Hampir setiap hari, saya menjumpai frasa "emang boleh" di medsos . Di status WhatsApp, di beranda Twitter (maksud saya X), di story Instagram. Tak hanya di medos, bahkan dari mulut orang-orang di sekitar. Emang boleh semenjumpai itu?
Oke, lalu apa masalahnya?
Yang jadi masalah adalah saya terkadang tidak bisa menahan diri untuk tidak berfafifuwasweswos. Misalnya, berngangngengngong bahwa pertama, moralitas secara sosiologis merupakan konstruksi sosial. Kedua, konstruksi ini, pada gilirannya, bertransformasi menjadi sesuatu bernama moralitas objektif.
Ketiga, moralitas objektif ini berfungsi sebagai kontrol sosial agar seorang individu tidak melakukan hal aneh-aneh (katakanlah, membunuh seseorang karena penasaran). Keempat, dengan kata lain, tanpa moralitas objektif semuanya “diperbolehkan” dan tidak akan ada yang melarang-larang.
Emang boleh makan sushi pakai tangan?
Emang boleh seblak topingnya selai nutella?
Emang boleh kayang di depan akuarium berisi ikan channa?
Tanpa moralitas objektif bahwa makan sushi harus pakai sumpit, topping seblak harus bakso urat, harus diam di depan akuarium ikan channa.
Tiga contoh pertanyaan emang boleh di atas punya jawaban, bwolehhhhh (pakai logat Twoman). Lagi pula, percayalah, kita tak akan dihukum harakiri di Hutan Aokigahara oleh Dewa Matahari karena melakukannya.
Prabu Siliwangi pun tak akan kembali dari moksanya hanya demi mencegah kita menggabungkan makanan Sunda dengan pasta manis berbasis hazelnut khas Italia. Atau, ikan channa itu pun tentunya tak akan mendiagnosis dan menganggap kita mengidap semacam autisme karena ia tak belajar psikologi dan tak punya semangat tholabul ilmi layaknya manusia.
Artinya apa Banh Messi? Pake nanyaaaaaaa...
Moralitas objektif ialah "kiper" terbaik di dunia. Gatekeeper peradaban. Tanpanya, semua tendangan akan berbuah gol; semua tindakan akan jadi tindakan tanpa “pertimbangan”.
Ya tidak ada yang salah dengan makan sushi pakai tangan, mengolesi selai nutella di atas seblak, dan kayang di depan akuarium ikan channa. Tapi ngapain? Dengan asumsi ini, moralitas objektif adalah yang mencegah kita tidak bertindak gegabah atau minimal meminimalisasi keanomalian yang tak perlu. Mohon jangan gegabah!
Tanpa rantai metafisik ini, menurut saya, manusia tinggallah hayawanun, bukan lagi al-insanu hayawanun nathiq (hewan yang berpikir)—kalau meminjam istilah Imam Ghazali. Konsekuensi logisnya, yang tersisa dari manusia cuma insting survival-biologisnya, kebinatangannya—otak reptilnya.
Maka, bisa kita bayangkan sebuah barangkali yang terjadi setelahnya: misalnya, kaum proletar dan budak korporat di setiap penjuru dunia akan merampok bank nasionalnya masing-masing dan memutar-mutar lagu Bella Ciao—seperti dalam serial drama asal Spanyol, La Casa De Papel (2017).
Tanpa moralitas objektif, semuanya boleh? Affakah iyyah banh?
Besar kemungkinan, iya. Sebab moralitas objektif melahirkan rasa takut ini, rasa takut itu. Secara umum, takut dicap buruk atau tolol oleh orang lain. Sekarang, bayangkan jika moralitas objektif tak ada. Voilà!
Semua orang akan melakukan apapun yang mereka suka tanpa memposting emang boleh di setiap akun media sosialnya. Setidaknya itulah laduni yang kudapatkan dari novel The Brothers Karamazov karya Dostoevsky.
Dalam buku tersebut, moralitas objektif itu bernama “tuhan”. Ketakutan akan “sumber utama“ inilah yang memungkinkan adanya: yang-boleh dan yang-tidak-boleh.
Jika seseorang sudah kehilangan rasa takut atau tak mengimani moralitas objektif, ia cenderung "tidak habis fikri" dan bisa bertindak "di luar nurul". Bacalah pemikiran Nietzsche, Mainländer, dan kawan-kawannya—yang problematik plus red flags banget. Yang juara 1 lomba melanggar perintah tuhan. Atau amatilah kelakuan Diogenes yang di luar prediksi BMKG.
Dengan demikian, diakui atau tidak, “ketakutan“ adalah penahan terkuat-terbesar dalam diri manusia. Tapi perlu digarisbawahi, ketakutan tersebut bervariasi bentuknya. Takut dosa, takut mengulang mata kuliah, takut mertua nggak suka, takut masuk penjara, takut mengecewakan ayang. Mamah aku takut!
