Sunday, 8 October 2023

Cerpen: Anomali


Ilustrasi: Omong-Omong/Ghufroni An’ars

“Semua tato itu temporer,” ucapnya, “tak ada yang permanen. Lagi pula, hidup ini fana.”

Seketika saja aku teringat kata-kata yang dilontarkan salah satu klienku minggu lalu. Lebih tepatnya, aku teringat klienku yang unik itu. Waktu itu, Sabtu sore, langit sedang berwarna merah kirmizi dan seorang pemuda kurus bermata sayu dengan rambut bergradasi warna ungu mengetuk-ngetuk pintu studio tatoku. Sebut saja, Anomali.

Aku mempersilakannya masuk. Kami telah berjanjian sebelumnya. Aku menyalaminya dan meluncurkan beberapa pertanyaan basabasi. Ia menyimpul senyum. Kedua matanya kemudian seakan berpatroli mengitari ruangan seluas lima kali lima meter ini. Ada beberapa lukisan Wirhel dan Baskiat yang membikin studioku bernuansa neo-ekspresionis dan pop art. Tapi Anomali malah menatap cukup lama pada salah satu poster dinding yang bertuliskan, ‘get that tatoo, your parents are already disappointed in you’.

Sebenarnya kutipan pada poster dinding itu merupakan bagian dari trik marketing. Agar klien lamaku kembali menambah tato. Dan biar klienku yang baru semakin yakin untuk ditato. Lagi pula, kurasa, tak ada seniman tato yang mau menato seseorang yang masih ragu. Entah ragu-ragu soal penempatannya atau desainnya. Barangkali itulah mengapa, aku selalu berkali-kali mengingatkan klienku untuk tidak menato nama pasangan. Aku tahu, pacar bisa putus, istri atau suami bisa cerai. Aku percaya, mengabadikan nama pasangan di badan merupakan sebentuk kenaifan yang paling mungkin disesalkan. Dan lebih bloon dari memutuskan untuk merajah wajah.

Hal pertama yang kulakukan setelah menyambut klien, biasanya, adalah membuka laptop. Menanyakan apakah desainnya sudah sesuai ataukah belum. Jika sudah lampu hijau, lantas dengan lekas kucetak desain tato tersebut menggunakan mesin printer.

Menyoal Anomali, sejujurnya, aku masih penasaran dengan arti atau filosofi dari tatonya. Desain tatonya adalah aksara Bara yang gundul. Tak ada harakatnya. Masalahnya, dulu… sebelum kuputuskan menjadi seniman tato, aku bukan tergolong sun-tree yang tekun belajar ilmu nahwu atau shorof. Mengingat desain tato yang Anomali pinta, sempat aku curiga, ia adalah seorang sun-tree. Artinya, ia pastilah tahu bahwa di agama Bara, menato tubuh adalah dosa besar yang dilaknat Halla. Maka boleh jadi menato tubuh, baginya, merupakan terapi atau barangkali pemberontakan. Atas norma sosial, jeruji kultural, atau jerat spiritual. Semacam proklamasi kepemilikan atas tubuhnya.

Aku jadi teringat dengan klienku yang lain, ia adalah seorang terapis. Sebut saja, Didi. Pada suatu temaram, di studio tatoku, ia mengatakan bahwa seniman tato adalah terapis yang bekerja dengan medium seni rupa. Didi memisalkan seniman tato sebagai terapis yang menyembuhkan luka batin dengan mengubahnya menjadi karya bernilai artistik serta filosofis. Aku pun sesekali berpikir bahwa menato tubuh adalah upaya mengalihkan sakit mental menjadi sakit fisikal. Semacam katarsis memakai jarum plus pigmen tinta yang menembus lima lapisan epidermis, kedalamannya.

