Showing posts with label cabut. Show all posts
Showing posts with label cabut. Show all posts

Friday, 8 September 2023

Memfafiui Perjudian Duniawi

Dogs Playing Poker (1903) by Cassius Marcellus Coolidge


“hoki/keberuntungan adalah persiapan bertemu dengan kesempatan.”


—Seneca


Semacam Muqadimah


kemarin, seperti biasa, aku bangun lumayan pagi. merapikan kamar. mencuci muka. bikin sarapan. mandi. menyeduh kopi. ngudud sans. duduk di atas kursi berhadapan dengan laptop (untuk mengeditori tulisan di omsky-omsky). tapi ketika aku mengecek ponselku, tepatnya ketika kubuka panel notifikasi—(selain ada pesan yang wholesome & cumil dari sifarryla gautama)—ada watsap yang cukup buatku ngakak. begini isinya: “dua-tiga zeus main sweet bonanza, pinjem dulu seratus ada ga?”.


pesan-cum-pantun itu berasal dari kawanku (yang punya kebencian ideologis terhadap Rhoma Irama). sebagai catatan, manusia berkepribadian babi hutan ini adalah orang yang sama, yang setiap tiga hari sekali bertanya apakah m-bankingku ada saldonya atau tidak. karena malas menanggapi, aku sekadar membaca pesannya. 


kemudian aku kembali fokus pada laptopku. memilah-memilih puisi yang akan diterbitkan hari ini. namun, entah kenawhy kedua mataku malah mendarat pada sebuah tulisan tentang judol & hubungannya dengan konsep Homo Ludens à la Johan Huizinga sebanyak kira-kira seribu kata. aku melahapnya dengan teknik membaca cepat. hmmm... ok juga, batinku. menarik, edukatif, & reflektif. lantas dengan lekas aku membuka aplikasi ibis paint x & dada (dada ini nggak ada hubungannya sama dadaisme gerakan seni avant-garde Eropa pada awal abad ke dua puluh) demi membuatkan ilustrasinya. & voilà ini tulisannya: Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online (klik aja yaw).


Opinique soal Judi


“barangkali, perjudian tak sekadar soal uang atau peluang. mungkin soal sensasi dari sebuah risiko. kenikmatan hormonal. deru adrenalin yang lezat—di balik tarik-menarik—antara buai kenyamanan & beban tantangan. mesti digarisbawahi bahwa judi menawarkan seduksi yang aneh. memungkinkan seseorang—rela mempertaruhkan kestabilan-posisinya—demi kestabilan lain yang lebih ideal. meskipun besar kemungkinan ia tahu—alih-alih mantap jackpot kamerad—berjudi bakal bikin rungkad. entahlah... terkadang, aku malah curiga kalau bermain judi hanya semacam all in (kemenyerahan dalam bentuk lain) di atas pertaruhan yang tak bisa dipilih sama sekali; hidup, dilahirkan.”


—Genrifinaldy, 23, pengamat slot (bukan pemain)


ya, sedikit banyak aku sepakat dengan Huizinga & konsep Homo Ludens-nya. dalam dua esaiku yang telah terbit di Kumparan (judulnya, “Homo Homini Hadeuh” & “Yang Enak dari Menjadi Anak-anak”) pun aku menyinggung sedikit soal manusia sebagai makhluk yang senang bermain & mengafirmasinya. mungkin memang begitu, manusia suka bermain-main (bahkan, dalam artian serius). misalnya dengan bahasa, bebunyian, warna, sampai risiko. oleh karenanya, aku hampir selalu memandang perjudian duniawi sebagai sesuatu yang natural & manusiawi... tapi kompleks. tidak hanya tentang seorang pecundang yang menunggu Zeus turunkan x lima ratus dari puncak Gunung Olympus. in other words, tidak sesederhana kepingin tajir melintir secara instan. mengapa judi itu rumit? utamanya mungkin karena ia kadung mendarah-daging aka membudaya (& mungkin telah meresap jadi “DNA”) dalam hampir setiap sendi-sendi kehidu-fun manusia. hasrat untuk berjudi, secara personal, bahkan telah hadir sebelum permainan judi menjadi sebuah budaya dalam suatu komunitas masyarakat.


