Tuesday, 31 December 2024

Boys Don't Cry, Men Do

kita tidak perlu malu dengan air mata kita sendiri.”

—Dickens, Great Expectations (1861) 


salah seorang kawanku, sebut saja G, percaya bahwa “menangis adalah dosa terbesar yang bisa dilakukan lelaki”—sebab menurutnya menjadi tanda paling nyata dari kepincangan-kelemahan. pada mulanya, tolol menjadi satu-satunya kata yang terlontar dari mulutku. tapi kemudian aku mencoba menanam paham bahwa kepercayaan yang dianutnya itu berangkat dari ’maskulinitas toksik’ yang secara halus diamini alam bawah sadarnya. sebab setolol apapun argumennya soal maskulinitas bla bla bla, G hanyalah korban bencana dari sistem patriarki. sebagaimana aku. bedanya G tercuci otaknya, aku tidak.


maskulinitas toksik, sederhananya, adalah versi berbahaya & berlebihan dari sifat-sifat maskulin tradisional. katakanlah mensupresi emosi, memamerkan brutalitas, & menolak apa pun sifat yang secara stereoritipikal dianggap feminin. di titik tertentu, mereka bermetamorfosis menjadi pembenci perempuan (misoginis) & memandang perempuan sebagai objek, bukan subjek. hanya sebagai “lubang pemuas biologis batang”. & sepengamatanku, sekitar tujuh dari sepuluh lelaki di tempatku ngegym punya isi kepala yang kurang lebih seperti ini. sesekali aku bisa tahan bergumul, seringnya aku ingin menjadi sosok yang kubenci dengan cara membuka jok bagasi motorku & mengambil air gun & mengokang & melubangi otak mereka yang menjijikan. i was born to be a villain who kills extremely dumb people, but socially forced to be a good civil.


bagaimana bisa seorang manusia yang dilahirkan dari rahim perempuan bukan batang pohon pisang berakhir menjadi pembenci perempuan? maka aku mencoba mengurai benang kusutnya & darinya lahirlah salah satu simpulan curiga alasan di balik lelaki menjadi begitu misoginis tak lain merupakan kemurkaan tidak masuk akal terhadap fakta bahwa dalam masyarakat saat ini, perempuan memiliki pilihan & salah satu pilihan tersebut adalah menolak berhubungan seks dengan lelaki yang menginginkannya. lelaki bermental tempe & berotak selangkangan seperti ini, tentu, tidak suka jika mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. jadi pada dasarnya, mereka membenci perempuan sebab mereka tidak punya cukup kekuatan untuk bisa mengendalikannya. semacam keputusasaan kekanak-kanakan yang memang lazimnya berakhir dengan naik pitam campur kutuk-mengutuk.


“jika kau belum pernah makan sambil menangis, kau tidak akan tahu seperti apa rasanya hidup.”


—von Goethe


kembali menyoal G, misalkan ia kutub utara, maka aku kutub selatan. persetan halal-haram, aku menilai bahwa menangis adalah privilese manusia sebagai hewan yang punya “hati”. sependek pengetahuanku, menurut konsensus ilmiah saat ini, hewan tidak menangis dalam arti meneteskan air mata emosional seperti yang dilakukan manusia. dengan kata lain, hanya manusia yang memproduksi air mata untuk mengekspresikan emosi, sehingga menangis merupakan sifat unik manusia. sebab meskipun hewan dapat memproduksi air mata untuk melumasi mata mereka, air mata ini tidak terkait dengan tekanan emosional.


secara personal, bisa dibilang, aku adalah tipikal lelaki yang mudah menangis dengan ratusan gaya & ribuan alasan. banyak jalan menuju Roma, banyak pula jalanku untuk meneteskan air mata. aku bisa menangis bukan hanya karena kelilipan, memakan makan pedas, atau sedang mengupas bawang. aku bahkan bisa menangis (hanya karena) membaca puisi yang menurutku begitu palung mariana, mendengar lagu yang begitu magis, menonton film yang begitu emosional, apalagi ditinggalkan perempuan yang begitu kucintai—bahkan melebihi diriku sendiri.


