Thursday, 5 December 2024

Dunia yang Terlalu Banyak Mulut

pada suatu sore yang lambat, seorang bocah berumur sekira sembilan tahun, melontar tanya kepadaku: mengapa manusia punya dua telinga tapi hanya satu mulut? 

kemudian aku memberinya dua jawaban—secara logis-saintifik & filosofis—katakanlah demikian: “telinga adalah organ sensorik, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi benda-benda di sekitar. jumlahnya dua agar kita bisa menentukan lokasi benda itu dengan lebih akurat. sebaliknya, mulut tidak memiliki fungsi seperti itu, karenanya, tidak perlu lebih dari satu mulut. dua telinga & satu mulut pada manusia juga merupakan hasil seleksi alam yang memberikan keseimbangan antara persepsi sensorik, komunikasi, & kebutuhan untuk bertahan hidup. kira-kira begitu... kalau filosofisnya begini, kata filsuf yang namanya Epictetus... kita punya dua telinga & satu mulut biar kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak ketimbang berbicara.”

ia hanya mengangguk-ngangguk. seakan diberi pemahaman oleh Kak Gem. sejujurnya, aku malas berlagak sok bijak macam filsuf tua yang ensiklopedis & hidup di tengah hutan belantara. tapi di hadapan bocah, aku tentu tak mau nampak tolol-tolol amat. sebab ketika bocah dulu, aku paling benci ketika berhadapan dengan seorang tua yang ditanya ini tak tahu, itu tak tahu—cuma bilang wallahu a'lam bishawab. & aku bersumpah tidak sudi najis jadi seorang tua yang seperti itu.

bocah yang punya pertanyaan keren itu tentu bakal beranjak dewasa. & barangkali bakal mengetahui alasan di balik mengapa mendengar selalu lebih penting ketimbang berbicara. sebab ketika kita mendengar, kita mendapat informasi baru—sedang ketika berbicara, kita hanya mengulang informasi lama—yang telah kita ketahui sebelumnya. itu pertama.

kedua, selain berbicara, mendengarkan pun adalah seni. kita terlalu terbuai dengan narasi-narasi The Art of Speaking atau The Art of Talking tapi lupa bahwa The Art of Listening juga sama penting. Erich Fromm, seorang psikolog, telah membacotkannya secara detail dalam buku dengan judul tersebut. mendengarkan, menurutnya, adalah “sebuah seni seperti halnya memahami puisi” & macam seni lainnya, memiliki aturan, norma, & tekniknya sendiri. perlu diakui banyak dari kita hanya “hearing” bukan “listening”. masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. sebagaimana pernah dilagukan Simon & Garfunkel dalam The Sound of Silence. & tentu, selain itu, jenis mendengar yang buruk adalah tanpa menatap jauh ke dalam pupil mata seorang yang sedang berbicara.

ketiga, bukankah mendengar dengan saksama adalah cara paling sederhana untuk memanusiakan manusia lain? sebab inti dari semua kuliah tentang humanisme adalah soal bagaimana kita belajar mendengar dengan baik, bukan? kita sering kali hanya mendengar untuk menjawab. mendengar dalam cara seperti itu hanya menjadi tindakan formalitas yang berujung pada pemuasan sisi narsisisme dalam diri. semacam masturbasi ego. tidak murni mendengar & menaruh empati dalam bentuk atensi.

dengan demikian, boleh jadi, cara paling ampuh untuk mengukur seberapa banyak empati dalam diri seseorang adalah dengan mencermati bagaimana ia mendengarkan orang lain.

aku berdoa semoga bocah sekira sembilan tahun itu kelak memahami bahwa kita, sebagai manusia, hanya butuh waktu sekitar dua tahun waktu untuk belajar berbicara, tapi butuh puluhan tahun untuk belajar mendengar dengan baik. kapan memasang telinga & membuka mulut.