Menariknya, interaksi antar rasa takut yang berbeda-beda dosisnya memungkinkan sesuatu yang terbilang kocak gemink. Asumsi ini berasal dari lamunan acak di kamar mandi ketika buang air besar—setelah mendengar pengakuan kawan dekat saya, sebut saja si A.
Si A ini mengaku beribadah karena takut dimarahi ayahnya—bukan karena ia takut api neraka dan ngeri di-BDSM oleh Tuhan di sana (tentunya tidak dalam artian film Fifty Shades of Grey). Ia tidak sedang bercyanda ketika mengakui ini.
Maka, ibadah, dalam kasus kawanku ini, tak lagi sesuatu yang bersifat sakral-transendental tapi sekadar tuntutan sosial-kultural. Tarik menarik antara satu ketakutan dengan ketakutan yang lain. Emang boleh ibadah sesosial-kultural ini?
“Ada orang ibadah karena lebih takut sama ayahnya ketimbang sama tuhan aja udah aneh, sebenernya. Sangat waduh,” begitu kata kawanku yang lain.
Saya tidak mau mengomentari si A—yang penting ia tidak menjadi musang birahi, pinjem dulu seratus, atau mengganggu ternak warga. Lagi pula, saya tidak pernah berminat atau berhasrat menjadi Alina lain dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku karangan Seno yang dalam logat Dian Sastro mengatakan, “Dasar bego! Dikasih syariat tidak mau mengerti!“.
Epilog
Barangkali yang-boleh dan yang-tidak-boleh hanya gagasan belaka, cuma ada pada pikiran—dalam bentuk platonik. Jika kita tidak menganggap gagasan itu sebagai gagasan yang baik, maka sebenarnya tidak ada yang bisa mengekang-menghentikan tindak tanduk kita sebagai burung tanpa sangkar. Manusia tanpa moralitas (baik objektif maupun subjektif).
Saya malas mengatakannya, tapi jangan-jangan sangkar itu, moralitas itu, sebenarnya tidak ada—kecuali kita berperilaku seolah-olah itu ada.
Barangkali itulah sebabnya sejarah manusia dipenuhi genosida atas nama negara atau agama, penjajahan kultural, kolonisasi ilmu pengetahuan, penjarahan sumber daya alam, pemerkosaan terhadap mereka yang termarjinalkan, perbudakan rasial, dan seterusnya. Silakan sebutkan perbuatan najis, kejam, dan menjijikan—niscaya manusia telah melakukannya.
Masyarakat bisa menyusun nilai-nilai kolektif, the crime and its punishment, misalnya dalam bentuk hukum positif. Namun, saya rasa, saya pikir, tidak ada satupun yang benar-benar menghalangi kita melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Menonjok dada seseorang sampai berbunyi “dug!“ mungkin tidak diperbolehkan secara hukum atau sosial, tetapi tidak ada hal eksternal yang benar-benar dapat menghentikan seseorang untuk tidak melakukan hal demikian jika berhadapan dengan sesosok manusia yang menyebalkan dan ia mempunyai kesempatan melampiaskannya.
Kau bahkan tidak bisa menghentikan kehendak bebasku untuk meludahi mukamu jika kau melakukan suatu kedunguan yang percaya diri di hadapanku. Dengan kata lain, kita selalu punya kesempatan untuk menjadi seorang stoik yang ignorant-bastard. Yang tidak peduli pada perasaan orang lain dan mampu bersikap brengsek.
“Semuanya boleh“ adalah kenyataan dilematis yang bisa didengar makhluk liar, manipulatif, dan destruktif macam manusia. Hiduplah lebih lama, kau akan tahu mengapa aku mengatakan demikian.
Maksudku, seorang manusia sekalipun ia tahu dan memahami aturan-aturan ia bisa saja mengabaikan konsekuensi dari tindakannya—tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang melakukan kekerasan hingga korbannya koma kemudian disidang karena perbuatannya, ia bisa saja melakukan hal tidak bermoral seperti menyogok hakim atau jaksa untuk mengatasi masalahnya. Hakim atau jaksa tersebut pun bisa saja menerima suapnya.
Pada akhirnya, orang-orang masih akan peduli setan pada moralitas selama itu tidak mengganggu sesenti pun ruang hidupnya. Dan bumi akan tetap berputar pada porosnya. Kenyataan bahwa “semuanya boleh” akan terdengar manis bagi seorang sinting.
Bagi yang waras dan masih punya rasa percaya terhadap pentingnya moralitas, ini adalah kenyataan pahit yang sulit ditelan. Itulah mengapa aku memakai kata "dilematis". Emang boleh sedilematis itu?