“Seseorang mesti membuang rasa ingin setuju dengan banyak orang. ‘Baik’ tak lagi baik ketika seorang tetangga mengucapkannya. Dan bagaimana seharusnya “kebaikan bersama” itu ada? Istilah itu bertentangan dengan dirinya sendiri: apa pun yang bisa menjadi umum selalu memiliki nilai yang kecil.”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)
Berbicara Nietzsche adalah berbicara tentang dinamit dalam bentuk kehendak yang bertendensi untuk meledakkan bangunan kemapanan tepat di tengah-tengah mental kerumunan.
Selain Kekristenan, filsuf edgy berkumis baplang itu, nyatanya, mengkritik banyak tokoh sentral, pemikiran, hingga institusi agama. Dimulai dari menyerang dedengkot Filsafat Barat macam Socrates, lalu Metafisika-nya Plato, Cogito-nya Descartes, Moralitas-nya Kant, Filsafat Sejarah-nya Hegel, Lingkaran Setan-nya Schopenhauer, Nirvana-nya Buddhisme, Aufklärung yang hiper-percaya-diri—sampai Sains Modern yang dia pikir tidak bisa dijadikan medan tunggal dalam memahami realitas ini.
Tapi dalam esai singkat ini, penulis hanya akan mengulas “sedikit” lika-liku hubungan Nietzsche dengan Stoikisme.
“Kau ingin hidup sesuai dengan Alam? Oh, kau Stoa yang mulia, betapa menipu kata-katamu itu! Bayangkan dirimu sebagai makhluk seperti Alam, luar biasa luas tak berbatas, sangat masa bodoh, tanpa tujuan atau pertimbangan, tanpa belas kasihan atau keadilan, sekaligus subur dan tandus dan tak pasti: bayangkan ketakpedulian sebagai kekuatan—bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan ketakpedulian seperti itu?”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)
Stoikisme dan Nietzsche
Menurut Stoikisme dan Kaum Stoa, kita mesti terus berusaha untuk “mengekang” emosi kita. Mereka percaya pada “dikotomi kendali” dan membelah dunia menjadi dua kutub besar: hal-hal yang berada di dalam kendali dan hal-hal yang berada di luar kendali. Keyakinan bahwa kita memiliki kuasa atas hal-hal yang sebenarnya tak dapat kita kendalikan memproduksi seribu penderitaan—dan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan—adalah apa yang dikehendaki tuhan/alam kepada manusia—singkatnya, menurut Kaum Stoa.
Nietzsche menyebut mereka sebagai “pemain sandiwara dan penipu luar biasa” yang memilih untuk melihat sesuatu secara keliru. Baginya, manusia adalah seutas tali yang diikat di antara hewan dan adimanusia—sebagai seorang pemikir naturalistik: yang memandang manusia tak lebih dari sekadar insting-insting alamiahnya; mengekang emosi adalah sebentuk kebodohan yang angkuh, adalah ketakpedulian yang naif.
“Seorang manusia membaik dengan baik dari sifatnya yang luar biasa—intelektualitasnya—dengan memberi kesempatan pada insting kebinatangannya.”
—Nietzsche, Twilight of the Idols (2009)
Dengan kata lain, semisal muka kita tiba-tiba ditonjok oleh seseorang yang tengil dan tempramental di suatu pagi absurd, janganlah kita menahan emosi—bila perlu tonjok balik dadanya sampai berbunyi: “deug!”. Memang benar bahwa kita tak dapat mengendalikan segalanya, tetapi “dikotomi kendali” yang cenderung meredam emosi dari insting spontan ketubuhan dan menutup kemungkinan baku hantam yang niscaya dibutuhkan pada momen-momen tertentu—adalah respons yang penuh dekadensi.
Nietzsche seperti ingin mengatakan kepada kita: marah adalah sesuatu yang sangat alamiah, sesuatu yang sudah menjadi cetak biru kita—adalah gairah paling purba dari manusia sebagai makhluk yang memiliki instrumen-instrumen kesadaran dan mampu berpikir. Dia seakan memvalidasi bahwa manusia adalah hewan yang mampu berpikir alias Al-Insanu Hayawanun Nathiq—meminjam istilah Imam Ghazali—yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Socrates. Dengan pendekatan interpretasi yang lebih ateistik: tak ada gunanya kita bersabar dan mengambil “Leap of Faith/Lompatan Iman” dengan berharap semoga seseorang yang membuat kita marah dibakar kekal di neraka yang “belum” terbukti nyata adanya. Hanya ada satu kata: Balas!
