Wednesday, 7 December 2022

Heidegger dan Konsepsi-Dikotomis Sartre tentang Kematian (Paper Translasi)

Still Life (1657) by Pieter Claesz

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Meskipun pertanyaan tentang “kehidupan” pascakematian adalah salah satu yang sangat diperdebatkan, premis bahwa kematian adalah takdir definitif bagi semua manusia diterima secara universal. Karena sifat-sifat dari keterbatasan manusia, filsuf Jerman, Martin Heidegger—memandang kematian sebagai takdir yang memungkinkan seseorang menemukan makna, dan dengan demikian menjadi versi paling otentik dari dirinya. Heidegger menggambarkan kematian sebagai penghubung erat dengan otentisitas personal—sebab “faktis” dari ‘kedirian’. Menjadi otentik dalam terma Heideggerian berarti hidup “sejati” untuk diri sendiri. Heidegger menegaskan bahwa kebenaran dapat dijalani, dan seseorang mungkin kemudian gagal untuk menjalankan kebenarannya, oleh karenanya dia menegaskan ada cara fundamental untuk ada, atau mengada. Maka, ia mengklaim “esensi manusia terletak pada keberadaannya” (42).

Heidegger menggunakan istilah ‘Dasein’ (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman “mengada” yang khas manusia. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. (Ini juga dapat ditafsirkan sebagai istilah teknis Heidegger yang mengacu pada kita—bukan sebagai individu manusia—tetapi, mengacu pada cara mengada semua manusia). Dia secara tidak langsung mendedahkan gagasan antara mengada sebagai diri (yang otentik) dan menjalani hidup—sebagai dikotomi yang mendiferensiasi pengalaman-pengalaman manusia. Heidegger menegaskan bahwa ada kualitas-kualitas, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas tertentu yang lebih “mewakili” dari sekadar apa yang hanya kita lakukan dan nikmati. Oleh karenanya, ketika kita terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan “esensi” kita, kita menjalani kehidupan yang secara intrinsik tidaklah otentik. Sebagai Dasein, kehidupan memiliki struktur pencapaian, atau “keutuhan”, yang ada karena adanya kematian. Melalui pemahaman ini, Heidegger membedakan antara menjalani hidup dengan menjadi diri yang otentik.

Untuk lebih memahami teori Heidegger, seseorang dapat membayangkan skenario di mana waktunya untuk hidup tinggal beberapa hari lagi. Melalui penyelidikan ini, jika seseorang tersebut merasa sangat menyesal atas proyeksi kehidupannya, maka ia menjalani kehidupan yang tidak otentik sama sekali. Sebaliknya, jika ia mengungkapkan kepuasan murni terhadap arah hidupnya, terlepas dari kemungkinan kematian di tikungan sana, maka ia telah menjalani hidupnya dengan sejati. Bagi Heidegger, proyeksi imajinatif mengenai kematian sangatlah penting dalam menentukan siapa diri kita. Setelah menyadari kematian sebagai hal yang tidak terelakkan sama sekali, “seseorang dibebaskan sedemikian rupa, sehingga untuk pertama kalinya ia dapat secara otentik memahami dan memilih di antara kemungkinan-kemungkinan faktikal yang terbentang di depan” (308). Manusia memasuki keadaan kecemasan di mana kemungkinan hidup yang tidak terbatas menjadi jelas, maka pilihan-pilihan kita secara faktual dipandu dengan membuat kemungkinan-kemungkinan ini. Pada gilirannya, pilihan yang kita buat menentukan kita, memberi makna pada hidup kita, dan pada akhirnya mendorong kita pada “keotentikan”.

Meskipun Jean-Paul Sartre mengikuti garis filosofis yang cenderung indentik dengan Heidegger, dia memiliki persepsi yang sedikit berbeda terkait arti kematian. Baik Sartre maupun Heidegger, keduanya menegaskan bahwa pilihan-pilihan yang kita buat menentukan (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana) kita. Karya Sartre menggemakan karya Heidegger ketika dia mengklaim “manusia tidak lain adalah apa yang dia bangun dari dirinya sendiri” (28). Maka dari itu, karya-karyanya mewakili pandangan tegas bahwa eksistensi-mendahului-esensi. Tindakan dan keputusan kolektif kita menggambarkan siapa kita sebagai manusia, dan dengan demikian kita pada akhirnya sepenuhnya bertanggung jawab atas bagaimana kita berperilaku di dunia ini. Mengakui kebebasan-untuk-memilih—dan menghadapi konsekuensi dari tanggung jawab kita sendiri—merupakan sebuah seni untuk menjalani kehidupan yang otentik. Akan tetapi, Sartre berpendapat bahwa pandangan Heidegger memberikan terlalu banyak kekuatan untuk “mati” dalam membentuk arah hidup seseorang.

Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Berbeda dari premis Heidegger bahwa kematian memungkinkan makna, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru mengambil makna ini. Mirip dengan Sartre, Simone de Beauvoir memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tidak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tidak adil” (106). Setelah kematian, Sartre percaya bahwa makna hidup seseorang hanyalah berasal dari apa yang orang lain coba pikirkan—oleh karena kita tidak memiliki kendali untuk memengaruhi makna tersebut. Maka dari itu, kita tidak boleh sekadar menunggu kematian terjadi “bukan karena kematian tidak membatasi kebebasanku, tetapi karena kebebasan tidak pernah menemui batasan ini” (Sartre, 700). Sartre merasa kematian bukanlah peristiwa yang mesti ditakuti dan direnungi—karena kematian dianggap tidak terlalu berarti selama seseorang masihlah hidup. Dengan demikian, setelah analisis lebih lanjut dari teks-teks Sartre ini—dikotomi antara Heidegger dan Sartre menjadi semakin jelas.

