Antara tahun 1873 dan 1876, Nietzsche menerbitkan buku Unfashionable Observations/Untimely Meditations/Thoughts Out of Season (bahasa Jerman: Unzeitgemässe Betrachtungen) yang terdiri dari empat karyanya. Bagian kedua dari bukunya ini adalah esai yang sering dialihbahasakan dan diberi judul “The Use and Abuse of History for Life/Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah untuk Kehidupan” (1874). Namun, terjemahan yang lebih akurat dari karyanya tersebut adalah “On the Uses and Disadvantages of History for Life/Tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah untuk Kehidupan”.
Makna dari “Sejarah” dan “Kehidupan”
Dua istilah kunci dalam judul, “sejarah” dan “kehidupan” digunakan dalam cara yang sangat luas. Nietzsche secara khusus memaknai “sejarah” sebagai pengetahuan historis dari budaya-budaya sebelumnya (misalnya Yunani, Roma, Renaisans), yang mencakup pengetahuan tentang filsafat masa lampau, sastra, seni, musik, dan sebagainya. Tapi dia juga memikirkan pengetahuan secara umum, termasuk komitmen pada prinsip-prinsip ilmiah atau metode ilmiah yang ketat, dan juga kesadaran-diri terkait historisitas-umum yang terus-menerus menempatkan waktu dan budaya seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang telah datang sebelumnya.
Istilah “kehidupan” tidak didefinisikan dengan jelas di dalam esainya ini. Di satu titik, Nietzsche menggambarkannya sebagai “sebuah kegelapan mengemudikan kekuatan keinginan-diri yang tidak terpuaskan”, tetapi itu tidak banyak memberi tahu kita. Apa yang tampaknya paling sering dia pikirkan, ketika berbicara tentang “kehidupan”, adalah sesuatu seperti keterlibatan yang dalam, kaya, dan kreatif dengan dunia tempat seseorang tinggal. Di sini, seperti dalam semua tulisannya, penciptaan budaya yang mengesankan sangat penting bagi Nietzsche.
Apa yang Ditentang Nietzsche
Pada awal abad ke-19, Hegel (1770-1831) telah membangun filsafat sejarah yang melihat sejarah peradaban sebagai perluasan kebebasan manusia dan pengembangan kesadaran-diri yang lebih besar mengenai sifat dan makna sejarah. Filsafat Hegel sendiri merepresentasikan tahap tertinggi yang belum dicapai dalam pemahaman-diri manusia. Setelah Hegel, secara umum diterima bahwa pengetahuan tentang masa lalu adalah hal yang baik. Faktanya, abad kesembilan belas berbangga diri karena lebih terinformasi secara historis daripada zaman sebelumnya.
Nietzsche, bagaimanapun, seperti yang dia suka lakukan, mempertanyakan kepercayaan luas ini.
Dia mengidentifikasi 3 pendekatan terhadap sejarah: yang monumental, yang antikuarian, dan yang kritis. Masing-masing dapat digunakan dengan cara yang baik, tetapi masing-masing memiliki bahayanya sendiri.
Pendekatan Sejarah yang Monumental
Pendekatan ini berfokus pada contoh-contoh kebesaran manusia, individu yang “memperbesar konsep manusia … memberikan rasa puas yang lebih indah”. Nietzsche tidak menyebutkan nama, tetapi dia agaknya merujuk kepada orang-orang seperti Musa, Yesus, Pericles, Socrates, Caesar, Leonardo, Goethe, Beethoven, dan Napoleon. Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh semua individu hebat adalah kesediaan yang angkuh untuk mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan kesejahteraan materi mereka. Orang-orang seperti itu dapat menginspirasi kita untuk meraih kebesaran diri kita sendiri. Mereka adalah antidote keletihan-dunia.
