kira-kira 3 tahun lalu, aku menangkap “keabsurdan” ini, mencoba menuliskannya, tapi draft tulisan ini tak pernah sempat kuselesaikan. sengaja kugunakan diksi ‘keabsurdan’, sebab menurutku, adalah absurd untuk menyaksikan langsung kisah fiksi à la Disney (insert alunan piano Tchaikovsky) terjadi di kehidupan nyata. ya, ceracau ini perihal Beauty and the Beast yang semakin menjamur & telah menjadi fenomena. aku ngakak (dalam tendensi kagum, bukan merendahkan) & sedikit “tergelitik” ketika melihat begitu banyak perempuan (yang menurutku) “cantik” berpasangan dengan lelaki yang (mohon maaf, aku harus jujur) “burik & tak-instastoryable”. di sisi lain, kupikir, sah-sah saja semisal ada perempuan “cakep” berpacaran dengan lelaki “budug”, ya terserah mereka. lagipula preferensi pasangan setiap orang begitu kompleks, subjektif, & tak akan dipahami seseorang selain dirinya.“I often stood in front of the mirror alone, wondering how ugly a person could get.”—Bukowski, Ham on Rye (1982)
aku juga tak mau body shaming, tak mau meneruskan stigmatisasi ini buruk rupa itu rupawan bla-bla-bla, atau secara brutal mengungkapkan raw truth bahwa dicap tak-cakep secara kolektif adalah buruk & merupakan malapetaka. sialnya, fakta sosial di lapangan secara tak langsung mengatakan: bila kau good-looking, maka kau “aman”—seminimal-minimalnya dari hujatan. aku paham, sungguh sangat pantek untuk mengarungi samudera fakta bahwa dunia jelek ini tak pernah adil & ramah bagi mereka yang tak-good-looking, memang.
aku sebetulnya penasaran dengan mengapa kita begitu terobsesi dengan visual—lantas aku membaca-baca, & menemukan... katanya Pinker, penulis buku sains populer “How the Mind Works”, juga seorang psikolog, & ilmuwan di bidang kognitif—“manusia adalah makhluk visual”, & dari hasil riset-penelitian ditemukan: manusia memproses data visual lebih baik ketimbang bentuk data lainnya; otak manusia memproses gambar 60.000 kali lebih cepat ketimbang teks—& 90% informasi yang dikirimkan ke otak berbentuk visual. maka, konsekuensi paling logisnya adalah bahwa ungkapan “visual itu tak penting”, “jangan melihat dari visualnya” atau ungkapan-ungkapan lain yang bernada seperti mencoba menegasikan aspek visual, mungkin, hanya mengandung kebenaran saintifik sebesar 10%—bila berangkat dari paradigma ini.
di paragraf ini, aku langsung teringat dengan kuots filosofis sekaligus puitis tapi cukup klise: “jika wujud/fisik/penampilan adalah yang paling utama, bagaimana kau mencintai tuhan yang tak terindera mata?”. di lain sisi, aku juga kesal mendengar petuah usang & kuno: “jangan menilai buku dari sampulnya”. aku kesal karena membayangkan bagaimana jika di multiverse lain... aku adalah seorang desainer sampul buku, yang telah mendesain dengan susah payah, & kemudian pada suatu pagi yang absurd seorang tolol dengan selera seni yang buruk melisankan petuah menyebalkan itu tepat di depan mukaku. mungkin, kemungkinan terbesar setelahnya adalah bogem mentah mendarat tepat di wajah seorang naif itu. menurutku, kita pasti menilai sesuatu dari visualnya terlebih dahulu.
