Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Sunday, 22 September 2024

Cerpen: Bantal dan Tuan Pecundang

Di kamar yang lindap dan pengap, hiduplah sebuah bantal tua yang sudah mulai kehilangan bentuk aslinya. Bantal ini ajaib: ia bisa bicara kalau dibacakan mantra oleh Tuan Pecundang. Mantranya, Tal-Bantal. Jika diucap dua kali, maka Bantal tidak akan bisa berbicara.


Setiap malam, Bantal menjadi saksi hidup dari keluhan-keluhan Tuan Pecundang, seorang pria paruh baya yang selalu merasa Dewi Fortuna tidak pernah berpihak kepadanya.


“Tal-Bantal, kenapa hidupku selalu sial? Aku sesekali penasaran, misal reinkarnasi nyata, kira-kira dosa sebesar apakah yang telah kulakukan di kehidupan sebelumnya?” keluh Tuan Pecundang sambil merebahkan tubuh jomponya di atas kasur. “Hari ini, gerdku kumat. Istriku, yang tinggal di kampung, memblokir nomorku. Dan aku terlambat lagi datang ke kantor sebab motor bututku mogok. Turun mesin. Bosku naik pitam, hampir menonjok, dan mengancam akan memecatku.”


Bantal, yang khatam betul mendengar keluhan-keluhan tololnya ini, hanya bisa menghela napas dalam-dalam. “Tuan Pecundang, sial memang tidak mengenal tanggal. Tapi sudah tahu Anda punya riwayat gerd, mengapa masih meminum kopi? Tolonglah, Anda bukan Stefan Zweig. Anda bukanlah novelis Austria-Hungaria yang punya hubungan misterius dengan kopi. Dan sudah kubilang berkali, istrimu itu childish dan emotionally unavailable. Meski sudah tua, ia tak pernah dewasa. Dan, berhentilah berlagak menjadi ruang poli jiwa. Saya muak dengan Saviour Complex Anda. Dan, satu lagi, semisal Anda punya otak sedikit lebih pintar dari lumba-lumba, tentu Anda tidak akan pernah berpikir bahwa mengganti oli cuma akal-akalan orang bengkel, sehingga motor Anda tidak bakal turun mesin. Seperti penis, piston butuh pelumas ketika penetrasi. Agar blok piston tidak baret dan lecet,” jawab Bantal dengan nada sarkastik.


Tuan Pecundang mengerutkan keningnya. “Kau beruntung. Sebab kalau kau punya lidah, sudah kupotong lidah brengsekmu itu. Jangan mengguruiku. Bantal sepertimu tahu apa tentang kopi, lika-liku hubungan rumah tangga, dan otomotif? Kau tidak pernah mengerti, Bantal. Tidak pernah. Hidup ini pada dasarnya memang tidak adil. Pengadilan Akhirat ada sebab dunia ini tak pernah adil. Apakah kau belum menyadari bahwa Tuhan Langit tidak pernah berpihak kepadaku? Lihat saja tetanggaku, si Pak Sukses, ia selalu beruntung. Jalan hidupnya adalah jalan tol. Bebas hambatan. Ia tajir melintir. Rumahnya begitu megah, seperti kuil Parthenon Yunani.”


Bantal tertawa kecil. “Barangkali karena Pak Sukses tidak menghabiskan waktunya mengeluh seperti Anda, Tuan Pecundang. Ketika Anda masih tertidur pulas, ia sudah bangun untuk bekerja keras. Dia mungkin lebih bisa dinasehati dan fokus pada sesuatu yang mampu ia kendalikan. Maka, berhentilah mengeluh dan carilah hal positif dalam diri Anda.”


Tuan Pecundang mendengus. “Tidak ada jaminan bahwa ia tidak mengeluh dan bekerja lebih keras dariku. Selain itu, memangnya ada yang positif dari diriku ini? Satu-satunya yang positif adalah bagan medical check up berisi keterangan HIV/Aids. Tak ada yang positif dari hidupku. Bahkan kucingku yang belang tiga, si Albert Catus, pergi meninggalkanku. Seperti kucing-kucing lain, si Albert tergoda untuk menyambangi rumah Pak Sukses. Tak mengherankan, sebab ia seringkali menaruh makanan kucing yang harganya ratusan ribu di depan pintu rumahnya. Bagian terburuknya, aku tak tahu di mana kucing kesayanganku berada.”


Bantal mencoba menahan tawanya. “Bukankah HIV hanyalah buah dari kebodohanmu sendiri, Tuan Pecundang? Hampir setiap hari, Anda menyewa pelacur dan berhubungan seks tanpa pengaman. Lantas, apa yang Anda harapkan? TV LCD tiga puluh dua inci? Ayolah, jangan selalu merengek menyalahkan Tuhan Langit atas kebegoanmu. Soal kucingmu, mungkin ia juga butuh variasi dalam hidupnya. Ia boleh jadi bosan diberi makan kepala ikan yang kurang gizi. Cobalah untuk melihat sisi baik dari setiap kejadian. Segala sesuatu yang terjadi berwajah Dewa Janus, selalu punya dua sisi.”


Tuan Pecundang terdiam sejenak, merenungi kata-kata Bantal. “Kau tahu, Bantal, terkadang, alih-alih memotong lidahmu aku nampaknya lebih ingin memotong urat nadiku. Kau ingat, kesialan ini bermula semenjak tujuh belas tahun lalu, ketika aku gagal menjadi tentara. Sebab Ayahku tak punya sawah untuk dijual sebagai modal. Setelahnya, kesialan datang bertubi umpama orang-orang yang hilir mudik meminjam uang pada Pak Sukses. Barangkali bukan di kehidupan ini, bukan di kehidupan ini, aku bisa menjadi apa yang aku mau dan merasa menang.”


Bantal menggelengkan “kepalanya”. “Tuan Pecundang, memotong urat nadi adalah cara paling menyusahkan diri sendiri untuk bertemu Tuhan Langit. Bagaimana tidak? Anda tidak menderita hemofilia yang hanya butuh sekitar tiga sampai enam menit untuk berpulang karena kehabisan darah. Artinya, butuh berjam-jam bagi Anda untuk mampus. Ada banyak cara yang lebih efektif dan praktis ketimbang itu. Misalnya duduk di rel kereta api. Soal tentara, aku sudah terlampau kesal bilang kepada Anda bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara pelacur dan tentara. Pelacur, menjual sebagian waktu dan tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Tapi tentara? Mereka menjual seumur hidup dan seluruh tubuhnya kepada negara. Jika Anda dulu diterima sebagai tentara, mungkin Anda sudah koit di medan perang. Tolong, saya memohon dengan sangat, jangan menyesali masa lalu dan berhentilah membandingkan hidup Anda dengan Pak Sukses. Satu lagi, Tuan Pecundang, tanpa memotong urat nadi pun Anda bakal tutup usia lebih dini dari orang lain. Cobalah untuk memaksimalkan sisa umur Anda.”


Tuan Pecundang menghela napas panjang. “Kau benar, Bantal. Mungkin aku harus mulai mendengarkan semua saranmu. Dan obrolan malam ini benar-benar membuatku ngantuk. Bonne Nuit, Bantal.”


“Selamat tidur, Tuan Pecundang.”


Malam itu, Tuan Pecundang tidur dengan lebih pulas dan tenang. Tapi sayang, itu adalah malam terakhirnya. Dan sebelum mengembuskan napas terakhir, Tuan Pecundang mengigau, Tal-Bantal... Tal-Bantal... Artinya, Bantal tak lagi bisa bicara semenjak mantra diucap dua kali.


Pagi datang dan seorang penyiar berita lokal mewartakan: “Pencurian Kucing-Kucing Belang Tiga yang Dijadikan Tumbal Pesugihan Seseorang Bernama Pak Sukses”.

Wednesday, 20 December 2023

Cerpen: Tiga Majusi

Sudah lebih dari satu bulan ini, sekira bakda salat isya, yang kami lakukan adalah duduk melamun semalam suntuk di depan api unggun. Dan bubar jalan pada pukul satu dini hari. Secara teknis, bukan api unggun karena kayu dibakar di atas panggangan barbeque. Namun, katakanlah demikian.

Oh ya, ritual redundan yang tidak sakral ini kami laksanakan bertiga: aku, R, dan A. Bertempat di halaman rumah R yang hanya berjarak empat meter dari rumahku dan tujuh meter dari rumah A.

Mereka berdua adalah tetanggaku. Sayangnya, aku tak pernah cukup pandai untuk mendeskripsikan seseorang. Namun, biar kujelaskan sedikit soal mereka—sejauh yang kubisa.

R adalah seorang pemuda berambut botak dua senti, bermata sayu, dan berkumis tidak simetris seperti ikan lele. Ia berumur satu tahun lebih tua dariku. Secara biologis, umurnya dua puluh empat. Secara psikologis, ia seperti seorang manula berusia lima puluh sembilan tahun yang telah memasuki masa pensiun (aku punya beberapa pembenaran untuk itu, misalnya filosofi hidupnya yang fatum brutum nrimo ing pandum atau gerakan tubuhnya yang seperti bergerak dalam skala sembilan ratus enam puluh fps; maksudku, slow motion). R berprofesi sebagai konsultan bangunan dengan gelar sarjana arsitektur, tetapi kini ketika proyek konstruksi sedang sepi ia banting setir menjadi petani rumahan—ia bahkan menyulap halaman di depan rumahnya menjadi semacam kebun hidroponik. 

Sedangkan A, adalah seseorang bergaya rambut pompadour berusia kira-kira empat puluh tahun dan telah memiliki anak. Wajahnya agak serupa orang Jepang bagian Utara (suku Ainu, tepatnya) dan dihiasi brewok lebat khas orang-orang dari Eropa Timur yang, secara sekilas, persis gambar pada produk serum penumbuh janggut asal Malaysia. A punya segudang pengalaman di dunia finance, sebab dulu pernah bekerja belasan tahun sebagai field collection di suatu perusahaan pembiayaan. Saat ini, setiap pagi sampai sore, selain mengurusi tempat makan paling ikonik di daerahku, bakso kuah rujak à la Bi Enti—ia menggarap kebun miliknya. Sebagaimana R, A pun tengah menggemari dunia pertanian.

