Sunday, 3 October 2021

Puisi: Seorang Merdeka yang Mencari Merdeka

Mula-mula orang-orang Latin berseru, katanya, Veritas Vos Liberabit: kebenaran akan memerdekakanmu. Lalu pembuluh darahku mendidih, bersama keringat para mondina dan gairah Resistenza Italiana. Fasis yang bengis; kebangsatan Partai Nazi. Che mi sento di morir, morto per la libertà; o betapa kurasakan kematian, mati demi kemerdekaan.

Sedang buku-buku kiri di atas dadamu—masih lupa caranya membuka kosakata, Liber, dari dewa-dewi Romawi. Koloni-koloni di tanah merdeka membentuk konstelasi dari apa yang disebut Insureksi. The Boston Tea Party membidani cetak biru Patung Liberty. Buku di tangan kiri, obor di tangan kanan, berdikari di kaki kiri dan kanan. Seperti sebuah penanda dari Amerika Serikat atas masa-masa suram yang berwarna bangsat. 

Dari keningmu, aku tahu rasa merdeka ternyata serupa menenggak Sampanye dengan atau tanpa es batu. Lupakan itu. Lihatlah, tiga bunga Iris yang bermekaran di Prancis: Liberté, Egalite, Fraternité. Dari perut-perut orang yang kelaparan. Dari Paris sampai Pemakaman Montparnasse, orang-orang miskin mencari sisa-sisa roti di bawah meja makan raja. Hidungku mencium bau-bau ironi. Baunya lebih tengik dari bangkai pesawat terbang yang pernah dipakai untuk meluluhlantakkan sebuah negara tanpa angkatan bersenjata. Satu yang jelas, Monarki juga babi, sayangku. 

Kita berpelukan dengan erat dan mesra. Seperti mendamba musim semi di neraka. Revolusi dalam diri memuncak, serupa kemarahan Adam kala ditendang dari surga—sebelum sempat melumat bibir Hawa. Setelah aku menulis naskah Trias Puitika. Setelah Montesquieu memuntahkan Trias Politika. Setelah negara melakukan pertunjukan akrobat, semacam Trias Idiotika: Executhieves, Legislathieves, Judicathieves. Setelah kemerdekaan dimaling para pejabat yang sinting. Setelah aku mencuri ruang, kau mencuri waktu. Setelah aku, seorang merdeka, menyadari bahwa diriku adalah sebuah sangkar yang mencari seekor burung dalam dirimu: Dunia. 

(2021)