Showing posts with label ceracau. Show all posts
Showing posts with label ceracau. Show all posts

Thursday, 27 March 2025

Dua Puluh Lima

bayangkan... kau sedang memacu pelan kuda besimu di lajur kiri untuk mengawal motor kawanmu yang disetut oleh kawanmu yang lain sebab kehabisan bensin kemudian di depanmu nampak mobil bak menderek mobil bak lain pakai tali tambang pada tanjakan cukup curam—& seperti yang bisa diharapkan logika—talinya pegat lalu mobil bak yang diderek tersebut remnya blong, mundur keos ke belakang, menghantam motor kawanmu, sehingga motornya oleng lantas menabrak motormu & knalpot motor kawanmu yang panas juga keras hampir mematahkan anklemu. 


alur di atas bukanlah alur templat dalam film Final Destination. namun kejadian absurd tujuh hari sebelum hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima. tapi keabsurdan tidak berhenti sampai di situ: ketika kumintai tanggung jawab perihal bagaimana nasib kakiku yang nyeri kepada sopir mobil bak itu, aku menyadari sesuatu, kaki kanan sopir itu buntung.


& begitulah hidup membawaku pada umur seperempat abad: semua serba aneh, penuh komedi gelap, sulit dimengerti. 


****


hari ini, aku terbangun dengan perasaan bahwa sekarang aku berdiri di ambang jurang: terlalu muda untuk bijak tapi juga terlalu tua untuk tolol. 


jam dinding masih berdetak dengan irama yang sedikit mencurigakan. sebuah amplop tanpa nama tergeletak di bawah pintu. aku membukanya dengan hati-hati. namun, isinya hanyalah selembar kertas kosong. aku tersenyum kecil. sampai detik ini, aku tak yakin apakah aku punya hak untuk mengeluh. jadi aku hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang baru saja diskakmat dalam permainan catur melawan dirinya sendiri. 


di hadapan kebingungan, barangkali memang tak ada yang bisa dilakukan selain menertawakan diri sendiri. kata seseorang dalam diriku, seperempat abad adalah kapak tumpul yang menari-nari di atas urat nadi. perpaduan antara harapan yang tertunda & kesialan yang terlalu akrab.


aku membikin secangkir kopi yang terasa pahit, tapi tidak cukup pahit untuk memicu emosi. saat aku duduk, ponselku bergetar. sebuah pesan singkat dari kawan lamaku, “selamat ulang tahun! semoga hidup lembut kepadamu.”


aku membalas dengan tiga buah emotikon jempol, merasa bahwa itu cukup mewakili eksistensiku saat ini.


di luar, dunia berjalan seperti biasa. orang-orang tampak sibuk dengan urusan yang tampaknya mendesak, meskipun aku curiga banyak dari mereka juga sedang berpura-pura mengerti apa yang sebenarnya terjadi.


di sini, aku bercermin. “jatuhmu tak pernah indah tapi keras kepalamulah,” kataku pelan pada pantulan itu. lingkaran hitam di bawah matanya masih menandai malam-malam panjang. & pening-pening yang tak kunjung hilang di batoknya, pada gilirannya, jadi semacam kerutan kecil di kening.


& untuk sesaat, aku merasa bayanganku tersenyum. atau mungkin hanya ilusi optik. 


tapi di tengah pertanyaan tidak penting itu, aku menambahkan satu sendok makan gula pasir pada kopiku & menyadari dua hal yang pasti: setidaknya gula masih manis & aku belum habis.

Tuesday, 31 December 2024

Boys Don't Cry, Men Do

kita tidak perlu malu dengan air mata kita sendiri.”