Oleh karenanya, kalau bukan ritual melamun di depan api unggun, barangkali tanamanlah yang menyatukan kami bertiga. Aku dan A, sering kali menyambangi rumah R—untuk sekadar membantu mengurusi kebun hidroponik miliknya. Maksudku, secara umur dan latar belakang kami jelas-jelas berbeda. Dan, kalau boleh menduga-duga, bisa jadi batok kepala R berisi estimasi tentang rata-rata tinggi sebuah kusen pintu atau harga keramik marmer di toko material sekitar sini. Sedangkan, batok kepala A bisa jadi berisi ingatan tentang busuknya persekongkolan antara dealer dengan leasing atau soal strategi menjalakan bisnis makanan yang nyeleneh tapi mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun. Dan batok kepalaku, berisi banyak pengetahuan tidak penting, katakanlah soal bagaimana melatih tim futsal beranggotakan remaja-remaja tanggung yang masih mencari jati diri.

Dengan kata lain, kami begitu berbeda, kecuali dalam hobi menyiram tanaman. Dan kalau pun Anda masih penasaran tentang apa hal lain lagi yang besar kemungkinan memungkinkanku, R, dan A, setiap hari menghabiskan malam bersama, maka itu adalah: pertama, pesimisme; kedua, kebencian terhadap dunia politik yang penuh intrik dan gimik.

Biar kujelaskan dari yang pertama. Meskipun aku bisa pastikan R dan A tidak pernah membaca buku mengenai filsafat pesimisme, katakanlah Schopenhauer atau Cioran, tapi dari keempat mata itu, opini-opini, dan selera humor mereka aku tahu keduanya sama-sama pesimistis. Mereka seperti seseorang yang telah khatam menelan asam garam kenyataan yang bajingan. Menghabiskan berjam-jam mengobrol dengan mereka, kukira, rasanya sama seperti mendaki gunung putus asa. Menguras energi tapi memicu begitu banyak kontemplasi dan memberiku pelajaran yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah: bagaimana menerima hidup apa adanya, sebisa mungkin tidak berharap lebih dari semestinya, dan mampu mengapresiasi hal-hal sederhana.

Kedua, ini aneh tapi nyata. Kami sama-sama peduli setan terhadap politik dan punya pengalaman absurd yang nyaris serupa. Singkatnya, kami pernah ditawari jadi tim sukses seorang caleg tapi kami tolak mentah-mentah. Selain itu, kami juga terlampau muak dengan baliho dan bendera partai P dan D yang memenuhi hampir setiap sudut di sekitar rumah kami. Maka, pada suatu sore, tanpa pikir panjang, kubawa saja bendera Britania Raya berukuran dua puluh kali tiga puluh sentimeter yang kupunya ke rumah R—tempat biasa kami berkumpul—dan mengibarkannya dengan tiang dari besi bekas setinggi tiga meter. Setelahnya, kami larut dalam gelak tawa sepuas-puasnya. Dan, memutar lagu-lagu British Rock tahun sembilan puluhan dengan volume sekencang-kencangnya.

Sejujurnya, aku lebih percaya melamun di depan api unggun adalah yang menguatkan perkawanan kami bertiga. Biasanya, ritual melamun dilaksanakan setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi. Tapi sesekali juga setelah memasak air untuk menjarang teh hijau atau kopi arabika dengan metode v-sixty—dan setelah memanggang apa saja yang nampak enak untuk dipanggang: entah itu singkong, roti, pisang, jagung, ikan gurame, lobster, sosis, hingga bakso.

***

Di depan api unggun, aku tiba-tiba teringat buku Sapiens-nya Harari dan menghayati betapa pentingnya api bagi manusia. Kemudian, pikiranku yang liar membayangkan: Bagaimana jika kita tidak pernah mendomestikasi api? Apakah peradaban akan secanggih sekarang?

Rasa-rasanya, api memang memberi manusia semacam kontrol atas alam dan menjadi elemen penting demi bertahan hidup, misalnya untuk membuka ladang, menghangatkan badan, hingga memungkinkan kita untuk memasak makanan yang tidak dapat dicerna dalam bentuk aslinya (katakanlah, gandum, beras, kentang, dan sebagainya). Tak mengherankan, sejak sekitar tiga ratus ribu tahun lalu, kita punya semacam hubungan spesial dengan api. Filsuf alam, Heraclitus, sampai percaya bahwa api adalah sumber dan sifat dari segala sesuatu. Orang-orang Persia Kuno, bahkan mengultuskan-menyembah api dan menamai diri mereka sebagai Majusi. Mereka meyakini bahwa api melambangkan cahaya Tuhan, Ahura Mazda. Kepercayaan arkaik ini kutahu setelah menonton film biopik berjudul Bohemian Rhapsody—tentang vokalis Queen, Freddie Mercury—yang merupakan salah satu penganutnya.

Dalam mitologi Yunani, api dipercaya sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kekuatan ilahi. Mitosnya diabadikan Hesiodos, dalam buku puisinya, Theogony dan Works and Days—juga Aeschylus, bapak Tragedi Yunani, dalam Prometheus Bound. Sederhananya, begini... ada seorang Titan bernama Prometheus yang mencuri api dari para dewa-dewi di Gunung Olympus dan memberikannya kepada umat manusia. Sayang, tindakan revolusionernya diketahui Zeus. Pemimpin para dewa itu murka lantas memutuskan untuk menghukum Prometheus dengan merantainya di atas batu di Gunung Kaukasus, dan menyiksanya tanpa henti: menyuruh seekor elang memakan hatinya. Hati itu akan tumbuh kembali di malam hari, sehingga elang itu dapat dengan senang hati memakannya lagi keesokan hari.

Begitu dan begitu, dalam kekekalan. Mitos ini, secara simbolik, menyiratkan api atau pengetahuan adalah berkah sekaligus kutukan. Atau boleh jadi ada harga mahal yang mesti dibayar kalau bermain api.

“Hei pakcoy, ritualnya belum dimulai. Kita nyeduh teh dan bakar pisang dulu. Lagi banyak pikiran kah? Mikirin cicilan KPR tenor dua puluh tahun?”

Lamunanku pecah.

“Kayaknya sih mikirin pemilu tahun depan. Dibilang susah menang kalau masih banyak politik uang. Sayang duit. Lagian, mending ngelon daripada nyalon. Udah, mending kita vandal aja semua bendera dan baliho partai di sekitar rumah kita.”

“Enggak. Mana ada KPR, nyalon bla bla bla. Aku lagi mikirin jangan-jangan kita ini sebenernya orang Majusi sangking setiap harinya ngadain ritual api begini. Tapi bagus gak sih, biar Pak Ustad MCR (Maman Chemical Romance) punya saingan?” kataku dengan wajah serius, menatapi wajah R dan A.

Dan, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Aku tak bisa menahan tawaku. Ngakak menular, ternyata.

***

Pada suatu malam minggu yang suram, aku curiga, jangan-jangan menontoni api ini warisan evolusi. Genetik. Hobi yang diturunkan  melalui DNA dari generasi ke generasi.

Entahlah, yang jelas, aku benci fakta bahwa ketika aku sedang melamunkan hal-hal abstrak terlalu lama itu hampir selalu membuatku nampak seperti orang sedang memusingkan harga properti yang semakin tak masuk akal—atau sedang memikirkan strategi untuk merusak baliho partai tanpa ketahuan—atau bahkan sedang depresi—karena terlilit hutang dan terpikir galbay, misalnya—pedahal kenyataannya, tentu tidak sama sekali.

Tapi omongan R benar juga, lebih baik kuseruput teh hangat dan pisang bakar dengan toping meses coklat plus keju cedar di depanku itu terlebih dahulu. Lagi pula, kupikir, tidak ada yang bisa menjelajahi dunia kemungkinan dengan perut keroncongan. Bon appétit!

*****

Sunday, 8 October 2023

Cerpen: Anomali


Ilustrasi: Omong-Omong/Ghufroni An’ars

“Semua tato itu temporer,” ucapnya, “tak ada yang permanen. Lagi pula, hidup ini fana.”

Seketika saja aku teringat kata-kata yang dilontarkan salah satu klienku minggu lalu. Lebih tepatnya, aku teringat klienku yang unik itu. Waktu itu, Sabtu sore, langit sedang berwarna merah kirmizi dan seorang pemuda kurus bermata sayu dengan rambut bergradasi warna ungu mengetuk-ngetuk pintu studio tatoku. Sebut saja, Anomali.

Aku mempersilakannya masuk. Kami telah berjanjian sebelumnya. Aku menyalaminya dan meluncurkan beberapa pertanyaan basabasi. Ia menyimpul senyum. Kedua matanya kemudian seakan berpatroli mengitari ruangan seluas lima kali lima meter ini. Ada beberapa lukisan Wirhel dan Baskiat yang membikin studioku bernuansa neo-ekspresionis dan pop art. Tapi Anomali malah menatap cukup lama pada salah satu poster dinding yang bertuliskan, ‘get that tatoo, your parents are already disappointed in you’.

Sebenarnya kutipan pada poster dinding itu merupakan bagian dari trik marketing. Agar klien lamaku kembali menambah tato. Dan biar klienku yang baru semakin yakin untuk ditato. Lagi pula, kurasa, tak ada seniman tato yang mau menato seseorang yang masih ragu. Entah ragu-ragu soal penempatannya atau desainnya. Barangkali itulah mengapa, aku selalu berkali-kali mengingatkan klienku untuk tidak menato nama pasangan. Aku tahu, pacar bisa putus, istri atau suami bisa cerai. Aku percaya, mengabadikan nama pasangan di badan merupakan sebentuk kenaifan yang paling mungkin disesalkan. Dan lebih bloon dari memutuskan untuk merajah wajah.