kembali pada Beauty and the Beast, aku sering menemukan konten audio-visual (video) yang berisi fenomena tersebut & ketika kubuka kolom komentarnya hampir selalu kutemukan kalimat-kalimat satir atau sarkas, misalnya: “anjir, cowonya magrib #minimalmandi”, “spill dukun”, “cewenya hoki banget (pedahal, cowonya jelek)”, “terus kembangkan, ubahlah cacian jadi ancaman pembunuhan”, “peletnya kuat”, & lain sebagainya. sejujurnya, aku kasihan & bersimpati kepada para lelaki yang diidentifikasi (secara sosial) jelek tersebut. & jika Sartre hidup di +62 mungkin dia akan mengemukakan: “Netizen adalah Neraka”. jancok pisan.
kendati ada acuan dari golden ratio (rasio emas), lengkap dengan satuan matematis untuk melihat-mengukur seberapa estetik/cantik/perfek (& simetris) wajah seseorang—di sisi lain, aku sungguh tak tahu bagaimana menilai secara absolut & presisi wajah yang “cantik” & “tampan” itu seperti apa pastinya. walau demikian, “jelek” itu mutlak, kurasa. ini agaknya sulit untuk dibahasakan... mungkin ini adalah masalah bahasa dalam terma Wittgenstein, seorang filsuf ngaruh dalam filsafat bahasa, bahwa “apapun yang kutekskan di sini, tak akan mampu untuk melampaui batasan-batasan mendasar dari bahasa manusia & tak akan mendedahkan apa-apa, kecuali pecahan-pecahan makna yang ingin kusampaikan—sementara kau, sebagai pembaca, hanya akan memahaminya melalui kerangka linguistikmu (yang mungkin saja terbatas)”.
walaupun pusing banget ya Allah, kepalaku mencari benang merah antara fenomena membagongkan ini dengan peribahasa Latin dari drama Latin berjudul “Phormio” karya Publius Terentius Afer (di Barat lazim disebut Terence), dramawan komedi era Republik Romawi—peribahasa yang juga dikutip Cicero, negarawan Romawi kuno dalam bukunya “Tusculan Disputations”: Fortis Fortuna Adiuvat (keberuntungan berpihak pada pemberani). Publius Vergilius Maro aka Virgil (tanpa van Dijk), pujangga kenamaan masih dari Romawi, dalam karyanya “Aeneid”—menulis peribahasa ini dengan ‘Audentis Fortuna Iuvat’. jika ditarik ke konteks perbucinan duniawi, khususnya masa kini, ada benarnya juga: si cantik yang wangy bukan milik si tampan yang cupu, tetapi milik si jelek yang pemberani/percaya diri.
aku tahu ini nampak kocak gemink, tapi menurutku, cara paling buruk untuk dicintai adalah atas dasar kecantikan-ketampanan—sehingga seseorang yang dicintai bukan karena kecantikan-ketampanan semestinya berbahagia, sebab ia dicintai karena sesuatu hasil dari usaha-perjuanganya bukan karena sesuatu yang sifatnya (lebih besar) genetik-bawaan-diwariskan. bagiku, seburuk-buruknya perempuan, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kecantikan & seburuk-buruknya lelaki, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kekayaan.
terakhir, satu yang luput dari Beauty and the Beast, adalah fakta membagongkan (yang tak terbantahkan) bahwa meskipun sang pangeran memiliki fisik dari gabungan hewan-hewan liar nan buruk rupa—surai singa, kepala kerbau, dahi gorila, gading babi hutan, kaki & ekor serigala, & tubuh beruang—tapi ia memiliki istana.
Marx-Engels, duet filsuf, pakar ekonomi, & sosiolog itu sekali lagi benar... Determinisme Ekonomi (ekonomi adalah kekuatan, perilaku manusia dimotivasi oleh alasan-alasan ekonomi, & manusia akan dihargai bila mapan secara finansial) itu valid adanya & memainkan peranan kunci dalam relasi seorang manusia dengan manusia lainnya (termasuk pada konteks perbucinan duniawi). pada titik tertentu, seorang tak-good-looking tapi good-rekening, akan menang melawan seorang good-looking tapi tak-good-rekening.
anjing.
“If you think something is ugly, look harder. Ugliness is just a failure of seeing.”
—Haig, The Humans (2013)