—Dickens, Great Expectations (1861) 


salah seorang kawanku, sebut saja G, percaya bahwa “menangis adalah dosa terbesar yang bisa dilakukan lelaki”—sebab menurutnya menjadi tanda paling nyata dari kepincangan-kelemahan. pada mulanya, tolol menjadi satu-satunya kata yang terlontar dari mulutku. tapi kemudian aku mencoba menanam paham bahwa kepercayaan yang dianutnya itu berangkat dari ’maskulinitas toksik’ yang secara halus diamini alam bawah sadarnya. sebab setolol apapun argumennya soal maskulinitas bla bla bla, G hanyalah korban bencana dari sistem patriarki. sebagaimana aku. bedanya G tercuci otaknya, aku tidak.


maskulinitas toksik, sederhananya, adalah versi berbahaya & berlebihan dari sifat-sifat maskulin tradisional. katakanlah mensupresi emosi, memamerkan brutalitas, & menolak apa pun sifat yang secara stereoritipikal dianggap feminin. di titik tertentu, mereka bermetamorfosis menjadi pembenci perempuan (misoginis) & memandang perempuan sebagai objek, bukan subjek. hanya sebagai “lubang pemuas biologis batang”. & sepengamatanku, sekitar tujuh dari sepuluh lelaki di tempatku ngegym punya isi kepala yang kurang lebih seperti ini. sesekali aku bisa tahan bergumul, seringnya aku ingin menjadi sosok yang kubenci dengan cara membuka jok bagasi motorku & mengambil air gun & mengokang & melubangi otak mereka yang menjijikan. i was born to be a villain who kills extremely dumb people, but socially forced to be a good civil.


bagaimana bisa seorang manusia yang dilahirkan dari rahim perempuan bukan batang pohon pisang berakhir menjadi pembenci perempuan? maka aku mencoba mengurai benang kusutnya & darinya lahirlah salah satu simpulan curiga alasan di balik lelaki menjadi begitu misoginis tak lain merupakan kemurkaan tidak masuk akal terhadap fakta bahwa dalam masyarakat saat ini, perempuan memiliki pilihan & salah satu pilihan tersebut adalah menolak berhubungan seks dengan lelaki yang menginginkannya. lelaki bermental tempe & berotak selangkangan seperti ini, tentu, tidak suka jika mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. jadi pada dasarnya, mereka membenci perempuan sebab mereka tidak punya cukup kekuatan untuk bisa mengendalikannya. semacam keputusasaan kekanak-kanakan yang memang lazimnya berakhir dengan naik pitam campur kutuk-mengutuk.


“jika kau belum pernah makan sambil menangis, kau tidak akan tahu seperti apa rasanya hidup.”


—von Goethe


kembali menyoal G, misalkan ia kutub utara, maka aku kutub selatan. persetan halal-haram, aku menilai bahwa menangis adalah privilese manusia sebagai hewan yang punya “hati”. sependek pengetahuanku, menurut konsensus ilmiah saat ini, hewan tidak menangis dalam arti meneteskan air mata emosional seperti yang dilakukan manusia. dengan kata lain, hanya manusia yang memproduksi air mata untuk mengekspresikan emosi, sehingga menangis merupakan sifat unik manusia. sebab meskipun hewan dapat memproduksi air mata untuk melumasi mata mereka, air mata ini tidak terkait dengan tekanan emosional.


secara personal, bisa dibilang, aku adalah tipikal lelaki yang mudah menangis dengan ratusan gaya & ribuan alasan. banyak jalan menuju Roma, banyak pula jalanku untuk meneteskan air mata. aku bisa menangis bukan hanya karena kelilipan, memakan makan pedas, atau sedang mengupas bawang. aku bahkan bisa menangis (hanya karena) membaca puisi yang menurutku begitu palung mariana, mendengar lagu yang begitu magis, menonton film yang begitu emosional, apalagi ditinggalkan perempuan yang begitu kucintai—bahkan melebihi diriku sendiri.


“aku bukanlah übermensch

aku juga bisa nangis

jika kekasih hatiku

pergi meninggalkan aku


ayahku selalu berkata padaku

laki-laki tak boleh nangis

harus selalu kuat harus selalu tangguh

harus bisa jadi tahan banting

...”


