“seorang pelukis, yang tak menemukan kepuasan dalam seni representatif, betapapun artistiknya, dalam kerinduannya untuk mengekspresikan kehidupan batinnya, pasti iri dengan kemudahan musik, seni yang paling non-materi saat ini, dalam mencapai tujuan ini. sehingga pada akhirnya, ia secara alami berusaha menerapkan metode musik pada seninya sendiri. & hasilnya, timbul keinginan modern untuk menghadirkan ritme dalam lukisan, apa-apa yang matematis, sebuah konstruksi abstrak, nada-nada warna yang berulang, untuk mengatur warna dalam gerakan.”—Kandinsky, Concerning the Spiritual in Art (1912)
aku tak mau berbohong. ada alasan ideologis mengapa aku menggilai karya-karya Kandinsky. tapi tak sekadar bersimpati pada gerakan Bolshevisme berbau Marxis-Leninis. percayalah... aku tak sekomunis itu, sayangku. sederhananya, jika Mang Ucok Homicide dalam lagunya Puritan (God Blessed Fascist) menyatakan “fasis yang baik adalah fasis yang mati”—aku beranggapan bahwa fasis yang buruk adalah fasis yang “nyeni”... & Wassily Kandinsky secara gagah-berani menantang Fasisme dengan/dalam karya seni. lukisannya yang berjudul The Blue Rider (basa Toni Kross: Der Blaue Reiter) bahkan dijadikan semacam bendera pemberontakan atas Entartete Kunst (label Partai Nazi pada jenis seni yang tak mereka setujui—dalam upaya mengontrol seni di bawah kendali mereka) pada masa Hitler yang tangan besi.
tak berhenti sampai di situ, bersama Franz Marc, judul lukisannya itu pun dipilih sebagai nama sebuah gerakan seni pada tahun 1911-an—yang berisi seniman-seniman avant-garde (termasuk Paul Klee) yang tinggal di Munich. kebangkitan Fasisme di awal abad ke-20, faktanya, memang berdampak besar pada lanskap artistik. seperti yang telah disinggung sedikit di atas, rezim fasis berhasrat mengontrol visual hingga tataran estetik & menggunakannya sebagai alat propaganda ideologi nasionalistik. konsekuensi logisnya, seniman yang tak sejalan dengan narasi fasis (misalnya, Kandinsky, yang kelak dijuluki Bapak Seni Abstrak) ya disikat dong bestie xixixixi. dengan kata lain, seni abstrak ibarat bunga teratai yang menyebul di atas lumpur pengekangan.
dalam bukunya, yang terbit pada tahun 1912—Concerning the Spiritual in Art—ia menulis bahwa seni seharusnya tak hanya representasional, tetapi juga harus berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas & kedalaman emosi manusia melalui penerimaan atas apa-apa yang abstrak, seperti halnya musik. ia melanjutkan, “warna secara langsung memengaruhi jiwa. warna adalah tuts, mata adalah palu, jiwa adalah piano dengan banyak senar. seniman adalah tangan yang memainkan, menekan kunci secara sengaja, demi menimbulkan getaran dalam jiwa”. Kandinsky bahkan menciptakan sepuluh lukisan yang dinamai Composition (yang paling terkenal nomor VIII) yang mengeksplorasi hubungan antara seni lukis & musik. penggunaan warna yang berani dalam banyak lukisannya, secara interpretatif, pun berusaha membangkitkan perasaan batin ketimbang memvisualkan objek yang dapat dikenali (wicis, figuratif/imitatif). karya-karyanya yang cenderung non-figuratif/non-representatif menantang konvensi artistik tradisional & mencoba membuka kemungkinan ekspresi-ekspresi artistik yang baru.
barangkali itulah mengapa, ketika aku melihat lukisan-lukisan Kandinsky rasanya seperti ada burung elang yang lepas dari sangkar kepalaku. lukisan Transverse Line, misalnya, sesekali mengingatkanku pada tujuan seni menurut Camus, dalam bukunya pada tahun 1944—Resistance, Rebellion, and Death—adalah untuk meningkatkan dosis kebebasan. ledakan-ledakan kebebasan pada lukisan-lukisan abstrak, pada gilirannya, juga mengingatkanku pada kredo Deidara (salah satu tokoh dalam serial Naruto): seni adalah ledakan! (yang dikutipnya langsung dari seniman abstrak asal Jepun, Tarō Okamoto).
kembali pada Fasisme, sejujurnya, (ini curhat) aku masih tak mengerti mengapa dalam serial La Casa de Papel para perampok Banco de España itu secara teatrikal menyanyikan Bella Ciao yang notabene merupakan anthem perlawanan para Mondina (pekerja perempuan di Italia abad 19 akhir hingga awal abad 20-an yang melawan Nazisme & Fasisme) sambil memakai topeng Salvador Dalí (yang jelas-jelas terobsesi dengan dua ideologi problematik itu). sangat tunggu kiris, alias teu ngarti... how can standar ganda kitu anying. lupakan. terserah Álex Pina sang penulis cerita, sih.
