Thursday, 19 December 2024

Beberapa Hal yang Bisa Kutulis setelah Tiga Bulan Membership Gym

 

“apa-apa yang hampir membunuhmu, membikinmu ingin pergi ke gym & merobek ototmu.”


—(bukan) Nietzsche

setelah tiga bulan ngegym, aku menyadari sesuatu: gym bukanlah soal melatih biceps atau triceps, tapi melatih accept—tentang menerima & kemudian mengonversi sakit secara mental menjadi sakit secara fisikal. sakit pikiran-perasaan menjadi sakit badan. mengubah masa lalu menjadi massa otot. membakar kalori & ingatan-memori.


kukira begitu. rasa-rasanya begitu. sebab ketika berdiskusi sesuatu yang personal dengan beberapa gymbroku, mereka semua telah/sedang mengalami masalah yang hampir membunuhnya. dari masalah asmara, keluarga, sampai pekerjaan. dari ditinggal nikah, ditinggal ayah, sampai lelah punya atasan yang bajingan. aku curiga bahwa mereka pada dasarnya ingin berdiri di atas kaki mereka sendiri, sebab jika mereka berdiri di atas kaki orang lain maka orang itu akan bilang, “tolong kaki saya sakit.”


& mungkin, para gymbroku pergi ke gym dengan harapan untuk mendistraksi atau bahkan mengubah satu masalah menjadi satu set repetisi tambahan plus satu teriakan panjang yang akan selalu kalah kencang dengan suara musik edm full bass penghancur gendang telinga dari spiker bluetooth di gym. tapi apapun harapannya... yang diangkat tetaplah dumbell terlalu berat biang kerok telapak tangan kapalan.


secara personal gym benar-benar mengubahku. ketika pertama kali datang, berat badanku cuma empat puluh kg (cuma setara toren air merk penguin ukuran dua ribu liter tanpa isi). dengan tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter, tentu berat segitu membikinku nampak sangat tunggu kiris—tak jauh berbeda dengan tiang gawang sepakbola liga tarkam—ketimbang gapura kabupaten. dengan tubuh genetik ectomorph yang kurus kering, aku sadar mesti bulking.


oleh karenanya, berlandaskan motivasi membentuk badan dewa Yunani, aku ngegym enam kali seminggu & makan enam kali setiap hari (dengan porsi seperti seorang kuli Bandung Bondowoso yang akan membangun Candi Prambanan dalam satu malam).


selain itu, setiap hari, aku tak pernah absen untuk mengonsumsi dada ayam & telor rebus sebanyak dua belas butir. dengan asupan protein sesinting itu, bisa kupastikan bahwa misalkan aku kentut, maka baunya lebih menyiksa ketimbang belerang di Kawah Ratu, Gunung Salak (ini serius, bukan lelucon. kalau tak percaya, boleh dicoba). maka tak heran dalam kurun waktu tiga bulan, berat badanku naik signifikan. naik dua belas kilogram. 


gym tidak hanya mengubah secara fisikal, tetapi juga mental. aku menjadi lebih disiplin. katakanlah disiplin untuk tetap pergi menuju tempat gym, meski hujan menghadang & meningkatkan gaya gravitasi kasur penyebab rebahan. aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi ngegym—bahkan jika itu adalah meteor sebesar bus telolet basuri. 


selain itu, aku juga menjadi lebih disiplin untuk menjaga pola makan: menghindari goreng-gorengan & minum minuman dengan kadar gula yang kemungkinan besar bisa memicu diabetes melitus tipe dua dalam kira-kira sepuluh tahun ke depan.  


berkat gym, kini aku sadar bahwa olahraga sama pentingnya dengan olahrasa. aku teringat slogan para guru penjas yang berasal dari pepatah Latin seorang penyair Romawi bernama Juvenal: mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). 


aku juga sadar bahwa badan yang atletis tak pernah bisa dibeli dengan uang. hanya disiplin yang memungkinkannya. meski pada akhirnya, setelah ngegym, aku mendapat masalah baru: body dysmorphia. sebuah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terus menerus mencemasi kekurangan penampilan fisiknya. katakanlah, biceps kurang besar, triceps kurang kekar, shoulder kurang lebar, back kurang doritos (v taper), perut kurang sixpack, chest kurang bidang, legs kurang gigan, & seterusnya.


doms hari ini adalah otot baru esok hari.”

pada akhirnya, seseorang barangkali bertanya: how do you survive your injuries? & aku cuma ingin menjawab: i just kept lifting.