—Superman, The Lucky Laki (2009)


& jauh di lubuk hati paling dalam, aku sebenarnya ingin meludahi Sudjiwo ketika ia mengatakan bahwa “tuhan menciptakan tangis perempuan agar lelaki melupakan tangisnya sendiri”. bagiku, kalimatnya ini indah sebagai puisi, berbahaya sebagai landasan berpikir. tangis perempuan adalah milik perempuan. tangis lelaki adalah milik lelaki. memosisikan luapan tangis perempuan hanya sebagai distraksi agar lelaki melupakan tangisnya sendiri cenderung mendegradasi & menginferiorkan nilai tangis perempuan. di sisi lain, seakan-akan tangis laki-laki ada untuk tidak dihiraukan. dalam bahasa tataboga, seolah-seolah tangis perempuan adalah garnis & tangis lelaki adalah main course atau hidangan utama yang tidak boleh dimakan.


di titik kesadaran semacam ini, aku teringat filsuf feminis asal Prancis, de Beauvoir, dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949), katanya: “One who is not born is the Other, but woman”. menurutnya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak & dibentuk. dengan demikian perempuan tertindas & terpenjara sekaligus tertendang dari kursi kesetaraan. tapi terkadang aku merasa, di bawah cengkraman gurita patriaki, lelaki pun tidak terlahir melainkan dibentuk sedemikian rupa & cara. menjadi mesin yang tak akan berbicara, misalnya. itulah mengapa pada titik yang lebih ekstrem, kawanku G menganggap lelaki tidak (seharusnya) bercerita. sebab menurutnya, lelaki yang bercerita itu culun alias cupu binti boti-bencong. 


G, bagiku, adalah satu dari sekian faktor yang berandil besar menyumbang data-statistik delapan puluh persen bunuh diri dilakukan lelaki. aku percaya bahwa yang membikin seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya selain ketiadaan telinga yang bersetia mendengar apapun keluh kesahnya, adalah keengganan untuk membuka mulut & mengeluarkan apa-apa yang terganjal di kerongkongan dalam bentuk bahasa. entah dalam bentuk cerita-cerita sederhana atau tetes air mata menyesakkan dada. 


meski pada beberapa momen, aku ingin mengganti kata ‘marah’ menjadi ’menangis’ dalam buku The Nicomachean Ethics yang ditulis filsuf Yunani, Aristoteles, sehingga kurang lebih menjadi seperti ini: “menangis itu mudah, tetapi menangis pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang cocok, demi tujuan yang benar, & dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”


bagiku, seorang lelaki sejati mestilah sadar bahwa dengan menangis ia menunjukan sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya, alih-alih kerapuhan atau bahkan kegagalan sebuah sistem mesin kesepian yang pada dasarnya didesain untuk terus menerus mengucapkan ‘interlinked’ seperti tokoh K dalam film Blade Runner 2049 (2017) garapan Villeneuve ketika merindukan sosok Joi.


“...

i tried to laugh about it

cover it all up with lies

i tried to laugh about it

hiding the tears in my eyes

'cause boys don't cry

boys don't cry

...”


—Boys Don't Cry - The Cure (1979)


di akhir perbicanganku dengan G, sambil memutar lagu The Cure, ia bilang, “boys don't cry.” aku mengangguk sebanyak tiga kali sebagai upaya menghargai argumen. “boys don't cry, men do.” begitu timpalku kemudian memasang senyum pepsodent. raut wajahnya seakan tidak setuju. “humans don't cry.” tambahnya. “but angels do.” kataku. & raut wajahnya semakin tidak setuju.

Thursday, 19 December 2024

Beberapa Hal yang Bisa Kutulis setelah Tiga Bulan Membership Gym

 

“apa-apa yang hampir membunuhmu, membikinmu ingin pergi ke gym & merobek ototmu.”


—(bukan) Nietzsche

setelah tiga bulan ngegym, aku menyadari sesuatu: gym bukanlah soal melatih biceps atau triceps, tapi melatih accept—tentang menerima & kemudian mengonversi sakit secara mental menjadi sakit secara fisikal. sakit pikiran-perasaan menjadi sakit badan. mengubah masa lalu menjadi massa otot. membakar kalori & ingatan-memori.


kukira begitu. rasa-rasanya begitu. sebab ketika berdiskusi sesuatu yang personal dengan beberapa gymbroku, mereka semua telah/sedang mengalami masalah yang hampir membunuhnya. dari masalah asmara, keluarga, sampai pekerjaan. dari ditinggal nikah, ditinggal ayah, sampai lelah punya atasan yang bajingan. aku curiga bahwa mereka pada dasarnya ingin berdiri di atas kaki mereka sendiri, sebab jika mereka berdiri di atas kaki orang lain maka orang itu akan bilang, “tolong kaki saya sakit.”


