Showing posts with label ceracau. Show all posts
Showing posts with label ceracau. Show all posts

Thursday, 19 December 2024

Beberapa Hal yang Bisa Kutulis setelah Tiga Bulan Membership Gym

 

“apa-apa yang hampir membunuhmu, membikinmu ingin pergi ke gym & merobek ototmu.”


—(bukan) Nietzsche

setelah tiga bulan ngegym, aku menyadari sesuatu: gym bukanlah soal melatih biceps atau triceps, tapi melatih accept—tentang menerima & kemudian mengonversi sakit secara mental menjadi sakit secara fisikal. sakit pikiran-perasaan menjadi sakit badan. mengubah masa lalu menjadi massa otot. membakar kalori & ingatan-memori.


kukira begitu. rasa-rasanya begitu. sebab ketika berdiskusi sesuatu yang personal dengan beberapa gymbroku, mereka semua telah/sedang mengalami masalah yang hampir membunuhnya. dari masalah asmara, keluarga, sampai pekerjaan. dari ditinggal nikah, ditinggal ayah, sampai lelah punya atasan yang bajingan. aku curiga bahwa mereka pada dasarnya ingin berdiri di atas kaki mereka sendiri, sebab jika mereka berdiri di atas kaki orang lain maka orang itu akan bilang, “tolong kaki saya sakit.”


& mungkin, para gymbroku pergi ke gym dengan harapan untuk mendistraksi atau bahkan mengubah satu masalah menjadi satu set repetisi tambahan plus satu teriakan panjang yang akan selalu kalah kencang dengan suara musik edm full bass penghancur gendang telinga dari spiker bluetooth di gym. tapi apapun harapannya... yang diangkat tetaplah dumbell terlalu berat biang kerok telapak tangan kapalan.


secara personal gym benar-benar mengubahku. ketika pertama kali datang, berat badanku cuma empat puluh kg (cuma setara toren air merk penguin ukuran dua ribu liter tanpa isi). dengan tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter, tentu berat segitu membikinku nampak sangat tunggu kiris—tak jauh berbeda dengan tiang gawang sepakbola liga tarkam—ketimbang gapura kabupaten. dengan tubuh genetik ectomorph yang kurus kering, aku sadar mesti bulking.


oleh karenanya, berlandaskan motivasi membentuk badan dewa Yunani, aku ngegym enam kali seminggu & makan enam kali setiap hari (dengan porsi seperti seorang kuli Bandung Bondowoso yang akan membangun Candi Prambanan dalam satu malam).


selain itu, setiap hari, aku tak pernah absen untuk mengonsumsi dada ayam & telor rebus sebanyak dua belas butir. dengan asupan protein sesinting itu, bisa kupastikan bahwa misalkan aku kentut, maka baunya lebih menyiksa ketimbang belerang di Kawah Ratu, Gunung Salak (ini serius, bukan lelucon. kalau tak percaya, boleh dicoba). maka tak heran dalam kurun waktu tiga bulan, berat badanku naik signifikan. naik dua belas kilogram. 


gym tidak hanya mengubah secara fisikal, tetapi juga mental. aku menjadi lebih disiplin. katakanlah disiplin untuk tetap pergi menuju tempat gym, meski hujan menghadang & meningkatkan gaya gravitasi kasur penyebab rebahan. aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang bisa menghalangiku untuk pergi ngegym—bahkan jika itu adalah meteor sebesar bus telolet basuri. 


selain itu, aku juga menjadi lebih disiplin untuk menjaga pola makan: menghindari goreng-gorengan & minum minuman dengan kadar gula yang kemungkinan besar bisa memicu diabetes melitus tipe dua dalam kira-kira sepuluh tahun ke depan.  


berkat gym, kini aku sadar bahwa olahraga sama pentingnya dengan olahrasa. aku teringat slogan para guru penjas yang berasal dari pepatah Latin seorang penyair Romawi bernama Juvenal: mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). 


