bayangkan... kau sedang memacu pelan kuda besimu di lajur kiri untuk mengawal motor kawanmu yang disetut oleh kawanmu yang lain sebab kehabisan bensin kemudian di depanmu nampak mobil bak menderek mobil bak lain pakai tali tambang pada tanjakan cukup curam—& seperti yang bisa diharapkan logika—talinya pegat lalu mobil bak yang diderek tersebut remnya blong, mundur keos ke belakang, menghantam motor kawanmu, sehingga motornya oleng lantas menabrak motormu & knalpot motor kawanmu yang panas juga keras hampir mematahkan anklemu.
alur di atas bukanlah alur templat dalam film Final Destination. namun kejadian absurd tujuh hari sebelum hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima. tapi keabsurdan tidak berhenti sampai di situ: ketika kumintai tanggung jawab perihal bagaimana nasib kakiku yang nyeri kepada sopir mobil bak itu, aku menyadari sesuatu, kaki kanan sopir itu buntung.
& begitulah hidup membawaku pada umur seperempat abad: semua serba aneh, penuh komedi gelap, sulit dimengerti.
****
hari ini, aku terbangun dengan perasaan bahwa sekarang aku berdiri di ambang jurang: terlalu muda untuk bijak tapi juga terlalu tua untuk tolol.
jam dinding masih berdetak dengan irama yang sedikit mencurigakan. sebuah amplop tanpa nama tergeletak di bawah pintu. aku membukanya dengan hati-hati. namun, isinya hanyalah selembar kertas kosong. aku tersenyum kecil. sampai detik ini, aku tak yakin apakah aku punya hak untuk mengeluh. jadi aku hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang baru saja diskakmat dalam permainan catur melawan dirinya sendiri.
di hadapan kebingungan, barangkali memang tak ada yang bisa dilakukan selain menertawakan diri sendiri. kata seseorang dalam diriku, seperempat abad adalah kapak tumpul yang menari-nari di atas urat nadi. perpaduan antara harapan yang tertunda & kesialan yang terlalu akrab.
aku membikin secangkir kopi yang terasa pahit, tapi tidak cukup pahit untuk memicu emosi. saat aku duduk, ponselku bergetar. sebuah pesan singkat dari kawan lamaku, “selamat ulang tahun! semoga hidup lembut kepadamu.”
aku membalas dengan tiga buah emotikon jempol, merasa bahwa itu cukup mewakili eksistensiku saat ini.
di luar, dunia berjalan seperti biasa. orang-orang tampak sibuk dengan urusan yang tampaknya mendesak, meskipun aku curiga banyak dari mereka juga sedang berpura-pura mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
di sini, aku bercermin. “jatuhmu tak pernah indah tapi keras kepalamulah,” kataku pelan pada pantulan itu. lingkaran hitam di bawah matanya masih menandai malam-malam panjang. & pening-pening yang tak kunjung hilang di batoknya, pada gilirannya, jadi semacam kerutan kecil di kening.
& untuk sesaat, aku merasa bayanganku tersenyum. atau mungkin hanya ilusi optik.
tapi di tengah pertanyaan tidak penting itu, aku menambahkan satu sendok makan gula pasir pada kopiku & menyadari dua hal yang pasti: setidaknya gula masih manis & aku belum habis.