Monday, 15 April 2024

Kapitalis Mana yang Butuh Sastra?

di galaksi ekonomi, terdapat sebuah planet bernama Kapitalis. di planet hijau pucat ini, angka-angka & grafik tumbuh subur layaknya pohon-pohon di hutan Amazon. para penduduknya, yang menyebut diri mereka sebagai Kapitalian, berkomunikasi pakai sistem bahasa yang terdiri dari simbol dolar & persentase. 


perihal bagaimana mereka saling menyapa, mereka menggunakan kalimat, “Bugattimu warna apa?”. untuk bertanya kabar lebih personal, biasanya, mereka menggunakan huruf v atau V (volatilitas rendah atau volatilitas tinggi). semacam kata ‘aman’ dalam bahasa Kapitalian. misalnya begini.


v/V?

v

waduh. butuhkah?

bolehlah.


kurang lebih begitu. 


secara statistik, sembilan puluh sembilan persen dari mereka menyembah Tuhan Stonks yang Mahaprofit. serta menerapkan lima rukun Kapitalian: satu, mengucapkan dua kalimah konglomerat; dua, mendirikan start-up; tiga, membayar pajak penghasilan; empat, menjalankan puasa konsumeristik; lima, naik ferrari bagi yang mampu. 


yang satu persen, adalah mereka yang tak mengimani. mereka menarik diri dari peradaban. retreat ke hutan & kekeh percaya manusia bisa hidup tanpa uang. logis, memang. sebab di hutan, tak ada tukang dagang—yang ada cuma teriakan primata u-u-a-a. maka, kalaulah mereka merasa lapar mulai mencakar-cakar, seperti biasa, mereka akan merajut gelang etnik agar bisa ditukar dengan hasil alam yang bisa dikunyah. paling banter, nasi. singkatnya, barter.


selain itu, di beberapa sudut jalan yang tersentuh peradaban, terdapat plang dilarang P. bukan. bukan dilarang Parkir tapi dilarang Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. di dunia maya, ‘P’ juga berarti Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. bukan Ping. mereka yang trauma terhadap huruf ‘P’ disebut Pfobia. umumnya, para psikolog butuh setidaknya tiga kuartal untuk menyembuhkan pengidap Pfobia. hanya demi menyakinkan bahwa ‘P’ merujuk pada Punten, bukan Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus.


sebenarnya, ada aturan tak tertulis bahwa untuk meminjam uang dibutuhkan basabasi bernada afektif bukan basabasi berwarna geografis. dengan kata lain, tidak etis ujug-ujug wah cuacanya cerah ya... kemudian langsung mengeluarkan jurus bos-adakah-seratus. namun, akan lebih baik jika bertanya tentang bagaimana kabar, sedang di mana, apakah usaha lancar, barulah menuju tujuan konkretnya. begitulah pengutang-bermoral bekerja.


setiap dari mereka juga diwakili oleh skor kredit. semakin tinggi, semakin bergengsi. sedang mereka yang bermasalah, wanprestasi, atau galbayers niscaya dipenjara dalam ruangan dua kali dua meter berpintu kayu jati. & menerima hukuman berupa digedor debt collector dengan tempo larghissimo sampai prestissimo setiap tiga jam sekali. itulah mengapa SLIK OJK (Otoritas Jasa Kapitalian) adalah harga mati. setengah Rakib, setengah Atid. boleh jadi sebab mereka mengimani Kitab Laba, ayat dua, yang berbunyi: “barangsiapa kredit mulus, niscaya Tuhan Stonks ciptakan jalan menuju surga beraspal fulus.”


bagaimana dengan yang memuncaki kasta?

bagi mereka yang memegang Black Card, penyebab melarat bukanlah kemiskinan struktural tapi malas bekerja keras. para pemegang Black Card ini, semakin kokoh berada di puncak teratas, sebab mereka berjualan kelas-kelas yang berisikan petuah bahwa rajin pangkal kaya—bukan privilese pangkal kaya, atau akses pangkal kaya.


*** 


pada suatu senin siang, di sudut kafe butut yang bergaya arsitektur industrial sebab tak ada dana lebih buat membeli cat, terdapat sekelompok Kapitalian muda yang berbeda & sok edgy. mulut mereka tak pernah melafalkan mantra ROI (Return on Investment) sebanyak tujuh kali dalam hati. kepala mereka juga tak pernah dipakai untuk memikirkan lembar saham & obligasi. sebuah anomali. mereka ini adalah para pencinta sastra, yang dengan tekun membaca-mengarang puisi & prosa, bukan laporan keuangan & proyeksi pasar yang cuan dalam lima sampai dua puluh tahun ke depan. mereka pada dasarnya saling sepakat, tetapi sering kali mendebat-debatkan pendapat.