aku juga sadar bahwa badan yang atletis tak pernah bisa dibeli dengan uang. hanya disiplin yang memungkinkannya. meski pada akhirnya, setelah ngegym, aku mendapat masalah baru: body dysmorphia. sebuah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terus menerus mencemasi kekurangan penampilan fisiknya. katakanlah, biceps kurang besar, triceps kurang kekar, shoulder kurang lebar, back kurang doritos (v taper), perut kurang sixpack, chest kurang bidang, legs kurang gigan, & seterusnya.


doms hari ini adalah otot baru esok hari.”

pada akhirnya, seseorang barangkali bertanya: how do you survive your injuries? & aku cuma ingin menjawab: i just kept lifting.

Thursday, 5 December 2024

Dunia yang Terlalu Banyak Mulut

pada suatu sore yang lambat, seorang bocah berumur sekira sembilan tahun, melontar tanya kepadaku: mengapa manusia punya dua telinga tapi hanya satu mulut? 

kemudian aku memberinya dua jawaban—secara logis-saintifik & filosofis—katakanlah demikian: “telinga adalah organ sensorik, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi benda-benda di sekitar. jumlahnya dua agar kita bisa menentukan lokasi benda itu dengan lebih akurat. sebaliknya, mulut tidak memiliki fungsi seperti itu, karenanya, tidak perlu lebih dari satu mulut. dua telinga & satu mulut pada manusia juga merupakan hasil seleksi alam yang memberikan keseimbangan antara persepsi sensorik, komunikasi, & kebutuhan untuk bertahan hidup. kira-kira begitu... kalau filosofisnya begini, kata filsuf yang namanya Epictetus... kita punya dua telinga & satu mulut biar kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak ketimbang berbicara.”

ia hanya mengangguk-ngangguk. seakan diberi pemahaman oleh Kak Gem. sejujurnya, aku malas berlagak sok bijak macam filsuf tua yang ensiklopedis & hidup di tengah hutan belantara. tapi di hadapan bocah, aku tentu tak mau nampak tolol-tolol amat. sebab ketika bocah dulu, aku paling benci ketika berhadapan dengan seorang tua yang ditanya ini tak tahu, itu tak tahu—cuma bilang wallahu a'lam bishawab. & aku bersumpah tidak sudi najis jadi seorang tua yang seperti itu.

bocah yang punya pertanyaan keren itu tentu bakal beranjak dewasa. & barangkali bakal mengetahui alasan di balik mengapa mendengar selalu lebih penting ketimbang berbicara. sebab ketika kita mendengar, kita mendapat informasi baru—sedang ketika berbicara, kita hanya mengulang informasi lama—yang telah kita ketahui sebelumnya. itu pertama.

kedua, selain berbicara, mendengarkan pun adalah seni. kita terlalu terbuai dengan narasi-narasi The Art of Speaking atau The Art of Talking tapi lupa bahwa The Art of Listening juga sama penting. Erich Fromm, seorang psikolog, telah membacotkannya secara detail dalam buku dengan judul tersebut. mendengarkan, menurutnya, adalah “sebuah seni seperti halnya memahami puisi” & macam seni lainnya, memiliki aturan, norma, & tekniknya sendiri. perlu diakui banyak dari kita hanya “hearing” bukan “listening”. masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. sebagaimana pernah dilagukan Simon & Garfunkel dalam The Sound of Silence. & tentu, selain itu, jenis mendengar yang buruk adalah tanpa menatap jauh ke dalam pupil mata seorang yang sedang berbicara.

ketiga, bukankah mendengar dengan saksama adalah cara paling sederhana untuk memanusiakan manusia lain? sebab inti dari semua kuliah tentang humanisme adalah soal bagaimana kita belajar mendengar dengan baik, bukan? kita sering kali hanya mendengar untuk menjawab. mendengar dalam cara seperti itu hanya menjadi tindakan formalitas yang berujung pada pemuasan sisi narsisisme dalam diri. semacam masturbasi ego. tidak murni mendengar & menaruh empati dalam bentuk atensi.

dengan demikian, boleh jadi, cara paling ampuh untuk mengukur seberapa banyak empati dalam diri seseorang adalah dengan mencermati bagaimana ia mendengarkan orang lain.

aku berdoa semoga bocah sekira sembilan tahun itu kelak memahami bahwa kita, sebagai manusia, hanya butuh waktu sekitar dua tahun waktu untuk belajar berbicara, tapi butuh puluhan tahun untuk belajar mendengar dengan baik. kapan memasang telinga & membuka mulut.