Thursday, 5 December 2024

Dunia yang Terlalu Banyak Mulut

pada suatu sore yang lambat, seorang bocah berumur sekira sembilan tahun, melontar tanya kepadaku: mengapa manusia punya dua telinga tapi hanya satu mulut? 

kemudian aku memberinya dua jawaban—secara logis-saintifik & filosofis—katakanlah demikian: “telinga adalah organ sensorik, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi benda-benda di sekitar. jumlahnya dua agar kita bisa menentukan lokasi benda itu dengan lebih akurat. sebaliknya, mulut tidak memiliki fungsi seperti itu, karenanya, tidak perlu lebih dari satu mulut. dua telinga & satu mulut pada manusia juga merupakan hasil seleksi alam yang memberikan keseimbangan antara persepsi sensorik, komunikasi, & kebutuhan untuk bertahan hidup. kira-kira begitu... kalau filosofisnya begini, kata filsuf yang namanya Epictetus... kita punya dua telinga & satu mulut biar kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak ketimbang berbicara.”

ia hanya mengangguk-ngangguk. seakan diberi pemahaman oleh Kak Gem. sejujurnya, aku malas berlagak sok bijak macam filsuf tua yang ensiklopedis & hidup di tengah hutan belantara. tapi di hadapan bocah, aku tentu tak mau nampak tolol-tolol amat. sebab ketika bocah dulu, aku paling benci ketika berhadapan dengan seorang tua yang ditanya ini tak tahu, itu tak tahu—cuma bilang wallahu a'lam bishawab. & aku bersumpah tidak sudi najis jadi seorang tua yang seperti itu.

bocah yang punya pertanyaan keren itu tentu bakal beranjak dewasa. & barangkali bakal mengetahui alasan di balik mengapa mendengar selalu lebih penting ketimbang berbicara. sebab ketika kita mendengar, kita mendapat informasi baru—sedang ketika berbicara, kita hanya mengulang informasi lama—yang telah kita ketahui sebelumnya. itu pertama.

kedua, selain berbicara, mendengarkan pun adalah seni. kita terlalu terbuai dengan narasi-narasi The Art of Speaking atau The Art of Talking tapi lupa bahwa The Art of Listening juga sama penting. Erich Fromm, seorang psikolog, telah membacotkannya secara detail dalam buku dengan judul tersebut. mendengarkan, menurutnya, adalah “sebuah seni seperti halnya memahami puisi” & macam seni lainnya, memiliki aturan, norma, & tekniknya sendiri. perlu diakui banyak dari kita hanya “hearing” bukan “listening”. masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. sebagaimana pernah dilagukan Simon & Garfunkel dalam The Sound of Silence. & tentu, selain itu, jenis mendengar yang buruk adalah tanpa menatap jauh ke dalam pupil mata seorang yang sedang berbicara.

ketiga, bukankah mendengar dengan saksama adalah cara paling sederhana untuk memanusiakan manusia lain? sebab inti dari semua kuliah tentang humanisme adalah soal bagaimana kita belajar mendengar dengan baik, bukan? kita sering kali hanya mendengar untuk menjawab. mendengar dalam cara seperti itu hanya menjadi tindakan formalitas yang berujung pada pemuasan sisi narsisisme dalam diri. semacam masturbasi ego. tidak murni mendengar & menaruh empati dalam bentuk atensi.

dengan demikian, boleh jadi, cara paling ampuh untuk mengukur seberapa banyak empati dalam diri seseorang adalah dengan mencermati bagaimana ia mendengarkan orang lain.

aku berdoa semoga bocah sekira sembilan tahun itu kelak memahami bahwa kita, sebagai manusia, hanya butuh waktu sekitar dua tahun waktu untuk belajar berbicara, tapi butuh puluhan tahun untuk belajar mendengar dengan baik. kapan memasang telinga & membuka mulut.

