Author: Sayyidatul Imamah
Title: Mata Kecoak
Format: 182 pages, Paperback
ISBN: 9789797753313
Published: March, 2023 by Indonesia Tera
Language: Indonesian
Absurdisme yang ditawarkan Dayuk (sapaan akrabnya) dalam kumpulan cerpennya ini tentu berbeda dengan Kafka, Camus, Beckett, atau Ionesco. Jika mesti dilabeli, barangkali ia adalah seorang Absurdis-Feminis; absurdis yang tak hanya menggemakan kerandoman pikiran seorang manusia dengan daya imajinasi supertinggi, tetapi juga membawa serta female gaze & isu keperempuanan di realitas yang patriarkis. Tapi, akan terlalu picik apabila kita hanya mempersepsikannya atau bahkan mereduksinya demikian, sebab Dayuk juga membawa hal-hal yang penting namun jarang kita renungi-maknai: suara-suara benda mati, pikiran-perasaan serangga, kemuakan terhadap peperangan, kritik atas otoritarianisme, viralitas atas hal-hal tolol di masyarakat, hingga elitisme yang hampir selalu menyebalkan.
Berikut reviu singkatnya...
Perjalanan Panjang: mengisahkan betapa ripuh-nya Rusmini menjadi perempuan di lingkungan patriarkal. Yang rentan ditindas & dieksploitasi, misalnya, ketika ia dulu pernah diperkosa di gang gelap oleh lima bajingan secara bergiliran. Tahun-tahun setelahnya bertambah ripuh ketika dokter memvonis Rusmini tak bisa punya anak. Ibu Rusmini rusak mindset-nya—fetish untuk membahagiakan lelaki—& lebih sedih ketika mendapati suaminya yang jahat mati gantung diri di pohon belakang rumah setelah ia menendang adik Rusmini hingga mati. Pada akhirnya, Rusmin bundir menenggak pil & yang lebih membagongkan, jasadnya baru ditemukan pada hari berikutnya—karena suaminya yang dingin & berengsek terlalu sibuk indehoy dengan pelacur murahan. Kisah ditutup dengan headline berita yang membuat pembaca naik pitam. Benar-benar rentetan penderitaan yang panjang. Membacanya seperti mengarungi mimpi buruk yang berkepanjangan. Berbahagialah Rusmini-Rusmini di luar sana. Cerpen ini membikinku menghela napas sepanjang ingat dikandung ingatan.
Nasrina Masih Berlari: tentang seorang gadis berambut bondol bernama Nasrina, yang menjadi viral karena terus berlari. Dengan kaus merah & celana hitam sobek-sobek, Nasrina berlari—untuk mencari kebebasan—ia masih berlari menuju ke tempat yang tak bisa mengekangnya. Nasrina masih berlari agar tak berakhir seperti orang-orang. Melewati hutan gundul, di atas lautan hingga sampai di Asia bagian Barat di mana ada banyak perang—anak-anak seusianya mati meregang nyawa. Nasrina kecewa sebab ia merasa mereka lebih membutuhkan perhatian dari dunia & awak media ketimbang meliput dirinya yang terus berlari seperti Forrest Gump. Ending-nya, Nasrina berhenti berlari setelah bertemu lelaki tua yang mengantarkan tiga anaknya bersekolah. Cerpen ini, meskipun terkesan absurd, tetapi mengajak pembaca untuk merenungkan betapa orang-orang tak pernah peduli pada peperangan & lebih memedulikan hal-hal nampak aneh bin tolol. Peculiar things are always famous. Tokoh Nasrina pun mengingatkanku pada Nasida Ria, yang pernah menyuarakan perdamaian lewat medium musik: banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai! Lebih baik “make love, not war” kalau kata Lennon.
