Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.
The Transendence of the Ego adalah esai filsafat yang diterbitkan oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1936. Di dalamnya, dia mengemukakan pandangannya bahwa the self (diri) atau “ego” bukanlah sesuatu yang seseorang (kita) sadari.
Model kesadaran yang dikemukakan Sartre dalam esai ini dapat diuraikan sebagai berikut. Kesadaran selalu intensional (disengaja); yaitu, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. 'Objek' kesadaran dapat berupa hampir semua jenis hal: objek fisik, proposisi, keadaan, citra atau suasana hati yang diingat—apa pun yang dapat ditangkap oleh kesadaran. Inilah “prinsip intensionalitas” yang menjadi titik pangkal fenomenologi (Edmund) Husserl.
Sartre meradikalisasi prinsip ini dengan menegaskan bahwa kesadaran tidak lain hanyalah intensionalitas (prinsip kunci filsafat Husserl; kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu 'Consciousness on Something', seperti halnya kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi dirinya sendiri). Artinya, kesadaran adalah aktivitas yang murni, dan menyangkal bahwa ada "ego" yang terletak di dalam, di balik atau di bawah kesadaran sebagai sumbernya atau ada kondisi yang diperlukan. Pembenaran klaim ini adalah salah satu tujuan utama Sartre dalam The Transendence of the Ego.
Sartre pertama-tama membedakan antara dua mode kesadaran: kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan. Kesadaran yang tak-terefleksikan hanyalah kesadaran Aku yang biasa tentang hal-hal selain kesadaran itu sendiri: burung, lebah, sepotong musik, makna kalimat, wajah yang teringat, dan lain-lain. Menurut Sartre, kesadaran pada saat yang sama menempatkan dan menggenggam objeknya. Dan dia menggambarkan kesadaran seperti itu sebagai "posisional" dan sebagai "thetic". Apa yang Sartre maksud dengan istilah-istilah ini tidak sepenuhnya jelas, tetapi dia tampaknya mengacu pada fakta bahwa dalam kesadaran Aku tentang apa pun, ada aktivitas dan kepasifan.
Kesadaran suatu objek adalah posisional karena ia menempatkan objek: yaitu, ia mengarahkan dirinya sendiri ke objek (misalnya apel, atau pohon) dan memerhatikannya. Ini adalah "thetic" dalam kesadaran yang menghadapkan objeknya sebagai sesuatu yang diberikan kepadanya, atau sebagai sesuatu yang telah ditempatkan.
Sartre juga mengklaim bahwa kesadaran, bahkan ketika tidak merefleksikan, minimal selalu sadar akan dirinya sendiri. Mode kesadaran ini dia gambarkan sebagai "non-posisional" dan "non-thetic" yang menunjukkan bahwa dalam mode ini, kesadaran tidak memosisikan dirinya sebagai objek, juga tidak dihadapkan dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, kesadaran diri yang tidak dapat direduksi ini dianggap sebagai kualitas yang tetap dari kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan.
Kesadaran yang terefleksikan adalah kesadaran yang memosisikan dirinya sebagai objeknya. Pada dasarnya, kata Sartre, kesadaran yang terefleksikan dan kesadaran yang merupakan objek refleksi ("kesadaran yang direfleksikan") adalah identik (serupa). Namun demikian, kita dapat membedakanya, setidaknya dalam abstraksi, dan membicarakan tentang dua kesadaran di sini: yang merefleksikan dan yang terefleksikan.
Tujuan utamanya dalam menganalisis kesadaran diri adalah untuk menunjukkan bahwa refleksi diri tidak mendukung tesis bahwa ada ego yang terletak di dalam atau di balik kesadaran. Sartre pertama-tama membedakan dua jenis refleksi: (1) refleksi pada keadaan sebelum kesadaran yang diingat oleh pikiran melalui memori—maka keadaan sebelum kesadaran ini sekarang menjadi objek kesadaran saat ini; dan (2) refleksi di masa yang benar-benar saat ini—di mana kesadaran menguasai dirinya seperti sekarang untuk objeknya. Refleksi retrospektif dari jenis pertama, menurutnya, hanya mengungkapkan kesadaran objek yang tak-terefleksikan bersama dengan kesadaran diri non-posisional yang merupakan fitur kesadaran yang tetap.
