Friday, 25 November 2022

Eksistensialisme-Teistik Kierkegaard dan Eksistensialisme-Ateistik Sartre

Stańczyk (1862) by Matejko

“Kecemasan adalah kepusingan yang diakibatkan oleh kebebasan.”

—Kierkegaard, The Concept of Anxiety: A Simple Psychologically Orienting Deliberation on the Dogmatic Issue of Hereditary Sin (2014)


Kutipan Kierkegaard (yang lazim disebut Bapak Eksistensialisme) di atas, boleh jadi adalah lanjutan dari proyek filsafatnya pasca peluncuran bukunya yang berjudul Enten – Eller (Either/Or); yang liris dan secara simultan mengeksplorasi konflik tak terhindarkan antara estetika dan etika. Bagaimana jika segala sesuatu di dunia adalah kesalahpahaman, bagaimana jika tawa-gembira ternyata adalah air-mata—tulis Kierkegaard dalam Either/Or (1992). Secara sekilas, bertolak dari pembacaan intens atas karya-karyanya—ketimbang seorang filsuf yang puitis, Kierkegaard lebih terlihat seperti penyair yang filosofis. Dalam sejarah Filsafat Barat, dia juga bisa dikatakan salah satu filsuf paling melankolis dan berjiwa puitis. 


Tapi apakah kebebasan memungkinkan kecemasan? Mungkin iya, mungkin sangat iya. Manusia dikutuk untuk bebas; karena segera setelah terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas semua yang ia lakukan—katanya Sartre, seorang eksistensialis gigan, seolah menjustifikasi-melengkapi apa yang telah dikatakan oleh Kierkegaard di atas—sekaligus mengadvokasi ungkapan hiperklise yang terdengar cukup eksistensialis bahwa “hidup adalah pilihan”. Akan tetapi, kebebasan itu tak gratis—oleh karena manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hidupnya sendiri, pilihan-keputusan yang telah/akan diambil mengandung semacam “beban” berat—misalnya, ketakutan akan beban penyesalan yang berpuncak pada penderitaan konstan.


Apa yang diungkapkan oleh Kierkegaard dan Sartre sedikit banyak merangkum kira-kira kemumetan-keruwetan macam apa yang ada di kepala seorang eksistensialis. Kecemasan, kebebasan, pilihan-pilihan, individualitas, subjektivitas, otentisitas, dan sifat-sifat eksistensi adalah hal-perihal yang lekat dengan Eksistensialisme—sebuah aliran filsafat yang menempatkan manusia pada titik sentral dari segala relasi kemanusiaan. Berakar dari semacam upaya untuk bangkit dari segala hegemoni demi menemukan eksistensi dan esensi diri. Eksistensialisme, juga seringkali dimaknai sebagai kecenderungan, karakteristik, dan tren.


Secara singkat, Eksistensialisme, berangkat dari pertanyaan mengenai eksistensi manusia dan perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan subjek-objek yang ada. Eksistensialisme, memandang bahwa hidup itu tak bermakna—kecuali seseorang mendefinisikan-memaknai kehidupan. Oleh sebab itu, masing-masing manusia mesti mendefinisikan-memaknai hidupnya secara personal dan sendiri-sendiri.


Perbedaan Kierkegaard dan Sartre


Meskipun keduanya sama-sama seorang eksistensialis, tetapi Kierkegaard adalah seseorang yang religius dan Sartre adalah seseorang yang tak-religius. Eksistensialisme Kierkegaard, adalah eksistensialisme teis (baca: eksistensialisme agama), atau khususnya eksistensialisme Kristen; sebuah gerakan eksistensialis teo-filosofis yang menggunakan pendekatan  agama, pada teologi Kristen—tepatnya. Sedangkan Eksistensialisme Sartre, adalah eksistensialisme ateis; sebuah gerakan antropo-filosofis yang memiliki pendekatan skeptis bahwa eksistensi manusia mungkin adalah gairah tanpa makna. Perbedaan posisi dan perspektif metafisik ini menjadi pembatas filosofis-interpretatif bagaimana keduanya memaknai eksistensi manusia.


Kierkegaard adalah seorang spiritualis yang beriman kepada Tuhan, dan percaya bahwa hubungan manusia dengan Tuhan akan  membantu mengungkapkan tabir makna dan menentukan arah-tujuan hidupnya. Dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”, oleh karenanya kredo Kierkegaard mengandung leap of faith (lompatan iman/lompatan keyakinan); sebuah tindakan penuh risiko yang dilakukan meskipun dengan menyadari bahwa apa yang dilakukannya belum terbukti secara objektif validitasnya. Kierkegaard percaya bahwa “lompatan” ini harus dilakukan agar manusia mampu secara paripurna percaya dan mengimani Tuhan—bertaklid penuh pada apa-apa yang telah Dia wahyukan kepada manusia—menerima dengan cinta apa-apa yang telah diberikan oleh Tuhan—agar secara intens Habluminallah—agar manusia dapat hidup dalam hubungan-vertikal-transenden yang erat dan kuat dengan Tuhan. Singkatnya, agar manusia mampu menciptakan esensi bagi eksistensinya dengan muatan nilai-nilai ketuhanan.


Di bawah nama pseudonimnya, Victor Eremita, beberapa karya berpengaruh ditulis Kierkegaard—misalnya, Frygt og Bæven (Fear and Trembling) dan Gjentagelsen (Repetition and Philosophical Crumbs)—dan dalam kedua buku itu dia menciptakan istilah teknis yang heroik: Troens Ridder (ksatria iman); individu yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada dirinya sendiri, kepada Tuhan, dan dapat bertindak bebas sekaligus mandiri dengan kesadaran akan keberadaan Tuhan.


