir positif. Adalah waras dan komikal, jika penulis melukiskan hipotesa bahwa Absurdisme adalah Nihilisme yang memilih untuk mengonsumsi ganja berjenis indica—maka Stoikisme adalah Nihilisme yang secara sadar menyutikkan anestesi kepada hatinya.
Lagipula, apa yang buruk dari kesedihan? Bukankah banyak orang besar dan karya besar justru berasal dari keadaan yang dikonotasikan secara fundamental negatif dan buruk oleh para Stoik itu? Nocturne-nya Chopin, Les Fleurs du mal-nya Baudelaire, Fear and Trembling-nya Kierkegaard, The Old Guitarist-nya Picasso, The Theory of Everything-nya Hawking, dan lain-lain. Secara historis, kesedihan (dan kemurungan) tampak begitu adiluhung dan menjadi rahim yang melahirkan begitu banyak magnum opus—yang luar biasa artistik, puitis, dan berguna bagi kehidupan. Berangkat dari pemahaman bahwa filsafat para Stoa ini adalah sebuah seni untuk berhenti memedulikan hal-hal yang dirasa tak penting, misalnya kemarahan dan kesedihan—atau Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, seperti bukunya Manson, seorang penulis bergaya sarkastik yang mempopulerkan Stoikisme beberapa tahun terakhir ini.
Semakin Mencurigai Stoikisme
“Kekayaan tak terdiri dari memiliki harta yang banyak, tetapi memiliki keinginan yang sedikit.”
—Epictetus
Pertanyaannya adalah—mengapa Stoikisme mendapatkan begitu banyak eksposur, atau secara lebih heroik banalnya mengalami kebangkitan dan menjelma sebagai “industri” yang mainstream—di abad ke-21, khususnya beberapa tahun belakangan? Mungkin, karena realitas manusia semakin dipenuhi keputusasaan, kolaps serta kacau ketika dan setelah pandemi. Kita terlalu lelah dengan berita kematian dan membutuhkan pegangan, semacam struktur yang rigid dan panduan untuk mencintai kesederhanaan (meskipun hidup sederhana itu banyak pikiran). Akan tetapi, dengan tak bermaksud untuk mengadvokasi hedonisme sama sekali—kutipan Epictetus di atas adalah opium yang menyesatkan. Mengapa demikian?
Sebab kutipan di atas adalah kutipan yang hanya baik bagi seorang budak macam Epictetus di dalam konteks realitasnya, tetapi merupakan kutipan yang luar biasa buruk dan berbahaya bagi manusia, atau tepatnya, bagi para budak korporat yang secara tak sadar telah dieksplotasi para pemilik alat produksi. Ada kecurigaan mendasar yang rasional bahwa Stoikisme adalah agenda para kapitalis untuk menihilkan kemungkinan-kemungkinan pembangkangan para pekerja di bawah gurita kapitalisme. Sebab, Stoikisme seperti meniadakan eksistensi, kehendak bebas, dan otentisitas personal setiap manusia. Dengan kata lain, Stoikisme memungkinkan kepatuhan, kepasrahan, ketaatan bagi kaum pekerja yang tentu disenangi para eksploitator.
Bagaimana dengan prinsip utama Stoa tentang hidup sesuai dengan alam? Nyatanya, ada kemungkinan besar bahwa alam tak memiliki harmoni atau keteraturan. Ada pula kebolehjadian bahwa hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang antipodal. Satu-satunya yang menyatukan manusia dengan alam hanyalah konsep-konsep metafisik serta mitos-mitos sakral yang mirip seperti pemikiran para filsuf pra-Socrates dan slogan Panteisme Spinoza—deus sive natura; yang secara dogmatis dan percaya diri, meleburkan eksistensi dan sifat-sifat salbiyah Tuhan yang niscaya mahabaik dengan Alam yang mahaabsurd, mahaenigmatik, mahasporadis.
Jika memang manusia dengan alam memiliki hubungan yang “baik”, mungkin tak ada pandemi. Atau jika hubungan makhluk lain seperti dinosaurus dengan alam itu “baik”, maka mungkin 66 juta tahun lalu tak ada gempuran asteroid yang jatuh ke bumi dan menjadi hujan meteor lantas dengan lekas membuat makhluk-makhluk gigan tersebut punah. Pada akhirnya, kembali pada Stoikisme, Seneca pun memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Mungkin trauma, mungkin juga benar-benar lelah karena terus menerus bersabar ketika menjadi penasihat Kaisar Nero yang secara sinting membakar kota Roma.
Referensi:
MA, Moch Aldy. 2022. “Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme”. Zona Nalar;
Seneca. 2005. On the Shortness of Life. Penguin Books;
Aurelius, Marcus. 2006. Meditations. Penguin Books;
Epictetus. 1995. The Discourses. Everyman;
Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;
Holiday, Ryan. 2016. The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living. Portfolio;
Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Penerbit Buku Kompas;
Dyson, Stephen L. “THE PORTRAIT OF SENECA IN TACITUS.” Arethusa, vol. 3, no. 1, 1970, pp. 71–83. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/26306995. Accessed 20 Oct. 2022;