Pada akhirnya, peneliti akan berargumen bahwa Sartre mengabaikan pentingnya kematian dalam mewujudkan makna hidup. Sartre menggambarkan kematian sebagai peristiwa yang sepenuhnya independen—yang tidak memiliki dampak eksistensial tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan. Secara kontras, Heidegger mengklaim bahwa kita ada-menuju-kematian sebagai ‘kemungkinan yang paling mungkin bagi manusia’. Kita mengada sebagai agen yang mampu mengenali dan berjuang menciptakan makna dengan mengindentifikasi kesementaraan kita yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu, Dasein dihadapkan dengan kematian sebagai kemungkinan eksistensi, dan ia “berdiri di hadapan dirinya sendiri dalam potensi keberadaan yang paling dirinya sendiri” (Heidegger, 232). Dengan mengenali potensi kematian, kita “mengekspos” makna dari kemungkinan-kemungkinan alternatif karena makna-makna ada dalam batasan-batasan kita.

Serupa dengan Heidegger, peneliti menegaskan bahwa kematian kitalah yang mampu memungkinkan makna seperti itu. Kemungkinan kematian, yang bertahan tanpa batas sepanjang hidup kita—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan yang kita buat. Sartre gagal membahas pentingnya kematian karena dia memandangnya sebagai fenomena yang tidak pasti, sementara Heidegger menyibak alasan mendasar mengapa kebebasan kita penting bagi kita. Makna penting yang Heidegger tempatkan pada kematian adalah valid, sebab waktu kita di Bumi terbatas dan pilihan yang kita buat sepenuhnya merupakan tanggung jawab kita sendiri. Melalui kesadaran akan kematian, Heidegger mengklaim bahwa ada-menuju-kematian mendasari temporalitas Dasein. Sehingga, temporalitas ini sangatlah fundamental bagi makna yang kita berikan pada hidup. Kita dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tidak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di Bumi tidak terbatas. Manusia yang fana tidak mampu melakukannya. Dengan demikian, dengan mengakui kesementaraan kita—di mana seseorang dapat memahami kesementaraan keberadaan mereka—keputusan-keputusan kita mengandung semacam “beban-beban” tertentu.

Setelah mengalami semacam konfrontasi personal dengan kematian, peneliti sangat memahami betapa rapuhnya “eksistensi”. Gagasan Heidegger tentang ada-menuju-kematian menguraikan kehidupan yang peneliti jalani setelah perjalanan terakhir ke “kosmos”. Meskipun pada awalnya penekanan Sartre terhadap tanggung jawab pribadi dan kebebasan dianggap berhasil, namun hal tersebut hanyalah keterbatasan kematian itu sendiri—yang mendasari kondisi yang diperlukan untuk makna. Waktu terbatas yang kita miliki di planet ini “mendikte” pilihan-pilihan yang dibuat, dan kehidupan macam apa yang akan kita pilih untuk diwujudkan. Karena kematian adalah “kemungkinan terbesar” yang telah final, menjadi jelas bahwa cara paling tepat untuk menjalani hidup adalah dengan membuat keputusan berdasarkan keinginan pribadi, bukan berdasarkan keinginan orang lain di sekitar. Masa muda kita mencontohkan keinginan yang sangat kompleks untuk penerimaan—kita segera menyadari kepuasan diri kita sendiri dengan hidup yang dimanifestasikan dari dalam ‘Diri’, dan bukan melalui penerimaan ‘Yang Lain’.

Dengan bertatap muka langsung dengan kematian, kita memahami keterbatasan eksistensi dan fakta bahwa semua kemungkinan hidup tidak akan pernah sepenuhnya terwujud. Ada sesuatu yang luar biasa di luar eksistensi kita. Potensi kematian memungkinkan seseorang untuk memahami keberadaan dalam totalitasnya dan dengan demikian memfokuskan keberadaannya sebagai miliknya (individu)—alih-alih jenis keberadaan yang tidak otentik, yang bukan berasal dari diri kita (yang lain). Meskipun kematian kakek kita adalah keluhan yang sangat pribadi, yang sangat berpotensi mengubah hidup kita—hal tersebut merupakan kematian “manusia lain”. Kendati mengalami kematiannya adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan menyiksa, itu masihlah ‘objektif’ dalam artian bahwa kita masih menghindari konfrontasi dengan kematian kita sendiri.

Heidegger mengklaim ketika kematian dihadapi sebagai individu—kita mengakui kemungkinan yang dimiliki Dasein. Jika dunia eksternal, yang memperoleh makna berdasarkan ‘Yang Lain’ tertutupi—seseorang mungkin gagal menghayati pengalaman ke dalam ‘Yang Lain’. Dengan demikian, menghadapi kematian memungkinkan eksistensi manusia untuk fokus sepenuhnya pada dirinya sebagai Diri-nya sendiri. Karya Martin Heidegger telah menjadi analogi untuk konfrontasi pribadi peneliti dengan temporalitas kehidupan yang “rapuh” ini. Karyanya telah berfungsi sebagai kebangkitan eksistensial—meningkatkan lonjakan keinginan akan makna di dunia yang pada dasarnya “hampa”.

*****

Referensi:

Beauvoir, Simone de. 1965. A Very Easy Death. Trans. Patrick O’Brian. Pantheon 102 Books: New York.

Heidegger, Martin. 1996. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. State University of New York Press: Albany.

Sartre, Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness. Trans. Hazel E. Barnes. Washington Square Press: New York.

Sigrist, Michael J. Death and the meaning of life. Philosophical Papers 44.1 (2015): 83-102.

Sumber Literatur:

Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2021/09/19/heidegger-and-sartres-dichotomous-conceptions-of-death/