Saturday, 26 August 2023

Cerpen: Bagaimana Lukisan Menangis?


“Maaf,” Anna dengan sangsi mencoba memulai percakapan, “Mengapa kau melukis kesedihan? Bukankah seni seharusnya membawa kebahagiaan?”

Raymond terdiam, tetapi kedua matanya masih tidak lepas dari kanvas dan kuas.

“Ah, anak muda... lupakan soal 'seharusnya', kau telah menyentuh kebenaran yang asing,” ia pun membuka mulut, suaranya, seperti sinar matahari pagi yang lemah lembut berusaha menembus tebalnya kabut.

“Seni dan kebahagiaan memang punya hubungan yang baik. Tapi seni dan kesedihan... memiliki hubungan yang lebih menarik dan mesra... tapi kompleks,” tambahnya.

Ia menunjuk. Studionya remang. Tak mengherankan. Setiap inci ruangan itu hanya disinari lampu halogen berwarna kuning berdaya kira-kira lima watt. Jari telunjuknya mengarah pada lukisan dengan skema warna suram. Yang membikin nuansa seakan tambah temaram. Selain tampak kelam, studio itu berantakan. Seperti kapal seniman payah yang pecah. Tumpahan cat di mana-mana. Kuas-kuas yang tidak pada tempatnya. Kanvas-kanvas dengan lukisan yang belum selesai. Seseorang yang belum mengenal Raymond pastilah menyangka ia mengidap ADHD, hanya dengan melihat bagaimana kacau studionya.

Tak berselang lama, Raymond pun bangkit dari kursi kayunya. Berjalan menuju lukisan yang ia tunjuk, Anna mengekorinya. Anna memerhatikan lukisan tersebut dengan seluruh keseriusan dan ketelitian yang ia punya. Lukisan itu berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter. Berjudul “off-limits apocalypse ejaculations”, dengan deskripsi cat akrilik di atas kanvas. Dan, bertitimangsa dua ribu sembilan belas. Selayang pandang, memvisualkan dua manusia—sedang french kiss di suatu kuburan—di atas kepala mereka ada sebuah meteor yang ukurannya cukup besar untuk menandai kepunahan massal ke enam.

“Ini,” katanya, “ini adalah tegangan antara keindahan dan kengerian. Dalam produk-produk dunia penciptaan... lukisan, tulisan, lagu, atau barangkali seni performans... sedih adalah salah satu bahan dasarnya.”

“Hah, bagaimana bisa?” tanya Anna yang keheranan.

“Tanpanya, tak ada citra-citra perjuangan. Menentang keadaan, melawan kesementaraan. Perjuangan tak akan heroik tanpa bumbu kesedihan. Sedih itu serupa garam. Yang membuat sesuatu jadi gurih. Masalahnya, bila terlalu banyak... akan menyebabkan dehidrasi. Rasa kekeringan,” kata Raymond dengan santai.

“Ok, Pak Tua, tapi aku sedang tidak belajar tata boga. Apa hubungannya dengan lukisan ini?” tanya Anna semakin heran.

“Bukankah indah sekaligus ngeri rasanya melihat sepasang manusia sedang ugal-ugalan berciuman semasih kiamat dalam sekejap akan dengan mudah membumihanguskan mereka? French kiss di bandara, di bioskop, atau di kamar hotel... itu sangatlah biasa, tetapi french kiss di kuburan barulah luarbiasa. Kita mungkin sepakat, french kiss itu indah, tetapi french kiss pada hari kiamat lebih indah berkali-kali lipat. Seperti api yang menolak padam.”

Anna, kembali bertanya seperti seorang bocah kadung penasaran yang bercita-cita menjadi penginterviu tokoh-tokoh ambigu, “Aku dapat poinnya. Tapi bukankah menyakitkan untuk melukis pemandangan yang menyedihkan seperti itu?”

Raymond menyungging senyum.

“Ya, memang menyakitkan. Namun, hanya dengan melukis hal menyedihkan itulah kita dapat menerima sedih. Yang pada akhirnya, kita bisa benar-benar menghargai kata 'bahagia'. Hanya dengan seperti itulah seni bisa membawa kebahagiaan. Sedih mesti diterima, lebih-lebih dicintai apa adanya. Aku tak mau semakin meromantisasi tapi saat melukis kesedihan, aku teringat akan betapa rapuhnya keindahan. Betapa ia mudah patah. Entah dipatahkan orang lain, ataukah dipatahkan diri kita sendiri,” jawab Raymond sembari menunduk.