“aku bukanlah übermensch

aku juga bisa nangis

jika kekasih hatiku

pergi meninggalkan aku


ayahku selalu berkata padaku

laki-laki tak boleh nangis

harus selalu kuat harus selalu tangguh

harus bisa jadi tahan banting

...”


—Superman, The Lucky Laki (2009)


& jauh di lubuk hati paling dalam, aku sebenarnya ingin meludahi Sudjiwo ketika ia mengatakan bahwa “tuhan menciptakan tangis perempuan agar lelaki melupakan tangisnya sendiri”. bagiku, kalimatnya ini indah sebagai puisi, berbahaya sebagai landasan berpikir. tangis perempuan adalah milik perempuan. tangis lelaki adalah milik lelaki. memosisikan luapan tangis perempuan hanya sebagai distraksi agar lelaki melupakan tangisnya sendiri cenderung mendegradasi & menginferiorkan nilai tangis perempuan. di sisi lain, seakan-akan tangis laki-laki ada untuk tidak dihiraukan. dalam bahasa tataboga, seolah-seolah tangis perempuan adalah garnis & tangis lelaki adalah main course atau hidangan utama yang tidak boleh dimakan.


di titik kesadaran semacam ini, aku teringat filsuf feminis asal Prancis, de Beauvoir, dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949), katanya: “One who is not born is the Other, but woman”. menurutnya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak & dibentuk. dengan demikian perempuan tertindas & terpenjara sekaligus tertendang dari kursi kesetaraan. tapi terkadang aku merasa, di bawah cengkraman gurita patriaki, lelaki pun tidak terlahir melainkan dibentuk sedemikian rupa & cara. menjadi mesin yang tak akan berbicara, misalnya. itulah mengapa pada titik yang lebih ekstrem, kawanku G menganggap lelaki tidak (seharusnya) bercerita. sebab menurutnya, lelaki yang bercerita itu culun alias cupu binti boti-bencong. 


G, bagiku, adalah satu dari sekian faktor yang berandil besar menyumbang data-statistik delapan puluh persen bunuh diri dilakukan lelaki. aku percaya bahwa yang membikin seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya selain ketiadaan telinga yang bersetia mendengar apapun keluh kesahnya, adalah keengganan untuk membuka mulut & mengeluarkan apa-apa yang terganjal di kerongkongan dalam bentuk bahasa. entah dalam bentuk cerita-cerita sederhana atau tetes air mata menyesakkan dada. 


meski pada beberapa momen, aku ingin mengganti kata ‘marah’ menjadi ’menangis’ dalam buku The Nicomachean Ethics yang ditulis filsuf Yunani, Aristoteles, sehingga kurang lebih menjadi seperti ini: “menangis itu mudah, tetapi menangis pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang cocok, demi tujuan yang benar, & dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”


bagiku, seorang lelaki sejati mestilah sadar bahwa dengan menangis ia menunjukan sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya, alih-alih kerapuhan atau bahkan kegagalan sebuah sistem mesin kesepian yang pada dasarnya didesain untuk terus menerus mengucapkan ‘interlinked’ seperti tokoh K dalam film Blade Runner 2049 (2017) garapan Villeneuve ketika merindukan sosok Joi.


“...

i tried to laugh about it

cover it all up with lies

i tried to laugh about it

hiding the tears in my eyes

'cause boys don't cry

boys don't cry

...”


—Boys Don't Cry - The Cure (1979)


di akhir perbicanganku dengan G, sambil memutar lagu The Cure, ia bilang, “boys don't cry.” aku mengangguk sebanyak tiga kali sebagai upaya menghargai argumen. “boys don't cry, men do.” begitu timpalku kemudian memasang senyum pepsodent. raut wajahnya seakan tidak setuju. “humans don't cry.” tambahnya. “but angels do.” kataku. & raut wajahnya semakin tidak setuju.

Thursday, 19 December 2024

Beberapa Hal yang Bisa Kutulis setelah Tiga Bulan Membership Gym

 

“apa-apa yang hampir membunuhmu, membikinmu ingin pergi ke gym & merobek ototmu.”


