Wednesday, 20 December 2023

Cerpen: Tiga Majusi

Sudah lebih dari satu bulan ini, sekira bakda salat isya, yang kami lakukan adalah duduk melamun semalam suntuk di depan api unggun. Dan bubar jalan pada pukul satu dini hari. Secara teknis, bukan api unggun karena kayu dibakar di atas panggangan barbeque. Namun, katakanlah demikian.

Oh ya, ritual redundan yang tidak sakral ini kami laksanakan bertiga: aku, R, dan A. Bertempat di halaman rumah R yang hanya berjarak empat meter dari rumahku dan tujuh meter dari rumah A.

Mereka berdua adalah tetanggaku. Sayangnya, aku tak pernah cukup pandai untuk mendeskripsikan seseorang. Namun, biar kujelaskan sedikit soal mereka—sejauh yang kubisa.

R adalah seorang pemuda berambut botak dua senti, bermata sayu, dan berkumis tidak simetris seperti ikan lele. Ia berumur satu tahun lebih tua dariku. Secara biologis, umurnya dua puluh empat. Secara psikologis, ia seperti seorang manula berusia lima puluh sembilan tahun yang telah memasuki masa pensiun (aku punya beberapa pembenaran untuk itu, misalnya filosofi hidupnya yang fatum brutum nrimo ing pandum atau gerakan tubuhnya yang seperti bergerak dalam skala sembilan ratus enam puluh fps; maksudku, slow motion). R berprofesi sebagai konsultan bangunan dengan gelar sarjana arsitektur, tetapi kini ketika proyek konstruksi sedang sepi ia banting setir menjadi petani rumahan—ia bahkan menyulap halaman di depan rumahnya menjadi semacam kebun hidroponik. 

Sedangkan A, adalah seseorang bergaya rambut pompadour berusia kira-kira empat puluh tahun dan telah memiliki anak. Wajahnya agak serupa orang Jepang bagian Utara (suku Ainu, tepatnya) dan dihiasi brewok lebat khas orang-orang dari Eropa Timur yang, secara sekilas, persis gambar pada produk serum penumbuh janggut asal Malaysia. A punya segudang pengalaman di dunia finance, sebab dulu pernah bekerja belasan tahun sebagai field collection di suatu perusahaan pembiayaan. Saat ini, setiap pagi sampai sore, selain mengurusi tempat makan paling ikonik di daerahku, bakso kuah rujak à la Bi Enti—ia menggarap kebun miliknya. Sebagaimana R, A pun tengah menggemari dunia pertanian.

Oleh karenanya, kalau bukan ritual melamun di depan api unggun, barangkali tanamanlah yang menyatukan kami bertiga. Aku dan A, sering kali menyambangi rumah R—untuk sekadar membantu mengurusi kebun hidroponik miliknya. Maksudku, secara umur dan latar belakang kami jelas-jelas berbeda. Dan, kalau boleh menduga-duga, bisa jadi batok kepala R berisi estimasi tentang rata-rata tinggi sebuah kusen pintu atau harga keramik marmer di toko material sekitar sini. Sedangkan, batok kepala A bisa jadi berisi ingatan tentang busuknya persekongkolan antara dealer dengan leasing atau soal strategi menjalakan bisnis makanan yang nyeleneh tapi mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun. Dan batok kepalaku, berisi banyak pengetahuan tidak penting, katakanlah soal bagaimana melatih tim futsal beranggotakan remaja-remaja tanggung yang masih mencari jati diri.

Dengan kata lain, kami begitu berbeda, kecuali dalam hobi menyiram tanaman. Dan kalau pun Anda masih penasaran tentang apa hal lain lagi yang besar kemungkinan memungkinkanku, R, dan A, setiap hari menghabiskan malam bersama, maka itu adalah: pertama, pesimisme; kedua, kebencian terhadap dunia politik yang penuh intrik dan gimik.

Biar kujelaskan dari yang pertama. Meskipun aku bisa pastikan R dan A tidak pernah membaca buku mengenai filsafat pesimisme, katakanlah Schopenhauer atau Cioran, tapi dari keempat mata itu, opini-opini, dan selera humor mereka aku tahu keduanya sama-sama pesimistis. Mereka seperti seseorang yang telah khatam menelan asam garam kenyataan yang bajingan. Menghabiskan berjam-jam mengobrol dengan mereka, kukira, rasanya sama seperti mendaki gunung putus asa. Menguras energi tapi memicu begitu banyak kontemplasi dan memberiku pelajaran yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah: bagaimana menerima hidup apa adanya, sebisa mungkin tidak berharap lebih dari semestinya, dan mampu mengapresiasi hal-hal sederhana.

Kedua, ini aneh tapi nyata. Kami sama-sama peduli setan terhadap politik dan punya pengalaman absurd yang nyaris serupa. Singkatnya, kami pernah ditawari jadi tim sukses seorang caleg tapi kami tolak mentah-mentah. Selain itu, kami juga terlampau muak dengan baliho dan bendera partai P dan D yang memenuhi hampir setiap sudut di sekitar rumah kami. Maka, pada suatu sore, tanpa pikir panjang, kubawa saja bendera Britania Raya berukuran dua puluh kali tiga puluh sentimeter yang kupunya ke rumah R—tempat biasa kami berkumpul—dan mengibarkannya dengan tiang dari besi bekas setinggi tiga meter. Setelahnya, kami larut dalam gelak tawa sepuas-puasnya. Dan, memutar lagu-lagu British Rock tahun sembilan puluhan dengan volume sekencang-kencangnya.