“kapitalis mana yang butuh sastra?” tanya salah satu dari mereka dengan gaya sok teatrikal.


“hmmm... mungkin tidak ada.”


“ah,” jawab seseorang yang lain, “itu dia, tidak ada kapitalis yang butuh sastra. itulah mengapa kita mempelajari sastra. kita jadi pemberontak yang berani melawan tirani logika & angka.”


“apa kerennya?”


“bukan masalah keren-kerenan, ini soal prinsip. berbeda dari kawanan. melawan arus. hanya ikan mati yang terbawa arus.”


“tapi, hanya ikan tolol yang berenang melawan arus. kau tahu, apa makanan utama beruang? ikan yang melawan arus. di kehidupan nyata, melawan arus artinya tak-beruang. tak punya uang, artinya tak punya ruang. tak punya uang, itu susah bergerak. bahkan, berak pun bayar.”


“begini, borjuis kecil, sastra adalah investasi abadi yang memberikan kekayaan emosional & intelektual. investasi untuk jiwa, yang dividennya adalah kebahagiaan & pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.”


“tapi Kapitalian mana yang butuh jiwa? Pragmatis mana yang butuh kedalaman?”


“kau tidak mengerti!”


“memang!”


“di mana setiap detik adalah aset & setiap hal adalah komoditas, sastra menjadi pekik perlawanan terhadap monotonitas. menjadi bukti bahwa di balik setiap transaksi & perhitungan, masih ada ruang untuk hal-hal esensial seperti imajinasi & keindahan.


“masalahnya... wahai Proust muda... sastra hanya membantu menyelesaikan soal ‘mengapa’ bukan ‘bagaimana’.”


“bagaimana?”


“sudah kubilang bukan soal bagaimana tapi mengapa.”


“maksudku, bagaimana sastra membantumu menemukan mengapa?”


“mengapa aku mesti meromantisasi kehidupan agar umurku panjang, misalnya. perlu kuakui juga, bahwa sastra membantuku menentukan lebih baik mana antara menjadi sastrawan yang saban minggu karyanya dimuat di koran atau seseorang yang persetan dengan sastra-sastraan tapi mempunyai kontrakan dua belas pintu?”


“lebih baik mana?”


“dengan sastra, aku tahu bahwa pilihan yang kedua selalu lebih baik.”


mereka sama-sama tertawa, kencang sekali, seolah-seolah mereka adalah sastrawan yang mempunyai kontrakan dua belas pintu. pedahal karya-karya mereka, berkali-kali, ditolak media & mereka tentu tak punya kontrakan dua belas pintu. kengakakan mereka bergema di antara lampu neon & dinding beton. 


& begitulah, awal mula sastra menjadi lelucon pemecah kerutinan duniawi. bagi beberapa orang seperti mereka ini, sastra adalah kepercumaan yang menyenangkan. liburan singkat dari kejaran pertanyaan bisakah sukses di usia muda atau kalau nanti mati dikuburkan di San Diego Hills tipe apa? single burial ataukah peak estate?


kapitalis mana yang butuh sastra? coba kita bertanya pada Alphard yang bergoyang.

Thursday, 11 April 2024

Lebaran & Dua Puluh Empat

kemarin... dalam suasana takbiran di sebuah coffee shop yang overrated & overprice—seorang kawan lamaku yang kuliah Sastra Inggris, bertanya begini, “day, apa resolusimu pada lebaran kali ini?”


dengan mantap kujawab pakai idiom, “melebarkan sayap!”


pedahal aslinya... resolusiku, pada momen apapun, entah lebaran ataupun tahun baruan—hanyalah survive. seminimal-minimalnya sampai umur dua puluh tujuh. sisanya, lihat nanti. sebab aku tahu, bagi seorang normal, tahun-tahun ini & tahun-tahun di depan bakal makin terjal kutapaki. bagaimana tidak? setelah dihantam badai yang berlalu lalang, tahun ini, adalah lebaran pertamaku tanpa ayah & ibu. ayahku terlalu sibuk bekerja & ibuku terlalu sibuk dengan keluarga barunya. 


kalau boleh jujur, sebenarnya, aku tak masalah dengan kondisi membagongkan semacam itu. sebagai lelaki anak pertama, aku telah menaruh curiga bahwa aku didesain untuk tahan banting, mampu bekerja di bawah pengaruh nihilisme, & telaten comfortably numb - pink floyd. 