sependek pengetahuanku yang cetek, beberapa sejarawan-antropolog berani mengklaim bahwa praktik yang bisa diindikasikan dengan perjudian-pertaruhan alias tindakan mengambil risiko sudah ada setidaknya semenjak periode Paleolitikum—zaman batu tua.


tapi secara umum kronologisnya kira-kira begini: dadu bersisi enam pertama ditemukan di Mesopotamia sekitar tahun tiga ribu SM (didasarkan pada permainan astragali kuno); selama milenium pertama SM, terdapat rumah perjudian di Tiongkok (di mana penduduk setempat bertaruh pada segala jenis aktivitas, termasuk ngadu binatang yang mungkin merupakan cikal bakal sabung ayam; tahun 1600-an, kasino pertama lahir di Italia; tahun 1800-an, rumah perjudian menjadi lebih umum di Eropa & menjamur di AS; pada 1850, mesin slot pertama ditemukan; pada tahun 2000, judi online menjadi industri bernilai miliaran dolar; penemuan smartphone pada medio 2000-an pun membuka akses perjudian ke dalam genggaman tangan dari tahun 2010 hingga saat ini.


dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, judi berevolusi sedemikian rupa & cara. dari, katakanlah, bertaruh bintang mana di atas sana yang akan jatuh pertama menjadi bintang mana yang akan ditembak Princess Starlight—atau, domba Garut mana yang menang dalam adu domba menjadi singa mana dalam Five Lions yang akan memberikan lebih banyak perkalian & menghasilkan cuan. secara definitif, sama saja, sama-sama meraba-raba kemungkinan. bermain probabilitas. dalam bahasa Sunda, ngala sugan. 


masalahnya, seperti yang dikatakan Puzairi dalam esainya yang kueditori, ada semacam kestagnanan pada upaya memafhumi judi secara komprehensif; karena diskursus sosial terlampau sering menggunakan pendekatan normatif. sehingga pada akhirnya, judi cuma dipahami sebagai tindakan tolol seorang berkepribadian minus akhlaknya. bahwa berjudi artinya melawan hukum negara & berdosa secara agama. titik. pendekatan semacam ini, menurutku, tak akan pernah menjawab persoalan fundamental, misalnya, mengapa orang nyandu berjudi. perjudian duniawi bukan soal bermoral atau amoral. perlu dipertegas lagi, judi merupakan produk budaya (atau boleh jadi anak dari kegabutan-kebosanan menyebalkan yang melahirkan keinginan untuk mencari tantangan). kita mesti memandang judi lebih “psikologis” ketimbang “agamis”, atau lebih “antropologis” ketimbang “moralis”. melampaui good & evil, saint & sinner. anjir, bau Nietzsche.


Pascal's Wager


lagi pula, the truth is... mereka yang menghukumi-mencap buruk para penjudi (khususon ila ruhi kaum si paling religius) juga berjudi. mungkin mereka lupa, bahwa mereka juga mempertaruhkan-menjudikan sesuatu. setidaknya, dalam konteks Pascal's Wager (Taruhan Pascal)—istilah yang difafifukan Blaise Pascal dalam bukunya Pensées (1669): bahwa jika keberadaan tuhan tak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa tuhan itu ada, toh tidak ada ruginya, bahkan meningkatkan potensi masuk surga. kalau tuhan ada & kita tak percaya eksistensinya, maka pasti masuk neraka.


tidak rugi bagaimana? ya rugilah. ngabisin waktu. gambling anying. selain itu, pertanyaanku sederhana, tuhan yang mana? surga yang mana? neraka yang mana? agama yang mana? bayangkan... dari sekitar delapan belas ribu tuhan mereka bertaruh pada satu tuhan saja. itu kalau mereka monoteis, kalau politeis ya lebih dari satu. tapi kalaupun mereka bertaruh pada tiga, lima, tujuh, atau sembilan tuhan pun jumlah tersebut tetap tidak ada apa-apanya dibandingkan delapan belas ribu. persentasenya kecil. kemungkinan benar-tepatnya, secara matematis, bisa dibilang mungil. emg bole seberjudi itu?