Tapi pendekatan sejarah yang monumental membawa bahaya-bahaya tertentu. Ketika kita melihat tokoh-tokoh masa lalu ini sebagai inspirasi, kita mungkin mendistorsi sejarah dengan mengabaikan keadaan-keadaan unik yang memunculkannya. Sangat mungkin bahwa tidak ada figur seperti itu yang bisa muncul lagi karena keadaan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Bahaya lain terletak pada cara dari beberapa orang yang memperlakukan pencapaian besar di masa lalu (misalnya tragedi Yunani, lukisan Renaisans) sebagai sesuatu yang kanonikal. Mereka dipandang memberi paradigma bahwa seni kontemporer tidak boleh menantang atau menyimpang dari konvensi seni yang sudah ada sejak masa lampau.
Ketika digunakan dengan cara ini, sejarah yang monumental dapat menghalangi jalan menuju pencapaian budaya yang baru dan orisinal.
Pendekatan Sejarah yang Antikuarian
Pendekatan ini mengacu pada pendalaman ilmiah dalam beberapa periode masa lalu atau budaya masa lalu. Ini adalah pendekatan sejarah yang khas akademisi. Berguna membantu kita untuk meningkatkan makna dari identitas suatu budaya. Misalnya, ketika penyair kontemporer memperoleh pemahaman mendalam tentang tradisi puitis tempat mereka berasal, ini memperkaya karya mereka sendiri. Mereka mengalami “kepuasan sebatang pohon dengan akar-akarnya”.
Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan tersembunyi. Terlalu banyak tenggelam dalam masa lalu dengan mudah mengarah pada keterpesonaan yang tidak cerdik dan penghormatan terhadap apa pun yang lama, terlepas dari apakah itu benar-benar mengagumkan atau menarik. Pendekatan sejarah yang antikuarian dengan mudah merosot menjadi keterpelajaran belaka, di mana tujuan melakukan sejarah telah lama dilupakan. Dan pemujaan terhadap masa lalu dapat menghambat orisinalitas. Produk-produk budaya masa lalu dipandang begitu gemilang, sehingga kita hanya bisa berpuas diri dengannya dan tidak mencoba menciptakan sesuatu yang baru.
Pendekatan Sejarah yang Kritis
Pendekatan sejarah ini hampir berkebalikan dari pendekatan sejarah yang antikuarian. Alih-alih memuja masa lalu, sejarah yang kritis menolaknya sebagai bagian dari proses menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, gerakan-artistik-orisinal seringkali sangat kritis dan penuh kritik terhadap gaya yang mereka coba gantikan (cara penyair Romantik menolak diksi buatan penyair abad ke-18). Bahayanya di sini, bagaimanapun, kita akan bersikap tidak adil terhadap masa lalu. Secara khusus, kita akan gagal untuk melihat bagaimana elemen-elemen dalam budaya masa lalu yang kita benci itu diperlukan; bahwa mereka adalah salah satu elemen yang melahirkan kita.
Masalah yang Disebabkan oleh Terlalu Banyak Pengetahuan Sejarah
Dalam pandangan Nietzsche, budaya Jerman/budaya Eropa/budayanya (dan dia mungkin akan mengatakan budaya kita juga) telah membengkak dengan terlalu banyak pengetahuan. Dan ledakan pengetahuan ini tidak melayani “kehidupan”—dengan kata lain, tidak mengarah pada budaya kontemporer yang lebih kaya, lebih bersemangat, lebih hidup. Di sisi lain, para akademisi terobsesi dengan metodologi dan analisis yang canggih. Dengan melakukan itu, mereka kehilangan tujuan sebenarnya dari apa yang mereka kerjakan. Mereka terus-menerus tidak sadar bahwa yang paling penting bukan apakah metodologi mereka masuk akal, tetapi apakah apa yang mereka lakukan berguna untuk memperkaya kehidupan dan budaya kontemporer ataukah tidak.