& mungkin, para gymbroku pergi ke gym dengan harapan untuk mendistraksi atau bahkan mengubah satu masalah menjadi satu set repetisi tambahan plus satu teriakan panjang yang akan selalu kalah kencang dengan suara musik edm full bass penghancur gendang telinga dari spiker bluetooth di gym. tapi apapun harapannya... yang diangkat tetaplah dumbell terlalu berat biang kerok telapak tangan kapalan.


secara personal gym benar-benar mengubahku. ketika pertama kali datang, berat badanku cuma empat puluh kg (cuma setara toren air merk penguin ukuran dua ribu liter tanpa isi). dengan tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter, tentu berat segitu membikinku nampak sangat tunggu kiris—tak jauh berbeda dengan tiang gawang sepakbola liga tarkam—ketimbang gapura kabupaten. dengan tubuh genetik ectomorph yang kurus kering, aku sadar mesti bulking.


oleh karenanya, berlandaskan motivasi membentuk badan dewa Yunani, aku ngegym enam kali seminggu & makan enam kali setiap hari (dengan porsi seperti seorang kuli Bandung Bondowoso yang akan membangun Candi Prambanan dalam satu malam).


selain itu, setiap hari, aku tak pernah absen untuk mengonsumsi dada ayam & telor rebus sebanyak dua belas butir. dengan asupan protein sesinting itu, bisa kupastikan bahwa misalkan aku kentut, maka baunya lebih menyiksa ketimbang belerang di Kawah Ratu, Gunung Salak (ini serius, bukan lelucon. kalau tak percaya, boleh dicoba). maka tak heran dalam kurun waktu tiga bulan, berat badanku naik signifikan. naik dua belas kilogram. 


gym tidak hanya mengubah secara fisikal, tetapi juga mental. aku menjadi lebih disiplin. katakanlah disiplin untuk tetap pergi menuju tempat gym, meski hujan menghadang & meningkatkan gaya gravitasi kasur penyebab rebahan. aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi ngegym—bahkan jika itu adalah meteor sebesar bus telolet basuri. 


selain itu, aku juga menjadi lebih disiplin untuk menjaga pola makan: menghindari goreng-gorengan & minum minuman dengan kadar gula yang kemungkinan besar bisa memicu diabetes melitus tipe dua dalam kira-kira sepuluh tahun ke depan.  


berkat gym, kini aku sadar bahwa olahraga sama pentingnya dengan olahrasa. aku teringat slogan para guru penjas yang berasal dari pepatah Latin seorang penyair Romawi bernama Juvenal: mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). 


aku juga sadar bahwa badan yang atletis tak pernah bisa dibeli dengan uang. hanya disiplin yang memungkinkannya. meski pada akhirnya, setelah ngegym, aku mendapat masalah baru: body dysmorphia. sebuah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terus menerus mencemasi kekurangan penampilan fisiknya. katakanlah, biceps kurang besar, triceps kurang kekar, shoulder kurang lebar, back kurang doritos (v taper), perut kurang sixpack, chest kurang bidang, legs kurang gigan, & seterusnya.


doms hari ini adalah otot baru esok hari.”

pada akhirnya, seseorang barangkali bertanya: how do you survive your injuries? & aku cuma ingin menjawab: i just kept lifting.

Thursday, 5 December 2024

Dunia yang Terlalu Banyak Mulut

pada suatu sore yang lambat, seorang bocah berumur sekira sembilan tahun, melontar tanya kepadaku: mengapa manusia punya dua telinga tapi hanya satu mulut? 

kemudian aku memberinya dua jawaban—secara logis-saintifik & filosofis—katakanlah demikian: “telinga adalah organ sensorik, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi benda-benda di sekitar. jumlahnya dua agar kita bisa menentukan lokasi benda itu dengan lebih akurat. sebaliknya, mulut tidak memiliki fungsi seperti itu, karenanya, tidak perlu lebih dari satu mulut. dua telinga & satu mulut pada manusia juga merupakan hasil seleksi alam yang memberikan keseimbangan antara persepsi sensorik, komunikasi, & kebutuhan untuk bertahan hidup. kira-kira begitu... kalau filosofisnya begini, kata filsuf yang namanya Epictetus... kita punya dua telinga & satu mulut biar kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak ketimbang berbicara.”