Hal pertama yang kulakukan setelah menyambut klien, biasanya, adalah membuka laptop. Menanyakan apakah desainnya sudah sesuai ataukah belum. Jika sudah lampu hijau, lantas dengan lekas kucetak desain tato tersebut menggunakan mesin printer.

Menyoal Anomali, sejujurnya, aku masih penasaran dengan arti atau filosofi dari tatonya. Desain tatonya adalah aksara Bara yang gundul. Tak ada harakatnya. Masalahnya, dulu… sebelum kuputuskan menjadi seniman tato, aku bukan tergolong sun-tree yang tekun belajar ilmu nahwu atau shorof. Mengingat desain tato yang Anomali pinta, sempat aku curiga, ia adalah seorang sun-tree. Artinya, ia pastilah tahu bahwa di agama Bara, menato tubuh adalah dosa besar yang dilaknat Halla. Maka boleh jadi menato tubuh, baginya, merupakan terapi atau barangkali pemberontakan. Atas norma sosial, jeruji kultural, atau jerat spiritual. Semacam proklamasi kepemilikan atas tubuhnya.

Aku jadi teringat dengan klienku yang lain, ia adalah seorang terapis. Sebut saja, Didi. Pada suatu temaram, di studio tatoku, ia mengatakan bahwa seniman tato adalah terapis yang bekerja dengan medium seni rupa. Didi memisalkan seniman tato sebagai terapis yang menyembuhkan luka batin dengan mengubahnya menjadi karya bernilai artistik serta filosofis. Aku pun sesekali berpikir bahwa menato tubuh adalah upaya mengalihkan sakit mental menjadi sakit fisikal. Semacam katarsis memakai jarum plus pigmen tinta yang menembus lima lapisan epidermis, kedalamannya.

Kembali pada Anomali, meskipun waktu itu adalah tato pertamanya, kulihat ia datang tanpa keraguan di ceruk dadanya. Termasuk ketika ia ngotot untuk ditato di leher. Sependek pemahamanku, tato di leher ini adalah salah satu tato yang paling sulit untuk disembunyikan. Kecuali orang bertato leher itu mau mengenakan hoodie seumur hidupnya.

Selain sulit disembunyikan, tato di leher pun merupakan jenis tato dengan rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Terlepas dari toleransi sakit yang berbeda-beda antara tubuh biologis lelaki dan perempuan. Leher adalah bagian tubuh dengan ratusan saraf, kulit yang tipis, dan hanya memiliki sedikit massa otot. Semua tato itu sakit, tetapi tato di leher sakitnya berkali-kali lipat. Kuadrat. Jenis rasa sakit ini terasa seperti rasa gatal plus panas yang intens. Seolah-olah kucing berkuku setajam pedang dimiskus sedang menyeret cakarnya di atas kulitmu. Kalau secara Numerical Rating Scales (NRS), skala satu sampai sepuluh, tato di leher ada pada skala sembilan atau sepuluh.

Selain menyakitkan, di banyak budaya instansi dan perusahaan, tato di leher dicap sebagai tanda ketidakprofesionalan. Artinya, dibutuhkan begitu banyak permenungan sebelum memutuskannya. Tapi Anomali dengan santai mengatakan bahwa penelitian membuktikan kalau tato di leher ini bisa menghilangkan beberapa kecemasan… misalnya kecemasan untuk mencari pekerjaan, formal khususnya. Bahasa tubuhnya jelas tidak sedang bercanda ketika melontarkan lelucon itu. Ia, kulihat, seperti membaiat diri untuk menjadi freelance sepanjang hayat dikandung badan. Dan, kupikir, ‘Anomali’ pun adalah nama tengahnya.

Begini, aku sudah menggeluti dunia pertatoan (khususnya mesin, bukan handpoke) ini selama lebih dari lima tahun. Ribuan tubuh manusia telah kujadikan kanvas. Dari tato bergaya old skul atau tradisional, neo-tradisional, garis, tribal, geometris, abstrak, realis, tekstual, japanis, tiga dimensi, minimalis, hingga potret. Aku, ibarat seorang arsitek yang pernah merancang berbagai gaya bangunan: dari klasikal, gotik, barok, rokoko, ekletisis, industrial, brutalis, vernakular, bawhaus, art deko, art nuveau, kontemporer, modern, neo-modern, hingga pos-modern. Dan, minggu lalu adalah kali pertama seseorang bertubuh serupa kanvas kosong meminta digambar di leher. Sebab, tato pertama, biasanya, letaknya di pergelangan tangan.

Selain keanehan-keanehan yang telah kuceritakan itu, ada keanehan lain mengenai klienku yang satu ini. Tapi aku tak bisa memastikan apakah ini keanehan atau bukan. Yang jelas, ia ditato tanpa anastesi. Lazimnya, tato pertama dan tato di area tertentu itu diolesi anastesi lokal terlebih dahulu. Semacam krim yang memberi efek kebal alias mati rasa. Cara kerjanya serupa tisu-mejik yang dioleskan pada kelamin pria. Agar sakitnya bisa dikompromi, dan yang lebih penting, agar tidak kapok kalau mau ditato lagi.

Mulanya aku mengira Anomali berlagak sok kuat, tetapi ketika kutanyakan alasannya cukup mencengangkan. Katanya, ia ingin mengukur lebih sakit mana nyeri ketubuhan versus nyeri kepikiran. Jawabannya itu, jelas membagongkan.

Setelah pertemuan itu, aku sesekali memutar lagu yang Anomali pinta ketika ia ditato olehku, di studioku. Lankan Pirk – Pada Akhirnya. Kuresapi reff-nya dalam-dalam: ay traid so hard en gat so far… bat in di end it dasen ipen meter… ay hed tu fol tu lus it ol… bat in di end it dasen ipen meter…

***

Aku dibangunkan dengung samar mesin tato, melodi familiar yang menandakan hari lain di studio.

*****

Wednesday, 30 August 2023

Cerpen: Reinkarnasi Kesekian

Ah shit, here we go again...

***

Namaku Arpeggi. Dan, beginilah kehidupanku sekarang. Mengada sebagai ikan Angler dengan ingatan dan kesadaran layaknya manusia. Barangkali inilah yang disebut reinkarnasi. Untuk yang kesekian. Dilahirkan kembali. Betapa aduh sekali. Seingatku, dulu, aku pernah hidup sebagai fungi di atas tinja sapi, sebagai kapibara yang dimukbang koloni piranha, sebagai bunga daisy, sebagai pohon kamboja yang tertimpa keranda, sebagai perempuan kelas menengah pada abad pertengahan, sebagai prajurit berpangkat rendah yang dibunuh granat tangan.

Kini, aku sejenis ikan paling buruk rupa yang hidup di zona abisal. Aku lupa siapa ilmuwan kelautan yang dengan sompral memberi predikat demikian. Tapi tak apa. Lagi pula, di sini, tak ada yang peduli pada jelek atau rupawan. Yang terpenting bisa tetap makan dan bertahan dari kepunahan. Di laut dalam, tak ada beda antara pagi dan malam. Semua sama. Pagi gelap, malam gulita. Tak ada sinar mentari yang sanggup menembus seribu meter di bawah permukaan laut. Bagi makhluk abisal, satu-satunya cahaya hanyalah bioluminesensi. Emisi cahaya buatan yang dimungkinkan oleh reaksi-reaksi kimia. Suatu fitur alam, dengan kegunaan yang beragam. Entah untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi. Demi kebutuhan predasi seperti ikan angel dan hiu-hiu tertentu. Atau sebagai sinyal kawin seperti odontosyllis enopla alias cacing bermuda. 

Sebagai yang pernah manusia, kurasa, spesies menyedihkan itu pun melakukan hal yang serupa. Atau minimal mirip-mirip. Mencipta cahaya buatan dari reaksi-reaksi semantik agar dapat punya alasan untuk bertahan. Menurutku, mereka mengembangkan makna dan harapan di dunia nirmakna serta nirharapan. Beberapa dari mereka menyebutnya negara, beberapa yang lain masyarakat, dan sebagian besar menyebutnya tuhan. Kupikir, begitulah evolusi bekerja. Selalu spesies yang mengalah pada keadaan dan lingkungan. Bukan sebaliknya. Apalah arti kehendak di hadapan kenyataan. Itulah yang kupelajari saat masih hidup sebagai makhluk yang katanya paling sempurna. 

Selain gelita, di sini, sangatlah dingin. Suhunya hanya dua derajat celsius. Selain dingin, juga penuh tekanan. Tekanan hidrostatis, tepatnya. Sependek pemahamanku, di bawah tekanan, semua yang bernyawa dipaksa beradaptasi. Berevolusi sedemikian rupa dan cara. Sesekali, naikilah kapal selam, kunjungilah laut dalam, niscaya kau tahu, setiap spesies akan mampus bila tidak melakukan hal demikian. Sependek pengetahuanku, tekanan hidrostastis ini akan meningkat sekitar satu ATM untuk setiap sepuluh meter kedalaman air. Jika kau punya jam tangan dengan keterangan tiga ATM, itu berarti ia hanya tahan dibawa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter. 

Bagi hewan-hewan selain manusia, tekanan, biasanya mengubah morfologis mereka. Bagi manusia, tekanan, mengubah seluruh aspek dalam dirinya. Menjadi suatu spesies yang berbeda dan benar-benar baru. Misalnya mengganti sapaan menjadi he/they atau she/they, membotaki atau membondoli rambutnya, hingga mewarnainya dengan warna-warna terang. Semacam mekanisme pertahanan diri. Mungkin juga mekanisme koping. Tapi, yang jelas, alam mengajarkan bahwa hewan berwarna mencolok menandai ketoksikan. Bahasa ribetnya, aposematisme. Sederhananya, agar hewan lain, khususnya predator, tak berani macam-macam. 

Biologi tak pernah gagal membuatku terkesan.