Wednesday, 19 June 2024

Katakanlah Jika Kau Bertanya Bagaimana Hariku

Hariku lumayan baik. 


Syukurlah. 


Aku hanya merasa seperti seorang skizo dengan migrain yang parah. 


Hah?


Maksudku, delusi & sakit kepala sebelah. 


Sayang, katakan padaku, apa kamu butuh olanzapine atau panadol?


Tramadol. Tidak... aku bercanda. Aku tidak butuh itu. Sejujurnya, aku lebih merasa seperti Dostoevsky dengan sakit gigi yang menahun!


Siapa Dostoevsky?


Begundal Rusia. 


Aku tak tahu siapakah dirinya. Tapi yang jelas, sakit gigi menahun pasti menyiksa... apakah tujuh butir ponstan cukup meredakan itu?


Tidak. & tentu saja van Gogh pun akan turut menggelengkan kepalanya. Alam, seni, & puisi saja tidaklah cukup. Begitu katanya. Apalagi cuma obat pereda nyeri. Tidak ponstan. Tidak juga osagi. Yang kumaksud bukan sakit gigi secara literal. Lihat, meskipun gingsul, gigiku sehat wal afiat.


Ok, lalu di mana masalahnya?


Aku terlalu banyak mengonsumsi yang manis-manis. Yang utopis-utopis. Seperti seorang anak kecil yang giginya rusak karena terlalu banyak mengisap permen. Atau barangkali seperti seseorang yang terkena diabetes. Aku jadi pesimis sebab pernah terlampau optimis. Tapi walau bagaimanapun, hidup, mengecewakan yang optimis, juga yang pesimis. Kini, aku baru tersadar, mayat-mayat yang lengannya frostbite di puncak Gunung Everest itu, sebenarnya, secara halus, memberitahuku bahwa terlalu percaya membikin siapa pun mati hipotermia. Sebagaimana bocah Timur Tengah yang tertimpa reruntuhan gedung. Sebab langit begitu dingin. & doa-doanya tak bisa membelokan roket-roket agar tidak menabrak bangunan setinggi pohon kelapa itu.


Demi tuhan, aku tidak mengerti.


Tak apa. Aku juga tidak mengerti diriku sendiri. Sayang sekali, pikiranku & perasaanku berbicara dalam bahasa yang berbeda. Keduanya, berjarak kira-kira tiga juta tahun cahaya.


Aku semakin tidak mengerti. Mau kuantar ke poli jiwa?


Tidak. Lorong-lorong putih dengan bau kimia yang menusuk-nusuk hidungku & seorang psikiater yang bertanya apa yang kurasakan hanya karena aku telah membayar satu sesi konsultasi seharga satu per tiga gajiku selama sebulan, cuma membikinku trauma. Lagi pula, aku cuma diserang sedih yang tiba-tiba. Datang dari arah yang entah. Tapi yang jelas, hari ini, seperti biasa, meskipun punya riwayat gerd, aku membuka pagi dengan menyeduh kata-kata dari sales kopi Algeria: menunda kepergian, adalah kemenangan telak bagi absurditas kehidupan. Sekira tiga jam setelahnya, seingatku, aku membaca catatan Virginia kepada suaminya, Leonard, sebelum ia mengisi saku mantelnya dengan batu-batu lantas berjalan menuju sungai Ouse di belakang rumahnya & tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. 


Kurasa kamu terjebak kata-kata. Kata-kata cuma kata-kata. Tak nyata. Percayalah, yang kamu rasakan itu cuma fase. Kamu bakal baik-baik saja.


