Sunday 22 September 2024

Cerpen: Bantal dan Tuan Pecundang

Di kamar yang lindap dan pengap, hiduplah sebuah bantal tua yang sudah mulai kehilangan bentuk aslinya. Bantal ini ajaib: ia bisa bicara kalau dibacakan mantra oleh Tuan Pecundang. Mantranya, Tal-Bantal. Jika diucap dua kali, maka Bantal tidak akan bisa berbicara.


Setiap malam, Bantal menjadi saksi hidup dari keluhan-keluhan Tuan Pecundang, seorang pria paruh baya yang selalu merasa Dewi Fortuna tidak pernah berpihak kepadanya.


“Tal-Bantal, kenapa hidupku selalu sial? Aku sesekali penasaran, misal reinkarnasi nyata, kira-kira dosa sebesar apakah yang telah kulakukan di kehidupan sebelumnya?” keluh Tuan Pecundang sambil merebahkan tubuh jomponya di atas kasur. “Hari ini, gerdku kumat. Istriku, yang tinggal di kampung, memblokir nomorku. Dan aku terlambat lagi datang ke kantor sebab motor bututku mogok. Turun mesin. Bosku naik pitam, hampir menonjok, dan mengancam akan memecatku.”


Bantal, yang khatam betul mendengar keluhan-keluhan tololnya ini, hanya bisa menghela napas dalam-dalam. “Tuan Pecundang, sial memang tidak mengenal tanggal. Tapi sudah tahu Anda punya riwayat gerd, mengapa masih meminum kopi? Tolonglah, Anda bukan Stefan Zweig. Anda bukanlah novelis Austria-Hungaria yang punya hubungan misterius dengan kopi. Dan sudah kubilang berkali, istrimu itu childish dan emotionally unavailable. Meski sudah tua, ia tak pernah dewasa. Dan, berhentilah berlagak menjadi ruang poli jiwa. Saya muak dengan Saviour Complex Anda. Dan, satu lagi, semisal Anda punya otak sedikit lebih pintar dari lumba-lumba, tentu Anda tidak akan pernah berpikir bahwa mengganti oli cuma akal-akalan orang bengkel, sehingga motor Anda tidak bakal turun mesin. Seperti penis, piston butuh pelumas ketika penetrasi. Agar blok piston tidak baret dan lecet,” jawab Bantal dengan nada sarkastik.


Tuan Pecundang mengerutkan keningnya. “Kau beruntung. Sebab kalau kau punya lidah, sudah kupotong lidah brengsekmu itu. Jangan mengguruiku. Bantal sepertimu tahu apa tentang kopi, lika-liku hubungan rumah tangga, dan otomotif? Kau tidak pernah mengerti, Bantal. Tidak pernah. Hidup ini pada dasarnya memang tidak adil. Pengadilan Akhirat ada sebab dunia ini tak pernah adil. Apakah kau belum menyadari bahwa Tuhan Langit tidak pernah berpihak kepadaku? Lihat saja tetanggaku, si Pak Sukses, ia selalu beruntung. Jalan hidupnya adalah jalan tol. Bebas hambatan. Ia tajir melintir. Rumahnya begitu megah, seperti kuil Parthenon Yunani.”


Bantal tertawa kecil. “Barangkali karena Pak Sukses tidak menghabiskan waktunya mengeluh seperti Anda, Tuan Pecundang. Ketika Anda masih tertidur pulas, ia sudah bangun untuk bekerja keras. Dia mungkin lebih bisa dinasehati dan fokus pada sesuatu yang mampu ia kendalikan. Maka, berhentilah mengeluh dan carilah hal positif dalam diri Anda.”


