“Paruh pertama kehidupan adalah belajar menjadi dewasa—dan paruh kedua adalah belajar menjadi anak-anak.”
—Pablo Picasso
Bagi saya, masa kanak-kanak adalah masa yang paling enak. Masa di mana saya merasa memiliki kebebasan mutlak macam Le Petite Prince-nya de Saint-Exupéry atau tokoh Sophie Amundsen-nya Gaarder—bebas untuk mengeksplorasi ini itu, belajar-bertanya hal-hal acak, dan mampu menikmati setiap inci bentangan waktu dengan seutuhnya-sepenuhnya—tanpa tanggung jawab atau kekhawatiran khas manusia dewasa yang barangkali sebesar sepeda Nabi Adam. Hiperbolis, memang. Tapi bukankah manusia dewasa selalu punya kecenderungan untuk menggunakan majas hiperbola dalam hampir setiap satuan bahasa yang keluar dari mulutnya?
Dalam hati mungil saya, ada semacam hasrat untuk kembali menjadi anak-anak yang "tabula rasa". Alasan ini mungkin akan terdengar cukup Homo Ludens à la Huizinga, tetapi Kebebasan untuk Bermain, boleh jadi memanglah kesenangan-kebahagiaan paling signifikan sebagai seorang manusia. Saya berani bertaruh telinga kiri saya dipotong pakai pisau cukur seperti van Gogh jika memang ada manusia yang dengan senang hati benar-benar mau dilahirkan untuk bekerja sepanjang usia.
Asumsi saya adalah bahwa tak ada manusia yang benar-benar ingin bekerja. Saya bahkan lebih percaya ada seekor gajah Afrika bisa masuk ke dalam kulkas satu pintu ketimbang ada seorang manusia yang lebih kepingin bekerja ketimbang bermain dengan bebas macam bocah TK.
Saya, tentu saja, masih memiliki “sedikit” Kebebasan untuk Bermain—tetapi rasanya tak lagi sama ketika saya dipaksa memahami bahwa hidup di, dalam istilah Sagan yang fisikawan, titik biru pucat ini, memerlukan kertas dengan nominal tertentu (untuk membeli keperluan tertentu)—yang dijadikan konvensi—sebagai alat tukar dalam upaya memenuhi sandang, pangan, papan—dan saya mesti mencari kertas yang bernilai karena mitos kolektif itu secara mandiri; tanpa bantuan siapa-siapa.
Saya harus menelan pil pahit bahwa untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan paling rendah dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, saya mesti "menjual" waktu dan energi saya yang berharga. Pada gilirannya, saya sampai di kesadaran bahwa mau-tidak mau atau suka-tidak suka saya mesti bekerja.
Ketidakseruan itu bertambah parah ketika saya menyadari bahwa di masa dewasa semuanya serba terasa macam Sisifus berdasi di dalam rangkaian gerbong KRL dari Stasiun Bogor menuju Padang Mahsyar (Baca: Manggarai) yang secara visual monokrom, nirkejutan, bernada minor, dan redundan.
I was happy in the haze of a drunken hour. But heaven knows I'm miserable now. I was looking for a job, and then I found a job. And heaven knows I'm miserable now. Begitulah, kira-kira, yang saya rasakan kalau dalam bahasa The Smiths. Pada titik tertentu, saya terkadang berpikir bahwa setiap manusia dewasa yang bekerja, atau yang lebih parah, manusia yang terpaksa bekerja demi menjadi tulang punggung keluarga—mesti sesekali healing ke pantai-pantai di Bali kemudian menutup laptopnya lalu "membuka meja" dan memesan bir paling dingin.
Masalah utamanya, ketika Kebutuhan untuk Bekerja datang, maka Kebebasan untuk Bermain perlahan-lahan hilang—ini konsekuensi logisnya. Anjing, memang. Meski saya tak pernah yakin bahwa ‘anjing’ merupakan kata paling tepat untuk menjelaskan bagaimana rasanya menjadi manusia dewasa. Babi!, dengan tanda seru yang secara psikologis tak seru, barangkali. Di masa dewasa, saya seperti kehilangan waktu bermain yang memungkinkan kreativitas, daya imajinatif, dan seakan tak berdaya mengeliminasi kerepetitifan yang membosankan.
Faktanya, masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi kepolosan dan keajaiban. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang alami tentang dunia, dan mereka melihat segala sesuatu dengan perasaan takjub. Dunia adalah tempat magis bagi mereka, penuh misteri dan petualangan yang menunggu untuk dijelajahi-dieksplorasi.