—(bukan) Nietzsche

setelah tiga bulan ngegym, aku menyadari sesuatu: gym bukanlah soal melatih biceps atau triceps, tapi melatih accept—tentang menerima & kemudian mengonversi sakit secara mental menjadi sakit secara fisikal. sakit pikiran-perasaan menjadi sakit badan. mengubah masa lalu menjadi massa otot. membakar kalori & ingatan-memori.


kukira begitu. rasa-rasanya begitu. sebab ketika berdiskusi sesuatu yang personal dengan beberapa gymbroku, mereka semua telah/sedang mengalami masalah yang hampir membunuhnya. dari masalah asmara, keluarga, sampai pekerjaan. dari ditinggal nikah, ditinggal ayah, sampai lelah punya atasan yang bajingan. aku curiga bahwa mereka pada dasarnya ingin berdiri di atas kaki mereka sendiri, sebab jika mereka berdiri di atas kaki orang lain maka orang itu akan bilang, “tolong kaki saya sakit.”


& mungkin, para gymbroku pergi ke gym dengan harapan untuk mendistraksi atau bahkan mengubah satu masalah menjadi satu set repetisi tambahan plus satu teriakan panjang yang akan selalu kalah kencang dengan suara musik edm full bass penghancur gendang telinga dari spiker bluetooth di gym. tapi apapun harapannya... yang diangkat tetaplah dumbell terlalu berat biang kerok telapak tangan kapalan.


secara personal gym benar-benar mengubahku. ketika pertama kali datang, berat badanku cuma empat puluh kg (cuma setara toren air merk penguin ukuran dua ribu liter tanpa isi). dengan tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter, tentu berat segitu membikinku nampak sangat tunggu kiris—tak jauh berbeda dengan tiang gawang sepakbola liga tarkam—ketimbang gapura kabupaten. dengan tubuh genetik ectomorph yang kurus kering, aku sadar mesti bulking.


oleh karenanya, berlandaskan motivasi membentuk badan dewa Yunani, aku ngegym enam kali seminggu & makan enam kali setiap hari (dengan porsi seperti seorang kuli Bandung Bondowoso yang akan membangun Candi Prambanan dalam satu malam).


selain itu, setiap hari, aku tak pernah absen untuk mengonsumsi dada ayam & telor rebus sebanyak dua belas butir. dengan asupan protein sesinting itu, bisa kupastikan bahwa misalkan aku kentut, maka baunya lebih menyiksa ketimbang belerang di Kawah Ratu, Gunung Salak (ini serius, bukan lelucon. kalau tak percaya, boleh dicoba). maka tak heran dalam kurun waktu tiga bulan, berat badanku naik signifikan. naik dua belas kilogram. 


gym tidak hanya mengubah secara fisikal, tetapi juga mental. aku menjadi lebih disiplin. katakanlah disiplin untuk tetap pergi menuju tempat gym, meski hujan menghadang & meningkatkan gaya gravitasi kasur penyebab rebahan. aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi ngegym—bahkan jika itu adalah meteor sebesar bus telolet basuri. 


selain itu, aku juga menjadi lebih disiplin untuk menjaga pola makan: menghindari goreng-gorengan & minum minuman dengan kadar gula yang kemungkinan besar bisa memicu diabetes melitus tipe dua dalam kira-kira sepuluh tahun ke depan.  


berkat gym, kini aku sadar bahwa olahraga sama pentingnya dengan olahrasa. aku teringat slogan para guru penjas yang berasal dari pepatah Latin seorang penyair Romawi bernama Juvenal: mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). 


aku juga sadar bahwa badan yang atletis tak pernah bisa dibeli dengan uang. hanya disiplin yang memungkinkannya. meski pada akhirnya, setelah ngegym, aku mendapat masalah baru: body dysmorphia. sebuah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terus menerus mencemasi kekurangan penampilan fisiknya. katakanlah, biceps kurang besar, triceps kurang kekar, shoulder kurang lebar, back kurang doritos (v taper), perut kurang sixpack, chest kurang bidang, legs kurang gigan, & seterusnya.


doms hari ini adalah otot baru esok hari.”

pada akhirnya, seseorang barangkali bertanya: how do you survive your injuries? & aku cuma ingin menjawab: i just kept lifting.