...

when i was a child i had a fever

my hands felt just like two balloons

now I've got that feeling once again

i can't explain you would not understand

this is not how i am

i have become comfortably numb

...

aku hanya kesian terhadap adikku yang bocah SD kelas dua. anak sekecil itu, berkelahi dengan realitas yang asu. tumbuh tanpa father-mother figure. itu saja. sayangnya, rasa kesian itu meraksasa alias bertambah parah ketika kubuka instastory & mendapati fakta bahwa orang-orang pada umumnya merayakan hari kemenangan bersama keluarga mereka. ‘hadeuh’ adalah kata pertama yang kuucap dalam hati. & ‘hadeuhhhhhhhh!!!!!’ adalah yang lahir setelahnya.


seseorang barangkali bertanya-tanya mengapa aku tak jujur menjawab pertanyaan kawan lamaku itu. tapi, aku memang tak bisa jujur kepadanya. bertahun-tahun aku berkawan dengannya, di hadapannya aku selalu memasang wajah optimis. aku tak bisa realistis, apalagi... pesimis. lagipula, aku tak mau menyebarkan pesimisme kepada orang di sekitarku. apalagi kawan lamaku itu. aku juga tak mau membikin orang di sekitarku kepikiran. termasuk si U, yang setiap hari lebaran selalu membuatkan soto babat kesukaanku. di hari lebaran, yang paling bijak untuk kulakukan tentulah menyantap soto babat atau mengemil nastar sembari memasang wajah senang.


aku juga sama sekali tak masalah dengan hari ulang tahunku yang tak dirayakan oleh orang selain diriku. bahwa enam belas hari lalu, hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat kurayakan seorang diri. aku menghadiahi diriku sendiri: sebotol bir & setangkai mawar. yang pertama, sebab sesederhana karena aku suka meminumnya. sedang yang kedua, sebab aku penasaran bagaimana rasanya diberi bunga. aku tak mengerti mengapa lelaki hanya diberi bunga ketika ia telah berkalang tanah. atau mengapa rumah sakit & pekuburan adalah dua tempat yang paling sering diwarnai tangisan. apakah penyesalan memang lebih besar dari penghargaan?


pada gilirannya, hanya keheningan kosmik yang tersisa & c’est la vie di pangkal dada. tapi di terowongan gelap ini, aku sadar,  ‘mengapa’ mewujud persoalan yang hanya bisa dijawab-diselesaikan diri sendiri. sesuatu yang subjektif & personal. & kedewasaan adalah kata yang tak ada dalam kamus para nabi—bahwa topik kedewasaan, luput difirmankan tuhan. 


mengutip pakguf, yang bisa kulakukan selain tetap berjalan hanyalah tetap percaya. maksudnya, percaya pada teori konspirasi bahwa semua akan baik-baik saja. sayangnya, ‘percaya’ adalah salah satu hal yang paling sulit untuk kulakukan. tapi meskipun susah, aku akan mencobanya dengan payah. artinya, aku mesti menumpulkan nalarku yang kritis agar lebih mudah percaya. berat, tapi tak apa. 


di ujung malam, diiringi pekik allahuakbar, selintas pemikiran menghampiri lamunanku—bahwa hanya ada dua cara untuk dihargai-dirayakan-dicintai: mencapai kesuksesan atau bertemu kematian. tentu, aku akan sekuat tenaga mencoba mendorong batuku sampai puncak kesuksesan. kalaupun gagal, ya tak apa. orientasiku tak pernah berubah. selalu proses, bukan hasil. selain itu, bagiku, ‘mencoba’ merupakan privilese & ibarat rukun islam kelima (hanya bagi yang mampu).


tapi cara yang kedua? itulah cara yang secara sadar biasanya tak dipilih orang-orang waras. tapi kematian, baik ditempuh secara alamiah atau tidak, aku merasai keindahannya. ketika kehidupan merebut-mencabut seluruh makna dari keberadaanku, kematian membantuku mencurinya kembali. tanpanya, kehidupan cuma kebisingan yang tak berguna & manusia hanya spesies naif yang percuma. apalah arti hari ulang tahunku...


demi arwah eksistensialis, meski telah jatuh berkali... berilah sayap-sayapku kekuatan untuk kembali menggapai tengik matahari. seminimal-minimalnya sampai tiga tahun lagi. semoga bisa, semoga bisa! begitulah doaku kepada bedil & sebutir peluru kaliber sembilan mm di bawah bantalku—setelah merawat percaya dengan menjadi majusi (maksudnya, membikin api).