Kembali pada Anomali, meskipun waktu itu adalah tato pertamanya, kulihat ia datang tanpa keraguan di ceruk dadanya. Termasuk ketika ia ngotot untuk ditato di leher. Sependek pemahamanku, tato di leher ini adalah salah satu tato yang paling sulit untuk disembunyikan. Kecuali orang bertato leher itu mau mengenakan hoodie seumur hidupnya.

Selain sulit disembunyikan, tato di leher pun merupakan jenis tato dengan rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Terlepas dari toleransi sakit yang berbeda-beda antara tubuh biologis lelaki dan perempuan. Leher adalah bagian tubuh dengan ratusan saraf, kulit yang tipis, dan hanya memiliki sedikit massa otot. Semua tato itu sakit, tetapi tato di leher sakitnya berkali-kali lipat. Kuadrat. Jenis rasa sakit ini terasa seperti rasa gatal plus panas yang intens. Seolah-olah kucing berkuku setajam pedang dimiskus sedang menyeret cakarnya di atas kulitmu. Kalau secara Numerical Rating Scales (NRS), skala satu sampai sepuluh, tato di leher ada pada skala sembilan atau sepuluh.

Selain menyakitkan, di banyak budaya instansi dan perusahaan, tato di leher dicap sebagai tanda ketidakprofesionalan. Artinya, dibutuhkan begitu banyak permenungan sebelum memutuskannya. Tapi Anomali dengan santai mengatakan bahwa penelitian membuktikan kalau tato di leher ini bisa menghilangkan beberapa kecemasan… misalnya kecemasan untuk mencari pekerjaan, formal khususnya. Bahasa tubuhnya jelas tidak sedang bercanda ketika melontarkan lelucon itu. Ia, kulihat, seperti membaiat diri untuk menjadi freelance sepanjang hayat dikandung badan. Dan, kupikir, ‘Anomali’ pun adalah nama tengahnya.

Begini, aku sudah menggeluti dunia pertatoan (khususnya mesin, bukan handpoke) ini selama lebih dari lima tahun. Ribuan tubuh manusia telah kujadikan kanvas. Dari tato bergaya old skul atau tradisional, neo-tradisional, garis, tribal, geometris, abstrak, realis, tekstual, japanis, tiga dimensi, minimalis, hingga potret. Aku, ibarat seorang arsitek yang pernah merancang berbagai gaya bangunan: dari klasikal, gotik, barok, rokoko, ekletisis, industrial, brutalis, vernakular, bawhaus, art deko, art nuveau, kontemporer, modern, neo-modern, hingga pos-modern. Dan, minggu lalu adalah kali pertama seseorang bertubuh serupa kanvas kosong meminta digambar di leher. Sebab, tato pertama, biasanya, letaknya di pergelangan tangan.

Selain keanehan-keanehan yang telah kuceritakan itu, ada keanehan lain mengenai klienku yang satu ini. Tapi aku tak bisa memastikan apakah ini keanehan atau bukan. Yang jelas, ia ditato tanpa anastesi. Lazimnya, tato pertama dan tato di area tertentu itu diolesi anastesi lokal terlebih dahulu. Semacam krim yang memberi efek kebal alias mati rasa. Cara kerjanya serupa tisu-mejik yang dioleskan pada kelamin pria. Agar sakitnya bisa dikompromi, dan yang lebih penting, agar tidak kapok kalau mau ditato lagi.

Mulanya aku mengira Anomali berlagak sok kuat, tetapi ketika kutanyakan alasannya cukup mencengangkan. Katanya, ia ingin mengukur lebih sakit mana nyeri ketubuhan versus nyeri kepikiran. Jawabannya itu, jelas membagongkan.

Setelah pertemuan itu, aku sesekali memutar lagu yang Anomali pinta ketika ia ditato olehku, di studioku. Lankan Pirk – Pada Akhirnya. Kuresapi reff-nya dalam-dalam: ay traid so hard en gat so far… bat in di end it dasen ipen meter… ay hed tu fol tu lus it ol… bat in di end it dasen ipen meter…

***

Aku dibangunkan dengung samar mesin tato, melodi familiar yang menandakan hari lain di studio.