Kepolosan dan keajaiban ini memberikan rasa gembira dan optimisme yang unik. Selain itu, sejujurnya saya rindu akan rasa takut. Saya kangen masa-masa di mana saya mengalami mimpi buruk kemudian Ibu saya dengan santai memeluk serta mempuk-puk kepala saya. Kini, saya tak lagi gentar dengan mimpi-mimpi semacam itu, pada titik tertentu, bagi saya jauh hidup lebih ngeri dari mimpi buruk.
Dulu, saya mengenal kata sifat ‘horor’ dari Ibu; yang mengisahkan tentang potensi seorang anak diculik Wewe Gombel bila pulang sewaktu matahari telah terbenam. Sekarang, tak ada lagi kata ‘horor' di kamus kepala saya. Dengan gagah berani, saya mengutip pemikiran pria asing yang berkumis baplang lalu mengatakan dalam hati bahwa Tuhan telah mati ketika pulang bekerja pas dini hari dan mesti melewati pekuburan sunyi.
Tak ada lagi hal yang saya takuti. Tak setan, tak pula Tuhan. Bagi saya, hal semacam ini tak membanggakan atau menyenangkan sama sekali. Tak ada yang keren pula dari mengetahui-mengamini argumen seseorang bernama Philipp Mainländer: karena Tuhan mahatahu dan bosan tak tahan dengan keabadian kemudian Ia bunuh diri lantas terciptalah kehidupan; alias alam semesta adalah bangkai Tuhan. Gagasan nihilisme kosmik semacam ini, bahkan terlalu ngeri untuk dibayangkan pada suatu senin pagi yang cerah.
Yang enak dari menjadi anak-anak, pun adalah adanya semacam Kebebasan untuk Mengekspresikan Diri. Anak-anak cenderung tidak bisa dan tidak mau dipagari oleh norma atau harapan sosial-kultural. Mereka hampir selalu bisa mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Baik melalui seni lukis, musik, atau tarian—anak-anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitasnya dan mengekspresikan diri dengan caranya sendiri.
Lain halnya dengan manusia dewasa, yang mesti bekerja dalam kontinuitas waktu, memiliki integritas, menjaga profesionalitas, dan sufiks -tas lain yang membuatku merasa seperti Kafka yang sedang sakit kepala. Dengan kata lain, menjadi dewasa itu melelahkan, memusingkan, memualkan, memuakkan, membosankan—singkatnya, membagongkan.
Itu secara personal. Secara sosial, saya ingin mengatakan persetan pada teori Modal Kultural-nya Bourdieu, saya kira, masa kanak-kanak merupakan masa di mana seseorang merasakan persahabatan yang tulus, murni, dan apa adanya. Tanpa intrik, tanpa gimik. Anak-anak tak berkawan karena Modal Kultural. Mereka berkawan sesederhana karena ingin berkawan saja. Mereka tak pernah peduli siapa manusia yang mereka ajak bermain bola—yang gawangnya ditandai sandal jepit—pada suatu sore yang damai di sebuah lapangan bola alakadarnya. Mereka juga tak pernah peduli apakah bermain dengan boneka itu saintifik atau tidak.
Masa kanak-kanak, saya rasa, juga merupakan masa di mana seseorang dapat menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Anak-anak menemukan kegembiraan dalam hal-hal yang nampak kecil, seperti bermain di taman, mengendarai sepeda, atau memakan makanan kesukaannya. Kesenangan sederhana masa kanak-kanak memberikan rasa puas dan bahagia yang autentik, yang tidak dapat ditemukan manusia dewasa dalam harta benda yang bisa dibelinya.
Saya bertanya pada diri sendiri: ”Bukankah lebih seru rasanya untuk bermain petak umpet dengan kawan tongkrongan, mengadu lari untuk menentukan siapa Usain Bolt di antara saya dan kawan ngaji saya, atau bersama-sama minum es cekek lalu berpura-pura mabuk— ketimbang bermain petak umpet dengan makna hidup yang kian redup, mengadu lari dengan ketahanan stamina saya sendiri di atas treadmill, dan dicekek deadline kerjaan kemudian mabuk benaran plus sendirian di kos-kosan?”
Oh, simple thing, where have you gone?
I'm gettin' old, and I need something to rely on
So, tell me when you're gonna let me in
I'm gettin' tired, and I need somewhere to begin
Pada akhirnya, yang paling banter saya lakukan hanyalah bermain-main dengan cat akrilik, bahasa, alat musik, dan kesadaran.