***

Aku belajar cukup banyak dari kehidupanku sebelumnya. Waktu itu, aku budak korporat perlente. Bekerja dari pukul sembilan pagi sampai lima sore. Lima kali dalam satu minggu. Begitu, secara redundan. Sebagai seorang komuter, waktuku habis dengan menontoni punggung orang-orang asing berwajah kusut masai yang tak akan pernah kutahu apa cita-cita mereka, siapa nama mereka, atau bagaimana hari mereka. Di jalan raya, di kursi tunggu peron, di dalam gerbong kereta. 

Alih-alih spektator, sebenarnya, aku lebih mau jadi aktor. Tak heran, bila pada gilirannya, aku dilanda kebosanan luar biasa kala mengamati para NPC. Aku cuma pekerja teks komersial. Bukan etnograf. Mereka bukan subjek penelitianku. Dan, aku tak pernah berhasrat membuat jurnal akademik dengan bahasa rigid tentang bagaimana kelas pekerja di wilayah perkotaan saling mengimroatuskan diri. 

Kalau boleh jujur, jenis kehidupanku yang sebelumnya itu, ketimbang kehidupan, lebih terdengar seperti kutukan paling menyedihkan yang bisa dicetuskan dewa-dewi di gunung Olimpus. Tak ada kebahagiaan imajinatif dari kerepetitifan yang menjemukan. Aku bahkan merasa, tubuhku bukan lagi tubuhku, diriku bukan lagi diriku. Aku bagai kapal theseus yang setiap kerangkanya telah diganti dan diperbaharui sepanjang waktu.

Tapi yang paling banter kulakukan saat itu hanyalah memenuhi kedua telingaku dengan lagu Tentu Saja Aku Sengsara Sekarang - Para Pandai Besi dan Tak Ada Kejutan - Kepala Radio. Dan, merobotkan diri. Memekaniskan hari-hari. Aku berevolusi menjadi robot tak berperasaan yang bisa menyelesaikan soal CAPTCHA. Alias jadi stoak-stoik urban. Suatu pagi, kuceritakan apa yang kurasakan pada ayahku. Ia bilang jadilah setegar akar. Masalahnya akarku serabut, bukan tunggang. Maka ketika badai menghantamku, yang kulakukan hanyalah cabut dengan lari tunggang-langgang. 

Barangkali, lelah akan kegagalan bertubi-tubi membikinku menjadi sosok yang mudah menyerah. Lelah adalah lelah. Menyerah tetaplah menyerah. Maka, pada suatu minggu malam, kujadwalkan untuk mengakhiri hidupku. Tiga hari sebelum bunuh diri, kukuras tabunganku yang tak seberapa. Kualihfungsikan jadi dana kenakalan. Mencari kepuasan instan. Melampiaskan kehampaan. Mengunjungi sebuah kasino. Bermain domino, qiu-qiu. Menenggak Kolonel Morgan. Dan, menyewa PSK. Setelahnya, aku melompat dengan posisi kepala terlebih dahulu dari apartemenku yang berada di lantai tiga belas.

Sebelum melompat, aku sempat menulis surat wasiat. Dalam testamenku itu, kutekskan bahwa aku ingin pulang. Sebenar-benarnya pulang. 

***

Semesta yang mahabercanda, sialnya, menerjemahkan kalimat itu dengan melahirkanku kembali sebagai ikan laut dalam. Ayolah, aku pun tahu kalau laut adalah tempat berpulang yang paling purwa. Tapi itu bukan berarti aku ingin pulang ke sana dan dilahirkan sebagai ikan Angler. Aku ingin pulang pada ketiadaan. 

Aku mengerti, nenek moyang manusia mungkin adalah ikan atau makhluk laut mikroskopis yang hidup sekitar lima ratus empat puluh juta tahun yang lalu. Dan, kehidupan itu sendiri muncul dari lautan. Yang luasnya mencapai seratus empat puluh juta mil persegi, atau sekitar tujuh puluh dua persen dari luas permukaan bumi. Aku sadar, iklim dan cuaca, bahkan kualitas udara yang dihirup manusia, begitu bergantung pada interaksi antara laut dan atmosfer, yang masih belum sepenuhnya dipahami. Aku tahu, lautan tidak hanya menjadi sumber makanan utama bagi kehidupan yang dihasilkannya, tetapi sejak catatan sejarah paling awal, laut telah memungkinkan perdagangan dan perniagaan, petualangan dan penemuan. Aku mafhum, ketika benua-benua telah dipetakan dan setiap penjuru hampir dapat diakses melalui jalur darat atau udara, sebagian besar penduduk dunia tinggal tidak lebih dari dua ratus mil dari laut dan mempunyai hubungan personal dengannya.

Tapi aku benci laut. Sewaktu masih manusia,  aku bahkan tak bisa berenang dan mengidap talasofobia. Maka, salah satu penyesalan dalam kehidupanku sebelumnya, tentu saja adalah tak menulis surat wasiat dengan benar. Penyesalanku yang paling mungkin kedua adalah tak kuliah fisika nuklir. Mempelajari inti atom dan perubahannya. Memahami bagaimana menciptakan senjata pemusnah massal. Demi mempercepat berlangsungnya hari kiamat. Kau mesti tahu, pikiranku memanglah penjahat paling bangsat yang berkeliaran bebas, yang sepertinya lebih baik dipenjara di Ilcitriz.

Mungkin aku hanya membutuhkan seseorang yang mendekapku dengan erat, hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Entahlah, aku hanya Arpeggi. Ikan laut dalam yang jelek dan jangan-jangan jadi aneh karena tak punya kawan untuk bercerita. Maaf, kalau ceritaku berantakan. Aku bahkan tak tahu akan memulai dan mengakhiri cerita ini dengan seperti apa.

Saturday, 26 August 2023

Cerpen: Bagaimana Lukisan Menangis?


“Maaf,” Anna dengan sangsi mencoba memulai percakapan, “Mengapa kau melukis kesedihan? Bukankah seni seharusnya membawa kebahagiaan?”

Raymond terdiam, tetapi kedua matanya masih tidak lepas dari kanvas dan kuas.

“Ah, anak muda... lupakan soal 'seharusnya', kau telah menyentuh kebenaran yang asing,” ia pun membuka mulut, suaranya, seperti sinar matahari pagi yang lemah lembut berusaha menembus tebalnya kabut.

“Seni dan kebahagiaan memang punya hubungan yang baik. Tapi seni dan kesedihan... memiliki hubungan yang lebih menarik dan mesra... tapi kompleks,” tambahnya.

Ia menunjuk. Studionya remang. Tak mengherankan. Setiap inci ruangan itu hanya disinari lampu halogen berwarna kuning berdaya kira-kira lima watt. Jari telunjuknya mengarah pada lukisan dengan skema warna suram. Yang membikin nuansa seakan tambah temaram. Selain tampak kelam, studio itu berantakan. Seperti kapal seniman payah yang pecah. Tumpahan cat di mana-mana. Kuas-kuas yang tidak pada tempatnya. Kanvas-kanvas dengan lukisan yang belum selesai. Seseorang yang belum mengenal Raymond pastilah menyangka ia mengidap ADHD, hanya dengan melihat bagaimana kacau studionya.

Tak berselang lama, Raymond pun bangkit dari kursi kayunya. Berjalan menuju lukisan yang ia tunjuk, Anna mengekorinya. Anna memerhatikan lukisan tersebut dengan seluruh keseriusan dan ketelitian yang ia punya. Lukisan itu berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter. Berjudul “off-limits apocalypse ejaculations”, dengan deskripsi cat akrilik di atas kanvas. Dan, bertitimangsa dua ribu sembilan belas. Selayang pandang, memvisualkan dua manusia—sedang french kiss di suatu kuburan—di atas kepala mereka ada sebuah meteor yang ukurannya cukup besar untuk menandai kepunahan massal ke enam.

“Ini,” katanya, “ini adalah tegangan antara keindahan dan kengerian. Dalam produk-produk dunia penciptaan... lukisan, tulisan, lagu, atau barangkali seni performans... sedih adalah salah satu bahan dasarnya.”

“Hah, bagaimana bisa?” tanya Anna yang keheranan.

“Tanpanya, tak ada citra-citra perjuangan. Menentang keadaan, melawan kesementaraan. Perjuangan tak akan heroik tanpa bumbu kesedihan. Sedih itu serupa garam. Yang membuat sesuatu jadi gurih. Masalahnya, bila terlalu banyak... akan menyebabkan dehidrasi. Rasa kekeringan,” kata Raymond dengan santai.

“Ok, Pak Tua, tapi aku sedang tidak belajar tata boga. Apa hubungannya dengan lukisan ini?” tanya Anna semakin heran.

“Bukankah indah sekaligus ngeri rasanya melihat sepasang manusia sedang ugal-ugalan berciuman semasih kiamat dalam sekejap akan dengan mudah membumihanguskan mereka? French kiss di bandara, di bioskop, atau di kamar hotel... itu sangatlah biasa, tetapi french kiss di kuburan barulah luarbiasa. Kita mungkin sepakat, french kiss itu indah, tetapi french kiss pada hari kiamat lebih indah berkali-kali lipat. Seperti api yang menolak padam.”

Anna, kembali bertanya seperti seorang bocah kadung penasaran yang bercita-cita menjadi penginterviu tokoh-tokoh ambigu, “Aku dapat poinnya. Tapi bukankah menyakitkan untuk melukis pemandangan yang menyedihkan seperti itu?”

Raymond menyungging senyum.

“Ya, memang menyakitkan. Namun, hanya dengan melukis hal menyedihkan itulah kita dapat menerima sedih. Yang pada akhirnya, kita bisa benar-benar menghargai kata 'bahagia'. Hanya dengan seperti itulah seni bisa membawa kebahagiaan. Sedih mesti diterima, lebih-lebih dicintai apa adanya. Aku tak mau semakin meromantisasi tapi saat melukis kesedihan, aku teringat akan betapa rapuhnya keindahan. Betapa ia mudah patah. Entah dipatahkan orang lain, ataukah dipatahkan diri kita sendiri,” jawab Raymond sembari menunduk.