Mungkin, tapi tolong jangan sepelekan kata-kata. Memangnya, apa isi kitab suci? Kata-kata! Itulah yang menggerakan dunia & sejarahnya. Delapan perang salib, yang merentang dari tahun 1096 sampai 1291, adalah contoh kecil seberapa besar kekuatan kata-kata. Kata-kata Presiden Truman, adalah yang membikin orang-orang Hiroshima & Nagasaki dijatuhi Fat Man & Little Boy. Kata-kata “i have a dream”, yang membikin orang-orang sadar betapa bahayanya dunia di bawah politik segregasi & rasisme. & sebagainya. & sebagainya. Maaf kalau aku terkesan berlebihan.


Tak apa, tak perlu meminta maaf. Aku yang salah. 


Tidak. Aku yang salah. 


Hal paling manusia adalah berbuat salah. Kita memang harus memperbanyak maaf. Menurutku, setidaknya ada tiga yang harus kita maafkan: orang tua kita, tuhan, & diri kita sendiri. 


Terakhir kali aku mengisap ganja, dengan olesan madu, aku berencana memaafkan seseorang yang telah melahirkanku ke dunia blangsak ini & sosok mahakuasa—yang punya kekuatan meruntuhkan kapitalisme tak tertahankan—tapi ia lebih memilih untuk murka ketika tahu minggu lalu aku masturbasi demi mendapatkan hormon endorfin dari bangun pagi yang berulang-ulang.


Ok. Sudikah & sudahkah kamu memaafkan dirimu sendiri?


Sudah. 


Bagus!


Aku hanya heran. Mengapa aku merasa begitu dekat & memahami orang-orang dari berbagai latar tapi menjadi arwah setelah melakukan hal yang sama?


Maksudmu?


Maksudku, apa beda Monet, van Gogh, Rotkho, & Hitler? 


Gaya lukisan? Impresionis, Pascaimpresionis, Abstrak, & Realis?


Tapi apa yang membuat mereka sama? Bunuh diri! Apa beda Cornell, Cobain, Chester, & Curtis? 


Hmmm... aku tidak tahu. Playlist kita berbeda.


Kamu bisa mensimplifikasi lagi & menyebut genre: Metal Alternatif, Grunge, Pascagrunge, & Pascapunk. Apa yang menyatukan? Bunuh diri! Apa beda Linder, Scott, Whale, & Debord? Tentu sinematografi. & yang menyatukan adalah bunuh diri. Tak hanya pelukis, musisi, sutradara, beberapa penulis yang pernah kubaca & kebetulan kusukai pun adalah arwah-arwah penasaran. Sylvia, Virginia, Hemingway, Sexton, Dazai, sampai Zweig. Konon, setiap orang yang mati bunuh diri jadi arwah penasaran. Mungkin penasaran mengapa ia masih harus tetap eksis. Meskipun ingin punah, sepunah-punahnya. 


Maksudmu, kamu pengin punah seperti mereka?


Apa yang buruk dari kepunahan atau kematian? Aku tidak takut mati. Aku telah mati selama miliaran tahun sebelum aku dilahirkan, & tidak merasakan ketidaknyamanan sedikit pun karenanya. Maaf aku kesurupan Twain. 


Tak apa.


Baguslah. Tapi, pada gilirannya, pertanyaan baru lahir, aku berubah jadi burung gagak karena apa-apa yang telah kukonsumsi ataukah aku pada dasarnya memanglah burung gagak yang mencari “bangkai” untuk dikonsumsi?


Kamu bukan burung gagak. Kamu manusia. Seorang lelaki yang kucintai. 


Kamu mencintaiku atau sekadar mencintai gagasanmu tentangku?


Keduanya. Omong-omong, kamu anggap aku apa? 