Seringkali terjadi—alih-alih mencoba menjadi kreatif dan orisinal, orang-orang terpelajar justru membenamkan diri dalam kegiatan ilmiah yang relatif kering. Hasilnya adalah kita hanya memiliki pengetahuan tentang budaya, bukannya memiliki budaya yang hidup. Alih-alih benar-benar mengalami sesuatu, kita mengambil sikap ilmiah yang terpisah dari sejarah itu sendiri. Orang-orang mungkin berpikir di sini, misalnya, perbedaan di antara lukisan atau komposisi musik, dan memperhatikan bagaimana itu mencerminkan pengaruh tertentu dari seniman atau komposer sebelumnya.
Di tengah-tengah esainya, Nietzsche mengidentifikasi lima kelemahan spesifik dari memiliki terlalu banyak pengetahuan sejarah. Sisanya merupakan elaborasi dari poin-poin ini. Lima kelemahan tersebut adalah:
Menciptakan terlalu banyak kontras antara apa yang ada di pikiran orang-orang dan cara mereka hidup. Misalnya, filsuf yang membenamkan dirinya dalam Stoikisme tidak lagi hidup seperti seorang Stoa; mereka hanya hidup seperti orang lain. Filsafatnya secara murni teoretis. Bukan sesuatu yang benar-benar dijalani.
Membuat kita berpikir bahwa kita lebih superior dari zaman sebelumnya. Kita cenderung melihat kembali periode-periode sebelumnya sebagai sesuatu yang lebih inferior dari kita dalam berbagai hal, terutama, mungkin, di bidang moralitas. Sejarawan modern bangga akan objektivitas mereka. Tapi jenis sejarah terbaik bukanlah jenis yang sangat objektif dalam pengertian ilmiah yang kering. Sejarawan terbaik bekerja seperti seniman yang membawa-menghidupkan zaman sebelumnya ke kehidupan kontemporer kita.
Mengganggu naluri-naluri dan menghambat perkembangan kedewasaan. Untuk mendukung gagasan ini, Nietzsche secara khusus mengeluhkan cara para akademisi modern yang terlalu cepat menjejalkan diri dengan terlalu banyak pengetahuan. Hasilnya adalah mereka kehilangan kedalaman. Spesialisasi ekstrem, ciri lain dari ilmu pengetahuan modern, menjauhkan mereka dari kebijaksanaan, yang membutuhkan pandangan yang lebih luas tentang berbagai hal.
Membuat kita menganggap bahwa diri kita adalah peniru yang lebih inferior dari pendahulu kita.
Mengarah pada ironi dan sinisme.
Dalam menjelaskan poin 4 dan 5, Nietzsche memulai kritiknya yang berkelanjutan terhadap Hegelianisme. Esai diakhiri dengan dia mengungkapkan harapan kepada “golongan muda”, yang sepertinya dia maksudkan karena mereka belum cacat oleh terlalu banyak pendidikan.
Di Latar Belakang – Richard Wagner
Dalam esai ini, Nietzsche tidak mengutip kawannya pada saat itu: komposer Richard Wagner. Tapi dalam menarik kontras antara mereka yang hanya tahu tentang budaya dan mereka yang secara kreatif terlibat dengan budaya, dia hampir pasti menganggap Wagner sebagai contoh dari tipe yang kedua. Pada saat itu, Nietzsche bekerja sebagai profesor, di Universitas Basel di Swiss. Basel merepresentasikan pengetahuan historis. Kapan pun dia bisa, dia akan naik kereta api ke Luzern untuk mengunjungi Wagner, yang pada saat itu sedang menyusun Der Ring des Nibelungen-nya. Rumah Wagner di Tribschen mewakili “kehidupan”. Bagi Wagner, jenius-kreatif yang juga seorang yang suka bertindak, terlibat penuh di dunia, dan bekerja keras untuk meregenerasi budaya Jerman melalui opera—mencontohkan bagaimana seseorang dapat menggunakan masa lalu (tragedi Yunani, legenda Nordik, musik klasik Romantik) dalam cara yang sehat untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.