Secara kontras, berangkat dari pembacaan ketat di bawah teks-teks atas pemikirannya, Sartre besar kemungkinan adalah seorang ateis. Pria introvert itu percaya akan ketiadaan Tuhan—keateisannya itu adalah implikasi logis dari ungkapannya monumentalnya: l'existence précède l'essence (eksistensi mendahului esensi). Dengan kata lain, menurutnya, manusia berbeda dengan objek-objek lain, misalnya—pencipta kursi niscaya telah memikirkan fungsi-tujuan-esensi kursi sebelum secara eksistensi kursi tersebut diciptakan-ditemukan—tetapi tak dengan manusia yang mesti secara personal menciptakan-menentukan fungsi-tujuan-esensi bagi dirinya sendiri. Kodrat manusia tak dapat didefinisikan, sebab tak ada entitas yang lebih tinggi, yang Mahamengetahui, yang menciptakan umat manusia. Sartre bertopang pada pemikiran bahwa nature manusia itu tak pasti, bahwa makna hidup setiap orang ditemukan oleh manusia bukan diwariskan oleh Tuhan—dan setiap orang menempa nasib-takdirnya sendiri-sendiri.


“Pikiranku adalah diriku: itulah sebabnya aku tak bisa berhenti berpikir. Aku ada karena aku berpikir … dan aku tak dapat menahan diri untuk tak berpikir. Saat ini—ini menakutkan—jika aku ada, itu karena aku merasa ngeri pada keberadaan. Akulah yang menarik diriku dari ketiadaan yang aku cita-citakan.”

—Sartre, Nausea (2000)


Setiap orang memiliki beban-beban individu yang memengaruhi semuanya, memengaruhi orang-orang lain. Tanggung jawab kita jauh lebih besar daripada yang kita duga, karena itu melibatkan seluruh umat manusia—tulis Sartre dengan tegas. Seakan dengan tebal mencerminkan aspek kebebasan dan konsekuensi yang dihadapi seorang manusia. Ketakpercayaan Sarte pada kodrat manusia, juga berhubungan langsung dengan anggapnnya bahwa tak ada landasan kolektif yang menghubungkan satu individu dengan individu lainnya. Ungkapan L'enfer, c'est les autres (neraka adalah orang lain), dalam Huis clos (No Exit)—sebuah karya drama Prancis—yang dipentaskan di Théâtre du Vieux-Colombier pada Mei 1944—adalah frasa yang diciptakan dan digunakan Sartre untuk menjelaskan kondisi ini.


Persamaan Kierkegaard dan Sartre 


“Pemikir subjektif bukanlah seorang ilmuwan, tetapi seorang seniman. Mengada adalah seni. Pemikir subjektif cukup estetis untuk memberikan muatan estetika pada hidupnya, cukup etis untuk mengaturnya, dan cukup dialektis untuk menembusnya dengan pemikirannya.”

—Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript (2009)


Kebenaran adalah subjektivitas—tambah Kierkegaard. Dengan kata lain, setiap manusia, setiap individu adalah penentu akhir dalam apa yang benar-benar nyata. Sehingga manusia harus mampu “mentransfigurasikan eksistensinya”. Kierkegaard juga menilai bahwa manusia adalah proyeksi tuhan dan manusia harus mampu memikirkan keberadaan dan relasinya dengan penciptanya (Tuhan). Dengan demikian, dia menekankan manusia sebagai ‘aktor’ bukan ‘spektator’ yang seharusnya mampu dengan subjektivitasnya—untuk berpikir, sadar, dan menghayati secara mendalam hal-hal eksistensial di sekelilingnya. Sekilas mirip dengan manifestasi kehendak bebas à la Sartre yang menekankan pada kemandirian eksistensi. Akan tetapi, ada distingsi subtil dalam pandangan Sartre, khususnya dalam konteks kodrat manusia—sebab makhluk subjektif versi Sartre lebih berfokus pada otentisitas eksistensi,  pada perbedaan-keunikan, yang mesti terbuka secara lebar untuk ditafsir-diinterpretasi.


Kemiripan lain antara eksistensialisme-teistik Kierkegaard dengan eksistensialisme-ateistik Sartre adalah bahwa keduanya melihat eksistensi manusia tak statis, melainkan sebuab proses ‘becoming’ (kemenjadian), yang bermetamorfosis dan bergerak dari kemungkinan-kemungkinan ke tingkat realitas kesadaran yang lebih tinggi. 


Kierkegaard merumuskan aktualisasi-eksistensi bahwa manusia memiliki tiga tahapan menuju diri yang autentik dan sejati: estetik, etik, dan religius—secara singkat: estetik, pengejaran kesenangan duniawi; etik, asumsi tugas kepada masyarakat, negara, dlsb; religius, taat dan mengabdi kepada Tuhan. Di sisi lain, Sartre memformulasikan tiga jenis keberadaan: L'être-en-soi (ada-dalam-dirinya sendiri); L'être-pour-soi (ada-bagi-dirinya); dan L'être-pour-autrui (ada-bagi-orang lain). Sejatinya, Sartre dan Kierkegaard tak memiliki banyak perbedaan-perbedaan signifikan—sebab keduanya adalah eksistensialis yang secara garis besar sepakat dalam banyak hal-perihal.


“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat: semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (1989)


“Dalam hidup, manusia berkomitmen pada dirinya dan menggambar potretnya sendiri, di luar dari itu tak ada apa-apa. Tak diragukan lagi, pemikiran ini mungkin tampak kasar bagi seseorang yang belum berhasil dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, ini membantu seseorang untuk memahami bahwa hanya kenyataan saja yang diperhitungkan-dinilai, dan bahwa mimpi, ekspektasi, dan harapan hanya berfungsi untuk mendefinisikan seorang manusia sebagai mimpi yang hancur, ekspektasi yang gugur, dan harapan yang sia-sia.”

—Sartre, Existentialism is a Humanism (2007)


Bagaimana jika melanjutkan hidup-kehidupan ternyata adalah melanjutkan mati-kematian lainnya? Semoga semua keberadaan berbahagia dan terampuni dosa-dosanya oleh Tuhan yang Mahaesa.