ia hanya mengangguk-ngangguk. seakan diberi pemahaman oleh Kak Gem. sejujurnya, aku malas berlagak sok bijak macam filsuf tua yang ensiklopedis & hidup di tengah hutan belantara. tapi di hadapan bocah, aku tentu tak mau nampak tolol-tolol amat. sebab ketika bocah dulu, aku paling benci ketika berhadapan dengan seorang tua yang ditanya ini tak tahu, itu tak tahu—cuma bilang wallahu a'lam bishawab. & aku bersumpah tidak sudi najis jadi seorang tua yang seperti itu.

bocah yang punya pertanyaan keren itu tentu bakal beranjak dewasa. & barangkali bakal mengetahui alasan di balik mengapa mendengar selalu lebih penting ketimbang berbicara. sebab ketika kita mendengar, kita mendapat informasi baru—sedang ketika berbicara, kita hanya mengulang informasi lama—yang telah kita ketahui sebelumnya. itu pertama.

kedua, selain berbicara, mendengarkan pun adalah seni. kita terlalu terbuai dengan narasi-narasi The Art of Speaking atau The Art of Talking tapi lupa bahwa The Art of Listening juga sama penting. Erich Fromm, seorang psikolog, telah membacotkannya secara detail dalam buku dengan judul tersebut. mendengarkan, menurutnya, adalah “sebuah seni seperti halnya memahami puisi” & macam seni lainnya, memiliki aturan, norma, & tekniknya sendiri. perlu diakui banyak dari kita hanya “hearing” bukan “listening”. masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. sebagaimana pernah dilagukan Simon & Garfunkel dalam The Sound of Silence. & tentu, selain itu, jenis mendengar yang buruk adalah tanpa menatap jauh ke dalam pupil mata seorang yang sedang berbicara.

ketiga, bukankah mendengar dengan saksama adalah cara paling sederhana untuk memanusiakan manusia lain? sebab inti dari semua kuliah tentang humanisme adalah soal bagaimana kita belajar mendengar dengan baik, bukan? kita sering kali hanya mendengar untuk menjawab. mendengar dalam cara seperti itu hanya menjadi tindakan formalitas yang berujung pada pemuasan sisi narsisisme dalam diri. semacam masturbasi ego. tidak murni mendengar & menaruh empati dalam bentuk atensi.

dengan demikian, boleh jadi, cara paling ampuh untuk mengukur seberapa banyak empati dalam diri seseorang adalah dengan mencermati bagaimana ia mendengarkan orang lain.

aku berdoa semoga bocah sekira sembilan tahun itu kelak memahami bahwa kita, sebagai manusia, hanya butuh waktu sekitar dua tahun waktu untuk belajar berbicara, tapi butuh puluhan tahun untuk belajar mendengar dengan baik. kapan memasang telinga & membuka mulut.

Wednesday, 19 June 2024

Katakanlah Jika Kau Bertanya Bagaimana Hariku

Hariku lumayan baik. 


Syukurlah. 


Aku hanya merasa seperti seorang skizo dengan migrain yang parah. 


Hah?


Maksudku, delusi & sakit kepala sebelah. 


Sayang, katakan padaku, apa kamu butuh olanzapine atau panadol?


Tramadol. Tidak... aku bercanda. Aku tidak butuh itu. Sejujurnya, aku lebih merasa seperti Dostoevsky dengan sakit gigi yang menahun!


Siapa Dostoevsky?


Begundal Rusia. 


Aku tak tahu siapakah dirinya. Tapi yang jelas, sakit gigi menahun pasti menyiksa... apakah tujuh butir ponstan cukup meredakan itu?


Tidak. & tentu saja van Gogh pun akan turut menggelengkan kepalanya. Alam, seni, & puisi saja tidaklah cukup. Begitu katanya. Apalagi cuma obat pereda nyeri. Tidak ponstan. Tidak juga osagi. Yang kumaksud bukan sakit gigi secara literal. Lihat, meskipun gingsul, gigiku sehat wal afiat.


Ok, lalu di mana masalahnya?