“Apalagi yang kau dapat dari melukis kesedihan?”

Tangan kanan Raymond meraih sebotol merlot. Sedang tangan kirinya menggapai gelas sloki.

“Kau mau minum?”

“Ketimbang merlot, sebenarnya aku lebih menyukai shiraz. Tapi tak apa... aku sedang ingin menghangatkan tubuhku. Beberapa gelas merlot mungkin ide bagus buatku.”

Mereka pun menenggak beberapa gelas merlot. Sembari berdiri.

Dengan sedikit tipsy, Raymond melanjutkan, “Yang kudapat dari melukis kesedihan... sensitivitasku meningkat pesat. Aku merasakan relativitas waktu. Betapa waktu bisa berjalan lambat atau berjalan cepat. Kau tahu, seni juga butuh kepekaan-kepekaan tertentu.”

“Kepekaan seperti apa?”

“Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, kepekaan akan betapa rapuhnya keindahan. Percayalah, anak muda... kesementaraan itulah yang membuat segalanya indah. Jika saat ini aku sedih, maka aku gembira... karena tahu kebahagiaan akan datang setelahnya. Aku menangkap air mata yang tak sekadar menyedihkan tapi juga menenangkan. Dan, sebagaimana cinta butuh bahaya-bahaya, keindahan membutuhkan kengerian.”

“Menarik... memang apa jadinya jika cinta tanpa bahaya, dan keindahan tanpa kengerian?”

“Tanpa bahaya dan kengerian, tak ada cinta dan keindahan yang agung. Yang luhur. Atau adiluhung.”

“Apakah itu artinya seni yang magnum opus itu secara paradoks lebih dekat dengan kesedihan ketimbang kebahagiaan?”

“Ini bukan soal jarak. Jauh atau dekat. Bukan pula soal massa. Ringan atau berat. Begini, Anna, seni, bagiku, adalah soal menerima semua warna yang ada pada buku pantone. Bukan pula soal apakah kita akan melukis dengan cat akrilik, cat minyak, atau cat air. Itu perkara teknis. Ada yang lebih penting dan mendasar dari itu.”

“Apa yang lebih penting dan mendasar dari itu?”

“Hahaha... Hiduplah lebih lama... kau akan tahu... sebagaimana kuning dan merah, biru adalah warna primer dalam hidup kita. Sebagaimana bahagia dan marah, sedih adalah yang berlalu lalang dalam hidup kita. Tapi kebiruan-kebiruan itu, boleh jadi, merupakan yang paling purba dari diri kita. Penanda paling pertama dari kelahiran. Pengiring paling pertama dari kematian. Aku benci mengatakan ini, tetapi kurasa, tak ada yang lebih manusia dari air mata. Barangkali itulah mengapa aku sering kali melukis kesedihan. Ya... dengan melukis kesedihan aku merasa menjadi manusia. Anna, kita adalah manusia, makhluk yang punya rasa. Tak sekadar taste of art. Lebih luas dan dalam dari selera estetika belaka. Tapi kau mesti memahami bahwa penulis sebenarnya melukis dengan tulisan dan pelukis menulis lukisan yang tak terbahasakan. Keduanya sama-sama bisa menyingkap misteri-misteri. Tapi aku hampir selalu percaya bahwa pelukis satu tingkat lebih tinggi dari penulis soal bagaimana menggambarkan sesuatu dalam diri kita. Dan, melalui seni, kupikir, kita dapat melihat tarian yang rumit di antara kondisi-kondisi emosional kita.”

Raymond berjalan menuju sudut studionya yang lain. Yang dihiasi sarang laba-laba. Anna kembali mengekorinya. Pria lanjut usia itu kemudian memutar piringan tua yang nampak telah berdebu. Ia mengalukan Cemptino d'un Autre été dari Yinn Taorson. Seratus detik berlalu. Masing-masing dari mereka mematung. Menikmati alunan piano dengan tempo allegretto yang tak secepat allegro itu.

“Mau berdansa?” tiba-tiba Anna mengajak Raymond berdansa.

“Boleh.”

Dan, mereka pun berdansa... seperti sepasang sinting tanpa pisau cukur di tangannya.

Saturday, 19 August 2023

Cerpen: Dua Pendaki


“Apa yang sedang kau lamunkan?” tanya Noura tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya. Pantatnya memantapkan posisi duduknya. Lalu ia membetulkan kacamatanya yang sempat longsor. Dan kemudian berselonjor.

“Aku memisalkan dunia ini sebagai pasar malam,” jawab Emil sembari meletakkan kepalanya di pundak kiri Noura. Lantas dengan lekas memejamkan matanya.

Di atas sana, lunar memancari mereka berdua. Hewan-hewan nokturnal saling bersahutan. Membikin semacam melodi malam. Dalam kondisi seperti ini, konon, kejujuran dan keseriusan lebih mudah untuk dilahirkan. Deep talk pun biasanya tak sulit untuk dihadirkan. Di bawah sana, di arah Utara tepatnya, kerlap-kerlip lampu kota nampak jelas ternetra dari dataran setinggi kira-kira seribu tiga ratus MDPL itu. Dan warna langit seperti ingin mengabarkan sedang pukul satu.

“Maksudmu?” ia kembali menukil tanya. Seraya memasang wajahnya dengan segunung keheranan.

“Maksudku, ayolah... Apa beda planet biru ini dengan pasar malam? Di sini, bahkan, terdapat banyak wahana-wahana yang cenderung nauseatik. Ada kora-kora, komedi putar, bianglala, tong setan, dan sebagainya,” jawab Emil setelah mengangkat kepalanya dari pundak kiri Noura. 

“Sejujurnya, aku ingin mencoba memahamimu. Menalar pola pikirmu... Dan kurasa, omonganmu masuk akal. Ada benarnya. Tapi... omong-omong, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” kini Noura bertanya sambil menatap tajam mata Emil.

“Pada dasarnya, aku memang gampang mabuk. Aku bisa muntah hanya karena menaiki persegi panjang beroda lebih dari dua. Apalagi bila di dalamnya terdapat pengharum beraroma jeruk. Aku bukan nyamuk, dan bahkan benci nyamuk, tapi kami sama-sama punya konvensi untuk membenci bau jeruk. Termasuk parfum yang harum jeruk bergamot. Tak diragukan lagi, menurutku, salah satu bebauan terburuk!” ia kemudian mengambil segelas susu jahe di sebelah kanannya. Dan menyesapnya. Kedua kakinya pun turut berselenjor.

“Jawabanmu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Tapi tak apa. Setidaknya aku jadi tahu salah satu alasan mengapa lehermu selalu wangi parfum black opium. Ya, yang hint-nya tercium serupa kombinasi kopi, vanila bourbon, dan bunga melati,” Noura mencoba mengikuti topik pembicaraan.

“Ok ahli minyak wangi. Mulai sekarang kau kunamai Noura Eau de Parfum, ya?” bahasa tubuh dan intonasi bicara Emil seperti seseorang yang sedang satir.

“Haha... usaha yang bagus untuk meledekku. Tapi tolong, aku mohon, jangan mengalihkan perhatianku. Aku masih penasaran sebenarnya. Aku tanya sekali lagi, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” Noura tertawa kecil kemudian memasang wajah serius. Memicingkan tanyanya, lagi.

“Sebentar, aku mau membakar dupa dulu,” Emil meraih keril berukuran enam puluh lima liter berlogo burung osprey di dalam tenda double layer berkapasitas dua orang itu. Lengan kirinya, kini, memegang tiga buah dupa stik. Lengan kanannya memantik api.

Ia kemudian menacapkan tiga buah dupa di tanah. Di depan matras alumunium foil yang mereka duduki. Voilà, asap mengepul dan aromaterapi memenuhi lubang hidung mereka. Penanda dupa tersebut sukses menyala.

“Menurutmu, kira-kira, adakah orang waras yang menyalakan dupa sewaktu dini hari ketika sedang berkemah di antah berantah bersama teman perempuannya? Kau mau pesugihan apa bagaimana?” tak mau kalah, Noura membalas meledek Emil.

“Terserah kau mau menganggapku gila atau bagaimana. Aku terbiasa membakar dupa dan tidak sedang memulai ritual pesugihan. Lagipula pesugihan tak nyata,” kata Emil sambil sibuk menyalakan kembali beberapa dupa yang padam.

“Aku menganggapmu sebagai temanku yang membingungkan. Yang aneh... absurd. Tapi sumpah, pesugihan itu benaran ada. Riil. Kau tak percaya, kah?”

“Kata ayahku, jika pesugihan nyata, tentu saja para ekonom tak akan menggaruk kepalanya sewaktu memikirkan penyebab utama melemahnya nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Dan seseorang yang membikin teori bahwa inflasi sebuah negara dipengaruhi pesugihan itu akan diganjar Hadiah Nobel Ekonomi. IMF dan Bank Dunia pun tak akan segan-segan mengundangnya, memberinya mimbar, untuk mengisi sebuah seminar finansial pada forum pertemuan global.”

“Hahahaha... anjing!!!!” Noura tak bisa menahan tawa dan mengontrol kata-katanya.

“Kita sedang di alam. Jangan sompral,” kata Emil dengan sesimpul senyum. 

“Maaf aku lupa kita sedang berkemah. Eh, aku baru ingat... hmmm... kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau merasa mual dengan kehidupan?”

Emil membuka kotak makanan yang sejak tadi ia anggurkan. Isinya adalah seratus gram tembakau, sebuah alat pelinting, lima puluh butir filter rokok, dua ratus kertas papir, dan tiga buah lem kertas. Tanpa berkata sepatah kata pun, Noura memerhatikan bagaimana Emil melinting sebuah rokok. Hanya butuh tiga puluh detik baginya untuk melakukannya. Setelah jadi, Noura refleks memberikan korek api kepadanya. Emil membakar dan mengisap rokoknya. Sedang asapnya diembuskan melalui dua buah lubang hidungnya.