Referensi: 


Adha, Mochammad Aldy Maulana, 2022, “Pengantar Singkat Eksistensialisme”, dalam Genrifinaldy.com, 04 Oktober 2022.


Kierkegaard, Søren, 2014, The Concept of Anxiety: A Simple Psychologically Oriented Deliberation in View of the Dogmatic Problem of Hereditary Sin, New York: Liveright.


Kierkegaard, Søren, 1992, Either/Or: A Fragment of Life, London: Penguin Classics.


Kierkegaard, Søren, 2006, Fear and Trembling, London: Penguin Books.


Kierkegaard, Søren, 2009, Repetition and Philosophical Crumbs, Oxford: Oxford University Press.


Kierkegaard, Søren, 1989, The Sickness unto Death, London: Penguin Classics.


Kierkegaard, Søren, 2009, Concluding Unscientific Postscript, Cambridge: Cambridge University.


Sartre, Jean-Paul, 2000, Nausea, London: Penguin Books.


Sartre, Jean-Paul, 2010, No Exit, New York: Samuel French, Inc.


Sartre, Jean-Paul, 2003, Being and Nothingness, London: Routledge.


Sartre, Jean-Paul, 2001, The Age of Reason, London: Penguin Classics.


Sartre, Jean-Paul, 2000, Essays in Existentialism, New York: Citadel.


Sartre, Jean-Paul, 2007, Existentialism is a Humanism, Connecticut: Yale University Press.


Saturday, 19 November 2022

Nihilisme dan Penguasaan Diri: Menafsir Nietzsche dan Buddhisme (Paper Translasi)

Thangka of Shakyamuni Buddha, Tibet, c. 18th century

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Setelah dilakukannya analisis mendalam tentang Buddhisme dan filsafat Friedrich Nietzsche, kesamaan subtil muncul dalam pemahaman mereka tentang konsep penguasaan diri (Self-Overcoming). Secara garis besar, Nietzsche dan Buddhisme menegaskan dua hal: pertama, kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan; dan kedua, gagasan tentang 'diri' adalah konstruksi belaka. Melalui analisis yang lebih dalam tentang gagasan 'penguasaan diri' yang ada pada Buddhisme dan filsafat Nietzschean, paper ini mengungkap kesepakatan filosofis di antara keduanya, seraya memberikan kritik atas misinterpretasi Nietzsche terkait Buddhisme sebagai nihilisme-pasif.

Peneliti juga mengklarifikasi disparitas (perbedaan) antara filsafat Buddhis awal dan Buddhisme seperti yang ditafsirkan oleh Nietzsche; yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan kolonial dan minimnya eksposur para intelektual Eropa terhadap Filsafat Timur. Peneliti mengeksplorasi kesalahpahaman Nietzsche—dan penolakan yang diakibatkannya—terhadap agama Buddha sebagai bentuk “nihilisme-pasif” dan nirvāna/nirwana sebagai praktik untuk menyangkal realitas.  Terlepas dari distingsi mereka, peneliti menyimpulkan bahwa filsafat eksistensial Nietzsche secara ironis dekat dengan Buddha, sebab formulasi mereka untuk kehidupan yang bermakna membutuhkan konsep penguasaan diri.

Mentor awal Nietzsche, Schopenhauer, adalah pengagum berat Buddhisme awal, Nietzsche hampir tidak berdiri sendiri dalam kesalahpahamannya tentang Buddhisme sebagai agama yang bercorak nihilistik. Dengan ajaran utama Buddhisme seputar konsep ketiadaan-diri (moksa/pengahapusan diri melalui praktik meditasi) dan noneksistensi, dapat dimengerti mengapa Eropa abad ke-19 memegang konsepsi Buddhisme yang dominan negatif. Lebih penting lagi, bagaimanapun, kritik Nietzsche terhadap Buddhisme mengungkapkan kesalahtafsirannya dan kekurangannya sendiri pada saat itu; terutama karena pemahaman Eropa yang terbatas—dan kolonial (dan begitu kental dengan orientalisme)—tentang filsafat Timur. Penting untuk dicatat bahwa filsafat Timur mulai muncul di Barat pada awal abad ke-19. Makna yang sebenarnya dari ideologi Timur—seperti Buddhisme—sering hilang dalam terjemahan, dan akibatnya, Buddhisme sering disalahartikan melalui sumber-sumber dari tangan kedua.

Meskipun demikian, Nietzsche adalah salah satu pelopor Barat pertama yang mengeksplorasi agama Buddha. Bukunya, On the Genealogy of Morals (1887), mengkategorikan Buddhisme awal, secara fundamental, mengingkari kehidupan—yang bertujuan pada kekosongan/ketiadaan, dan berdiri bertentangan dengan eksistensi manusia (Nietzsche, 1994, 61). Dalam The Will to Power (1901), Buddhisme digambarkan selaku nihilistik-pasif dengan tujuan 'bertindak' sebagai penenang sementara bagi mereka yang menderita (1968, 18). Menurut para ahli, kesalahpahaman Nietzsche terkait dengan pandangan umum agama Buddha pada masanya, dan penggambaran semacam itu lebih merupakan cerminan dari apa yang terjadi di Eropa—runtuhnya nilai-nilai tradisional yang mapan, ancaman ateisme, dan 'kematian  Tuhan'—ketimbang deskripsi yang akurat tentang Buddhisme (Van Der Braak, 2010, 6).

Maka, Nietzsche memahami Buddhisme awal sebagai bentuk "nihilisme-pasif"; indikasi dari "penurunan kekuatan roh" (1901, 22). Dia membandingkannya dengan nihilisme-aktif—'kekuatan roh yang meningkat'—yang mendorong penghancuran kesadaran semua kepercayaan yang sebelumnya memiliki makna. Bagi Nietzsche, nihilis-pasif menyerah pada keputusasaannya dan menggali secara membabi buta ke dalam mentalitas kawanan (herd-mentality), sementara nihilis-aktif menghadapi realitas-keberadaan dan penderitaan manusia.