Thursday, 5 December 2024

Dunia yang Terlalu Banyak Mulut

pada suatu sore yang lambat, seorang bocah berumur sekira sembilan tahun, melontar tanya kepadaku: mengapa manusia punya dua telinga tapi hanya satu mulut? 

kemudian aku memberinya dua jawaban—secara logis-saintifik & filosofis—katakanlah demikian: “telinga adalah organ sensorik, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi benda-benda di sekitar. jumlahnya dua agar kita bisa menentukan lokasi benda itu dengan lebih akurat. sebaliknya, mulut tidak memiliki fungsi seperti itu, karenanya, tidak perlu lebih dari satu mulut. dua telinga & satu mulut pada manusia juga merupakan hasil seleksi alam yang memberikan keseimbangan antara persepsi sensorik, komunikasi, & kebutuhan untuk bertahan hidup. kira-kira begitu... kalau filosofisnya begini, kata filsuf yang namanya Epictetus... kita punya dua telinga & satu mulut biar kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak ketimbang berbicara.”

ia hanya mengangguk-ngangguk. seakan diberi pemahaman oleh Kak Gem. sejujurnya, aku malas berlagak sok bijak macam filsuf tua yang ensiklopedis & hidup di tengah hutan belantara. tapi di hadapan bocah, aku tentu tak mau nampak tolol-tolol amat. sebab ketika bocah dulu, aku paling benci ketika berhadapan dengan seorang tua yang ditanya ini tak tahu, itu tak tahu—cuma bilang wallahu a'lam bishawab. & aku bersumpah tidak sudi najis jadi seorang tua yang seperti itu.

bocah yang punya pertanyaan keren itu tentu bakal beranjak dewasa. & barangkali bakal mengetahui alasan di balik mengapa mendengar selalu lebih penting ketimbang berbicara. sebab ketika kita mendengar, kita mendapat informasi baru—sedang ketika berbicara, kita hanya mengulang informasi lama—yang telah kita ketahui sebelumnya. itu pertama.

kedua, selain berbicara, mendengarkan pun adalah seni. kita terlalu terbuai dengan narasi-narasi The Art of Speaking atau The Art of Talking tapi lupa bahwa The Art of Listening juga sama penting. Erich Fromm, seorang psikolog, telah membacotkannya secara detail dalam buku dengan judul tersebut. mendengarkan, menurutnya, adalah “sebuah seni seperti halnya memahami puisi” & macam seni lainnya, memiliki aturan, norma, & tekniknya sendiri. perlu diakui banyak dari kita hanya “hearing” bukan “listening”. masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. sebagaimana pernah dilagukan Simon & Garfunkel dalam The Sound of Silence. & tentu, selain itu, jenis mendengar yang buruk adalah tanpa menatap jauh ke dalam pupil mata seorang yang sedang berbicara.

ketiga, bukankah mendengar dengan saksama adalah cara paling sederhana untuk memanusiakan manusia lain? sebab inti dari semua kuliah tentang humanisme adalah soal bagaimana kita belajar mendengar dengan baik, bukan? kita sering kali hanya mendengar untuk menjawab. mendengar dalam cara seperti itu hanya menjadi tindakan formalitas yang berujung pada pemuasan sisi narsisisme dalam diri. semacam masturbasi ego. tidak murni mendengar & menaruh empati dalam bentuk atensi.

dengan demikian, boleh jadi, cara paling ampuh untuk mengukur seberapa banyak empati dalam diri seseorang adalah dengan mencermati bagaimana ia mendengarkan orang lain.

aku berdoa semoga bocah sekira sembilan tahun itu kelak memahami bahwa kita, sebagai manusia, hanya butuh waktu sekitar dua tahun waktu untuk belajar berbicara, tapi butuh puluhan tahun untuk belajar mendengar dengan baik. kapan memasang telinga & membuka mulut.