Penambal void. Secercah cahaya, yang mampu menambal lubang hitam yang mahaluas & tak berbatas. Namun, lambat laun, aku menyadari bahwa jawabanku itu hanyalah gema hati yang putus asa. Tapi langit itu tetap bisu, sebab aku hanyalah satu noktah tak berarti di tengah-tengah alam semesta yang mengembang tak henti. Kegelisahanku, dalam narasi kehidupan yang mahagigan, hanyalah bising tidak berarti. Aku tak tahu harus berapa oktaf doa yang kulangitkan agar tuhan bisa mendengar kehampaanku.


Kamu butuh tuhan. Kamu mesti ibadah. Sudah?


Tidak. Aku tidak percaya pada sosok yang tak memberi rumah hari ini, tetapi malah menjanjikan istana esok hari. Kalaupun aku beribadah, artinya saat itu aku sedang merasa kalah.


Kamu bukan orang kalah. Di mataku, kamu adalah pemenang. Kamu sempurna di mataku. 


Tidak ada kesempurnaan, yang ada hanya kehidupan. Maaf aku kesurupan Kundera.


Tak apa. Aku sudah mulai terbiasa denganmu yang tiba-tiba kesurupan orang-orang tak kukenal namanya.


Baguslah.


Jadi, apa yang sebenarnya kau rasakan?


Aku hanya ingin percaya bahwa ada lagu pengantar tidur yang merdu bagi penderitaanku, sebuah narasi yang akan memvalidasi air mataku, sakit perutku, & sakit punggungku. Kupikir aku terlalu banyak mengunyah pemikir barat. Kamu benar, ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Kini, aku berasumsi bahwa tidak ada ganjaran kosmik yang menantiku. Aku hanya mengada, bertahan, & gagasan tentangku akhirnya lenyap terlupakan, tanpa ada jaminan nyata bahwa sungai hidupku memiliki muara. Sementara harapan-harapanku lenyap seperti bunga dandelion kecil yang disapu semburan lumpur vulkanik. Mungkin, batu yang kudorong setiap hari, lebih kecil dari yang kupikirkan. Sayangnya, sekarang aku telah menjadi monster pesimisme yang diperangi banyak agama... 


(Ia mendekat. Mendekapku dengan erat, dengan hangat. Ia mengelus-elus rambutku. Lembut sekali.)


Tidak, semuanya hanya bercanda. Ternyata, aku baik-baik saja. Itu hanya sebuah fase. Seperti yang kau katakan. Oh, ya, bagaimana harimu?


Baik, sayangku.


Syukurlah...

Monday, 15 April 2024

Kapitalis Mana yang Butuh Sastra?

di galaksi ekonomi, terdapat sebuah planet bernama Kapitalis. di planet hijau pucat ini, angka-angka & grafik tumbuh subur layaknya pohon-pohon di hutan Amazon. para penduduknya, yang menyebut diri mereka sebagai Kapitalian, berkomunikasi pakai sistem bahasa yang terdiri dari simbol dolar & persentase. 


perihal bagaimana mereka saling menyapa, mereka menggunakan kalimat, “Bugattimu warna apa?”. untuk bertanya kabar lebih personal, biasanya, mereka menggunakan huruf v atau V (volatilitas rendah atau volatilitas tinggi). semacam kata ‘aman’ dalam bahasa Kapitalian. misalnya begini.


v/V?

v

waduh. butuhkah?

bolehlah.


kurang lebih begitu. 


secara statistik, sembilan puluh sembilan persen dari mereka menyembah Tuhan Stonks yang Mahaprofit. serta menerapkan lima rukun Kapitalian: satu, mengucapkan dua kalimah konglomerat; dua, mendirikan start-up; tiga, membayar pajak penghasilan; empat, menjalankan puasa konsumeristik; lima, naik ferrari bagi yang mampu. 


yang satu persen, adalah mereka yang tak mengimani. mereka menarik diri dari peradaban. retreat ke hutan & kekeh percaya manusia bisa hidup tanpa uang. logis, memang. sebab di hutan, tak ada tukang dagang—yang ada cuma teriakan primata u-u-a-a. maka, kalaulah mereka merasa lapar mulai mencakar-cakar, seperti biasa, mereka akan merajut gelang etnik agar bisa ditukar dengan hasil alam yang bisa dikunyah. paling banter, nasi. singkatnya, barter.