Foto Presiden: salah satu cerpen paling emosional serta realistis tentang kondisi desa yang terpencil jauh dari “peradaban” & betapa tak bergunanya berharap pada negara. Mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa di semesta lain ada sekolah yang lebih butut dari kandang ayam—hanya berisikan foto presiden yang tak pernah diganti sejak tahun 1998 (tak diganti karena tak ada uang buat beli foto presiden yang baru)—serta seorang Kepala Sekolah merangkap guru (setelah ditinggal dua gurunya jadi TKI di luar negeri) dengan dua muridnya: Elki yang kritis & Tinasa yang penurut. Secara personal, saya menyukai tokoh Elki yang bawel. Macam Socrates yang membaca Skeptisisme Descartes. Sepanjang cerita, pembaca akan dihadapkan pada kegeraman & tendensi kuat untuk mengelus dada. Bau busuknya Orba yang masih menyengat kuat seakan menambah kesan bahwa “yang berganti hanya presidennya, bukan kediktatorannya, bukan nasib orang-orang lemah macam tokoh Kepala Sekolah.”
Kumis yang Sengsara: menceritakan kisah sebuah kumis bernama Kirik yang hidup sengsara di wajah Preman. Sebelumya Kirik pernah lahir di wajah seorang petani dan seorang politikus. Di kehidupannya yang ketiga ini, Kirik begitu tersiksa karena pola hidup jorok si Preman. Pada gilirannya, Kirik berempati karena mendapati fakta bahwa si Preman seperti tokoh Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) dalam lakon absurd berjudul Menunggu Godot karangan Samuel Beckett. Bedanya si Preman menunggu ibunya untuk pulang. Si Preman, meskipun Preman—uniknya—memiliki semacam kriteria untuk dipalak; tak mau memalak mereka yang termaginalkan. Di malam-malam yang panjang, Kirik sadar bahwa si Preman kesepian. Satu-satunya kawannnya hanya si Pawang Monyet yang cengengesan. Dialog mengalir-menampilkan realitas masyarakat kelas bawah yang suram. Suasana Covid pun terbangun dengan baik-apik dalam cerpen ini. Karena Covid, dengan dramatis, pasar—tempat satu-satunya di mana “cahaya” itu ada—ditutup. Kisah ditutup dengan sedih—setelah si Preman melamun & membayangkan bagaimana jika ia sebenarnya dibuang oleh ibunya? & air mata Preman lembut itu mengenai tubuh Kirik. Aku bukanlah Übermensch, aku juga bisa nanges. hiks...—batin si Preman. & Genrifinaldy pun meneteskan air mata, lalu meraih 2 lembar tisu itu di meja kerjanya.
Mencoret Kelamin: Gina, seorang perempuan yang gemar bertanya hal-hal eksistensial sejak umur 10 tahun. Mengapa perempuan bervagina, merasakan menstruasi seumur hidup, harus bersikap lembut-manis-patuh, & memiliki beban-batas lain yang terlampau absurd? Gina terus bertanya-tanya, kepada guru sekolah sampai guru ngaji. Tapi jawaban mereka (terutama jika dijawab dengan pendekatan agama) memang tak pernah memuaskan, seperti biasa, seperti realitanya. Karena merasa dirinya bagai alien bagi dirinya sendiri & merasa terisolasi (baca: merasa sendirian), Gina meneggak puluhan pil tidur. Ia pun tumbuh menjadi perempuan yang memendam “gelembung gelap” itu diam-diam. Situasi bertambah anjing ketika tiga temannya secara haduh gak ngotaknya memperkosanya ketika sedang mengerjakan tugas kelompok. Peristiwa nahas itu mengubah seluruh hidup Gina hingga dia berhenti bertanya-tanya. Pada gilirannya, Gina bergabung dengan Kelompok Dukungan & mendapat perspektif baru dari seorang lelaki yang mengutip Sartre: bahwa seseorang yang berpenis pun menderita. Gina mencoret kelaminnya, & menggantinya dengan kebebasan. Akhirnya, Gina hidup sebagai manusia bukan kelamin. Setelah membaca Sartre dengan tekun Gina pun mengeluarkan kredo pamungkasnya: Gina mendahului vagina! Bukankah memang begitu seharusnya?