Aku terlalu banyak mengonsumsi yang manis-manis. Yang utopis-utopis. Seperti seorang anak kecil yang giginya rusak karena terlalu banyak mengisap permen. Atau barangkali seperti seseorang yang terkena diabetes. Aku jadi pesimis sebab pernah terlampau optimis. Tapi walau bagaimanapun, hidup, mengecewakan yang optimis, juga yang pesimis. Kini, aku baru tersadar, mayat-mayat yang lengannya frostbite di puncak Gunung Everest itu, sebenarnya, secara halus, memberitahuku bahwa terlalu percaya membikin siapa pun mati hipotermia. Sebagaimana bocah Timur Tengah yang tertimpa reruntuhan gedung. Sebab langit begitu dingin. & doa-doanya tak bisa membelokan roket-roket agar tidak menabrak bangunan setinggi pohon kelapa itu.


Demi tuhan, aku tidak mengerti.


Tak apa. Aku juga tidak mengerti diriku sendiri. Sayang sekali, pikiranku & perasaanku berbicara dalam bahasa yang berbeda. Keduanya, berjarak kira-kira tiga juta tahun cahaya.


Aku semakin tidak mengerti. Mau kuantar ke poli jiwa?


Tidak. Lorong-lorong putih dengan bau kimia yang menusuk-nusuk hidungku & seorang psikiater yang bertanya apa yang kurasakan hanya karena aku telah membayar satu sesi konsultasi seharga satu per tiga gajiku selama sebulan, cuma membikinku trauma. Lagi pula, aku cuma diserang sedih yang tiba-tiba. Datang dari arah yang entah. Tapi yang jelas, hari ini, seperti biasa, meskipun punya riwayat gerd, aku membuka pagi dengan menyeduh kata-kata dari sales kopi Algeria: menunda kepergian, adalah kemenangan telak bagi absurditas kehidupan. Sekira tiga jam setelahnya, seingatku, aku membaca catatan Virginia kepada suaminya, Leonard, sebelum ia mengisi saku mantelnya dengan batu-batu lantas berjalan menuju sungai Ouse di belakang rumahnya & tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. 


Kurasa kamu terjebak kata-kata. Kata-kata cuma kata-kata. Tak nyata. Percayalah, yang kamu rasakan itu cuma fase. Kamu bakal baik-baik saja.


Mungkin, tapi tolong jangan sepelekan kata-kata. Memangnya, apa isi kitab suci? Kata-kata! Itulah yang menggerakan dunia & sejarahnya. Delapan perang salib, yang merentang dari tahun 1096 sampai 1291, adalah contoh kecil seberapa besar kekuatan kata-kata. Kata-kata Presiden Truman, adalah yang membikin orang-orang Hiroshima & Nagasaki dijatuhi Fat Man & Little Boy. Kata-kata “i have a dream”, yang membikin orang-orang sadar betapa bahayanya dunia di bawah politik segregasi & rasisme. & sebagainya. & sebagainya. Maaf kalau aku terkesan berlebihan.


Tak apa, tak perlu meminta maaf. Aku yang salah. 


Tidak. Aku yang salah. 


Hal paling manusia adalah berbuat salah. Kita memang harus memperbanyak maaf. Menurutku, setidaknya ada tiga yang harus kita maafkan: orang tua kita, tuhan, & diri kita sendiri. 


Terakhir kali aku mengisap ganja, dengan olesan madu, aku berencana memaafkan seseorang yang telah melahirkanku ke dunia blangsak ini & sosok mahakuasa—yang punya kekuatan meruntuhkan kapitalisme tak tertahankan—tapi ia lebih memilih untuk murka ketika tahu minggu lalu aku masturbasi demi mendapatkan hormon endorfin dari bangun pagi yang berulang-ulang.


Ok. Sudikah & sudahkah kamu memaafkan dirimu sendiri?


Sudah. 


Bagus!


Aku hanya heran. Mengapa aku merasa begitu dekat & memahami orang-orang dari berbagai latar tapi menjadi arwah setelah melakukan hal yang sama?


Maksudmu?


Maksudku, apa beda Monet, van Gogh, Rotkho, & Hitler? 


Gaya lukisan? Impresionis, Pascaimpresionis, Abstrak, & Realis?


Tapi apa yang membuat mereka sama? Bunuh diri! Apa beda Cornell, Cobain, Chester, & Curtis? 