“Kalau boleh jujur, aku malas menjawabnya. Pertanyaan itu terlalu personal dan sentimental. Tapi sekarang aku sedang ingin menjawabnya. Begini, enam bulan lalu ayahku masih bangun pagi untuk bekerja di pasar saham. Ia manajer perusahaan broker. Kini, dirinya tidur abadi di dalam peti mati. Ia bunuh diri karena kena PHK. Ia depresi. Praktis, ekonomi keluargaku kolaps. Warisan satu-satunya cuma pasar malam. Aku benci menjadi pengusaha. Tapi aku akan meneruskan bisnis ayahku yang tersisa,” ia mematikkan rokoknya. Pundaknya seperti gedung pencakar langit yang menunggu kehilangan rangka beton di setiap lantainya. Nyaris runtuh, rubuh. 

“Ya Tuhan, aku turut berduka cita atas apa yang telah menimpamu. Aku meminta maaf jika pertanyaanku malah membuatmu merasa tidak enak. Pertanyaanku seperti mengorek luka yang masih menganga. Sekali lagi, aku minta maaf,” kedua tangan Noura menepuk-nepuk pundak Emil. Tak berselang lama, ia pun memeluknya.

“Ya, tak apa. Tak apa-apa...” Emil membisik pelan ke telinga Noura. 

“Aku akan mendengarkanmu jika kau masih ingin bercerita,” Noura memeluk Emil dengan lebih erat.

“Terima kasih sudah memasang telinga...” ia kembali membisik.

“Aku di sini,” Noura melepas pelukan. Emil kembali mengambil rokoknya. Dan membakarnya. Lagi.

“Sejak kecil, aku terbiasa hidup dimanja. Aku lelah memutar kepala agar tidak meninggal dengan cara paling menyedihkan di zaman di mana lebih banyak orang yang tutup usia karena obesitas ketimbang malnutrisi. Ya, kelaparan... aku hanya takut jika suatu hari nanti aku ingin memakan arum manis tapi aku telanjur sakit gigi...” ucapannya terputus karena ia mengisap rokoknya, “Sesekali aku merasa seperti seorang yang alergi gravitasi tapi dipaksa menaiki kereta luncur yang mengarah ke bawah. Aku tidak mual dengan kehidupan, aku telah muntah.”

Noura menelan ludah.

“Percayalah, pada suatu hari nanti kau akan bangkit lagi. Semoga Tuhan selalu memberikanmu obat antiemetik. Ingat ini, apa yang tak membunuhmu akan membuatmu jadi jauh lebih kuat lagi,” katanya, menguatkan.

“Terima kasih atas empatimu,” Emil mengembuskan asap rokoknya ke udara seakan memberi jeda, “... tapi apa yang tak membunuhku lebih besar kemungkinannya membuatku berharap mampus dengan segera.”

“Mengapa kau begitu pesimis? Percayalah, selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap itu.”

“Aku tidak pesimis, aku realistis. Misalkan cahaya di ujung terowongan itu ada. Tetap tak ada yang bisa menjamin apakah cahaya itu merupakan jawaban bagi kegelapan ataukah kereta dengan kecepatan enam ratus tiga kilometer perjam yang akan menghantamku, mengoyak tubuhku, membunuhku, bahkan sebelum reseptor nyeri itu sempat mengirim sinyal bahaya ke otakku,” Emil menggosok hidungnya.

Noura kembali menelan ludah. Seakan tak percaya atas apa yang ia dengar.

“Meskipun dunia bagiku telah seperti pasar malam yang sedang mati lampu, tapi darinya aku banyak belajar. Misalnya bahwa manusia punya semacam kerinduan purba terhadap keseruan. Bahkan rela merogoh kocek mereka dalam-dalam untuk membayarnya. Membeli andrenalin untuk mendapatkan endorfin, sederhananya. Yang ganjil adalah wahana rumah hantu. Seseorang yang mendatangi wahana itu, tentu saja, sadar bahwa hantu-hantu di sana merupakan sesuatu yang sifatnya buatan. Mengapa ia mesti ketakutan bahkan lari tunggang langgang ketika bersitatap dengan hantu-hantu itu?” ia melanjutkan.

Noura, kini, membiarkan Emil bermonolog. Dan di atas sana, lunar masih memancari mereka berdua...

Saturday, 5 August 2023

Cerpen: Ale dan Gori

Ale: “Kau sudah membaca berita?”

Gori: “Berita apa? Ada triliunan berita yang diproduksi setiap hari.”

Ale: “Berita soal mantan pejabat intelijen Angkatan Udara Akirema Sorakit, yang menuding pemerintah negaranya menyembunyikan pesawat Alien sejak tahun sembilan belas tiga puluh-an. Kau percaya Alien?”

Gori: “Berita itu.... sudah. Begini, aku tak mau menggunakan kata 'percaya'. Terlalu dogmatis dan teologis. Aku tak suka pendekatan irasional semacam itu untuk menalar fenomena. 'Percaya' bukan satuan fisika. Tak saintifik. Tak ada beban pembuktiannya. Tak ada tolok ukur kebenarannya. Ya, alien... mungkin ada. Dan kalau pun ada, aku hanya mau percaya pada Alien yang bisa menari.”

Ale: “Sebentar, lantas apa yang kau percaya bila kau tak suka dan tak mau menggunakan kata 'percaya'?”

Gori: “Kalau pun aku mesti percaya, aku hanya mau percaya pada keskeptisanku.”

Ale: “Paradoks!”

Gori: “Lebih ke Paramex, sih.”

Ale: “Hahaha... Kembali ke topik. Kalau Alien ada bagaimana?”

Gori: “Kalau pun ada dan kalau boleh aku lebih konspiratif, aku malah curiga. Aku akan berlagak seperti seorang konspirator mulai sekarang… hmmm… jangan-jangan, lebih dari empat ribu dua ratus matriks yang ada di dunia ini dimungkinkan oleh semacam Alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda.”

Ale: “Kok bisa?”

Gori: “Ya bisa saja. Misalkan kita menggunakan drone berkamera dengan radius seratus meter untuk memantau bagaimana peradaban dari suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang sama sekali tak tersentuh teknologi. Sebut saja, suku Sontinol di Teluk Binggili. Gunakan asumsi yang sama. Tinggal diganti latar lokasi pemantauannya menjadi Bumi dan radiusnya jadi jarak Andromeda ke Bima Sakti. Katakanlah demikian. Bayangkan. Terbayang?”

Ale: “Sialan. Terbayang. Kepalaku seperti membeku.”

Gori: “Kemungkinan terbesarnya apa? Suku Sontinol, akan memandang drone itu sebagaimana kita memandang UFO.”

Ale: “Terkejut dan terheran-heran?”

Gori: “Tepat sekali! Ngerinya, dalam kondisi inosens-primitif yang kolektif semacam itu, juga terdapat kebolehjadian tinggi bahwa beberapa dari mereka yang skizoid akan mulai mendaulat dirinya sendiri sebagai utusan langit. Mereka akan mengaku pernah mendengar suara Alien, misalnya. Masalahnya timbul jika Alien itu bukan poliglot dan malah unilingual. Alias tak bisa banyak bahasa dan hanya bisa satu bahasa saja.”

Ale: “Misalnya bahasa apa?”

Gori: “Katakanlah, bahasa Preketek-preketek. 

Ale: “Ok, lalu?”

Gori: “Bahasa ini akan mendapatkan legitimasi. Dipolitisasi sedemikian rupa dan cara. Misalkan dijadikan semacam bahasa liturgis dalam kidung ekstraterestrial pada ritus peribadatan di depan patung piring terbang.”

Ale: “Bangsat! Seram juga ya. Aku tak bisa membayangkan jika setiap sendi-sendi kehidupanku ditentukan oleh orang-orang naif yang percaya diri, yang bahkan tak bisa membedakan mana nyata mana delusi. Mana fakta, mana lulabi. Mana kebenaran, mana justifikasi. Ini terlalu ngeri, bahkan untuk sekadar dibayangkan dengan kadar kemungkinan sebesar lima persen.”

Gori: “Yang tak delusif dan bisa melihat peluang akan punya tendensi misionaris. Menjadi sales-mitos mengenai keberadaan Alien. Yang nyaris seluruhnya politis. Agar punya privilese. Entah ingin merasa lebih bersih, lebih tahu, demi lebih dikagumi dan disegani. Oleh siapa? Ya, sesamanya. Atau kalau mau ditarik lebih sosio-kultural, lebih kolonial, dan lebih eksploitatif... ya demi mengeruk sumber daya dari daerah jajahannya. Dengan apa? Sistem dan struktur pengetahuan. Beberapa dari mereka yang punya IQ lebih tinggi dari titik didih air dalam skala celsius mungkin akan menyerukan dekolonisasi pengetahuan. Masalahnya, mayoritas dari mereka hanya punya IQ setara titik didih air dalam skala fahrenheit. Imbesil. Aku bukan mau gaya-gayaan berlagak sok pintar. Aku cuma mau memuntahkan analisis kasar. Upaya meraba kebenaran yang sayangnya tak pernah peduli pada perasaan. Itulah alasan mengapa aku mengatakan demikian. Menarasikannya padamu. Biar ada teman. Aku tak mau mengalami kengerian sendirian. Siapa yang tahan?”

Ale: “Dasar bajingan! Eh, aku masih penasaran bagaimana nasib bahasa selain Preketek-preketek, katakanlah Prokotok-prokotok atau Prikitik-prikitik?”

Gori: “Ya, termarjinalkan. Dianggap rendah dan tak sakral. Tak mujarab. Tak punya kekuatan magis apa-apa. Pedahal uuaa, iiii, dan oooo yang disuarakan setiap komunitas suku pedalaman itu cuma soal variasi vokal belaka. Konvensi pula. Ada yang suka dan terbiasa mengucap huruf a, ada yang i, ada yang u, ada yang o. Cuma soal titik artikulasi di sepanjang rongga suara.”