Bagian yang Ada: tentang enam orang bernama: Le, La, Ki, Pe, Rem, dan Puan—yang melingkari meja untuk memakan Bagian yang Ada. Katakanlah dunia sebagai meja & Bagian yang ada di atas meja itu sebagai suatu makanan untuk dimakan. Masalah ada ketika Le, La, & Ki tak pernah bisa adil dalam bertindak, selalu tamak, & hanya memikirkan Bagian-nya sendiri. Secara alegoris, cerpen ini, menyiratkan bahwa lelaki selalu mendominasi perempuan. Perempuan adalah Le Deuxième Sexe (The Second Sex) kalau kata de Beauvoir. Perempuan dalam di mata de Beauvoir seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Perempuan tak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Artinya, perempuan tertindas & tak pernah mendapatkan kesetaraan. & barangkali, tak ada yang bisa meruntuhkan tirani itu lelaki kecuali lelaki itu sendiri. Setelah membaca cerpen ini, aku merasa seperti Adam yang berdosa karena pernah menyalahkan Hawa pascaditendang ke bumi.
Jembatan: habis berbatang-batang perempuan itu belum datang.... Cerpen ini memungkinkan banyak permenungan-permenungan eksistensial. Bagaimana jika kita “membunuh diri kita sendiri”? Atau, misalnya, kesepian & keterasingan macam apa yang dirasakan jembatan? & mungkin tak ada yang lebih buruk dari eksistensi yang tak disadari. Tapi orang-orang yang berjalan di atas Jembatan itu barangkali memanglah Sisifus dengan batu yang berbeda. Pada akhirnya, selain Sisifus, seseorang benar-benar harus membayangkan jembatan yang memiliki ingatan bagus itu berbahagia atau minimal—membayangkan—pagi itu Camus & tokoh-tokoh Dayuk tak menyeduh kopi karena sakit maag & memilih kemungkinan yang pertama. Kill him/her-self.
Menjadi Aku: coba kau pikirkan, coba kau renungkan, bagaimana jika kau dikutuk menjadi lampu lalu lintas? Kau sarapan dengan suara klakson & cahaya biru dari ponsel orang-orang yang selalu sibuk. Setiap saat kau melihat miniatur Sisifus itu berjalan menuju ke arah yang sama—dengan kaus yang itu lagi itu lagi; menyaksikan persegi-persegi panjang itu bergerak, & kalau sial, bertabrakan—memungkinkan momen inersia & membikin kebisingan yang memuakkan. Bayangkan... “bagaimana kalau kehidupan repetitif inilah yang akan kau jalani selamanya?”. Cerpen ini mengingatkanku akan konsep Eternal Recurrence/Return (baca: perulangan abadi) yang digaungkan Nietzsche. Filsuf eksistensialis itu menghadirkan kemungkinan buruk atau skenario jelek bahwa waktu bergerak sirkuler, bagai ular ouroboros yang memakan ekornya sendiri—& kita mesti hidup, merasakan tragedi, & mati & hidup—begitu seterusnya. & ini bertambah ngeri jika kita adalah lampu lalu lintas. Misalkan kita adalah lampu lalu lintas, mampukah kita mencintai segenap hidup dalam keabadian-kerepetitifan yang menggabutkan itu? Baik menjadi manusia yang merasakan bahwa ada yang salah dalam dirinya ataupun menjadi lampu lalu lintas yang hidup sebagai benda mati, keduanya sama-sama terlalu buruk untuk dijalani. Mungkin lebih baik tak pernah mengada. Sleep is good, death is better; but of course, the best thing would to have never been born at all. Saya membayangkan Heine membacakan puisi fenomenalnya secara teatrikal di depan lampu lalu lintas itu.