yang lebih gila, mereka tak sekadar mempertaruhkan harta... tapi hampir semuanya, termasuk juga lifestyle (yang tak ternilai harganya) & kebebasan dari hidup yang sementara. mereka yang sering memandang hina para penjudi, nyatanya, bertaruh pada samawi. maka, Pascal's Wager, kupikir... lebih judi dari membeli scatter yang berisi lima belas kali putaran & berharap semoga minimal lima kali petir Zeus menyambar-nyambar mengenai pecahan yang didapatkan.


Epilog


sesekali aku berpikir, menjalani hidup tidak jauh-jauh dari rasa percaya & pertaruhan. antara ketidakpastian yang niscaya & kefetishan pada yang pasti-pasti saja. tapi apa yang pasti? mati, yang konon pasti saja, tidak kita ketahui kapan datangnya. mungkin apa yang dibacotkan Aldous... pun juga Bukowski dalam bukunya, Notes of a Dirty Old Man (2001), benar adanya: jika kau tak berjudi, kau tidak akan pernah menang.


sebuah totalitas. kalah ya kalah sekalian. menang ya menang sekalian. namun, hanya karena aku mengutip kutipan tersebut bukan berarti aku berhasrat menjustifikasi perjudian duniawi (khususnya, judol). mm aja, sih. maneh-maneh. eh, masing-masing. nyelot atau tidak itu terserahmu. intinya satu, gak ganggu ternak warga.


yang jelas, aku hanya memberikan perspektif lain: barangkali kita semua penjudi tapi beda taruhannya saja. ada yang iman, harta, waktu, & sebagainya.


bertaruh pada api

kuharap takkan mati

tapi sial, ini padam & tak terang


percuma

oh-oh

percuma

oh-oh, oh-oh

...


—Dongker - Bertaruh Pada Api (2022)


kalau kata de Beauvoir sih jangan bertaruh pada api. jangan pula bertaruh pada masa depan. mending bertindaklah hari ini. sangat carpe diem. dah ah, shadaqallahul adzhim.

Wednesday, 28 June 2023

Memfafifui Kandinsky

Composition X (1939) by Wassily Kandinsky
“seorang pelukis, yang tak menemukan kepuasan dalam seni representatif, betapapun artistiknya, dalam kerinduannya untuk mengekspresikan kehidupan batinnya, pasti iri dengan kemudahan musik, seni yang paling non-materi saat ini, dalam mencapai tujuan ini. sehingga pada akhirnya, ia secara alami berusaha menerapkan metode musik pada seninya sendiri. & hasilnya, timbul keinginan modern untuk menghadirkan ritme dalam lukisan, apa-apa yang matematis, sebuah konstruksi abstrak, nada-nada warna yang berulang, untuk mengatur warna dalam gerakan.”
—Kandinsky, Concerning the Spiritual in Art (1912)
aku tak mau berbohong. ada alasan ideologis mengapa aku menggilai karya-karya Kandinsky. tapi tak sekadar bersimpati pada gerakan Bolshevisme berbau Marxis-Leninis. percayalah... aku tak sekomunis itu, sayangku. sederhananya, jika Mang Ucok Homicide dalam lagunya Puritan (God Blessed Fascist) menyatakan “fasis yang baik adalah fasis yang mati”—aku beranggapan bahwa fasis yang buruk adalah fasis yang “nyeni”... & Wassily Kandinsky secara gagah-berani menantang Fasisme dengan/dalam karya seni. lukisannya yang berjudul The Blue Rider (basa Toni Kross: Der Blaue Reiter) bahkan dijadikan semacam bendera pemberontakan atas Entartete Kunst (label Partai Nazi pada jenis seni yang tak mereka setujui—dalam upaya mengontrol seni di bawah kendali mereka) pada masa Hitler yang tangan besi. 