Itu tidak mengungkapkan kehadiran "Aku" di dalam kesadaran. Refleksi jenis kedua, yang merupakan jenis yang dilakukan (René) Descartes ketika dia menyatakan "Aku berpikir, maka Aku ada," sepertinya dianggap lebih mungkin untuk mengungkapkan jenis "Aku" ini. Sartre menyangkal hal ini, bagaimanapun, dengan alasan bahwa "Aku" yang biasanya dianggap ditemukan oleh kesadaran di sini, pada kenyataannya, hanyalah produk refleksi. Di pertengahan esainya, dia memberikan penjelasannya tentang bagaimana hal ini terjadi.
Ringkasan Singkat
Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut. Momen-momen terpisah dari kesadaran reflektif disatukan dengan ditafsirkan sebagai pancaran dari keadaan, tindakan, dan karakteristik Aku, yang semuanya melampaui momen refleksi saat ini. Misalnya, kesadaran Aku untuk membenci sesuatu sekarang dan kesadaran Aku untuk membenci hal yang sama pada momen lain disatukan oleh gagasan bahwa "Aku" membenci hal itu—kebencian menjadi keadaan yang bertahan melampaui momen-momen kebencian yang disadari.
Tindakan menampilkan fungsi yang serupa. Jadi, ketika Descartes menegaskan "Aku sekarang meragukan" kesadarannya tidak terlibat dalam refleksi murni pada dirinya sendiri seperti pada saat ini, momen ini. Dia membiarkan sebuah kesadaran bahwa saat ini keraguan adalah bagian dari tindakan yang dimulai sebelumnya dan akan berlanjut selama beberapa waktu untuk menginformasikan refleksinya. Momen-momen keraguan yang terpisah disatukan oleh tindakan, dan kesatuan ini diekspresikan dalam "Aku" yang dia sertakan dalam pernyataannya.
Maka, "ego", tidak ditemukan dalam refleksi—selain diciptakan oleh dirinya sendiri. Namun, itu bukan abstraksi, atau ide belaka. Sebaliknya, ini adalah "totalitas konkret" dari kondisi kesadaran reflektif Aku, yang dibentuk olehnya dalam cara seperti melodi yang dibentuk dengan nada-nada terpisah. Kita memang, kata Sartre, menangkap ego "dari sudut mata kita" ketika kita berefleksi; tetapi jika kita mencoba untuk fokus padanya dan menjadikannya objek kesadaran, itu pasti menghilang, karena itu hanya muncul melalui kesadaran yang merefleksikan dirinya sendiri (bukan pada ego, yang merupakan sesuatu yang lain).
Kesimpulan yang ditarik Sartre dari analisisnya tentang kesadaran adalah bahwa fenomenologi tidak memiliki alasan untuk menempatkan ego di dalam atau di balik kesadaran. Dia mengklaim, lebih lanjut, pandangannya tentang ego sebagai sesuatu yang merefleksikan konstruksi kesadaran, dan yang oleh karena itu harus dianggap hanya sebagai objek kesadaran lain yang, seperti semua objek lainnya, mentransendensikan kesadaran, memiliki keunggulan-keunggulan yang nyata. Secara khusus, ia memberikan sanggahan atas solipsisme (gagasan bahwa dunia tersusun dari Aku dan isi pikiran Aku), membantu kita mengatasi skeptisisme mengenai keberadaan/eksistensi dari pikiran-pikiran orang lain, dan meletakkan dasar bagi filsafat para eksistensialis (baca: eksistensialisme) yang benar-benar melibatkan dunia nyata (manusia) dan benda-benda.
*****
Sumber Literatur:
'A Summary of Sartre's 'The Transcendence of the Ego' – ThoughtCo.