Tuesday, 3 December 2024

Surat buat Mumu

Kepada MM yang Hmmm...


Bogor, 2 Desember 2024


besar kemungkinan aku benci fakta bahwa kau begitu aku. ini bukan cuma soal kesamaan selera humor atau betapa aku menyukai nasi daun jeruk—begitu pula kau. similaritasnya kuterka lebih palung dari soal-soal dangkal semacam itu. ada perasaan cukup aneh bahwa aku seperti telah mengenalmu setidaknya minimal lima kali reinkarnasi. & semua benang merah yang coba kusimpulkan ini mengarah pada dugaan membagongkan bahwa pertemuan kita kali ini nampak seperti terik matahari pagi memancari sepasang bangkai hyena yang telah mampus hipotermia semenjak dini hari. tertambat tapi barangkali terlambat. itulah mengapa lagu Sober to Death - Car Seat Headrest begitu relevan:


...

you know that good lives make bad stories

you can text me

when punching mattresses gets old

don't think it'll always be this way

not comforted by anything i say

we were wrecks before we crashed into each other


such a good idea

if it turns you on

we have breakdowns (oh, oh, oh)

& sometimes we don't have breakdowns (no, no, no)

i wanna hear you going psycho

if you're going psycho i wanna hear

every conversation just ends with you screaming

not even words, just ah, ah-ah, ah, ahh

...


oh ya, tentu kau bisa membaca ada kesal setinggi gedung swiss-belhotel di raut wajahku. tentang mengapa aku mesti menghabiskan waktu hampir dua puluh lima tahun hanya untuk menemukanmu. seseorang yang punya kewarasan sedikit saja mestilah sepakat bahwa seperempat hidup relatifnya manusia adalah waktu yang amat panjang. banyak yang telah kita lalui. pahit kekalahan, legit kemenangan. kecut air mata, manis tawa bahagia. dari yang porsi jumbo sampai sebesar biji sesawi. tapi mungkin inilah inti dari semua kuliah Eksistensialisme: bahwa sebelum mengukir makna di atas hampa, hidup adalah soal merasai & mengalami beragam warna, bebauan, rasa, kontur, & bebunyian yang ada.


di sisi lain, soal benci, kau mungkin benci fakta bahwa aku terlalu piawai brengseknya menelanjangi pikiran-perasaanmu (meski dalam kondisi-kondisi tertentu, aku hanya berdiam diri & kau dengan senang hati melucuti pikiran-perasaanmu sendiri). 


kau mungkin tahu bahwa secara psikologi sebenarnya tak ada yang betul-betul bisa kita sembunyikan. terlepas dari kebenaran tafsiran, segala sesuatu dapat dibaca & diterjemahkan. kebetulan pula aku tidak terlalu suka membaca kata-kata yang terlontar dari mulutmu. aku lebih suka membaca gestur & bahasa tubuhmu. & itulah mengapa kau benci mendengar hasil tafsiranku yang jarang meleset—lalu tanpa tedeng aling-aling meminta jarak sebab menurutmu aku terlalu dekat. & kau membenci itu. i wish we could've met as kids, & you would love my innocence...


sebelum terlalu Anyer-Panarukan, aku ingin sebentar saja kesurupan Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov & bilang satu hal: maafkan, maafkan aku, maafkan cintaku yang mengganggu kedamaianmu. 