Tetap saja, penilaian Nietzsche tentang Buddhisme benar-benar kompleks. Dalam salah satu buku catatannya ia menulis: “Aku bisa menjadi Buddha Eropa meskipun terus terang aku akan menjadi antipodal dari Buddha India …” (Panaïoti, 2013, 2). Deskripsi Nietzsche tentang dirinya sebagai tipe "Anti-Buddha" menggambarkan perbedaan yang ia buat sebelumnya mengenai nihilisme pasif dan aktif. Sepanjang tulisan dan ajarannya, ia mengingat nihilisme sebagai wabah yang merasuki budaya Eropa; kebencian terhadap kehidupan dan penolakan terhadap tindakan. Ketika membahas pertemuan Sang Buddha dengan orang sakit, orang tua, dan orang mati, Nietzsche menulis dalam Thus Spake Zarathustra (1883-1885):

Ada orang-orang pengonsumsi jiwa: mereka hampir tidak dilahirkan ketika mereka mulai mati dan merindukan doktrin-doktrin kelesuan dan penolakan. Mereka ingin mati, dan kita harus menyambut keinginan mereka. Mari kita waspada ketika membangunkan orang mati dan mengganggu peti mati hidup ini! Mereka bertemu dengan orang sakit atau orang tua atau mayat dan segera mereka berkata, “Hidup ini disangkal”. Tapi hanya mereka sendiri yang disangkal, dan mata mereka, yang hanya melihat satu wajah eksistensi ini.”

Nietzsche dengan cepat menolak Buddhisme Eropa sebagai filsafat yang menegasikan kehidupan dan cenderung pesimistis. Salah satu mentor awalnya, Schopenhauer, telah sangat mengenal filsafat Timur dibandingkan dengan rekan-rekan Baratnya itu. Ketakutan Nietzsche, bagaimanapun, adalah bahwa kebangkitan filsafat pesimis akan menghasilkan kemenangan bagi kepasifan dan melahirkan dekadensi di Eropa; mengarahkan manusia menjauh dari dunia dan menuntun mereka menuju kekosongan/ketiadaan. Juga, selama era inilah Nietzsche menarik kembali narasi 'kematian Tuhan' dan runtuhnya sistem nilai tradisional Eropa.

Dalam banyak hal, Nietzsche memandang Buddha sebagai seorang tabib yang meresepkan obat untuk kondisi dasar penderitaan manusia. Baik filsafat Nietzschean maupun Buddhis, keduanya sama-sama bergulat dengan gagasan nihilisme, sembari menolak gagasan tentang kebenaran yang diwahyukan. Proyek utama Nietzsche adalah mengungkapkan kesalahan dalam Kekristenan, dan menolak gagasan 'moralitas' itu sendiri. Baginya, moralitas adalah wabah terbesar; membatasi manusia dari pelampauan ke versi tertinggi dari diri mereka sendiri, dan dengan demikian bertentangan dengan aktualisasi diri. Dalam hal ini, Nietzsche memandang Buddhisme lebih superior (unggul) daripada Kristen, dan melangkah lebih jauh untuk membandingkan keduanya secara langsung dalam The Anarchist (1968).

Dari perbandingannya, ia menyimpulkan bahwa agama Buddha jauh lebih “realistis” daripada agama Kristen—sesuai dengan pemahaman agama Buddha tentang penderitaan dan ‘resep’ Buddha untuk memberantasnya. Selain itu, Buddhisme menghilangkan konsep Tuhan yang monoteistik, dan dilanjutkan sebagai agama positivistik. Nietzsche melukiskan gambaran yang jauh lebih positif tentang agama Buddha di kalangan Anarkis, namun, banyak akademisi percaya ini hanya karena perbandingan yang dia buat dengan agama Kristen—agama yang dia benci dan sering digambarkan sebagai "agama yang merosot" yang didirikan di atas "kebencian terhadap segala sesuatu yang mapan dan dominan” (Elman, 1983, 689).

Secara paradoks, Nietzsche menggunakan gagasan "nihilisme-aktif" sebagai alat dalam proyeknya sendiri melawan nihilisme Barat. Filsafatnya berpendapat bahwa penguasaan diri atas nihilisme sangat penting untuk menjadi versi “sejati” dari diri kita sendiri. Selanjutnya, dalam The Will to Power, Nietzsche menggambarkan dirinya sebagai “nihilis Eropa yang sempurna”, yang telah hidup melalui “keseluruhan nihilisme, sampai akhir, meninggalkannya, di luar dirinya” (Nietzsche, 1968, 3). Dalam pandangan ini, kemampuan untuk mengalahkan “nausea hebat” dari kekosongan/ketiadaan memungkinkan Nietzsche hadir sebagai pemenang.

Nietzsche bertujuan untuk mengatasi nihilisme dengan menegaskan kehidupan, dengan merangkul eksistensi tanpa syarat. Baginya, hidup bukan untuk disangkal, melainkan diciptakan melalui sistem nilai-nilai pribadi, dan dibangun di atas landasan pemahaman bahwa tidak ada makna yang diwariskan di alam semesta ini. Nishianti menggambarkan proses ini sebagai “menyekarati kematian hebat di jurang nihilitas dan hidup kembali” (1983, 233). Dengan demikian, nihilisme-aktif menjadi tahap transisi, bukan tujuan itu sendiri. Ini adalah jurang yang harus kita turuni, “malam tergelap sebelum fajar” (Nietzsche, 1968, 12).