meskipun demikian, secara luas, aku tetap menyukai Surealisme... misalnya lukisan-lukisan karya René Magritte (The Lovers, Golconda, La Clairvoyance), Frida Kahlo (Viva la Vida, Watermelons), Kay Sage (Le Passage, The Fourteen Daggers, Journey to Go), Raymond Douillete (La Musique des Sphères, L'Âme du Musicien), Pablo Picasso (Les Demoiselles d’Avignon, Guernica, The Old Guitarist; eh, dia Surealis gak sih?), hingga Hieronymus Bosch (Ascent of the Blessed, The Garden of Earthly Delights) yang lebih cocok digolongkan sebagai seniman Proto-Surealisme. sebab, kurasa, Surealisme bukan hanya sekadar aliran seni, tetapi juga sebuah perspektif. & seperti banyak surealis yang dipengaruhi psikoanalisis-nya Freud, aku percaya bahwa “pikiran rasional” merepresi kekuatan imajinasi & potensi kebaruan. maka, pada titik tertentu, aku cenderung berhasrat mendobrak apa-apa yang tabu serta mengolok-olok gambaran-gambaran ideal nan usang.
oh ya, Surealisme juga konon mereperesentasikan posisi politik: antara Trotskyis, komunis, atau anarkis. maka mesti diakui & digarisbawahi bahwa sepanjang sejarah, seni hampir selalu menjalin hubungan gelap dengan iklim politik & corak sosial di ruang-waktu ia dilahirkan. katakanlah... seni Renaissance yang seperti berusaha “menggali akar kembali”... menangkap pengalaman individu & serta keindahan dari misteri alam (yang bisa dibilang merupakan ekspresi politis dari tradisi Yunani-Romawi klasik)—selain karena memang zaman itu diwarnai oleh penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan & cukup banyak mitos-mitos berhasil didemistifikasi. atau Neo-Impresionisme yang sangat terkait dengan ide-ide politik, terutama Anarkisme. atau Romantisisme yang muncul sebagai respons kekecewaan terhadap nilai-nilai Pencerahan & “kemapanan” setelah Revolusi Prancis tahun 1789.
atau... Bauhaus, sekolah desain revolusioner yang didirikan di Jerman pada sekitar tahun 1919. gerakan yang dipelopori Walter Gropius ini memainkan peran penting dalam membentuk lintasan seni & corak desain modern. & voilà, Bauhaus berhasil menciptakan bahasa visual baru yang selaras dengan dunia industri. & Kandinsky bergabung dengan Bauhaus pada tahun 1922, membawa keahliannya dalam teori warna & ke institusi inovatif ini. sebelum nyemplung ke Bauhaus, Kandinsky sudah dikenal dengan idealismenya. ia bahkan tak sangsi mengungkapkan bahwa ke-fetish-an para pelukis figuratif terhadap bentuk telah menghisap habis sisi liar imajinasi & lukisan beralih menjadi sekadar teori tentang sudut pandang.
di sisi lain, seni tak pernah gagal membuatku geleng kepala. ada banyak mengapa. aku tekskan tiga dulu saja. mengapa lukisan-lukisan ekspresionisme abstrak-nya Pollock yang lebih terlihat seperti muntahan kucing dengan mulut berisi cat akrilik ketimbang karya seni—& lukisan-lukisan Rothko yang lebih terlihat seperti buku pantone di toko matrial-matrial dekat rumahku—selalu laku terjual mahal? atau mengapa ada orang sinting yang dengan senang hati membeli tahi kalengan sebanyak 30 gram seharga US$ 242 ribu dari seseorang bernama Piero Manzoni? terlepas dari apapun alasannya otakku yang tumpul ini tetap tak bisa menerimanya.
selain berhubungan dengan politik, kupikir... bahwa aliran seni lukis tertentu berhubungan dengan aliran musik tertentu. album The Strokes terbaru, The New Abnormal (2020) yang sampul albumnya menggunakan karya JM Basquiat - Bird on Money yang dilukis pada tahun 1981. Julian Casablancas & Basquiat barangkali memiliki semacam spirit yang sama, atau perspektif yang sama, atau kekesalan yang sama, dalam bagaimana memandang “kekolotan”. & hal ini tercerminkan dengan gamblang di lagu yang berjudul The Adults Are Talking. silakan dengarkan & resapi liriknya.
mungkin sekian. mesti ditutup sebelum ngalor-ngidul tak karuan. mari kita tutup dengan kuots.
“karya seni sejati lahir dari 'seniman': ciptaan yang misterius, penuh teka-teki, & mistis. yang melepaskan diri dari senimannya, memperoleh kehidupan otonom, menjadi kepribadian, subjek independen, dijiwai dengan nafas spiritual, subjek hidup dari keberadaan yang nyata.”—Kandinsky