Hmmm... aku tidak tahu. Playlist kita berbeda.


Kamu bisa mensimplifikasi lagi & menyebut genre: Metal Alternatif, Grunge, Pascagrunge, & Pascapunk. Apa yang menyatukan? Bunuh diri! Apa beda Linder, Scott, Whale, & Debord? Tentu sinematografi. & yang menyatukan adalah bunuh diri. Tak hanya pelukis, musisi, sutradara, beberapa penulis yang pernah kubaca & kebetulan kusukai pun adalah arwah-arwah penasaran. Sylvia, Virginia, Hemingway, Sexton, Dazai, sampai Zweig. Konon, setiap orang yang mati bunuh diri jadi arwah penasaran. Mungkin penasaran mengapa ia masih harus tetap eksis. Meskipun ingin punah, sepunah-punahnya. 


Maksudmu, kamu pengin punah seperti mereka?


Apa yang buruk dari kepunahan atau kematian? Aku tidak takut mati. Aku telah mati selama miliaran tahun sebelum aku dilahirkan, & tidak merasakan ketidaknyamanan sedikit pun karenanya. Maaf aku kesurupan Twain. 


Tak apa.


Baguslah. Tapi, pada gilirannya, pertanyaan baru lahir, aku berubah jadi burung gagak karena apa-apa yang telah kukonsumsi ataukah aku pada dasarnya memanglah burung gagak yang mencari “bangkai” untuk dikonsumsi?


Kamu bukan burung gagak. Kamu manusia. Seorang lelaki yang kucintai. 


Kamu mencintaiku atau sekadar mencintai gagasanmu tentangku?


Keduanya. Omong-omong, kamu anggap aku apa? 


Penambal void. Secercah cahaya, yang mampu menambal lubang hitam yang mahaluas & tak berbatas. Namun, lambat laun, aku menyadari bahwa jawabanku itu hanyalah gema hati yang putus asa. Tapi langit itu tetap bisu, sebab aku hanyalah satu noktah tak berarti di tengah-tengah alam semesta yang mengembang tak henti. Kegelisahanku, dalam narasi kehidupan yang mahagigan, hanyalah bising tidak berarti. Aku tak tahu harus berapa oktaf doa yang kulangitkan agar tuhan bisa mendengar kehampaanku.


Kamu butuh tuhan. Kamu mesti ibadah. Sudah?


Tidak. Aku tidak percaya pada sosok yang tak memberi rumah hari ini, tetapi malah menjanjikan istana esok hari. Kalaupun aku beribadah, artinya saat itu aku sedang merasa kalah.


Kamu bukan orang kalah. Di mataku, kamu adalah pemenang. Kamu sempurna di mataku. 


Tidak ada kesempurnaan, yang ada hanya kehidupan. Maaf aku kesurupan Kundera.


Tak apa. Aku sudah mulai terbiasa denganmu yang tiba-tiba kesurupan orang-orang tak kukenal namanya.


Baguslah.


Jadi, apa yang sebenarnya kau rasakan?


Aku hanya ingin percaya bahwa ada lagu pengantar tidur yang merdu bagi penderitaanku, sebuah narasi yang akan memvalidasi air mataku, sakit perutku, & sakit punggungku. Kupikir aku terlalu banyak mengunyah pemikir barat. Kamu benar, ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Kini, aku berasumsi bahwa tidak ada ganjaran kosmik yang menantiku. Aku hanya mengada, bertahan, & gagasan tentangku akhirnya lenyap terlupakan, tanpa ada jaminan nyata bahwa sungai hidupku memiliki muara. Sementara harapan-harapanku lenyap seperti bunga dandelion kecil yang disapu semburan lumpur vulkanik. Mungkin, batu yang kudorong setiap hari, lebih kecil dari yang kupikirkan. Sayangnya, sekarang aku telah menjadi monster pesimisme yang diperangi banyak agama... 


(Ia mendekat. Mendekapku dengan erat, dengan hangat. Ia mengelus-elus rambutku. Lembut sekali.)


Tidak, semuanya hanya bercanda. Ternyata, aku baik-baik saja. Itu hanya sebuah fase. Seperti yang kau katakan. Oh, ya, bagaimana harimu?


Baik, sayangku.


Syukurlah...