selain itu, di beberapa sudut jalan yang tersentuh peradaban, terdapat plang dilarang P. bukan. bukan dilarang Parkir tapi dilarang Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. di dunia maya, ‘P’ juga berarti Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. bukan Ping. mereka yang trauma terhadap huruf ‘P’ disebut Pfobia. umumnya, para psikolog butuh setidaknya tiga kuartal untuk menyembuhkan pengidap Pfobia. hanya demi menyakinkan bahwa ‘P’ merujuk pada Punten, bukan Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus.


sebenarnya, ada aturan tak tertulis bahwa untuk meminjam uang dibutuhkan basabasi bernada afektif bukan basabasi berwarna geografis. dengan kata lain, tidak etis ujug-ujug wah cuacanya cerah ya... kemudian langsung mengeluarkan jurus bos-adakah-seratus. namun, akan lebih baik jika bertanya tentang bagaimana kabar, sedang di mana, apakah usaha lancar, barulah menuju tujuan konkretnya. begitulah pengutang-bermoral bekerja.


setiap dari mereka juga diwakili oleh skor kredit. semakin tinggi, semakin bergengsi. sedang mereka yang bermasalah, wanprestasi, atau galbayers niscaya dipenjara dalam ruangan dua kali dua meter berpintu kayu jati. & menerima hukuman berupa digedor debt collector dengan tempo larghissimo sampai prestissimo setiap tiga jam sekali. itulah mengapa SLIK OJK (Otoritas Jasa Kapitalian) adalah harga mati. setengah Rakib, setengah Atid. boleh jadi sebab mereka mengimani Kitab Laba, ayat dua, yang berbunyi: “barangsiapa kredit mulus, niscaya Tuhan Stonks ciptakan jalan menuju surga beraspal fulus.”


bagaimana dengan yang memuncaki kasta?

bagi mereka yang memegang Black Card, penyebab melarat bukanlah kemiskinan struktural tapi malas bekerja keras. para pemegang Black Card ini, semakin kokoh berada di puncak teratas, sebab mereka berjualan kelas-kelas yang berisikan petuah bahwa rajin pangkal kaya—bukan privilese pangkal kaya, atau akses pangkal kaya.


*** 


pada suatu senin siang, di sudut kafe butut yang bergaya arsitektur industrial sebab tak ada dana lebih buat membeli cat, terdapat sekelompok Kapitalian muda yang berbeda & sok edgy. mulut mereka tak pernah melafalkan mantra ROI (Return on Investment) sebanyak tujuh kali dalam hati. kepala mereka juga tak pernah dipakai untuk memikirkan lembar saham & obligasi. sebuah anomali. mereka ini adalah para pencinta sastra, yang dengan tekun membaca-mengarang puisi & prosa, bukan laporan keuangan & proyeksi pasar yang cuan dalam lima sampai dua puluh tahun ke depan. mereka pada dasarnya saling sepakat, tetapi sering kali mendebat-debatkan pendapat.


“kapitalis mana yang butuh sastra?” tanya salah satu dari mereka dengan gaya sok teatrikal.


“hmmm... mungkin tidak ada.”


“ah,” jawab seseorang yang lain, “itu dia, tidak ada kapitalis yang butuh sastra. itulah mengapa kita mempelajari sastra. kita jadi pemberontak yang berani melawan tirani logika & angka.”


“apa kerennya?”


“bukan masalah keren-kerenan, ini soal prinsip. berbeda dari kawanan. melawan arus. hanya ikan mati yang terbawa arus.”


“tapi, hanya ikan tolol yang berenang melawan arus. kau tahu, apa makanan utama beruang? ikan yang melawan arus. di kehidupan nyata, melawan arus artinya tak-beruang. tak punya uang, artinya tak punya ruang. tak punya uang, itu susah bergerak. bahkan, berak pun bayar.”