Waktu dan Tempat untuk Kematian:
“Manakah yang lebih baik, mengetahui waktu atau tempat kematian?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali, yang lebih baik adalah menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh diri kita sendiri. Cerpen filosofis ini sukses memikat hatiku & secara tak sadar membuatku berkata kasar dalam tendensi kagum. Terdapat banyak gagasan-gagasan besar yang coba dipadatkan ke dalam cerita & itu berhasil. Bahwa penamaan hari hanyalah warisan bersama, seperti bahasa. Aku sepakat bahwa kematian (sebagai sesuatu yang buruk) terlalu dibesar-besarkan sampai banyak dari kita mengira bahwa penderitaan seumur hidup & hidup abadi tak lebih buruk & membahayakan dari kematian. Melalui cerpen ini, timbul keseruan untuk membayangkan bahwa ada seorang (katakanlah) budak korporat, yang menabung selama sepuluh tahun & menggunakan tabungannya untuk menyewa pembunuh bayaran—yang targetnya adalah dirinya sendiri. Apapun alasannya, sesuatu yang kita sebut sebagai alasan mesti diberikan sepenuhnya kepada yang-melakukan. Sedikit fafifuwasweswos, dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”—dengan kata lain, secara tak langsung menyatakan bahwa hidup merupakan perkara yang-subjektif & pilihan-tindakan adalah sesuatu yang personal. Bagian membagongkan dari cerpen ini: Pembunuh Bayaran gagal menjalankan tugasnya & malah diberi kuliah eksistensialisme à la Camus (meskipun Camus benci dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme; eksistensialis) sebanyak kira-kira 6 sks. Tujuan eksistensialisme, singkatnya, adalah penciptaan makna/esensi; sedang absurdisme berupaya merangkul yang-absurd atau ketakbergunaan dalam hidup & secara simultan memberontak dengan cara terus hidup—memilih untuk terus hidup adalah sebentuk pemberontakan. Cerpen ini juga mengingatkan kita bahwa ada kedunguan umum yang mengatakan cewek itu ribet. Faktanya, cewek dan cowok, keduanya sama-sama memiliki potensi ribet yang sama. Keribetan tak bisa ditarik hanya ke dalam satu jenis kelamin tertentu. Terakhir, moralitas pun sepertinya hanyalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial oleh suatu masyarakat. Mungkin ini akan terdengar posmodern, meminjam bahasa Tarkovsky (lagi), sebuah dunia di kepala 8 miliar manusia adalah 8 miliar dunia yang berbeda. & moralitas barangkali memanglah sesuatu yang relatif; brengsek tak sesederhana ketika kita menyakiti orang lain. & tanpa moralitas objektif, tak akan ada yang menganggapmu goblok karena telah mencoba membunuh dirimu sendiri dengan tangan orang lain bila tak ada yang mengetahuinya. Sartre benar lagi, manusia dikutuk untuk menilai & ternilai.