*****

Friday, 6 October 2023

Merayakan yang Insignifikan

*alangkah baiknya, putar salah satu lagu di bawah ini ketika membacanya:


Hans Zimmer - Day One

Muse - New Born

Muse - Space Dementia

Beach House - Space Song

Angels & Airwaves - The Adventure

Dream Theater - Pale Blue Dot

Dream Theater - The Spirit Carries On


***


“di sisi lain, ketika segalanya tampak insignifikan, melanjutkan kehidupan & merayakan kesia-sian... adalah hal waras yang paling mungkin dilakukan.”


rasa-rasanya... sejak masih bocah ingusan... aku punya semacam obsesi aneh terhadap langit & benda-benda luar angkasa. aku seperti tertarik dengan bagaimana astronot & badan antariksa bekerja. lebih tepatnya, terhadap hal-hal eksistensial & ekstraterestrial: katakanlah... apa semesta, apa galaksi; kalau memang ada, di mana aku bisa menjumpai alien-alien itu; kapan kiamat secara ilmiah mungkin terjadi; siapa pencipta, siapa ciptaan; mengapa manusia berada di bumi; bagaimana makhluk bersel satu itu mengada, berevolusi sedemikian rupa & cara, selamat dari lima kali kepunahan massal, membikin mesin-mesin & mengembangkan kecerdasan buatan, hingga dalam sepuluh tahun lagi besar kemungkinan bisa mengolonisasi planet Mars. & seterusnya, & seterusnya.


entahlah, yang jelas, rasa penasaranku akan hal-hal berbau semacam itu tak pernah terpuaskan. rasanya seperti meminum air laut; semakin kureguk, semakin haus kurasa. ketika kutemukan satu jawaban bagi satu pertanyaan, maka akan lahir pertanyaan lanjutan. seakan-seakan memang tidak akan pernah kutemukan garis finis, hanya hilir-hilir checkpoint yang tak punya hulu. bagai kalimat panjang tanpa titik, & cuma berisi koma. pada gilirannya, aku mesti berdamai dengan “kondisi kemanusiaanku” yang hampir setiap waktu menghantuiku ini: aku bergerak menuju kematian yang tak terbantahkan & tak terhindarkan—& pada akhirnya mati-dikuburkan bersama tanya-tanya nirjawaban. tentu saja, adalah ngeri bagiku membayangkan mati dengan segudang pertanyaan. tapi ya seribu tapi.


sisi baiknya, “pencarian tiada henti” itulah bahan bakar utamaku untuk terus belajar (selain merawat rasa tolol dalam diri) sampai mampus; demi memuaskan dahaga bocah kecil yang bawel dalam diriku. & mungkin memang begitulah prosesnya, berisi serangkaian falsifikasi. & percobaan & kegagalan. & jatuh & bangun lagi. sadar & tersadarkan lagi. tidak pernah final. selalu bergerak menuju satu poin, & setelah sampai, lantas bergerak menuju poin lain lagi.


masalahnya, begini... semakin aku mendalami astronomi (& kosmologi), atau ilmu alam secara umum—katakanlah demikian—aku kian merasa insignifikan. aku seperti diisap lubang hitam, & seluruh “cahaya” yang kupunya habis tak tersisa. 'cahaya' yang kumaksud di sini, merupakan kombinasi dari kesadaran terestrial, harapan, & kenaifan. dengan kata lain, aku seolah-olah memasuki ruang ekstraterestrial di mana kegelapan adalah yang berkuasa—& inti dari segalanya. sependek pemahamanku pun demikian, ketika suatu benda langit kehilangan momentum sudut, maka ia akan tersedot lubang hitam—& barangkali begitulah hukum gravitasi bekerja.