Melalui tahap-tahap empiristik di dalam nihilisme-aktif—seorang individu berjuang untuk mencapai kedudukan makhluk-ideal yang lebih tinggi, Übersmench. Dia menegaskan bahwa hidup dengan 'moralitas mulia' seseorang dicirikan dengan eksistensi yang kuat, penuh semangat, bebas dan menyenangkan, secara bawaan diperintah oleh “kehendak untuk mengalahkan, dan kehendak untuk memerintah” (1968, 16). Dari karya-karyanya, tampak jelas bahwa Nietzsche membenci orang lemah dan rendah hati yang berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup ini.

Ironisnya, Buddhisme bertujuan untuk melepaskan diri dari roda samsara (siklus hidup dan mati) alih-alih menegaskan revolusi abadinya. Bagi Nietzsche, dia menafsirkan ini sebagai pelepasan negatif dari dunia karma dalam samsara. Namun, pembebasan nirvāna/nirwana, sebagaimana dipahami oleh agama Buddha, adalah penghapusan ego dan kemelekatan pada hasrat duniawi. Gagasan bahwa seseorang dapat melarikan diri dari keadaan hidup, yang digambarkan oleh Nietzsche dalam rekurensi abadi/perulangan abadi (eternal return/eternal recurrence), adalah angan-angan yang menyesatkan bagi Nietzsche pada saat itu; sering digambarkan sebagai “the fable song of madness” (1968, 12).

Kutipan dari catatan pribadinya mengungkapkan bahwa keberadaan manusia, sebagaimana adanya, “tanpa makna atau tujuan, namun tidak terhindarkan berulang tanpa akhir dalam kekosongan/ketiadaan” adalah bentuk paling ekstrem dari nihilisme (55). Agar interpretasi Nietzsche dapat dipertahankan, Buddha harus mengkhotbahkan samsara yang berulang secara abadi. Tidak hanya itu, Buddha juga mesti mengkhotbahkan tiadanya kemungkinan untuk membebaskan diri dari samsara, atau tercapainya Pencerahan. Secara juskstaposisi, jalan tengah—Madhyama-pratipadā—yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah kematian ego, dan akhir dari siklus kelahiran; pengerahan kehendak nihilisme menuju kebebasan dari samsara. Setelah pembuktian lebih lanjut, tampaknya para Buddhis justru mendukung kebalikan dari nihilisme kosong—yang ditakuti Nietzsche dan bertujuan untuk melenyapkan Eropa.

Seseorang juga dapat beralih ke empat kebenaran mulia Buddhisme (Pali: cattāri ariyasaccāni) ketika menganalisis kritik awal Nietzsche terhadap Buddhisme. Yang pertama, Duhkha, menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan. Kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi (Nishitani, 1983, 169). Yang kedua, Samudaya, menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan. Kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan dari siklus kematian, yang pada akhirnya mengarah ke nirvanā/nirwana. Kebenaran mulia terakhir, lebih lanjut, menegaskan gagasan ini dengan mengilustrasikan Jalan Utama Berunsur Delapan (Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ). Sebagai bagian dari jalan beruas delapan, Sammä-väyäma, atau “daya-upaya benar” menganjurkan kehendak yang kuat, sejajar dengan konsep kehendak untuk berkuasa dari Nietzsche. Kehendak energik ini bertujuan untuk meringankan salah satu dari semua keinginan, yang mengarah pada penderitaan. Jelas, agama Buddha menganjurkan tindakan positif yang disengaja, daripada mengejar kepasifan yang awalnya diyakini Nietzsche.

Lebih jauh, analisis terhadap Buddhisme Theravāda mengungkapkan bahwa tujuan utama Buddhisme adalah transformasi radikal diri melalui tindakan. Arahat/Arahat (istilah untuk seorang yang telah terbebas belenggu Taṇhā, dengan jalan mencapai penerangan sempurna—seseorang yang mengerti dan memahami tentang Anicca dan Anatta yang telah memutus Tali Kelahiran-kembali), bentuk tertinggi manusia, tidak mengumpulkan karma menurut Buddhisme Theravadā, karena ia telah melampaui siklus kelahiran-kembali. Bebas dari ego, dan gagasan diri yang dibuat-buat, Arahat bebas dari samsara. 

Target kritik Nietzsche adalah gagasan nihilisme-pasif dan bentuk negasi eksistensial yang total. Mirip dengan nihilisme-pasif, metafisik ekstrem dari diskontinuitas mutlak dan kekosongan/ketiadaan, Ucchedavad, dilarang oleh Sang Buddha. Sang Buddha juga menolak gagasan Vibhava-taṇhā, yang merupakan keinginan manusia akan ketidakberadaan. Ini juga bisa berarti keinginan untuk tidak mengada, dan penolakan total terhadap penderitaan yang tidak menyenangkan dari kehidupan saat ini atau masa depan. Ajaran Buddha ini menekankan sudut pandang negatif Buddhisme pada negasi kehidupan itu sendiri, dan penekanannya pada kehendak yang penuh semangat.

Secara ironis, formulasi Nietzsche untuk penguasaan diri menarik banyak kesamaan dengan Buddhis secara filosofis. Buddhisme menganjurkan transendensi melampaui kondisi masyarakat, maya, dan menciptakan jalan individu untuk diri sendiri. “Jalan” ini mencerminkan jalan beruas delapan yang terkenal; mencerminkan kesadaran dan kasih sayang yang lebih besar. Hampir empat puluh lima tahun setelah pencerahan Buddha, beliau menghabiskan hidupnya menyebarkan kebijaksanaan dengan belas kasih dan cinta untuk orang lain di sekitarnya—yang menunjukkan pentingnya ajaran Buddha ini.