“begini, borjuis kecil, sastra adalah investasi abadi yang memberikan kekayaan emosional & intelektual. investasi untuk jiwa, yang dividennya adalah kebahagiaan & pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.”


“tapi Kapitalian mana yang butuh jiwa? Pragmatis mana yang butuh kedalaman?”


“kau tidak mengerti!”


“memang!”


“di mana setiap detik adalah aset & setiap hal adalah komoditas, sastra menjadi pekik perlawanan terhadap monotonitas. menjadi bukti bahwa di balik setiap transaksi & perhitungan, masih ada ruang untuk hal-hal esensial seperti imajinasi & keindahan.


“masalahnya... wahai Proust muda... sastra hanya membantu menyelesaikan soal ‘mengapa’ bukan ‘bagaimana’.”


“bagaimana?”


“sudah kubilang bukan soal bagaimana tapi mengapa.”


“maksudku, bagaimana sastra membantumu menemukan mengapa?”


“mengapa aku mesti meromantisasi kehidupan agar umurku panjang, misalnya. perlu kuakui juga, bahwa sastra membantuku menentukan lebih baik mana antara menjadi sastrawan yang saban minggu karyanya dimuat di koran atau seseorang yang persetan dengan sastra-sastraan tapi mempunyai kontrakan dua belas pintu?”


“lebih baik mana?”


“dengan sastra, aku tahu bahwa pilihan yang kedua selalu lebih baik.”


mereka sama-sama tertawa, kencang sekali, seolah-seolah mereka adalah sastrawan yang mempunyai kontrakan dua belas pintu. pedahal karya-karya mereka, berkali-kali, ditolak media & mereka tentu tak punya kontrakan dua belas pintu. kengakakan mereka bergema di antara lampu neon & dinding beton. 


& begitulah, awal mula sastra menjadi lelucon pemecah kerutinan duniawi. bagi beberapa orang seperti mereka ini, sastra adalah kepercumaan yang menyenangkan. liburan singkat dari kejaran pertanyaan bisakah sukses di usia muda atau kalau nanti mati dikuburkan di San Diego Hills tipe apa? single burial ataukah peak estate?


kapitalis mana yang butuh sastra? coba kita bertanya pada Alphard yang bergoyang.

Thursday, 11 April 2024

Lebaran & Dua Puluh Empat

kemarin... dalam suasana takbiran di sebuah coffee shop yang overrated & overprice—seorang kawan lamaku yang kuliah Sastra Inggris, bertanya begini, “day, apa resolusimu pada lebaran kali ini?”


dengan mantap kujawab pakai idiom, “melebarkan sayap!”


pedahal aslinya... resolusiku, pada momen apapun, entah lebaran ataupun tahun baruan—hanyalah survive. seminimal-minimalnya sampai umur dua puluh tujuh. sisanya, lihat nanti. sebab aku tahu, bagi seorang normal, tahun-tahun ini & tahun-tahun di depan bakal makin terjal kutapaki. bagaimana tidak? setelah dihantam badai yang berlalu lalang, tahun ini, adalah lebaran pertamaku tanpa ayah & ibu. ayahku terlalu sibuk bekerja & ibuku terlalu sibuk dengan keluarga barunya. 


kalau boleh jujur, sebenarnya, aku tak masalah dengan kondisi membagongkan semacam itu. sebagai lelaki anak pertama, aku telah menaruh curiga bahwa aku didesain untuk tahan banting, mampu bekerja di bawah pengaruh nihilisme, & telaten comfortably numb - pink floyd. 