tapi, biar kubuat lebih sederhana... aku jadi mikir begini: di hadapan lebih dari lima ratus semesta, dengan lebih dari tujuh ratus kuintriliun planet & triliunan tahun cahaya yang memisahkan mereka—apalah arti titik biru pucat, dengan lebih dari tujuh koma delapan miliar manusia yang hidup di dalamnya, tiga ribu tuhan yang mereka sembah & lima ribu agama yang mereka anut, dengan lebih dari tujuh ribu bahasa yang tersebar di seratus sembilan puluh tiga negara itu? di hadapan semesta yang mahaluas & terus mengembang (seperti roti yang diberi baking powder atau donat plus ragi)—apalah arti pemenang & pecundang, pendoa & pendosa, perintis & pewaris, invensi & konvensi?


kesadaran ngeri-ngeri sedap ini kudapatkan dari Sagan, astronom yang puitis, dalam buku monumentalnya: Pale Blue Dot. kalau boleh jujur, terkadang ada penyesalan tak tertahankan dari mendapat perspektif membagongkan semacam ini. tapi waktu tidak bisa kuputar—& mesin waktu, kalau pun ada, tidak bisa kugunakan bila aku masih punya massa alias tak bisa bergerak di kecepatan cahaya—atau jika konsep waktu linier adalah yang benar.


sependek pengalamanku, dalam kesadaran akan nihilitas-kosmik semacam ini, segala sesuatu terasa-tampak nihil & insignifikan—seperti ketika kita mencoba mengobservasi kehidupan kuantum tanpa lensa mikroskopik. apa yang kita lihat? ketiadaan-kekosongan. kalau pun kita mencoba mengamati kehidupan kuantum tersebut dengan bantuan mikroskop, tetap saja akan terasa-tampak insignifikan. aku berani bertaruh, jika seekor tungau punya kesadaran semacam ini, maka dalam beberapa menit ia akan dirawat di poli jiwa & rutin mengonsumsi obat-obat psikosomatik. bayangkan saja, setiap arti & makna dalam kamus kepalamu, yang telah tersusun rapi & kokoh, tiba-tiba menjadi tak berarti & tak bermakna. setiap usaha yang kau lakukan, orang-orang yang kau kenal & sayangi, perang yang kau menangkan, peluru yang kau hindari—semuanya jadi nirmakna & sia-sia. hahahahaha...


meskipun begitu, menurutku, kesadaran akan nihilitas-kosmik ini manusiawi—sebab manusia mungkin secara alamiah punya kecenderungan untuk terus mencari & mencari. biasanya, ketika “kegelapan” adalah satu-satunya yang ia temukan, maka mulailah ia mencipta fiksi-fiksi demi meredam ketakutannya. diakui atau tidak, manusia besar kemungkinan tak bisa hidup tanpa arti & makna buatannya sendiri. & oleh karenanya, di titik ini, aku curiga: jangan-jangan, manusia adalah hewan fotonvora; ”pemakan cahaya”. seekor hewan pemakan cahaya/harapan/fiksi, yang terpendam di tubuh kata & frasa, yang disepakati punya arti & makna begini atau begitu demi menjaga “rasa percaya” akan esok hari.


tapi tak apa, apa-apa. kupikir, kenihilan & keinsignifikanan itu justru mesti kita sadari, bahkan patut dirayakan. oleh karenanya, tetaplah hidup, meskipun belum pernah (& mungkin tidak akan pernah) diapresiasi, diingat, dikenang, dihargai, atau “dianggap ada”—rayakanlah kenihilanmu & keinsignifikanmu sendiri, dengan caramu sendiri. semoga kita tidak berakhir seperti bintang-bintang yang sering kita lihat di malam hari: menjadi past tense; jauh, lampau, & telah mati.


***


maaf kalau tulisan ini tidak jelas atau malah memberi dampak buruk buatmu—aku mengarangnya dalam keadaan tipsy setelah menenggak alkohol ct manado campur sprite. oh ya, & bacardi spice rum.


“jangan lupa mabuk, demi meredam setan-setan dalam kepala yang terkutuk.”