Terakhir, gagasan tentang makhluk yang sempurna dan paling ideal, seperti yang disajikan oleh Nietzsche dan Buddhisme memiliki kesamaan yang tidak kentara. Keduanya menegaskan pentingnya kehendak individu, dan menolak gagasan tentang moralitas yang sejati. Dalam agama Buddha, Arahat adalah seseorang yang telah melampaui samsara. Ada ayat dari Mūlapariyāya Sutta, di mana Sang Buddha membahas akar penyebab penderitaan dan bagaimana mencapai pencerahan dari penderitaan. Beliau memberi tahu murid-muridnya apa sebenarnya seorang Arahat, atau manusia ideal itu:

Seorang bhikkhu yang layak, tanpa fermentasi mental—yang telah mencapai penyelesaian, merampungkan tugas, meletakkan beban, memperoleh tujuan yang benar, menghancurkan belenggu untuk mengada, dan dilepaskan melalui pengetahuan yang benar—secara langsung mengenal bumi sebagai bumi. Ia secara langsung mengenal bumi sebagai bumi, tidak memikirkan hal-hal tentang bumi, tidak memikirkan hal-hal di bumi, tidak memikirkan hal-hal yang keluar dari bumi, tidak berpikir bahwa bumi adalah 'milikku', tidak menyenangi bumi. Mengapa demikian? Sebab ia telah memahaminya, aku berkata kepadamu. (Tanissaro, 1998)

Bagian ini menggambarkan bahwa bhikkhu itu adalah orang yang layak, yang telah membebaskan dirinya dari belenggu penderitaan yang menjebak seseorang dalam lingkaran kelahiran. Arahat harus mencapai pencerahan dengan mengada ‘tanpa fermentasi mental’—selalu terbebas dari pikiran, apa pun itu—dan melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa distorsi dari keinginan dan penderitaan.

Bagi Nietzsche, Übersmench, atau 'overman', menciptakan nilai-nilainya sendiri dari kebebasannya. Istilah overman/superman mengacu pada jenis manusia yang lebih agung/mulia dari manusia biasa. Namun, bagi übersmench tujuan akhir bukan hanya mengatasi penderitaan, melainkan mengatasi kondisi pasif dan melampauai kemediokeran manusia biasa. Ini kontras dengan Arahat, yang menghindari fermentasi mental sebagai cara untuk mengatasi ikatan penderitaan. Arahat juga terbebas dari perasaan diri ketika mencapai pembebasan. Bagi Nietzsche, dengan melampaui-menuju übersmench, diri dirangkul/ditegaskan ketimbang ditolak. Gagasan tentang diri diciptakan kembali dalam diri overman, karena kualitas mendasar yang menentukan dari overman adalah menciptakan nilai-nilainya sendiri. Namun, ini tampaknya bertentangan dengan apa yang ditegaskan Nietzsche dalam karya-karyanya selanjutnya.

Dalam bagian kunci dari On the Genealogy of Morality (1887)—Nietzsche berseru:

Tidak ada 'keberadaan' di balik tindakan, memengaruhi, mengada: 'seseorang yang bertindak' hanyalah fiksi yang ditambahkan ke perbuatan—tindakan adalah segalanya ... seluruh ilmu pengetahuan kita masih berada di bawah pengaruh bahasa yang menyesatkan dan tidak membuang makhluk fiktif yang kecil itu, 'subjek'.

Melalui pembacaan Nietzsche ini, mungkin ditemukan banyak kesamaan dengan agama Buddha. Diri dalam filosofi Buddhis hanyalah serangkaian komponen mental dan fisik yang mewujud dalam bentuk seorang manusia. Ini dikenal sebagai lima 'kelompok' bentuk, perasaan, pembentukan mental, persepsi, dan kesadaran. Diri adalah fungsi dari kelima kelompok unsur kehidupan ini yang saling bekerja bersama. Sementara Nietzsche menegaskan diri melalui penguasaan diri sendiri, ia juga menegaskan tidak ada 'keberadaan' melainkan tindakan yang dilakukan dari subjek. Melalui analisis antara Buddhisme dan gagasan Nietzsche tentang diri dalam konsep menguasai diri sendiri, kesamaan subtil ini muncul.

Sebagai kesimpulan, paper ini menunjukkan misinterpretasi Nietzsche tentang gagasan nihilisme-pasif yang ada dalam filsafat Buddhis. Lebih jauh lagi, peneliti menawarkan penjelasan tentang kehadiran konsep menguasai diri sendiri dalam kedua filosofi, dan di mana bidang kesepakatan itu muncul ke permukaan. Melalui keterlibatan langsung dengan penderitaan seorang manusia, Buddhisme bertujuan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi penderitaan dengan melepaskan diri dari keinginan-keinginan yang wajib dipenuhi, dan hasrat keabadian di dunia yang tidak kekal, sementara, atau singkatnya fana.

Dengan cara yang sama, Nietzsche, memperingatkan bahaya terutama mencari kebahagiaan dan kesenangan/kenikmatan duniawi, sambil menolak bentuk eskapisitas ekstrem lainnya: nihilitas-pasif. Melalui interpretasi inilah kesamaan subtil itu muncul. Paper ini juga membuka jalan baru untuk kemajuan penelitian, seperti perbedaan dalam Buddhisme dan gagasan metafisik Nietzsche tentang reinkarnasi/kelahiran-kembali. Berangkat dari diskursus yang telah disajikan, Nietzsche mungkin telah menemukan wilayah kesepakatan dengan agama Buddha—jika ia telah menafsirkan dengan benar gagasan tentang nihilisme-aktif, ketimbang menolaknya sebagai ayat lain dalam 'fable song of madness’.

 

*****

 

Daftar Pustaka:

Elman, Benjamin A. 1983. “Nietzsche and Buddhism.” Journal of the History of Ideas 44, no. 4 : 671-686.

Hongladarom, Soraj. 2011. The overman and the arahant: Models of human perfection in Nietzsche and Buddhism. Asian Philosophy. no.1:53-69.

Lincourt, Jared. 2010. “If Nietzsche Only Knew.” Stance: An International Undergraduate Philosophy Journal. 3:62-68.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Keith Ansell-Pearson, and Carol Diethe. 1994. On the Genealogy of Morality. New York: Cambridge University Press.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann, and R. J. Hollingdale. 1968. The Will to Power. New York: Vintage Books.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann. 1963. The Anarchist. New York: Vintage Books.