“Apalagi yang kau dapat dari melukis kesedihan?”

Tangan kanan Raymond meraih sebotol merlot. Sedang tangan kirinya menggapai gelas sloki.

“Kau mau minum?”

“Ketimbang merlot, sebenarnya aku lebih menyukai shiraz. Tapi tak apa... aku sedang ingin menghangatkan tubuhku. Beberapa gelas merlot mungkin ide bagus buatku.”

Mereka pun menenggak beberapa gelas merlot. Sembari berdiri.

Dengan sedikit tipsy, Raymond melanjutkan, “Yang kudapat dari melukis kesedihan... sensitivitasku meningkat pesat. Aku merasakan relativitas waktu. Betapa waktu bisa berjalan lambat atau berjalan cepat. Kau tahu, seni juga butuh kepekaan-kepekaan tertentu.”

“Kepekaan seperti apa?”

“Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, kepekaan akan betapa rapuhnya keindahan. Percayalah, anak muda... kesementaraan itulah yang membuat segalanya indah. Jika saat ini aku sedih, maka aku gembira... karena tahu kebahagiaan akan datang setelahnya. Aku menangkap air mata yang tak sekadar menyedihkan tapi juga menenangkan. Dan, sebagaimana cinta butuh bahaya-bahaya, keindahan membutuhkan kengerian.”

“Menarik... memang apa jadinya jika cinta tanpa bahaya, dan keindahan tanpa kengerian?”

“Tanpa bahaya dan kengerian, tak ada cinta dan keindahan yang agung. Yang luhur. Atau adiluhung.”

“Apakah itu artinya seni yang magnum opus itu secara paradoks lebih dekat dengan kesedihan ketimbang kebahagiaan?”

“Ini bukan soal jarak. Jauh atau dekat. Bukan pula soal massa. Ringan atau berat. Begini, Anna, seni, bagiku, adalah soal menerima semua warna yang ada pada buku pantone. Bukan pula soal apakah kita akan melukis dengan cat akrilik, cat minyak, atau cat air. Itu perkara teknis. Ada yang lebih penting dan mendasar dari itu.”

“Apa yang lebih penting dan mendasar dari itu?”

“Hahaha... Hiduplah lebih lama... kau akan tahu... sebagaimana kuning dan merah, biru adalah warna primer dalam hidup kita. Sebagaimana bahagia dan marah, sedih adalah yang berlalu lalang dalam hidup kita. Tapi kebiruan-kebiruan itu, boleh jadi, merupakan yang paling purba dari diri kita. Penanda paling pertama dari kelahiran. Pengiring paling pertama dari kematian. Aku benci mengatakan ini, tetapi kurasa, tak ada yang lebih manusia dari air mata. Barangkali itulah mengapa aku sering kali melukis kesedihan. Ya... dengan melukis kesedihan aku merasa menjadi manusia. Anna, kita adalah manusia, makhluk yang punya rasa. Tak sekadar taste of art. Lebih luas dan dalam dari selera estetika belaka. Tapi kau mesti memahami bahwa penulis sebenarnya melukis dengan tulisan dan pelukis menulis lukisan yang tak terbahasakan. Keduanya sama-sama bisa menyingkap misteri-misteri. Tapi aku hampir selalu percaya bahwa pelukis satu tingkat lebih tinggi dari penulis soal bagaimana menggambarkan sesuatu dalam diri kita. Dan, melalui seni, kupikir, kita dapat melihat tarian yang rumit di antara kondisi-kondisi emosional kita.”

Raymond berjalan menuju sudut studionya yang lain. Yang dihiasi sarang laba-laba. Anna kembali mengekorinya. Pria lanjut usia itu kemudian memutar piringan tua yang nampak telah berdebu. Ia mengalukan Cemptino d'un Autre été dari Yinn Taorson. Seratus detik berlalu. Masing-masing dari mereka mematung. Menikmati alunan piano dengan tempo allegretto yang tak secepat allegro itu.

“Mau berdansa?” tiba-tiba Anna mengajak Raymond berdansa.

“Boleh.”

Dan, mereka pun berdansa... seperti sepasang sinting tanpa pisau cukur di tangannya.