Ale: “Yang cadel bagaimana nasibnya, ya? Misalkan ada mitos, untuk mencapai Lubang Putih mereka superwajib melantunkan mantra ekstraterestrial dengan enam ribu enam ratus enam puluh enam huruf 'r' setiap lima kali sehari. Mampus, sih. Plus, jika Alien yang mereka percaya punya anger issue. Mudah marah. Apalagi jika di Galaksi, tempat Alien itu bersemayam, tak ada psikiater. Atau sekadar psikolog yang tak bisa meresepkan obat. Sehingga, pada akhirnya, Alien itu tak bisa mengonsultasikan kemarahannya yang tak akan terjadi apabila ia tak berinisiatif tinggi untuk menciptakan suku-suku pedalaman. Yang cadel biologis. Lidahnya pendek atau kecil secara anatomis. Alien problematik itu akan terjebak pada tahap kedua, dari lima tahap kesedihan. Ya, kemarahan. Ditambah gemar mengancam dan pendendam. Kacau.”

Gori: “Kabar buruknya, penderitaan suku pedalaman yang cadel tak sekadar itu. Selain memengaruhi bagaimana berbicara, makan, dan menelan... kecadelan dapat menimbulkan komplikasi saat menyusu. Bayi cadel yang secara anatomis berlidah kecil dan pendek bisa kesulitan dalam menyusu. Ketika menetek, aih-alih mengisap, bayi itu malah mengunyah puting payudara ibunya. Hal yang terjadi setelahnya hampir bisa ditebak. Dahinya dikeplak!

Ale: “Hahahahaha... sulit juga ya membayangkan seorang cadel berbahagia. Lebih sulit dari membayangkan seorang pekerja yang bekerja dengan gaji bercanda dan terus berharap semesta bekerja untuknya, tapi faktanya semesta bekerja di bawah tekanan.”

Gori: “Hahaha... sulit itu akan berkali-kali lipat. Kuadrat. Jika kau tahu bahwa mereka yang berlidah pendek akan bekerja lebih ekstra untuk menjulurkan lidah sehingga akan susah mengucapkan huruf 't', 'n', dan 'l'. Dengan demikian, mereka hampir tak bisa mengeluh dan memisuh dengan kata kasar seperti Kantal! Kkkkkk... aku tertawa seperti orang Silbra.”

Ale: “Hahahaha... cukup intermesonya. Menurutmu, apalagi yang ngeri dari mitos mengenai Alien-Alien itu?”

Gori: “Yang tak kalah ngeri begini... hanya karena perbedaan kata atau istilah untuk menyebutkan benda, sifat, peristiwa, tempat, terjadi adegan panah-panahan antar suku pedalaman yang sebenarnya membicarakan hal yang sama. Tambah ngeri kalau mereka berdarah dingin, sehingga mata panahnya diolesi batrakotoksin. Yang cukup untuk membunuh sepuluh manusia dewasa.”

Ale: “Barangkali karena di hutan belantara hanya ada katak panah beracun. Tak ada dokter THT yang bisa menyembuhkan masalah pendengaran. Sehingga, ketika terjadi kebudekan kolektif, puncaknya hanyalah peperangan. Secara lebih luasnya, dengan kapak perimbas, tombak berujung batu, pedang beraksara Preketek-preketek, senapan angin, senapan mesin, bom atom, hingga rudal balistik berhulu ledak nuklir.”

Gori: “Mengapa aku malah membayangkan Boothevon pergi ke dokter THT, ya?”

Ale: “Tanpa berobat saja, ia bisa menciptakan instrumen indah dan surgawi seperti Piano Seniti Nomor Empat Belas. Minimal Boothevon pakai cotton bud, deh. Maka tak diragukan lagi, ia akan menjadi komposer terbaik sepanjang masa. Setelah Chepin dan Dobussy, tentu saja.”

Gori: “Benar juga. Aku sepakat soal itu hahahaha... Omong-omong, aku sih suka instrumen Hins Zammor. Latar lagu film Antorstollir yang epik dan bikin suasana tambah sinematik itu. Tapi kalau mau kembali membahas lebih lanjut soal kecurigaanku bahwa empat ribu dua ratus matriks merupakan ulah semacam alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda, maka suku-suku pedalaman tak tersentuh teknologi itu, dapat kita asumsikan sebagai masyarakat primordial.”

Ale: “Ya aku tahu instrumen itu... Menarik... Ayo kita bahas lagi. Sebentar, masyarakat primordial?”

Gori: “Iya, salah satu fase paling awal. Biasanya, secara sosiologis, ada tiga ciri utama. Pertama, punya fetis terhadap benda kosmik... sebut saja batu meteor. Kedua, menyembah Alien berjumlah banyak. Ketiga, menyembah Alien yang tunggal. Ada ribuan alasan gaib di balik fenomena kefetisan dan penyembahan itu. Misalkan... mereka percaya bahwa batu meteor itu adalah batu ajaib yang diberikan Alien kepadanya. Hal ini tak akan terjadi apabila Alien punya kepribadian introver. Bukan ekstrover. Tidak narsis. Tidak minta validasi. Idih najis.”

Ale: “Abi! Anak babi! Serius dululah barang sebentar. Ada pertanyaan menggelisahkan di dadaku. Menurutmu, mengapa suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang tidak tersentuh teknologi bisa sebarbar itu?”

Gori: “Barangkali begini... Aku pakai 'barangkali' bukan untuk mengajak berpikir abstrak. Sesederhana karena aku belum bisa memastikan secara pasti. Masih hipotesis, belum kokoh jadi bangunan teoretis. Begini, di dalam batok manusia itu ada otak reptil. Letak spesifiknya di amigdala. Lapisan paling purba dari otak yang bertanggung jawab atas sembilan puluh persen pengambilan keputusan. Sejak kira-kira dua juta tahun lalu, ketika berburu-meramu, otak reptilian digunakan untuk bertahan hidup. Mengontrol kebutuhan dan ketubuhan dasar. Antara lari dan hadapi. Antara hidup dan mati. Produk evolusi hingga hari ini.”

Ale: “Bahaya juga, ya, warisan evolusi ini. Dilematis, sih. Ada baik, ada buruknya. Ya, klise.”

Gori: “Di zaman mahabeli seperti saat ini, otak reptil ibarat biang kerok yang tak kasat mata di balik mengapa banyak orang bertindak konsumtif. Secara neuroekonomi, saat berbelanja, konsumen sebenarnya tak memutuskan secara rasional, mereka hanya berpikir mereka melakukannya. Membanjirnya pilihan-pilihan dan perbandingan produk, misalnya Aypon vs Androit, memaksa otak reptil bertindak cepat. Mirip ketika dulu, kala Pleistosen, nenek moyang kita yang hidup di Akirema Aratu dan Natales, dihadapkan dengan Smilodon, sejenis kucing bergigi pedang. Pilihannya cuma dua. Dulu, lari atau hadapi. Kini, beli atau tidak. Keduanya sama-sama seperti pilihan hidup atau mati.”

Ale: “Orang gila. Kok bisa kepikiran?”

Gori: “Aku berpikir, maka aku kepikiran.”

Ale: “Overthinking, nggak sih?”

Gori: “Lebih ke oversinting, sih.”

Ale: “Hahahaha.... sebentar aku lupa menanyakan ini. Menurutmu, kalau Alien ada, bagaimana wujudnya?”

Gori: “Barangkali sama seperti gambaran umum di film-film dan komik-komik. Bermata besar, berpipi tirus, dan berambut botak. Tapi bagaimanapun rupanya, ciri morfologis seperti ini, berpotensi berujung pada pengultusan. Artinya, yang bermata kecil, berpipi gembil, dan berambut gondrong, akan cenderung dianggap tidak keren. Lebih ke tidak ilahi, sih. Tidak ada unsur ekstraterestrialnya. Maksudku.”

Ale: “Menarik. Ok, pertanyaan selanjutnya. Menurutmu, bagaimana nasib empat ribu dua ratus matriks ketika manusia mampu mengolonisasi planet lain, Mars misalnya?”

Gori: “Pertama, pendaratan Noil Armstreng dan Buzz Aldran di Bulan pada tahun Sembilan Belas Enam Sembilan dalam misi Ipelle Sebelas tak akan lagi dianggap sebagai akal-akalan NISI. Begitu pula Yura Gigiran. Dan Liyki, anjing pertama yang ke luar angkasa. Dan lainnya. Kedua, orang-orang akan mulai hidup dengan damai. Seperti gambaran Jehn Lonnen dalam lagunya, Imejin.”

Ale: “Imejin ders no hepen... its isi if yu trai... no hell bilow as... abop as, onli skai... imejin oll de pipel... lipin for tudei... ah... imejin ders no kantris... itis nat hard tu du... nating tu kill or dai for... en no relijien tuu... imejin oll de pipel... livin laif in piss... yu hu uuuu...

Gori: “Yu mei sei am eu drimer... bat am nat de onli wan... ay hop somdei yu join as... en de woeld will bi as was.”

Ale: “Bagaimana kalau Alien tak ada?”

Gori: “Kalau Alien tak ada, barangkali orang-orang akan mulai percaya bahwa tiga ribu tahun lalu Piramida Gazi dibikin oleh orang-orang Rimes Kuno. Atau bahwa Stenohongo di Silasbury dibuat oleh para pemburu-pengumpul pada Mesolitik Awal. Seperti yang dikemukakan para arkeolog dengan bukti-bukti arkeologi. Bukan teori konspirasi yang didapat dari seorang tolol ketika buang air besar di kamar mandi. Walau bagaimanapun, kita masihlah bocah yang membuka buku bergambar demi memahami bagaimana bintang-bintang nun jauh di sana bekerja.”

Ale: “Kini, kau telah menjadi Kehidupan, penghancur Pascakematian!”

Gori: “Begini, aku bukan Epponhoimor. Aku tak berhasrat mengotaki pemboman Hareshami dan Nigisika. Aku lebih mau menjadi kucingnya Schrëdingor. Yang bisa bereksperimen pikiran. Tanpa harus dipusingkan dengan meningkatnya harga whaskis.”