Tuan Pecundang mendengus. “Tidak ada jaminan bahwa ia tidak mengeluh dan bekerja lebih keras dariku. Selain itu, memangnya ada yang positif dari diriku ini? Satu-satunya yang positif adalah bagan medical check up berisi keterangan HIV/Aids. Tak ada yang positif dari hidupku. Bahkan kucingku yang belang tiga, si Albert Catus, pergi meninggalkanku. Seperti kucing-kucing lain, si Albert tergoda untuk menyambangi rumah Pak Sukses. Tak mengherankan, sebab ia seringkali menaruh makanan kucing yang harganya ratusan ribu di depan pintu rumahnya. Bagian terburuknya, aku tak tahu di mana kucing kesayanganku berada.”


Bantal mencoba menahan tawanya. “Bukankah HIV hanyalah buah dari kebodohanmu sendiri, Tuan Pecundang? Hampir setiap hari, Anda menyewa pelacur dan berhubungan seks tanpa pengaman. Lantas, apa yang Anda harapkan? TV LCD tiga puluh dua inch? Ayolah, jangan selalu merengek menyalahkan Tuhan Langit atas kebegoanmu. Soal kucingmu, mungkin ia juga butuh variasi dalam hidupnya. Ia boleh jadi bosan diberi makan kepala ikan yang kurang gizi. Cobalah untuk melihat sisi baik dari setiap kejadian. Segala sesuatu yang terjadi berwajah Dewa Janus, selalu punya dua sisi.”


Tuan Pecundang terdiam sejenak, merenungi kata-kata Bantal. “Kau tahu, Bantal, terkadang, alih-alih memotong lidahmu aku nampaknya lebih ingin memotong urat nadiku. Kau ingat, kesialan ini bermula semenjak tujuh belas tahun lalu, ketika aku gagal menjadi tentara. Sebab Ayahku tak punya sawah untuk dijual sebagai modal. Setelahnya, kesialan datang bertubi umpama orang-orang yang hilir mudik meminjam uang pada Pak Sukses. Barangkali bukan di kehidupan ini, bukan di kehidupan ini, aku bisa menjadi apa yang aku mau dan merasa menang.”


Bantal menggelengkan “kepalanya”. “Tuan Pecundang, memotong urat nadi adalah cara paling menyusahkan diri sendiri untuk bertemu Tuhan Langit. Bagaimana tidak? Anda tidak menderita hemofilia yang hanya butuh sekitar tiga sampai enam menit untuk berpulang karena kehabisan darah. Artinya, butuh berjam-jam bagi Anda untuk mampus. Ada banyak cara yang lebih efektif dan praktis ketimbang itu. Misalnya duduk di rel kereta api. Soal tentara, aku sudah terlampau kesal bilang kepada Anda bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara pelacur dan tentara. Pelacur, menjual sebagian waktu dan tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Tapi tentara? Mereka menjual seumur hidup dan seluruh tubuhnya kepada negara. Jika Anda dulu diterima sebagai tentara, mungkin Anda sudah koit di medan perang. Tolong, saya memohon dengan sangat, jangan menyesali masa lalu dan berhentilah membandingkan hidup Anda dengan Pak Sukses. Satu lagi, Tuan Pecundang, tanpa memotong urat nadi pun Anda bakal tutup usia lebih dini dari orang lain. Cobalah untuk memaksimalkan sisa umur Anda.”


Tuan Pecundang menghela napas panjang. “Kau benar, Bantal. Mungkin aku harus mulai mendengarkan semua saranmu. Dan obrolan malam ini benar-benar membuatku ngantuk. Bonne Nuit, Bantal.”


“Selamat tidur, Tuan Pecundang.”


Malam itu, Tuan Pecundang tidur dengan lebih pulas dan tenang. Tapi sayang, itu adalah malam terakhirnya. Dan sebelum mengembuskan napas terakhir, Tuan Pecundang mengigau, Tal-Bantal... Tal-Bantal... Artinya, Bantal tak lagi bisa bicara semenjak mantra diucap dua kali.


Pagi datang dan seorang penyiar berita lokal mewartakan: “Pencurian Kucing-Kucing Belang Tiga yang Dijadikan Tumbal Pesugihan Seseorang Bernama Pak Sukses”.