Nishitani, Keiji. 1983. Religion and nothingness. Univ of California Press.

Panaïoti, Antoine. 2013. Nietzsche and Buddhist philosophy. Cambridge University Press.

Thanissaro, Bhikkhu. 1998. Mulapariyya Sutta: The Root Sequence. New York: Vintage Books.

Thomas, Richard Hinton. 1983. Nietzsche in German politics and society, 1890-1918. Manchester University Press.

Van der Braak, André. 2011. Nietzsche and Zen: Self-overcoming without a self. Lexington Books.

Sumber Literatur:

Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2020/08/06/nihilism-and-self-overcoming-interpreting-nietzsche-and-buddhism/

Thursday, 17 November 2022

Puisi: Nanti, Tolong Putar Instrumen-Instrumen Ini dengan Volume Tertinggi di Hari Kematianku


Wagner - Lohengrin: Prelude
Bach - Prelude in C Major, BWV 846
Satie - Gnossienne No. 1
Satie - Gymnopédie No. 1
Chopin - Nocturne No. 1 in B Flat Minor, Op. 9 No. 1
Rachmaninoff - Piano Concerto No. 2 in C Minor, Op. 18
Liszt - Liebesträume, S. 541: No. 3: Nocturne in A Flat Major
Watson - Je te l'asserai des mots
Vivaldi - Le Quattro Stagioni (The Four Seasons)
Christl - Vivaldi Variation (Arr. for Piano from Concerto for Strings in G Minor, RV 156)
Sibelius - Impromptu for Strings Op. 5
Mozart - Requiem in D Minor, K. 626
Einaudi - Experience
Dreamers - I Will Follow You into the Dark
Chopin - Nocturne in E Flat Major (Op. 9 No. 2)
Paterlini - Rue des Trois Frères
Beethoven - The Piano Sonata No. 14 in C-Sharp Minor, Op. 27
Parrino - The Sound of Silence
Fauré - Élégie in C Minor, Op. 24
Instrumental - Que Será, Será
Stravinsky - L'Oiseau de Feu (The Firebird)
Nietzsche - Albumblatt
Chopin - Fantaisie-Impromptu, Op.66
Brahms - Sechs Klavierstücke, Op. 118: II. Intermezzo in A Major
Richter - The Departure
Tchaikovsky - Swan Lake, Op. 20, Act II: No. 10
Tavener - The Lamb
Debussy - Clair de Lune
Tiersen - Comptine d'un Autre été: L'Après-Midi
Schubert - Symphony No.8, D.759
Chopin - Nocturne in C Sharp Minor (No. 20)
Rausch - The Spirit Carries On

(2022)

Monday, 14 November 2022

Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup

“Kau, janganlah mencari (adalah kesalahan untuk mengetahui) akhir yang telah diberikan para dewa kepadaku dan kepadamu, Leuconoe, apalagi mempercayai angka-angka dari Babilonia. O sungguh lebih baik menanggung apa pun yang akan terjadi! Apakah Jupiter masih memiliki banyak musim dingin, atau ini yang terakhir; yang membuat gelombang laut Tirenia terus melemah karena memaksa melawan bibir laut. Bijaklah, saring anggurmu; hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? Sewaktu kita berbicara, waktu yang membuat cemburu telah surut dan pergi: rampaslah hari ini, dan taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari." —Horace, Odes (seri 1; puisi nomor 11) circa 23 SM.

Kira-kira seperti itulah puisi yang ditulis oleh Quintus Horatius Flaccus, atau yang lebih dikenal sebagai Horace—dalam buku Odes—yang terbit pada tahun 23 sebelum masehi. Lantas apa makna implisit dalam puisi yang dikarang oleh penyair Romawi tersebut? Adalah Carpe Diem. Apa itu? Dan yang terpenting, apakah itu penting?

Pendek kata, Carpe Diem adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika ditafsirkan secara kasar bermakna: Petiklah hari ini. Sejatinya, frasa tersebut merupakan bagian dari frasa yang lebih panjang. Versi lengkapnya adalah carpe diem, quam minimum credula postero” yang dapat diterjemahkan sebagai Rebutlah hari ini, berikan sedikit kepercayaan pada esok hari (masa depan).

Secara tersirat, Odes tersebut ingin mengatakan bahwa masa depan tidak dapat diprediksidan kita tidak boleh membiarkan kejadian di masa depan terjadi begitu saja. Kita haruslah memaksimalkan hari iniagar masa depan menjadi jauh lebih baik.

Carpe Diem juga berarti bahwa seseorang harus bertindak sejak hari ini, dan tidak menunggu masa depan. Dengan kata lain, parafrasa ini sama dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekaligus memberi kita petuah agar jangan menunda-nunda sesuatu.

Hantu-hantu Kecemasan

Kini, pertanyaannya adalah mengapa kita harus menyuarakan kembali frasa usang seperti Carpe Diem itu di masa sekarang?

Karena hidup manusia hari ini ada di zaman gangguan media sosial. Ketika di antara kita memeriksa ponsel lebih dari ratusan kali dalam sehari, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton kehidupan orang lain di layar gawai, ketimbang menghidupi realitas yang ada dan benar-benar nyata.

Ditambah lagi, manusia ada di depan distopia baru bernama hiperealitas (ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi).

Skenario terburuknya, jika boleh meminjam aporisma Nietzsche, manusia modern adalah entitas yang akan menyaksikan bagaimana kedigdayaan AI (kecerdasan buatan) menjadi tuhan-tuhan baru. Konsekuensi paling logisnya, konsepsi manusia terhadap waktu semakin bias. Seperti tidak ada masa kini karena telah dibius oleh masa depan. Manusia semakin kehilangan fokus pada hari ini dan terlalu larut dalam utopia-utopia masa nanti.

