Bila Aku Menulis Puisi dengan Es Krim di Mulutku
lihat, mataku sore. mulutku gua sunyi tempat para pembaharu mendapat wahyu. lidahku campuran antara musim semi, taifun, & musik-musik dengan nada paling melankolik. hidungku ular yang lapar. telingaku laut yang tak pernah takut menerima sungai—& tubuhku, o tubuhku, adalah hotel bagi mereka yang pergi ... tak pernah mau kembali. pikiranku? miniatur dalam skala satu banding satu—dari apa-apa yang tak pernah ada, yang mencurigakan, & yang mencemaskan. kemari, kemarilah, tolong jawab kesintingan-kesintinganku: bahasa apakah airmatamu, & airmataku—aku lelah, ingin mati dipelukmu?
(2022)
Bila Aku Menulis Puisi Bucin
hari itu, sore itu, kita pun mengautopsi
tubuh kebebasan & temukan kesepian.
sedari itu, kausadari—kita, kau & aku
sepasang lebaran—ada kemenangan
dalam namamu & pengorbanan dalam
namaku. tapi kemurungan-kemurungan
kau & aku, tahu: kita sudah kalah—jauh
sebelum kita dilahirkan, & tak ada yang
mesti kita korbankan. & kau tak pernah
berjihad menahan apa-apa. & aku tak
pernah berkorban apa-apa. kita adalah
kata sifat kiamat campur kesintinganmu &
ke
ja
tu
han
ku.
serupa telenovela yang diputar-putar
ketika di luar sana, el niño & la niña
hancurkan batas-batas dualitas:
kekekalan & kesementaraan
kesedihan & kebahagiaan
kesenian & kesusastraan
masalalu & masadepan
mimpi & kenyataan
pikiran & perasaan
matamu-mataku
lidahmu-lidahku
bibirmu-bibirku
kita—kau-aku
bertubrukan.
“que será, será ...” kata kita berdua
seraya berdansa-bernyanyi balon kita
ada dua—meletus dalam satu supernova.
(2022)
Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol
: kesedihan adalah narkotika
golongan satu, yang hanya
dibolehkan untuk keperluan
penciptaan jiwa seni-sastra
(narkotika jenis ini, memiliki
potensi yang begitu tinggi
timbulkan ketergantungan).
hari itu, malam itu, kau pinjam pipi kiriku & tumpahkan seluruh sedihmu yang tak pernah sudah itu di pipi kiriku. bibirmu hangat, ya? kataku memecah keheningan. seperti kelahiran kembali, seperti ... seorang perantau yang bertemu perantau lain di tanah perantauan—yang pada gilirannya, cair jadi satu dalam titik lebur tertentu, dalam satu kerangka ruang-waktu.
tapi bulan bersinar tolol, & kau dapat lihat aku diam-diam benamkan dua per tiga senyawa utama kecemasan-kecemasanku di dahimu. seribu Schopenhauer mati di situ. seribu Kierkegaard menangis di situ. & sejuta pertunjukan Macbeth selesai di bibirmu.
kita buka jendela. tapi yang terbuka adalah kegelapan kosmik—yang entah berapa juta tahun cahaya jauhnya. kita saksikan masa-masa indah yang tak pernah ada. & bulan masih bersinar tolol, di sana. & kita berciuman seperti ketakutan waktu di hadapan hari kematiannya.
(2022)
Bila Einstein Mengidap Gangguan Kecemasan
E = mc²
*E = Elegi
*m = Masalah-Masalah
*c = Kecepatan Kecemasan
I
tak ada rileks yang bisa bergerak
secepat cemas, karena hal tersebut
tak logis, tak masuk akal … secara
matematis, maupun secara fisikal.
II
kecepatan cemas (c) merambat
melalui ruang hampa dengan
kecepatan konstan bernilai
3 x 108 m/s & tak bergantung
pada kecepatan pengamat
ataupun sumber kecemasan.
III
nilai elegi (E) sama atau setara
dengan nilai masalah-masalah dikali
kecepatan cemas yang dikuadratkan.
(2022)
Bila Aku Menulis Puisi dalam Ekstase
I
nabi-nabi samawi berkhotbah:
tentang tipu daya buah pengetahuan,
tentang kitab-kitab perihal kejatuhan,
tentang sejarah, tentang air bah,
tentang Mina, tentang Tursina,
tentang Golgota, tentang Hira
tentang langit, tentang bumi,
tentang mula, tentang eskatologi;
tentang kekasih & tentang pecinta
yang pinta cinta seribu satu malam lagi.
II
di sana, antropolog-filolog
masih coba tafsir Efrat & Tigris,
Mesir & Mesopotamia, yang berlapis
enam ribu tahun sebelum lahirnya masehi
Mediterania cari seberkas cahaya tuhan
Romawi curi mitos & dewa-dewi Yunani
pra-Abad Pertengahan—Renaissance
berbau & berwarna demistifikasi;
di sini, kau menyalib kebiruanku
di rusukmu, seribu Menara Babel
runtuh pascakegentingan kolosal itu.
III
“sayangku ... o sayangku
bagaimana manusia bisa
belajar memaknai sesuatu
jika tanpa dukalara—jika
tanpa kehilangan—jika
tanpa kecemasan—jika
tanpa kerisauan—jika
tanpa kegetiran—jika
tanpa kegundahan—jika
tanpa darah & airmata?”
dalam dadaku tuhan bersuara.
(2022)
Dari Lebaran ke Lebaran
aku
reguk
airmatamu,
kekalahan jadi hujan.
kau
teguk
airmataku, kesia-siaan jadi sungai.
kita
tenggak
airmata kita berdua, & air laut pun
tercipta.
(2022)