tak berhenti sampai di situ, bersama Franz Marc, judul lukisannya itu pun dipilih sebagai nama sebuah gerakan seni pada tahun 1911-an—yang berisi seniman-seniman avant-garde (termasuk Paul Klee) yang tinggal di Munich. kebangkitan Fasisme di awal abad ke-20, faktanya, memang berdampak besar pada lanskap artistik. seperti yang telah disinggung sedikit di atas, rezim fasis berhasrat mengontrol visual hingga tataran estetik & menggunakannya sebagai alat propaganda ideologi nasionalistik. konsekuensi logisnya, seniman yang tak sejalan dengan narasi fasis (misalnya, Kandinsky, yang kelak dijuluki Bapak Seni Abstrak) ya disikat dong bestie xixixixi. dengan kata lain, seni abstrak ibarat bunga teratai yang menyebul di atas lumpur pengekangan.

dalam bukunya, yang terbit pada tahun 1912—Concerning the Spiritual in Art—ia menulis bahwa seni seharusnya tak hanya representasional, tetapi juga harus berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas & kedalaman emosi manusia melalui penerimaan atas apa-apa yang abstrak, seperti halnya musik. ia melanjutkan, “warna secara langsung memengaruhi jiwa. warna adalah tuts, mata adalah palu, jiwa adalah piano dengan banyak senar. seniman adalah tangan yang memainkan, menekan kunci secara sengaja, demi menimbulkan getaran dalam jiwa”. Kandinsky bahkan menciptakan sepuluh lukisan yang dinamai Composition (yang paling terkenal nomor VIII) yang mengeksplorasi hubungan antara seni lukis & musik. penggunaan warna yang berani dalam banyak lukisannya, secara interpretatif, pun berusaha membangkitkan perasaan batin ketimbang memvisualkan objek yang dapat dikenali (wicis, figuratif/imitatif). karya-karyanya yang cenderung non-figuratif/non-representatif menantang konvensi artistik tradisional & mencoba membuka kemungkinan ekspresi-ekspresi artistik yang baru.

barangkali itulah mengapa, ketika aku melihat lukisan-lukisan Kandinsky rasanya seperti ada burung elang yang lepas dari sangkar kepalaku. lukisan Transverse Line, misalnya, sesekali mengingatkanku pada tujuan seni menurut Camus. dalam bukunya pada tahun 1944—Resistance, Rebellion, and Death—bokapnya Sisifus menulis bahwa tujuan seni adalah untuk meningkatkan dosis kebebasan. ledakan-ledakan kebebasan pada lukisan-lukisan abstrak, pada gilirannya, juga mengingatkanku pada kredo Deidara (salah satu tokoh dalam serial Naruto): seni adalah ledakan! (yang dikutipnya langsung dari seniman abstrak asal Jepun, Tarō Okamoto). 

kembali pada Fasisme, sejujurnya, (ini curhat) aku masih tak mengerti mengapa dalam serial La Casa de Papel para perampok Banco de España itu secara teatrikal menyanyikan Bella Ciao yang notabene merupakan anthem perlawanan para Mondina (pekerja perempuan di Italia abad 19 akhir hingga awal abad 20-an yang melawan Nazisme & Fasisme) sambil memakai topeng Salvador Dalí (yang jelas-jelas terobsesi dengan dua ideologi problematik itu). sangat tunggu kiris, alias teu ngarti... how can standar ganda kitu anying. lupakan. terserah Álex Pina sang penulis cerita, sih.

meskipun demikian, secara luas, aku tetap menyukai Surealisme... misalnya lukisan-lukisan karya René Magritte (The Lovers, Golconda, La Clairvoyance), Frida Kahlo (Viva la Vida, Watermelons), Kay Sage (Le Passage, The Fourteen Daggers, Journey to Go), Raymond Douillete (La Musique des Sphères, L'Âme du Musicien), Pablo Picasso (Les Demoiselles d’Avignon, Guernica, The Old Guitarist; eh, dia Surealis gak sih?), hingga Hieronymus Bosch (Ascent of the Blessed, The Garden of Earthly Delights) yang lebih cocok digolongkan sebagai seniman Proto-Surealisme. sebab, kurasa, Surealisme bukan hanya sekadar aliran seni, tetapi juga sebuah perspektif. & seperti banyak surealis yang dipengaruhi psikoanalisis-nya Freud, aku percaya bahwa “pikiran rasional” merepresi kekuatan imajinasi & potensi kebaruan. maka, pada titik tertentu, aku cenderung berhasrat mendobrak apa-apa yang tabu serta mengolok-olok gambaran-gambaran ideal nan usang.