Sialnya waktu terus berjalan, zaman terus berlari, dan manusia semakin sulit untuk menghidupi hari. Sebab, manusia dipaksa menghidupi kosakata semacam globalisasi, digitalisasi, revolusi industri, dan isasi-isasi berbau futuristik lainnya. Manusia dininabobokan oleh jargon-jargon masa depan. Sampai-sampai pikirannya terjangkit penyakit-penyakit kecemasan seperti terlalu mencemaskan hari esok. Namun di sisi lain, malah menyia-nyiakan hari inihari yang ada di depan matanya sendiri.

Jika melihat pada data yang ada, angka penderita gangguan kecemasan (anxiety) telah meningkat sebanyak 15% dari tahun 2005. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 264 juta orang menderita gangguan kecemasan.

Belum lagi Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan. Membentuk kegamangan manusia akan masa depan selangkah lebih nyata. Menjadikan batas antara kehidupan dan kematian semakin dekatyang pada akhirnya memproduksi kenyataan baru bahwa manusia hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kematian.

Data dan hipotesis di atas seakan melahirkan alasan kuatmengapa harus merevitalisasi makna Carpe Diem. Sebab filosofi yang dikandungnya berguna bagi manusia yang acap kali dihantui kecemasan. Di dalamnya akan ditemukan wacana besar bahwa, setiap manusia haruslah menikmati fragmen-fragmen insiden yang sedang berlangsung, meresapi keesoterisan momen ini, dan bukan lebih mengkhawatirkan tentang masa depan. Representasi sederhananya adalah dengan menjalani hari-hari tanpa dihantui ketakutan, dan menyikapi dengan tenang hal-hal yang belum tentu terjadi.

Epikureanisme

Carpe Diem biasanya dimaknai dengan latar belakang Horace yang bertopang pada filsafat epikureanisme. Sehingga pemaknaan Carpe Diem bukan untuk mengabaikan masa depan, tetapi lebih untuk menyadari bahwa masa depan dimulai dari hari ini.

Filosofi ini tentu tercermin dalam puisi-puisi Horace yang telah mewakili filsafat epikureanisme. Epikureanisme singkatnya adalah aliran filsafat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Epicurus (Epikuros). Sistem filsafat ini beraliran materialisme yang tentu pada praktiknya sering kali menyerang gagasan-gagasan takhayul, mitos-mitos tertentu, kredo para dewa-dewi, dan intervensi ilahi.

Menurut Mazhab Epikureanisme, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mengarahkan kesadaran manusia ke dalam keadaan ataraxia (bebas dari rasa gelisah, takut, atau cemas; tenang). Istilah dan doktrin ini berakar dari Yunani Kuno. Pertama kali digunakan oleh filsuf bernama Pyrronkemudian oleh Epicurus, dan kaum Stoik.

Selain itu, epikureanisme menggambarkan bahwa salah satu keadaan ideal adalah keadaan yang disebut dengan aponia (keadaan yang absen dari rasa sakit). Perpaduan antara aponia dan ataraxia inilah yang dipandang sebagai puncak kebahagiaan.

Pendiri filsafat ini, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan adalah kebaikan terbesar dan tertinggi. Dan seperti Mazhab Filsafat Helenistik lainnya, kaum Epikurean percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Oleh karena Horace adalah seorang Epikurean. Maka Carpe Diem seakan menjadi kepingan puzzle terakhir yang memungkinkan manusia mencapai keadaan bahagia total ala epikureanisme.

Kesalahpahaman di Baliknya

Sayangnya, filosofi Carpe Diem terkadang disalahpahami. Mungkin karena frasa ini berhubungan langsung dengan epikureanisme sebagai pandang filsafat yang juga sering disamakan dengan gagasan-gagasan hedonisme. Tidak mengherankan, mengingat epikureanisme sekilas mirip dengan hedonisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebahagiaan sebagai kebaikan intrinsik.

Distingsi antara epikureanisme dan hedonisme terletak pada usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Hedonisme mencari kebahagiaan atau kesenangan dengan foya-foya secara materialistik. Ini tentu berbeda dengan epikureanisme yang menekankan pada gagasan hidup sederhana, dan menyebut tidak adanya rasa sakit sebagai kebahagiaan terbesar.

Esensi Carpe Diem juga kadang kala disalahartikan sebagai makan dan minumlah, karena besok kita akan mati. Pemaknaan lebih jauh dari Carpe Diem sebenarnya hanya digunakan untuk membenarkan tindakan spontan serta memanfaatkan hari ini sebaik mungkin, agar manusia tidak mengulangi kebodohan yang sama.

Implementasi Carpe Diem pada kehidupan sehari-hari secara tidak langsung membuat manusia menikmati momen ini, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Bahwa manusia memang harus menikmati hidup yang dimiliki saat ini. Yang pada akhirnya akan menyadarkan manusia bahwa, kekhawatiran yang berlebih bisa memperburuk keadaan, dan hanya membuat dirinya terkungkung pada stres yang tidak tercegah.

Dan pada akhirnya, Carpe Diem juga berarti membuat keputusan yang berani, agar tidak menyesal di kemudian hari. Tentu agak sedikit berbeda dengan Amorfati versi Nietzsche yang berarti belajar mencintai pilihan yang sudah dibuat. Namun, yang menjadi narasi dan pertanyaan utama adalah berani atau tidak kita, sebagai manusia membuat keputusan tanpa penyesalan? Berani atau tidak hidup tanpa belenggu masa lalu dan tanpa kecemasan akan masa depan?

Terakhir, di tengah cepatnya dunia dewasa ini menghidupkan kembali makna Carpe Diem adalah salah satu pilihan waras yang bisa untuk diambil. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan, dan masa kini adalah apa yang benar-benar penting. Jangan meratapi pada apa yang hilang, fokus pada apa yang seharusnya datang. Hiduplah di saat ini, di momen ini, tanpa terbebani hidup sebelumnya atau selanjutnya.