Wednesday, 20 March 2024

Cerpen: Tak Ada yang Baru di Bawah Mata Hari

I was looking for a job, and then I found a job…
And heaven knows I'm miserable now…

Namamu Hari. Kau dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Itulah dering alarmmu yang menyebalkan. Perpaduan sempurna antara melodi ceria dan lirik yang menohok dada. Dengan kata lain, kesuraman yang terdengar riang menjadi sarapan bagi telingamu setiap hari. Kau tak tahu mengapa lagu kesukaanmu berubah menjadi lagu yang paling kau benci. Tapi Caligula tahu, dunia ini pada dasarnya dibentuk sekumpulan orang sinting yang tak mengunjungi poli jiwa, sehingga kesintingan merajalela di mana-mana. Tervalidasi ketika kau menyalakan televisi dan mendapati berita-berita yang niscaya membikin Kaisar Romawi itu bakal tersipu malu.


Kau berpendapat orang-orang lebih memilih percaya bahwa mereka punya gangguan mental dan mengidap masalah biokimia yang kompleks, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut di laboratorium selama puluhan tahun ketimbang mengakui betapa kejam, abusif, dan korup pemerintah—akar dari seluruh kondisi mereka. Kau sebal sekaligus lelah dengan keadaan. Setiap siang bolong, kau bermimpi memimpin revolusi. Sekadar ingin merasai suntikan adrenalin, meski hanya dalam mimpi. Kau paham betul, revolusi cuma kata sakral penggetar dada dalam buku-buku sejarah.


Di dunia nyata, beberapa orang masih bermain-main dengan hal-hal edan, misalnya negara dan kekuasaan. Beberapa lainnya cuma sibuk menyiasati lapar yang tak bisa ditawar. Dan sisanya, yang paling banter... giat bekerja, rajin membayar pajak, dan mati di usia senja. Yang terakhir memicu memori lampaumu. Waktu kecil, Ayahmu berujar, “Hari, kalau sudah besar jadilah manusia.” Menjadi manusia, kau terjemahkan sebagai bekerja. Maka kau pun menduga-duga, jangan-jangan, cara paling rasional untuk mencapai apa yang diinginkan adalah dengan tidak menjadi pengangguran. Lekas-lekas kau lamar ratusan lowongan dengan berbagai posisi. Dari yang gajinya tinggi sampai yang lebih terdengar macam perbudakan zaman kiwari.


Hari di mana kau resmi menjadi manusia yang membanting tulang telah tiba bertahun-tahun lalu. Tapi kehampaanmu masih bersarang entah di mana. Dulu, kau dipusingkan dengan tidak punya uang. Kini, kau dipusingkan dengan semakin terbatasnya waktu dan ruang. Dari lubuk hatimu paling dalam, kau sadar bahwa sebelum dan setelah bekerja tipis sekali batasnya. Kau bahkan menilai Anggur Cap Orang Tua dan Red Wine Opus One kurang lebih sama. Sama-sama menjadi rute pelarian ketika kenyataan terlampau mengecewakan.


Di titik tertentu, dalam pagi yang berulang, kau tak lagi merasa manusia. Kau telah menjadi robot yang punya sistem metabolisme dan dibebani kerangka psikologis. Seluruh hidupmu telah sedemikian mekanis. Dari senin sampai jumat. Dari yang mulanya motivasional sampai kehilangan semangat. Kau bahkan terasing dari dirimu sendiri. Orang-orang yang mulanya kau sebut kolega, lambat laun, mewujud orang-orang asing yang mesti dikompromi. 


Keasingan itu semakin meraksasa ketika kau menyadari bahwa wajah-wajahnya terkubur pada layar berbentuk persegi panjang yang bercahaya dan bersuara. Yang tujuh kali dua puluh empat jam, menyiarkan notifikasi rumah mereka di dunia maya. Kau sadari, teknologi memang mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. 


Dan ironi adalah kata pertama yang muncul di benakmu ketika kau pulang kemudian di perjalanan matamu terfokus pada binar papan iklan yang mempromosikan gadget teranyar. Kepala kau terasa pengar, dan kau pun menuju tempat merebah yang disebut rumah. KPR tipe tiga enam yang cicilannya macam jumlah malaikat yang wajib diketahui—tahun lagi. Dalam perjalanan itu, tak jarang kau berpapasan dengan seorang tunawisma yang menjual kesedihan. Sebuah pengingat akan ketidaksetaraan yang menjangkiti masyarakat. Kau tak ambil pusing, memilih persetan, dan mengisi energi dengan tidur demi mengarungi esok hari yang kurang lebih begitu-begitu lagi.


Matahari pasti terbit, dan kau tiba di kantor entah yang kesekian kalinya. Orang-orang asing yang mesti dikompromi itu masih terpaku pada komputer berisi statistik dan angka-angka. Mereka bekerja berjam-jam, tanpa pernah mempertanyakan apakah semua itu sepadan atau berguna. Seseorang boleh berandai-andai jika Siddhartha Gautama masih hidup, maka ia besar kemungkinan akan bersabda bahwa yang menjadikanmu manusia adalah kapabel memilih gambar lampu lalu lintas dari enam belas kotak yang tersedia. Mampu menyelesaikan soal Captcha adalah penanda paling pasti yang membedakan robot dan manusia. Begitulah isi kebijaksanaan pertama.


Tiba-tiba kau teringat sesuatu, yang mungkin bisa menjadi panasea bagi persoalan-persoalan repetitif dan pelikmu: cinta! Kau mengira telah menemukan harta karun yang telah lama hilang. Kau menjalani hubungan dengan beberapa orang asing yang relatif bisa kau toleransi. Sayangnya, kau sampai pada kesimpulan bahwa cinta hanyalah rentetan kepelikan yang mengernyitkan dahi. 


Seolah-olah kau mengamini bahwa pada dasarnya cinta itu transaksional, horni hanyalah bahaya yang lekas pudar, dan bersetubuh cuma upaya menunda kekalahan panjang bernama kesia-siaan. Kau tidak sedang kesurupan binatang jalang itu, tetapi kemurungan yang sama telah menubuh padamu. C’est la vie! pekikmu dalam hati. Maka demi mengurangi intensitas nyeri, kau pun menenggak beberapa botol alkohol.


I was happy in the haze of a drunken hour

But heaven knows I'm miserable now...


Pada suatu pagi yang biasa, kau masih dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Di luar, sayup hujan turun dengan deras. Sebuah kondisi yang akan meningkatkan gaya gravitasi kasurmu dan menambah rasa kantukmu yang belum tandas. Sambil mengucek-ngucek mata, kau menengok jam. Waktu menunjukan pukul lima lewat lima pagi. Ada hari yang mesti dimulai, lagi.


Tak ada yang baru di bawah matamu, tapi setidaknya kini kau tahu mengapa haram hukumnya menjadikan lagu kesukaan sebagai dering alarm. Sebab, pada akhirnya, kau justru akan membencinya sampai mati. Sebab kau akan membenci sesuatu yang membangunkanmu dari tidur indahmu. Seperti kematian, kapitalisme merebut segalanya darimu. Dan hanya mimpi yang kau miliki seutuhnya, tak bisa direnggut oleh sesiapa.


Ada beberapa hal yang tak kau pahami dan mungkin tak akan pernah. Misalnya mengapa tumbler airmu harganya hampir tiga kali lipat toren air berkapasitas dua ratus lima puluh liter. Setidaknya, untuk saat ini, kau telah berjuang melawan kesintingan dan meredam tendensi bunuh diri dengan sebaik-baiknya. Dan itu rasa-rasanya patut disyukuri.