Snob Berpistol: cerpen ini sedikit mengingatkanku pada The Strangers karya Camus. Tokoh utama (Meursault) di dalam novel tersebut membunuh ibunya secara esensi/gagasan dalam ungkapan “Ibu meninggal hari ini. Atau mungkin kemarin, saya tidak tahu”. Di cerpen ini, tokoh utama, Snob yang berkelamin pistol, benar-benar membunuh ibunya (secara eksistensi). Seperti Meursault yang menembak “orang Arab” tanpa alasan yang jelas sama sekali (& mengakui bahwa dia tak harus membunuhnya)—keabsurdan semacam itu hampir bertebaran di sepanjang narasi “Snob Berpistol”. Awalnya pembaca akan mengira bahwa Snob mengidap semacam megalomania khas Hitler karena membaca The Will to Power-nya Nietzsche atau buku-buku Heidegger & merasa ia adalah Ras Unggul. Atau mungkin semacam superstar syndrom karena pernah viral. Dayuk mengajak kita untuk merenungkan ulang, apakah manusia unggul adalah mereka yang hanya membaca buku-buku filsafat, mendengar musik-musik klasik, menonton film-film sureal, & yang membuat teori-teori berguna untuk keberlanjutan hidup? Atau mereka yang memfafifuwasweswoskan Nietzsche, Lou, Rée, Schopenhauer, Deleuze dkk. Cerpen ini juga mengingatkan akan pentingnya menjaga “subjek” agar tak mati ketika menimba-membaca pemikiran-pengetahuan. Puncaknya ketika terdapat dialog mengenai isi kepala penulis yang ramai seperti pasar nama & gagasan. Uniknya, penis Snob yang berbentuk pistol, secara simbolik, pun menyimbolkan bahwa kelelakian mempunyai potensi bahaya yang sama dengan senjata api. Penulis juga menyoal bagaimana “persetubuhan pemikiran” mungkin tak akan seutuhnya memuaskan dahaga dua insan yang dimabuk cinta. Cerpen ini menyiratkan pula bahwa tuntutan untuk bahagia, lebih mengerikan dari mendorong batu tak berguna dalam kekekalan. Pada akhirnya, Perempuan itu mati terbunuh (secara eksistensi) oleh Snob, tetapi gagasan akan Perempuan itu mungkin takkan pernah mati—bahkan jika Snob mati bunuh diri & jadi Deleuze kedua.
Jalan Lain Menjadi Serangga: cerpen ini me-recall ingatanku pada kutipan Cioran dalam The Trouble with Being Born (tentu dengan diksi yang disesuaikan, telah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks): jangan-jangan lebih baik menjadi serangga ketimbang manusia—sehingga mereka tak akan saling menghina—atau saling membenci & menyebabkan perang dunia? Betul bahwa: tak ada serangga yang merasa paling benar; tak ada serangga yang suka menilai hampir segalanya & banyak bacot dengan wajah menyebalkan. Penulis mengajak kita untuk belajar banyak pada serangga-serangga, khususnya kecoak, yang mampu menghadapi seleksi alam & berevolusi menjadi tangguh bukan kejam. Cerpen ini juga menyinggung soal perang & perbudakan (perbudakan rasial). Lebih banyak nilai moral yang akan kita dapatkan ketika membaca “Jalan Lain Menjadi Serangga”—ketimbang membaca
Mata Kecoak: jika membayangkan pembukaan Kafka yang terkenal dalam The Metamorphosis—pada suatu pagi seseorang bernama Gregor Samsa bangun dari mimpinya yang gelisah & mendapati dirinya berubah di tempat tidurnya menjadi kecoak—saja sudah terlampau absurd, cerpen ini boleh jadi lebih absurd. Bayangkan, di semesta lain ada semesta kecoak lengkap dengan pemimpinnya yang memiliki realitas persis macam manusia. Lengkap dengan matanya yang memiliki 2000 lensa yang bergerak-gerak, Pemimpin Kecoak itu mengawasi layar monitor serta tindak-tanduk 15 kecoak (baca: warganya). Cerpen ini berhasil menampilkan semesta kecoak yang mirip manusia di sebuah negara dunia ketiga; yang lekat dengan feodalisme & teror. Misalkan kita adalah kecoak, bukankah wajar jika kita takut disabuni?
Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas
Saya masih tak handal membuat kesimpulan: membaca Mata Kecoak membuatku berpikir bahwa "neraka adalah keluarga" & absurdisme tak melulu berisi kemuraman yang negatif, tetapi mampu memungkinkan permenungan panjang kali lebar kali tinggi yang positif—sebagai kritik pedas terhadap masyarakat & nilai-nilai kolektif; atau sebagai "penyengat" seperti yang telah ditekskan oleh Plato dalam Apology (yang berkali-kali digaungkan kembali oleh Syarif Maulana).
special thanks to: Indonesia Tera, Raihan Robby, & Sayyidatul Imamah