“mata adalah jendela jiwa.” —anonymous
bagiku, mata adalah indra paling puitis & artistik yang dimiliki manusia. bahkan dengan mata kita bisa tahu mana yang puitis & mana yang tidak, mana yang artistik & mana yang tidak... mana yang cantik & mana yang tidak. tak terhitung pula berapa banyak peribahasa tentang mata dari setiap budaya & bahasa yang menyertainya. berkat mata pulalah aku bisa mengamini dalam hati salah satu istilah arkaik: cantik itu relatif tapi jelek itu mutlak.
di sisi lain, aku sedikit bersepakat dengan Eco dalam buku The History of Beauty: setiap budaya selalu membawa serta konsep Kecantikannya sendiri dengan gagasan Kejelekannya sendiri, meskipun—dalam konteks penemuan arkeologis—sulit untuk memastikan apakah hal yang digambarkan itu benar-benar dianggap jelek atau tidak.setidaknya dari Eco kita bisa belajar bahwa standar kecantikan setiap peradaban & zaman begitu berbeda-beda. meskipun pada akhirnya, aku tetap tak bisa memahami standar kecantikan asia (khususnya, Indonesia) yang irasional, yang dimungkinkan oleh industri kosmetik pencerah wajah (baca: kapitalisme lanjut ngang ngeng ngong).
lupakan soal skincare, yang kusuka dari mata adalah karenanya aku bisa membaca (iya, tanpa indera penglihatan pun aku tetap bisa membaca, tapi aku benci huruf braille yang emboss... yang digunakan tunanetra untuk membaca), & dengan membaca aku jadi sedikit tahu bahwa mata telah menjadi subjek interpretasi yang diperdebatkan sejak zaman Nuh merusak alam demi membikin bahtera. secara kesejarahan, banyak dokter & filsuf kuno percaya pada gagasan “mata aktif”. Plato, misalnya, pada abad ke-4 SM memfafifuwasweswoskan bahwa cahaya memancar dari mata—menangkap objek dengan sinarnya. murid Aristoteles, Theophrastus, bahkan dengan gaya penyair membacotkan bahwa mata memiliki “api di dalamnya”. dengan membacot demikian, dia seakan ngajak gelut gurunya, karena Aristoteles barangkali adalah orang pertama yang menegaskan ketidakmasukakalan dalam proses melihat yang disebabkan sesuatu yang keluar dari mata—sebaliknya, Mang Aris berargumen bahwa akan lebih logis kalau mata menerima sinar ketimbang mengarahkannya ke luar.
yang jelas, kompleksitas mata yang membagongkan telah memicu perdebatan yang tiada habisnya. yang sama alotnya seperti para fisikawan ketika berdebat soal apakah cahaya (yang Einstein sebut sebagai photon) itu partikel ataukah gelombang. tapi kompleksitas itulah, yang menurutku membuat mata begitu menakjubkan. seperti sidik jari, setiap iris kita memiliki pola & lipatan yang unik—yang khusus dimiliki setiap manusia. artinya jika ada 8 miliar manusia, maka ada 8 miliar pola & lipatan iris mata. keren, kan? sedikit intermezzo, nebula helix yang berjarak sekitar 650 juta tahun cahaya dari bumi berbentuk seperti mata.
ok, lanjut. ini mungkin akan terdengar cukup sinting, tapi kukira aku punya semacam fetish pada mata. mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku mengagumi simbol iluminati, mata horus dalam mitologi Mesir kuno, evil eye (iya, yang warna biru itu), hingga lukisan-lukisan Malsart. saking terobsesinya aku dengan mata, aku sampai membeli cincin mata di syopi xixixi.
berangkat dari obsesi anehku terhadap mata pula aku bertanya-tanya & mencari tahu. mula-mula aku penasaran, siapa yang pertama memahami bagaimana mata bekerja? kemudian aku menemukan seseorang bernama Kepler sebagai jawabannya. seingatku, secara umum ia bahkan dianggap sebagai bapak optik modern. anjenk-nya, diperlukan waktu sekitar 541 juta tahun sejak mata biologis pertama terbentuk agar aku bisa bilang, “oh begitu ya, banh... cara kerja mata kita”.(dengan gaya seperti aku sedang ngeledekin Sifarryla Gautama :p).
lebih lanjut, sedikit ngueng-ngueng, para ilmuwan berpendapat bahwa versi paling awal dari mata terbentuk pada organisme uniselular, yang memiliki sesuatu yang disebut 'eyespot'. katanya, eyespot ini terdiri dari bercak protein fotoreseptor yang peka terhadap cahaya—yang paling banter hanya bisa menentukan gelap atau terang. kemudian beberapa hewan berevolusi... mengembangkan mata bulat yang dapat memfokuskan cahaya menjadi gambar. konon, hewan paling awal yang hidup lebih dari 600 juta tahun yang lalu dianggap sebagai makhluk tanpa mata. menyoal evolusi mata... dalam magnum opusnya, The Origin of Species, Darwin sampai menulis bahwa gagasan tentang seleksi alam yang menghasilkan mata “tampaknya, terus terang kuakui, sangat tak masuk akal”. sebentuk kekesalan juragan evolusi atas evolusi mata yang memusingkan.
sejujurnya, aku masih tak bisa membayangkan bentuk hewan yang secara morfologis tak punya mata atau bagaimana rasanya menjadi dirinya. gabut bangsat gak punya mata. di titik ini, aku jadi teringat salah satu scene dalam film I Origins (2014)—yang baru 3 hari lalu kutonton—ketika sang tokoh utama, Dr. Ian Gray, begitu berambisi merekayasa genetik cacing agar kelak mempunyai mata. barangkali Ian lupa, selalu ada harga yang mesti dibayar oleh setiap hewan (termasuk, manusia) dari setiap evolusi yang terjadi pada dirinya. kira-kira begitulah yang kucerna dari buku Evolusi karya Ernst Mayr. paus, misalnya, mungkin kangen hidup di darat, memiliki kaki empat, & terlampau bosan memakan plankton yang tak kasat mata.
oh ya, aku baru ingat—soal mata, aku memegang teguh prinsip bahwa mata mesti diganti mata (sebuah asas usang yang telah menggema dari hukum Babilonia, alkitabiah, Romawi, hingga Islam kuno) bahwa seseorang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama oleh pihak yang dirugikan, atau menurut interpretasi yang lebih halus korban harus menerima ganti rugi yang setimpal.
mengapa demikian? sebab aku takut tak ada pengadilan-afterlife. (lebih parah lagi, tak ada afterlife). aku tak sudi, aku tak rela jika ada seorang brengsek hidup nyaman karena dimaafkan. seorang brengsek mesti diadili di bumi. lupakan Gandhi, mata mesti dibayar mata—for the sake of justice, biarlah dunia buta! aku sudah terlampau muak dengan para hakim tolol yang memvonis rendah seorang bajingan tanpa melihat matanya yang nirpenyesalan.
mari kita tutup ceracau ndak jelas ini dengan kuots monumental dari Tony Montana alias Al Pacino dalam film Scarface (1983): the eyes, Chico... they never lie.