Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang figur pendidikan dan psikolog, mempopulerkan teori kecerdasan ganda dalam bukunya, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Gardner secara praktis memperluas definisi kecerdasan dan menguraikan beberapa jenis kompetensi intelektual yang berbeda-beda. Ada sembilan tipe kecerdasan: naturalis, musikal, logis-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik, linguistik, intrapersonal, spasial.
Akan tetapi, terlepas dari teori kecerdasan ganda ini dan pertanyaan fundamental tentang "apa itu cerdas?", meskipun saya bukanlah orang yang tergolong cerdas dalam standar mana-apa-pun, saya menaruh hipotesis bernada kecurigaan-sinis di hati bahwa jangan-jangan kecerdasan adalah kutukan. Seperti Prometheus yang menjadi "tersiksa" karena telah mencuri api pengetahuan dari para dewa di Gunung Olympus dalam mitologi Yunani.
Kecerdasan, yang sering kali dipandang sebagai kata sifat yang dicita-citakan, memiliki sisi gelap yang jarang dibayangkan, jarang diperbincangkan, jarang dibahasakan. Saya menilai, sesuatu yang secara sosial-kultural dikultuskan oleh hampir semua peradaban-kebudayaan ini (secara negatif) berpotensi besar untuk memengaruhi kesehatan mental, selera humor, relasi secara horizontal-vertikal, dan bagaimana dunia ide (dalam konteks Plato) tampak secara keseluruhan bagi pengidapnya. Lebih jauh dari itu, daya intelektualitas tinggi menyebabkan pemikiran berlebihan dan analisis tak berujung pangkal; yang berpuncak pada peningkatan dosis kecemasan dan kelelahan mental.
Seorang esais-cum-eksistensialis, Peter Wessel Zapffe, dalam esai yang melambungkan namanya, The Last Messiah, menamai kondisi paradoksal ini dengan sebutan “surplus kesadaran”. Pendek kata, kecerdasan memperkuat eksistensi kesadaran, sesuatu yang paling nyata yang membedakan manusia dengan hewan-hewan. Sialnya, harga yang mesti dibayar manusia untuk merengkuh kesadaran adalah keputusasaan.
Kadar kesadaran berlebih berbanding lurus dengan peningkatan kepekaan yang memungkinkan eskalasi keputusasaan. Dalam The Sickness Unto Death, Kierkegaard, sang filsuf-melankolis, menulis, "Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat—semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”
Seorang individu yang cerdas sering kali merenungkan apa-apa yang ada, yang tidak ada, mungkin ada, mungkin tidak ada, tidak mungkin ada, maupun yang tidak mungkin tidak ada. Sayangnya, meraba kemungkinan dari keberadaan bisa membuat pengidap kecerdasan kewalahan. Neuron dalam kepalanya akan condong mencari-melihat pola dari hampir segala sesuatu yang sekilas tampak tidak berhubungan sama sekali. Ia akan terus-menerus mencatat hal-hal yang menarik, hal-hal yang perlu dipelajari, hal-hal yang perlu diperbaiki-diimprovisasi, dan cara-cara untuk terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini tak jarang menyebabkan stres berat dan kegagalan untuk sekadar benar-benar beristirahat.
Dari pengamatan personal dan bacaan-bacaan, saya pun menemukan asumsi bahwa seorang yang cerdas bertendensi untuk "memiliki masalah" dengan "otoritas" atau "status quo" dan nilai-nilai kolektif. Entah negara tempatnya bernaung, agama-kepercayaan yang diyakini mayoritas orang, atasannya di kantor, dan sebagainya. Sebab, ia—sependek yang saya lihat—punya hasrat besar untuk bermain-main dengan apa-apa yang telah dianggap mapan. Hal ini akan menjadi masalah bila dilakukan di waktu dan tempat yang salah.
“Seseorang yang berpikir sepanjang waktu tak memiliki apapun untuk dipikirkan kecuali pikiran. Maka, dia kehilangan kontak dengan kenyataan dan hidup di dunia khayalan.” — Alan Watts
Surplus pikiran pun menimbulkan rasa keterpisahan dari dunia eksternal—semacam alienasi intelektual. Kecerdasan juga membuat pengidapnya terlihat kikuk, aneh, bahkan tampak tolol secara sosial. Bukankah kesenjangan intelektual dan kesulitan menemukan individu yang berpikiran sama mengandung konsekuensi logis, yaitu keterasingan sosial? Individu ini, tak peduli apakah dia tipikal introver atau ekstrover, niscaya berjuang setengah mampus untuk sekadar terhubung secara mendalam dengan orang lain—yang pada gilirannya, ia akan mengalami kesepian akut dan kehilangan sense of belonging.
Psikoanalis terkenal, Carl Jung, benar sekali lagi bahwa "jika seorang individu tahu lebih banyak dari yang individu lainnya, dia menjadi kesepian". Dengan demikian, perbedaan "frekuensi" antara seseorang yang cerdas dengan yang tak cerdas dalam obrolan pun memperparah rasa kesepian-keterasingan ini. Meskipun sepertinya hampir semua individu membutuhkan obrolan ringan, tetapi terlalu banyak obrolan ringan biasanya membuat seseorang yang cerdas mengalami kebosanan-kegabutan dan, pada gilirannya, membuatnya menjadi makhluk soliter penghuni kamar yang mengeksilkan diri dari lingkungan sosial.
Kecerdasan pun membawa serta standar-standar tinggi, harapan-harapan langit, dan cenderung membikin pengidapnya perfeksionis. Kecerdasan, bagaimanapun positifnya, adalah rahim yang melahirkan ekspektasi tinggi kepada/dari diri sendiri dan masyarakat, yang disimtomkan oleh stres kronis dan sindrom impostor. Sindrom impostor, pendek kata, adalah ketidakpuasan terhadap prestasi atau pencapaian yang diraih, secara konstan merasa kurang, dan merasa sebagai seorang penipu. Dalam bahasa Nietzsche yang filsuf-moralis, menipu diri sendiri merupakan dosa terbesar seorang manusia. Di pojokan sana, Dostoevsky sang novelis gigan pun besar kemungkinan mengamini kalimat puitis ini.
Dengan demikian, ada semacam pil pahit yang mesti ditelan oleh orang-orang cerdas nan perfeksionis bahwa dunia-kehidupan tidaklah sesempurna yang mampu mereka konstruksikan dalam pikiran-perasaannya. Akan selalu ada disparitas antara dunia ideal dengan realitas; demarkasi nyata antara gairah purba dalam diri untuk mencapai apa-apa yang sublim dengan apa-apa yang mampu ditawarkan kenyataan. Camus dan Beckett, duet maut absurdis, mendedahkan bahwa inilah mengapa hidup ini absurd dan, sialnya, manusia tak bisa lari dari absurditasnya.
Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula jalan kecerdasan menuju kesengsaraan. Jika buku merupakan infrastruktur pembaca, pintu menuju pengetahuan, dan pengetahuan mengurangi kemungkinan kebahagiaan, maka berbahagialah mereka yang tak pernah membaca apa-apa sepanjang hayat dikandung badan.
Walau bagaimanapun, kecerdasan harus dirayakan-disyukuri-dicintai. Sebab, kecerdasan adalah sesuatu yang menggerakkan roda-roda peradaban menuju masa depan yang lebih asyik, menarik, dan mungkin baik. Dengan penerimaan semacam ini—mengakui serta sadar bahwa ada sisi gelap dari kecerdasan dan memilih untuk mencintainya—timbul pengharapan subtil bahwa semoga masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.