oh ya, Surealisme juga konon mereperesentasikan posisi politik: antara Trotskyis, komunis, atau anarkis. maka mesti diakui & digarisbawahi bahwa sepanjang sejarah, seni hampir selalu menjalin hubungan gelap dengan iklim politik & corak sosial di ruang-waktu ia dilahirkan. katakanlah... seni Renaissance yang seperti berusaha “menggali akar kembali”... menangkap pengalaman individu & serta keindahan dari misteri alam (yang bisa dibilang merupakan ekspresi politis dari tradisi Yunani-Romawi klasik)—selain karena memang zaman itu diwarnai oleh penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan & cukup banyak mitos-mitos berhasil didemistifikasi. atau Neo-Impresionisme yang sangat terkait dengan ide-ide politik, terutama Anarkisme. atau Romantisisme yang muncul sebagai respons kekecewaan terhadap nilai-nilai Pencerahan & “kemapanan” setelah Revolusi Prancis tahun 1789.

atau... Bauhaus, sekolah desain revolusioner yang didirikan di Jerman pada sekitar tahun 1919. gerakan yang dipelopori Walter Gropius ini memainkan peran penting dalam membentuk lintasan seni & corak desain modern. & voilà, Bauhaus berhasil menciptakan bahasa visual baru yang selaras dengan dunia industri. & Kandinsky bergabung dengan Bauhaus pada tahun 1922, membawa keahliannya dalam teori warna & ke institusi inovatif ini. sebelum nyemplung ke Bauhaus, Kandinsky sudah dikenal dengan idealismenya. ia bahkan tak sangsi mengungkapkan bahwa ke-fetish-an para pelukis figuratif terhadap bentuk telah menghisap habis sisi liar imajinasi & lukisan beralih menjadi sekadar teori tentang sudut pandang.

di sisi lain, seni tak pernah gagal membuatku geleng kepala. ada banyak mengapa. aku tekskan tiga dulu saja. mengapa lukisan-lukisan ekspresionisme abstrak-nya Pollock yang lebih terlihat seperti muntahan kucing dengan mulut berisi cat akrilik ketimbang karya seni—& lukisan-lukisan Rothko yang lebih terlihat seperti buku pantone di toko matrial-matrial dekat rumahku—selalu laku terjual mahal? atau mengapa ada orang sinting yang dengan senang hati membeli tahi kalengan sebanyak 30 gram seharga US$ 242 ribu dari seseorang bernama Piero Manzoni? terlepas dari apapun alasannya otakku yang tumpul ini tetap tak bisa menerimanya.

selain berhubungan dengan politik, kupikir... bahwa aliran seni lukis tertentu berhubungan dengan aliran musik tertentu. album The Strokes terbaru, The New Abnormal (2020) yang sampul albumnya menggunakan karya JM Basquiat - Bird on Money yang dilukis pada tahun 1981. Julian Casablancas & Basquiat barangkali memiliki semacam spirit yang sama, atau perspektif yang sama, atau kekesalan yang sama, dalam bagaimana memandang “kekolotan”. & hal ini tercerminkan dengan gamblang di lagu yang berjudul The Adults Are Talking. silakan dengarkan & resapi liriknya.

mungkin sekian. mesti ditutup sebelum ngalor-ngidul tak karuan. mari kita tutup dengan kuots.