Titik Temu Nietzsche dan Stoikisme
Sejatinya, Nietzsche dan Stoikisme memiliki hubungan yang rumit, enigmatik, dan paradoksal. Di satu sisi, Nietzsche menentang prinsip utama Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”—yang memiliki inti keyakinan bahwa kosmos adalah satu dan sama dengan tuhan—oleh karenanya memiliki semacam harmoni/keteraturan. Di sisi lain, Nietzsche secara kontras memandang alam—kosmos—itu kaotis, diliputi banalitas, dan tak memiliki tuhan. Melihat “hukum” di alam hanyalah melihat pola dan meyakini secara buta bahwa alam memiliki aturan. Faktanya, manusialah yang membuat hukum dan aturan, bukan alam.
Di sisi yang lainnya lagi, dia memuji habis-habisan Epictetus dan Seneca sebagai moralis yang hebat. Di satu waktu, Nietzsche pun mengkritik Stoikisme sebagai pemujaan upaya etis tentang kemandirian rasional yang meremehkan rasa sakit dan hasrat ketika mengejar afirmasi takdir tanpa syarat. Nietsche menganggap penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu yang “perlu”—dan Nietzsche menilik Stoikisme menegasikan hal penting itu.
“Kepada manusia yang mengkhawatirkanku—aku mengharapkan penderitaan, kesedihan, kesepian, penyakit, perlakuan buruk, penghinaan.”
—Nietzsche, The Will to Power (2014)
Nitezsche mempercayai Will/Kehendak (Will to Power/Kehendak untuk Berkuasa)—yang juga merupakan gagasan fundamentalnya: segala sesuatu terdiri dari Kehendak, dan semua yang muncul adalah hasil dari kemauan. Akan tetapi, ada beberapa penelitian cukup kredibel yang memaparkan bahwa The Will to Power-nya Nietzsche merupakan konsep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa—yang dia ambil dari formula Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”.
Ada garis filosofis lain yang menghubungkan Nietzsche dan Stoikisme: keduanya sama-sama melihat bahwa manusia tak memiliki “kehendak bebas”—kita tak punya dadu untuk dimainkan dalam “takdir” kita sendiri. Di sisi lain, Nietzsche menekankan individualitas tingkat tinggi, kreativitas-subjektif à la Eksistensialisme, dan melawan “Herd Mentality/Mentalitas Gerombolan” dari sistem filsafat seperti Stoikisme (dan institusi agama yang bercorak taklid buta).
Terakhir, di dalam dunia yang tak bermakna, tak jelas, dan kaotis—Nietzsche mengajak kita: bercita-cita untuk menciptakan diri ideal kita sendiri dengan cara kita sendiri; ada dua jenis manusia di dunia ini, jangan jadi keduanya—jadilah dirimu sendiri!
*****
Referensi:
Nietzche, Friedrich. 2011. Beyond Good and Evil. Kindle Edition;
Nietzsche, Friedrich. 2009. Twilight of the Idols. Oxford University Press;
Nietzsche, Friedrich. 2014. The Will to Power. Kindle Edition;
N.T. Croally, Euripidean Polemic: The Trojan Women and the function of tragedy, Cambridge University Press (1994), pages 18–19);
Ure, Michael. “Nietzsche’s Free Spirit Trilogy and Stoic Therapy.” Journal of Nietzsche Studies, no. 38, 2009, pp. 60–84. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20717975. Accessed 25 Sep. 2022;
Hamilton, Grant. “J.M. Coetzee’s Dusklands: the meaning of suffering.” Journal of Literary Studies, vol. 21, no. 3-4, Dec. 2005, pp. 296+. Gale Academic OneFile, link.gale.com/apps/doc/A153049539/AONE?u=googlescholar&sid=googleScholar&xid=d9308db9. Accessed 25 Sept. 2022;
James A. Mollison (2019) Nietzsche contra stoicism: naturalism and value, suffering and amor fati, Inquiry, 62:1, 93-115, DOI: 10.1080/0020174X.2019.1527547