Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.
“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”
—Huizinga, Homo Ludens (2014)
“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”
—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)
“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”
“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”
—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)