“karya seni sejati lahir dari 'seniman': ciptaan yang misterius, penuh teka-teki, & mistis. yang melepaskan diri dari senimannya, memperoleh kehidupan otonom, menjadi kepribadian, subjek independen, dijiwai dengan nafas spiritual, subjek hidup dari keberadaan yang nyata.”
Kandinsky

Saturday, 17 December 2022

Membacoti Fenomena Beauty and the Beast

“I often stood in front of the mirror alone, wondering how ugly a person could get.” 

—Bukowski, Ham on Rye (1982)
kira-kira 3 tahun lalu, aku menangkap “keabsurdan” ini, mencoba menuliskannya,  tapi draft tulisan ini tak pernah sempat kuselesaikan. sengaja kugunakan diksi ‘keabsurdan’, sebab menurutku, adalah absurd untuk menyaksikan langsung kisah fiksi à la Disney (insert alunan piano Tchaikovsky) terjadi di kehidupan nyata. ya, ceracau ini perihal Beauty and the Beast yang semakin menjamur & telah menjadi fenomena. aku ngakak (dalam tendensi kagum, bukan merendahkan) & sedikit “tergelitik” ketika melihat begitu banyak perempuan (yang menurutku) “cantik” berpasangan dengan lelaki yang (mohon maaf, aku harus jujur) “burik & tak-instastoryable”. di sisi lain, kupikir, sah-sah saja semisal ada perempuan “cakep” berpacaran dengan lelaki “budug”, ya terserah mereka. lagipula preferensi pasangan setiap orang begitu kompleks, subjektif, & tak akan dipahami seseorang selain dirinya.

aku juga tak mau body shaming, tak mau meneruskan stigmatisasi ini buruk rupa itu rupawan bla-bla-bla, atau secara brutal mengungkapkan raw truth bahwa dicap tak-cakep secara kolektif adalah buruk & merupakan malapetaka. sialnya, fakta sosial di lapangan secara tak langsung mengatakan: bila kau good-looking, maka kau “aman”—seminimal-minimalnya dari hujatan. aku paham, sungguh sangat pantek untuk mengarungi samudera fakta bahwa dunia jelek ini tak pernah adil & ramah bagi mereka yang tak-good-looking, memang.

aku sebetulnya penasaran dengan mengapa kita begitu terobsesi dengan visual—lantas aku membaca-baca, & menemukan... katanya Pinker, penulis buku sains populer “How the Mind Works”, juga seorang psikolog, & ilmuwan di bidang kognitif—“manusia adalah makhluk visual”, & dari hasil riset-penelitian ditemukan: manusia memproses data visual lebih baik ketimbang bentuk data lainnya; otak manusia memproses gambar 60.000 kali lebih cepat ketimbang teks—& 90% informasi yang dikirimkan ke otak berbentuk visual. maka, konsekuensi paling logisnya adalah bahwa ungkapan “visual itu tak penting”, “jangan melihat dari visualnya” atau ungkapan-ungkapan lain yang bernada seperti mencoba menegasikan aspek visual, mungkin, hanya mengandung kebenaran saintifik sebesar 10%—bila berangkat dari paradigma ini.

di paragraf ini, aku langsung teringat dengan kuots filosofis sekaligus puitis tapi cukup klise: “jika wujud/fisik/penampilan adalah yang paling utama, bagaimana kau mencintai tuhan yang tak terindera mata?”. di lain sisi, aku juga kesal mendengar petuah usang & kuno: “jangan menilai buku dari sampulnya”. aku kesal karena membayangkan bagaimana jika di multiverse lain... aku adalah seorang desainer sampul buku, yang telah mendesain dengan susah payah, & kemudian pada suatu pagi yang absurd seorang tolol dengan selera seni yang buruk melisankan petuah menyebalkan itu tepat di depan mukaku. mungkin, kemungkinan terbesar setelahnya adalah bogem mentah mendarat tepat di wajah seorang naif itu. menurutku, kita pasti menilai sesuatu dari visualnya terlebih dahulu.