Ale: “Ini serius, aku lupa bertanya... apa cita-citamu?”

Gori: “Astronot.”

Ale: “Yang benar saja!”

Gori: “Apa aku sedari tadi terdengar seperti seorang pemabuk bermulut besar yang sedang membual?”

Ale: “Tidak.”

Friday, 10 February 2023

Cerpen: Hanya

Several Circles (1926) by Kandinsky
Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya berbicara menggunakan suara diafragma, meskipun tegas dan lugas, kepalaku masih mencoba mengunyah dan mencerna kata-katanya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kehidupan hanyalah pil biru berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang. Dan, sejarah, hanyalah pil merah berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang tapi rasa stroberi, jawabnya.

Sejak zaman kuda menggigit besi, besi digigit kuda, kehidupan hanya pengulangan konstan yang mungkin tak bertepi. Semenjak kuda jadi kuda Trayo (epik mengenai siasat cerdik sekaligus licik orang Inanuy—dalam Illaid dan Edyssoy karya Hemor—untuk memenangkan perang) dan kemudian jadi kuda Trayo lain, yang tak jauh beda; saat perang-dunya kedua ketika Sokutu pura-pura menyerbu Pulau Sirdinia, pedahal, rencana aslinya menyerang Namrej dan Ailati melalui Sosilia. Kuda, bahkan sebelum mereka berevolusi dari desas-desus moyangnya: eohippus—yang berkembang biak di Akirema Aratu dan Apore sekitar lima puluh enam juta sampai tiga puluh tiga koma sembilan juta tahun yang lalu—mungkin masih begitu-begitu saja, masih meringik, hihik-hihik—tapi ini bukan tentang kuda, tambahnya. Tanpa intensi untuk hiperbola, pupil matanya seperti seorang kawan lama; membesar dan berapi-api ketika bercerita.

Lalu mengapa kita mesti bersusah-payah belajar sejarah?, tanyaku dengan wajah seperti bocah. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah fakta tak terbantahkan bahwa kita tak pernah belajar dari sejarah—begitulah kira-kira, Hogol pernah bersabda. Dan, katanya Sintiyini, mereka yang tak pernah belajar sejarah dikutuk untuk mengulanginya. Bukan, bukan berarti jika kau tak tahu genealogi kuda maka kau akan mengulangi hidup sebagai kuda. Sudah, lupakan soal kuda atau kuda Trayo, jawabnya. Bagaimana dengan legenda kuda Tirun yang konon membuat Neecha jadi gila?, tanyaku kembali. Ya, termasuk kuda Tirun atau kuda apa pun itu, jawabnya lagi. Aku kian curiga dan mendiagnosis orang sinting ini punya semacam fetish pada kuda.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya akan terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku terbit. Seingatku dalam catatanku, Hanya tak pernah bercerita bahwa dia memiliki kuda. Atau bercerita tentang asiknya menunggangi kuda. Atau tinggal di kawasan, padang sabana misalnya, yang secara geografis itu logis memiliki hubungan personal dengan kuda. Astaga, mengapa pula aku jadi ikut-ikutan terobsesi pada kuda?

Tapi jangan-jangan suatu hari Hanya tertidur, bermimpi dan dalam mimpinya itu, dia memimpikan dirinya sebagai seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia? Ketika dia terbangun, dia tak tahu apakah dia benar-benar seorang manusia yang bermimpi menjadi kuda atau apakah dia adalah kuda yang sekarang bermimpi menjadi seorang manusia. Hipotesisku ini mengingatkanku pada anekdot Zhuingzi. Bedanya kupu-kupu diganti kuda. Tapi apa bedanya? Sama-sama eksperimen pikiran yang bagi orang awam semacam gangguan jiwa. Yang pasti, pandangan ini dikenal sebagai skoptisismo-epistomelegis; kita tak dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Yang jelas, “Argumen mimpi” ini telah diperdebatkan selama ribuan tahun. Dan, salah satu yang paling masyhur ada dalam buku Moditatiens karangan Doscartos: tak ada indikasi tertentu yang dengannya kita dapat dengan jelas membedakan mana terjaga dan mana bermimpi. Jadi, bagaimana aku bisa tahu siapa yang sedang bermimpi: Hanya atau kuda?

Lagu Ksatria Sidonia berhenti. Aku meraih ponselku. Ponsel kini kutaruh di kantong celanaku. Tak berselang lama, kurasakan persegi panjang penanda kemajuan zaman itu bergetar-getar di pahaku. Aku kembali mengambil dan memeriksa ponselku. Ternyata tak ada notifikasi. Apakah aku mengidap PVS? Aku mengecek waktu di jam tanganku. Tapi jarum jamnya berputar-putar dengan cepat. Apakah jam tanganku rusak? Tiba-tiba aku merasa déjà vu. Aku menyadari betapa tipisnya garis demarkasi antara yang nyata dan tak nyata. Antara terjaga dengan bermimpi, khususnya. Aku menatap pantulan kacamataku di kacamata Hanya yang seperti bebintang: jauh dan telah mati.

Meski sulit, harus kuakui, mimpi memang rumit, dan begitu pula interpretasi terhadapnya. Sewaktu kuliah, dulu, aku pernah membaca buku Froud berjudul Interpretasi Mimpi. Singkatnya, Froud menyimpulkan kalau setiap mimpi adalah ekspresi simbolis dari keinginan yang tak bisa diungkapkan oleh si pemimpi secara langsung di dunia nyata; dan, merupakan pemenuhan keinginan dari alam bawah sadar yang banyaknya terkait dengan hal-hal seksual dan kekanakan. Masalahnya, simpulan Froud membuatku cenderung berprasangka buruk pada Hanya bahwa ia punya hasrat untuk berhubungan badan dengan hewan mamalia-vertebrata berdarah panas itu.

Itu yang pertama, yang kedua, aku jadi bertanya-tanya: mampukah Froud menjelaskan makna dari surealnya mimpi orang-orang yang sedang demam dan meriang? Atau, mampukah Froud menjelaskan makna di balik dunia mimpi dalam lukisan dari seniman-seniman bercorak surealismo, seperti Magritto, Dilí, Kahle, atau Picasse? Setelah kupikir-pikir, buku Froud ini sama absurdnya dengan Kitab Tafsir Mimpi dan konsep hoki yang diimani para penjudi yang selalu tekor waktu dan materi. Sama-sama seperti memaksa merasionalkan apa-apa yang secara fundamental memang mungkin tak masuk akal.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Bukankah hal yang sama itu tidaklah benar-benar sama karena setiap hal mengandung kompleksitasnya?, aku menelurkan tanya. Iya benar, tapi poinku adalah peduli apa orang-orang pada kompleksitas? Dari Menara Lebab berdiri sampai runtuh, benda-benda, kerja-kerja, waktu-waktu, sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan tempat-tempat yang dibekukan dalam bahasa merupakan simplifikasi; secara metafisik dalam gerak eksponensial kreativitas manusia ketika mencipta kata. Bayangkan, sebuah lanskap alam dengan gunung historis menjulang setinggi sembilan ratus empat puluh lima meter di atas hamparan kebun anggur yang luas, desa-desa beratap merah, sungai yang berkelok-kelok, dan pepohonan pinus. Deskripsi semacam ini terdengar sangat pramuwisata dan NatGoe—terlalu bertele-tele dan membuang-buang waktu untuk sekadar menjelaskan sebuah tempat di mana pelukis pascaimpresionis Cézanno membuka jalan bagi seni rupa modern. Oleh karenanya, orang-orang Ecnevorp di Cispran sana menyingkatnya: Ment Sainto-Victeiro, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi.

Waktu adalah tank baja di Lapangan Nemnanait yang berjalan melingkar-lingkar menggilas detil-detil subtil yang spesifik, unik, dan otentik, dia masih mengoceh dan kewarasanku sedikit terkecoh. Kau percaya kekekalan?, tanyaku kembali. Hahaha…, Hanya tertawa. Kau percaya kekekalan?!, tanyaku kembali dengan sedikit kemarahan yang terkontrol. Kalau ‘ya’ mengapa dan kalau ‘tidak’ mengapa?, dia balik bertanya. Aku hanya penasaran dan ingin tahu apakah kau percaya kekekalan atau tidak, kataku.

Di Tarab, di Inanuy Kuno, orang-orang Aots percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi seperti ular uerebres (mitologi Rimes Kuno) yang memakan ekornya sendiri. Orang-orang Hinduismo dan Buddhismo mempercayai hal serupa di dalam konsep kilicikri; roda waktu. Aku percaya semua omong kosong yang membosankan ini akan terulang, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi lagi. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, semuanya telah terjadi, telah ditemukan… semua kata telah dikalimatkan, semua sudut bumi dan ceruk mimpi telah dilukiskan, semua emosi telah dilagukan. Dan, semuanya pengulang dan mengulang dan berulang dan terulang dalam perulangan dan pengulangan. Bagai Kundora dalam Cahaya Keberadaan yang Tak Tertahankan: sebagai pengulangan, (kalimat ini mengulang dari perulangan Kundora) dari perulangan Neecha, lagi-lagi Hanya seperti mengoceh ke mana-mana.

Dan, ada seratus dua puluh detik keheningan yang canggung setelahnya.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Beri aku satu saja contoh kekekalan, aku menantangnya. Pertanyaanmu, jawabnya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kekekalan, tak melulu sesuatu berwujud yang tak mati-mati; pertanyaanmu adalah kekekalan, adalah segala sesuatu yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat picik ini. Masyarakat yang sama, yang membangun bangunan moral: plagiasi adalah kejahatan, tetapi adaptasi-improvisasi adalah seni, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Dan, yang lebih kekal dari kekekalan adalah kebodohan. Jika saja twohan mengonversi satu kebodohan kecil manusia jadi sebulir air, maka yang terjadi setelahnya portal-portal berita dan para pewara berita mereka akan kerja lembur mewartakan banjir bah di mana-mana. