Monday, 27 March 2023

Antinatalisme: Perihal yang Lebih “Kontroversial” dari Childfree

Le Cauchemar du Petit Ludwig van Beethoven by Raymond Douillet

Beberapa waktu silam, istilah Childfree menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Childfree merupakan istilah teknis yang dinisbahkan kepada mereka yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Ini tentu berbeda dengan “Childless”. Perbedaannya, yang pertama adalah pilihan, sedangkan yang kedua adalah kompromi. Dengan kata lain, Childless merupakan suatu istilah untuk menjelaskan semacam kompromi atas ketidakmampuan untuk memiliki anak berdasarkan faktor di luar kehendak—sebut saja, biologis. Definisi antara Childfree dan Childless yang tertuang dalam buku Childfree & Happy (2021) karangan Victoria Tunggono.

Namun, terkait dengan hal ini, pernahkan kalian mengetahui istilah “Antinatalisme”?

Antinatalisme

Pertama-tama, apa itu “Antinatalisme”? Secara singkat dan sederhana, antinatalisme adalah posisi filosofis yang memandang kelahiran dan prokreasi makhluk hidup (termasuk non-manusia, seperti hewan) sebagai sesuatu yang secara moral, problematik, tercela, dan keliru—oleh karenanya, antinatalis (sebutan untuk penganut paham Antinatalisme) berpendapat bahwa manusia harus bersegera menghentikan siklus kelahiran.

Secara kesejarahan, kata “Antinatalisme” pertama kali digunakan dalam artian yang provokatif ini pada sekitar tahun 2006, ketika seorang aktivis-filsuf asal Belgia, Théophile de Giraud, yang menerbitkan buku berjudul L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste—dan dosen-filsuf asal Afrika Selatan, David Benatar, menulis buku Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Kedua karya kontroversial tersebut secara tegas menolak wacana untuk memproduksi anak. 

Penulis hanya akan sedikit membahas Antinatalisme-nya Benatar. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah mengapa? Mengapa? Dan, mengapa mempunyai anak merupakan ide yang buruk?

Benatar memiliki argumen untuk itu, yang disebut sebagai asymmetry argument: berkembang biak itu keliru karena asimetri antara kesenangan dan rasa sakit tak sepadan. Dengan kata lain, ketiadaan rasa sakit adalah baik bahkan jika tak ada yang mengalami kebaikan itu, sedangkan ketiadaan kesenangan tidaklah buruk kecuali jika seseorang tak pernah dilahirkan. Setiap manusia yang lahir pasti akan mengalami rasa sakit, lebih baik mereka tak ada karena tak ada yang dirugikan oleh ketiadaan mereka. 

Yang lebih suram dari asymmetry argument ini adalah fakta bahwa ia tak berangkat dari sesuatu berbau “keadaan” atau skenario overpopulasi yang katastropik seperti dalam Teori Malthusian.

Banyak yang berspekulasi bahwa karakter Thanos dalam film Avengers: Endgame (2019) menjadikan Teori Malthusian sebagai motivasi utama ketika menggenosida setengah populasi manusia: sekitar 5 triliun jiwa, jika dalam semesta Marvel. Teori-nya Thomas Robert Malthus ini menjelaskan tentang ketakseimbangan antara pasokan makanan dengan pertumbuhan penduduk yang eksponensial. Melalui karya berjudul An Essay on the Principle of Population pada tahun 1798, teori ini pertama kali muncul ke udara. Malthus percaya bahwa untuk mencegah masalah-masalah (social-environmental, khususnya) populasi harus dikontrol untuk menyeimbangkan pasokan makanan dengan melakukan pencegahan kelahiran. 

Upaya-upaya preventif dalam Teori Malthusian, pada gilirannya, mengingatkan penulis pada diskursus antara Pro-Life dan Pro-Choice yang sempat ramai di Amerika Serikat sana—antara yang menolak tindakan aborsi, dan yang membenarkannya. Terlepas dari pertimbangan moral-etika serta pergelutan keduanya, masing-masing dari mereka memiliki alasan logis dan “posisi ideologis” yang kuat. Bagaimana dengan Benatar? Sayangnya, dia bukan keduanya. Salah satu filsuf paling pesimis sepanjang sejarah filsafat ini, mungkin adalah seseorang yang akan berdiri paling depan untuk mendukung kepunahan umat manusia.

Pada akhirnya, untuk lebih memahami Antinatalisme, kita mungkin mesti memposisikan diri sebagai Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994) yang di suatu episode paling lucu mengatakan: “Segini banyaknya orang, kagak ada yang nyenengin gua… Nyakitin semua! nyakitin semua!”. Barangkali benar bahwa hidup ini lebih bajingan dari yang kita kira. 

Mama, oooh

I don’t want to die,

I sometimes wish I’d never been born at all.

—Queen – Bohemian Rhapsody

*****

Referensi:

Benatar, David. 2006. Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Oxford University Press, USA;

de Giraud, Théophile. 2006. L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste. Le Mort-Qui-Trompe;

Malthus, TR. 1999. An Essay on the Principle of Population. Oxford University Press;

Tunggono, Victoria. 2021. Childfree & Happy. EA Books.