kembali pada Beauty and the Beast, aku sering menemukan konten audio-visual (video) yang berisi fenomena tersebut & ketika kubuka kolom komentarnya hampir selalu kutemukan kalimat-kalimat satir atau sarkas, misalnya: “anjir, cowonya magrib #minimalmandi”, “spill dukun”, “cewenya hoki banget (pedahal, cowonya jelek)”, “terus kembangkan, ubahlah cacian jadi ancaman pembunuhan”, “peletnya kuat”, & lain sebagainya. sejujurnya, aku kasihan & bersimpati kepada para lelaki yang diidentifikasi (secara sosial) jelek tersebut. & jika Sartre hidup di +62 mungkin dia akan mengemukakan: “Netizen adalah Neraka”. jancok pisan.

kendati ada acuan dari golden ratio (rasio emas), lengkap dengan satuan matematis untuk melihat-mengukur seberapa estetik/cantik/perfek (& simetris) wajah seseorang—di sisi lain, aku sungguh tak tahu bagaimana menilai secara absolut & presisi wajah yang “cantik” & “tampan” itu seperti apa pastinya. walau demikian, “jelek” itu mutlak, kurasa. ini agaknya sulit untuk dibahasakan... mungkin ini adalah masalah bahasa dalam terma Wittgenstein, seorang filsuf ngaruh dalam filsafat bahasa, bahwa “apapun yang kutekskan di sini, tak akan mampu untuk melampaui batasan-batasan mendasar dari bahasa manusia & tak akan mendedahkan apa-apa, kecuali pecahan-pecahan makna yang ingin kusampaikan—sementara kau, sebagai pembaca, hanya akan memahaminya melalui kerangka linguistikmu (yang mungkin saja terbatas)”.

walaupun pusing banget ya Allah, kepalaku mencari benang merah antara fenomena membagongkan ini dengan peribahasa Latin dari drama Latin berjudul “Phormio” karya Publius Terentius Afer (di Barat lazim disebut Terence), dramawan komedi era Republik Romawi—peribahasa yang juga dikutip Cicero, negarawan Romawi kuno dalam bukunya “Tusculan Disputations”: Fortis Fortuna Adiuvat (keberuntungan berpihak pada pemberani). Publius Vergilius Maro aka Virgil (tanpa van Dijk), pujangga kenamaan masih dari Romawi, dalam karyanya “Aeneid”—menulis peribahasa ini dengan ‘Audentis Fortuna Iuvat’. jika ditarik ke konteks perbucinan duniawi, khususnya masa kini, ada benarnya juga: si cantik yang wangy bukan milik si tampan yang cupu, tetapi milik si jelek yang pemberani/percaya diri.

aku tahu ini nampak kocak gemink, tapi menurutku, cara paling buruk untuk dicintai adalah atas dasar kecantikan-ketampanan—sehingga seseorang yang dicintai bukan karena kecantikan-ketampanan semestinya berbahagia, sebab ia dicintai karena sesuatu hasil dari usaha-perjuanganya bukan karena sesuatu yang sifatnya (lebih besar) genetik-bawaan-diwariskan. bagiku, seburuk-buruknya perempuan, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kecantikan & seburuk-buruknya lelaki, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kekayaan. 

terakhir, satu yang luput dari Beauty and the Beast, adalah fakta membagongkan (yang tak terbantahkan) bahwa meskipun sang pangeran memiliki fisik dari gabungan hewan-hewan liar nan buruk rupa—surai singa, kepala kerbau, dahi gorila, gading babi hutan, kaki & ekor serigala, & tubuh beruang—tapi ia memiliki istana.

Marx-Engels, duet filsuf, pakar ekonomi, & sosiolog itu sekali lagi benar... Determinisme Ekonomi (ekonomi adalah kekuatan, perilaku manusia dimotivasi oleh alasan-alasan ekonomi, & manusia akan dihargai bila mapan secara finansial) itu valid adanya & memainkan peranan kunci dalam relasi seorang manusia dengan manusia lainnya (termasuk pada konteks perbucinan duniawi). pada titik tertentu, seorang tak-good-looking tapi good-rekening, akan menang melawan seorang good-looking tapi tak-good-rekening.

anjing.

“If you think something is ugly, look harder. Ugliness is just a failure of seeing.”

—Haig, The Humans (2013)