...

when i was a child i had a fever

my hands felt just like two balloons

now I've got that feeling once again

i can't explain you would not understand

this is not how i am

i have become comfortably numb

...

aku hanya kesian terhadap adikku yang bocah SD kelas dua. anak sekecil itu, berkelahi dengan realitas yang asu. tumbuh tanpa father-mother figure. itu saja. sayangnya, rasa kesian itu meraksasa alias bertambah parah ketika kubuka instastory & mendapati fakta bahwa orang-orang pada umumnya merayakan hari kemenangan bersama keluarga mereka. ‘hadeuh’ adalah kata pertama yang kuucap dalam hati. & ‘hadeuhhhhhhhh!!!!!’ adalah yang lahir setelahnya.


seseorang barangkali bertanya-tanya mengapa aku tak jujur menjawab pertanyaan kawan lamaku itu. tapi, aku memang tak bisa jujur kepadanya. bertahun-tahun aku berkawan dengannya, di hadapannya aku selalu memasang wajah optimis. aku tak bisa realistis, apalagi... pesimis. lagipula, aku tak mau menyebarkan pesimisme kepada orang di sekitarku. apalagi kawan lamaku itu. aku juga tak mau membikin orang di sekitarku kepikiran. termasuk si U, yang setiap hari lebaran selalu membuatkan soto babat kesukaanku. di hari lebaran, yang paling bijak untuk kulakukan tentulah menyantap soto babat atau mengemil nastar sembari memasang wajah senang.


aku juga sama sekali tak masalah dengan hari ulang tahunku yang tak dirayakan oleh orang selain diriku. bahwa enam belas hari lalu, hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat kurayakan seorang diri. aku menghadiahi diriku sendiri: sebotol bir & setangkai mawar. yang pertama, sebab sesederhana karena aku suka meminumnya. sedang yang kedua, sebab aku penasaran bagaimana rasanya diberi bunga. aku tak mengerti mengapa lelaki hanya diberi bunga ketika ia telah berkalang tanah. atau mengapa rumah sakit & pekuburan adalah dua tempat yang paling sering diwarnai tangisan. apakah penyesalan memang lebih besar dari penghargaan?


pada gilirannya, hanya keheningan kosmik yang tersisa & c’est la vie di pangkal dada. tapi di terowongan gelap ini, aku sadar,  ‘mengapa’ mewujud persoalan yang hanya bisa dijawab-diselesaikan diri sendiri. sesuatu yang subjektif & personal. & kedewasaan adalah kata yang tak ada dalam kamus para nabi—bahwa topik kedewasaan, luput difirmankan tuhan. 


mengutip pakguf, yang bisa kulakukan selain tetap berjalan hanyalah tetap percaya. maksudnya, percaya pada teori konspirasi bahwa semua akan baik-baik saja. sayangnya, ‘percaya’ adalah salah satu hal yang paling sulit untuk kulakukan. tapi meskipun susah, aku akan mencobanya dengan payah. artinya, aku mesti menumpulkan nalarku yang kritis agar lebih mudah percaya. berat, tapi tak apa. 


di ujung malam, diiringi pekik allahuakbar, selintas pemikiran menghampiri lamunanku—bahwa hanya ada dua cara untuk dihargai-dirayakan-dicintai: mencapai kesuksesan atau bertemu kematian. tentu, aku akan sekuat tenaga mencoba mendorong batuku sampai puncak kesuksesan. kalaupun gagal, ya tak apa. orientasiku tak pernah berubah. selalu proses, bukan hasil. selain itu, bagiku, ‘mencoba’ merupakan privilese & ibarat rukun islam kelima (hanya bagi yang mampu).


tapi cara yang kedua? itulah cara yang secara sadar biasanya tak dipilih orang-orang waras. tapi kematian, baik ditempuh secara alamiah atau tidak, aku merasai keindahannya. ketika kehidupan merebut-mencabut seluruh makna dari keberadaanku, kematian membantuku mencurinya kembali. tanpanya, kehidupan cuma kebisingan yang tak berguna & manusia hanya spesies naif yang percuma. apalah arti hari ulang tahunku...


demi arwah eksistensialis, meski telah jatuh berkali... berilah sayap-sayapku kekuatan untuk kembali menggapai tengik matahari. seminimal-minimalnya sampai tiga tahun lagi. semoga bisa, semoga bisa! begitulah doaku kepada bedil & sebutir peluru kaliber sembilan mm di bawah bantalku—setelah merawat percaya dengan menjadi majusi (maksudnya, membikin api).