“Keluarga adalah rumah bagi kesintingan-kesintingan.”—Debré, Love Me Tender (2020)
tak banyak yang bisa & mau “kukeluarkan” tentang ‘keluarga’. meskipun hampir setiap hari—ada dua makhluk berkaki dua & berbadan tegap yang telah kuanggap sebagai kawan dekatku—bertandang ke kamarku, menyesap kopi, mengembuskan asap rokok mereka ke angkasa, & dengan intonasi rendah menceritakan bagaimana rumitnya konflik keluarga mereka; konflik yang, kupikir jauh lebih kompleks dari apa yang ada dalam Fathers and Sons karangan Turgenev atau Anna Karenina-nya Tolstoy atau Letter to My Father-nya Kafka atau To the Lighthouse-nya Virginia atau The Sound and the Fury-nya Faulkner.
atau kata ‘keluarga’ di kepala seorang rumah-rusak pendengar setia lagu-lagu Blink-182 era DeLonge, misalnya Stay Together for The Kids dengan liriknya yang ikonik: their anger hurts my ears ... been running strong for seven years... rather than fix the problems... they never solve them, it makes no sense at all.
barangkali itulah mengapa ada anggapan klasik bahwa harta paling berharga adalah keluarga. secara personal, aku brutally setuju. karena memang, sepasang manusia yang bercocok tanam, melahirkan-membesarkan kita, & kelak kita panggil dengan ayah & ibu inilah yang paling menentukan roller coaster-nya hidup kita. apa yang kita makan di pagi hari, apa yang kita pikirkan sebelum tidur, apa yang kita kendarai, di mana kita mengemban pendidikan, kapan kita mengerti tentang pentingnya mengatur keuangan, siapa yang biasanya dapat kita temui, mengapa kita bekerja, bagaimana kita menyusun mimpi—tentu saja ditentukan oleh apa-apa yang “terdapat” & “inheren” dalam keluarga kita.
apakah kita akan menjadi seorang optimis ataukah pesimis ketika dewasa, ialah salah satu contoh besarnya. aku, bahkan berani bertaruh bahwa persoalan bagaimana kita melihat dunia, lebih ditentukan oleh siapa/bagaimana keluarga kita ketimbang buku-buku, lagu-lagu, & lukisan-lukisan yang kita konsumsi sepanjang usia. buku-buku sastra telah banyak menarasikan secara artistik & terkadang barbar bagaimana rasanya terlahir di keluarga yang (silakan masukkan kata-kata kasar).
menyoal karya sastra, aku masih ingat... pada suatu siang yang random, mentor persastraanku pernah mengatakan bahwa dialog dalam satu-satunya cerpenku tentang keluarga nampak tak natural, tak logis, bahkan aneh. responku hanya tertawa. faktanya, aku memang tak bisa membangun suasana atau percakapan yang logis antara seorang anak & orang tuanya. tolong jangan tanya mengapa. aku memohon, dengan sangat.
sekali lagi, aku tak mau menulis banyak. pada akhirnya, menyoal kedua kawan dekatku, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan dengan sabar curhatan-curhatan mereka itu sambil menepuk-nepuk bahunya. & secara klandestin, menarik napas panjang setelah mereka pulang. aku pun sesekali, jika tak bisa lagi kutelan sendirian, menceritakan kondisiku pada mereka: aku memisalkan keluargaku sebagai pesawat boeing 737, & aku sebagai tumbuhan (katakanlah, pakis-pakisan) yang hanya ingin berfotosintesis dengan damai tapi mesti merasakan tertimpa burung besi berkecepatan kira-kira 539 knot itu.
keluarga
keluar-ga
ke-luar ga?
ayok. kalo gak ke luar
nanti keluar airmata.