& seperti yang diduga pemirsa, bukan lagu-lagu Beach House atau nuansa film-film Wong-Kar wai yang menyatukan kita berdua—tapi benci. selain the will to power, aku lumayan curiga kebencian adalah energi kuat yang menggerakan dunia ini. & mungkin ia lebih gigan dari cinta. tapi semoga saja tidak. amin.


kembali soal benci, aku juga benci fakta bahwa gelap adalah narkoba golongan satu yang cenderung membikin pengidapnya benci cahaya. gelap di sini, bisa kita artikan sebagai pesimisme akut terhadap sesuatu. sebagai manusia, aku pun pernah gelap. & mungkin masih gelap. tapi kegelapan itu hilang menuju entah ketika aku memandangi hitam pupil matamu selama lebih dari tujuh menit. meski sayangnya gelap di pupil matamu masih bertahan. & aku semakin benci ketika menyadari bahwa aku menemukan pemakaman seratus tuhan di sepasang matamu itu. tuhan-tuhan itu tidak mati tanpa alasan. ia benar-benar mati sebab pernah begitu hidup & dipercayakan sebagai tumpuan atau sandaran sewaktu kau terlampau lelah di masa lampau. 


kalau boleh jujur, aku juga benci bahwa kau habis-habisan mencari cara agar aku begitu membencimu (dalam konotasi negatif). sebuah upaya yang, menurutku, sia-sia. sebab sesuatu dengan lima huruf dalam bahasa Indonesia & empat huruf dalam bahasa Inggris pada hatiku ini begitu besar sampai-sampai menihilkan semua benci—sehingga konsekuensi logisnya adalah ia menjadi selfless love (ya terdengar sangat The Strokes). sebuah rasa yang tak mengenal ego. bicara benci adalah bicara ego, bukan?


bagian paling sintingnya, misalkan kau pernah terpikir untuk mencoba menusuk dada sebelah kiriku menggunakan pisau dapur atau pedang excalibur sekalipun, aku sepertinya tidak akan menangkisnya. justru aku bakal membantumu untuk membenamkannya lebih dalam. omong-omong, paragraf ini kupinjam dari salah satu bagian dari surat Kafka kepada Milena. ruang penciptaan (tulisan, lukisan, musik, & sebagainya) selain memengaruhi-dipengaruhi adalah ruang meminjam-dipinjam.


terakhir, ketika kau (seperti biasa, secara acak bin tiba-tiba) bertanya, “wangi apa yang paling kamu sukai?” & aku menjawab “wangi nafasmu setelah mengisap rokok la ice!”—aku sedang tidak flirting. kau mungkin lupa, aku punya gelar magister penciuman. ribuan bebauan telah kuteliti 5W & 1H-nya. aku jawab begitu, sebab aku menangkap nafas puitis yang menolak habis. dari bebauan unik itu kutemukan Phoenix yang menolak padam & jadi abu. kurasa, melanjutkan hidup pun adalah sebuah seni. lebih-lebih mencoba terbang tinggi kembali setelah berkali terhempas jatuh tentulah sebuah seni tingkat tinggi. secara personal, aku percaya bahwa terus mencoba adalah sebuah seni. setidaknya seni dalam artian tak semua bisa apalagi piawai melakukannya. percayalah, bahkan di galeri yang dipenuhi lukisan-lukisan artsy, aku akan tetap memilih untuk memandangimu.


sebelum ditutup, agaknya perlu digarisbawahi bahwa aku tidak menyayangimu sebab aku menemukan seribu aku di dalam dirimu. atau dengan kata lain, self love. jenis empat huruf yang egoistik seperti disoal Pessoa dalam The Book of Disquiet. tidak. aku menyayangimu, juga boleh jadi sebab kita seperti sepasang tidak asing yang saling menambal lubang-lubang kemalangan masing-masing. dua astronot yang saling bahu membahu membetulkan tabung oksigen masing-masing ketika sesuatu yang buruk terjadi di luar rencana. perhaps two beautiful souls are shaped & smelted by the same ugly experiences. entahlah, hanya Sumedang yang tahu.


satu lagi, sumpah satu lagi, aku bersumpah akan menghilangkan atau minimal mengurangi kesoktahuanku tentang bagaimana pikiran-perasaanmu yang kutelanjangi.


you wanted to be seen

i wanted to cry

my fingers on your skin

your soft lips on my closed eyes


only the sun has come

this close

only the sun


we're alchemists

i touched you like you're

a temple i asked god for

you kissed my soul's window

magicallly my tears become meadow

grow a poetry, a pray

& waterlily from blood mud


we teach the sun a tender way

to say those three words.


Sincerely,

Gerry