Sejujurnya, aku lebih percaya melamun di depan api unggun adalah yang menguatkan perkawanan kami bertiga. Biasanya, ritual melamun dilaksanakan setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi. Tapi sesekali juga setelah memasak air untuk menjarang teh hijau atau kopi arabika dengan metode v-sixty—dan setelah memanggang apa saja yang nampak enak untuk dipanggang: entah itu singkong, roti, pisang, jagung, ikan gurame, lobster, sosis, hingga bakso.

***

Di depan api unggun, aku tiba-tiba teringat buku Sapiens-nya Harari dan menghayati betapa pentingnya api bagi manusia. Kemudian, pikiranku yang liar membayangkan: Bagaimana jika kita tidak pernah mendomestikasi api? Apakah peradaban akan secanggih sekarang?

Rasa-rasanya, api memang memberi manusia semacam kontrol atas alam dan menjadi elemen penting demi bertahan hidup, misalnya untuk membuka ladang, menghangatkan badan, hingga memungkinkan kita untuk memasak makanan yang tidak dapat dicerna dalam bentuk aslinya (katakanlah, gandum, beras, kentang, dan sebagainya). Tak mengherankan, sejak sekitar tiga ratus ribu tahun lalu, kita punya semacam hubungan spesial dengan api. Filsuf alam, Heraclitus, sampai percaya bahwa api adalah sumber dan sifat dari segala sesuatu. Orang-orang Persia Kuno, bahkan mengultuskan-menyembah api dan menamai diri mereka sebagai Majusi. Mereka meyakini bahwa api melambangkan cahaya Tuhan, Ahura Mazda. Kepercayaan arkaik ini kutahu setelah menonton film biopik berjudul Bohemian Rhapsody—tentang vokalis Queen, Freddie Mercury—yang merupakan salah satu penganutnya.

Dalam mitologi Yunani, api dipercaya sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kekuatan ilahi. Mitosnya diabadikan Hesiodos, dalam buku puisinya, Theogony dan Works and Days—juga Aeschylus, bapak Tragedi Yunani, dalam Prometheus Bound. Sederhananya, begini... ada seorang Titan bernama Prometheus yang mencuri api dari para dewa-dewi di Gunung Olympus dan memberikannya kepada umat manusia. Sayang, tindakan revolusionernya diketahui Zeus. Pemimpin para dewa itu murka lantas memutuskan untuk menghukum Prometheus dengan merantainya di atas batu di Gunung Kaukasus, dan menyiksanya tanpa henti: menyuruh seekor elang memakan hatinya. Hati itu akan tumbuh kembali di malam hari, sehingga elang itu dapat dengan senang hati memakannya lagi keesokan hari.

Begitu dan begitu, dalam kekekalan. Mitos ini, secara simbolik, menyiratkan api atau pengetahuan adalah berkah sekaligus kutukan. Atau boleh jadi ada harga mahal yang mesti dibayar kalau bermain api.

“Hei pakcoy, ritualnya belum dimulai. Kita nyeduh teh dan bakar pisang dulu. Lagi banyak pikiran kah? Mikirin cicilan KPR tenor dua puluh tahun?”

Lamunanku pecah.

“Kayaknya sih mikirin pemilu tahun depan. Dibilang susah menang kalau masih banyak politik uang. Sayang duit. Lagian, mending ngelon daripada nyalon. Udah, mending kita vandal aja semua bendera dan baliho partai di sekitar rumah kita.”

“Enggak. Mana ada KPR, nyalon bla bla bla. Aku lagi mikirin jangan-jangan kita ini sebenernya orang Majusi sangking setiap harinya ngadain ritual api begini. Tapi bagus gak sih, biar Pak Ustad MCR (Maman Chemical Romance) punya saingan?” kataku dengan wajah serius, menatapi wajah R dan A.

Dan, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Aku tak bisa menahan tawaku. Ngakak menular, ternyata.

***

Pada suatu malam minggu yang suram, aku curiga, jangan-jangan menontoni api ini warisan evolusi. Genetik. Hobi yang diturunkan  melalui DNA dari generasi ke generasi.

Entahlah, yang jelas, aku benci fakta bahwa ketika aku sedang melamunkan hal-hal abstrak terlalu lama itu hampir selalu membuatku nampak seperti orang sedang memusingkan harga properti yang semakin tak masuk akal—atau sedang memikirkan strategi untuk merusak baliho partai tanpa ketahuan—atau bahkan sedang depresi—karena terlilit hutang dan terpikir galbay, misalnya—pedahal kenyataannya, tentu tidak sama sekali.

Tapi omongan R benar juga, lebih baik kuseruput teh hangat dan pisang bakar dengan toping meses coklat plus keju cedar di depanku itu terlebih dahulu. Lagi pula, kupikir, tidak ada yang bisa menjelajahi dunia kemungkinan dengan perut keroncongan. Bon appétit!

*****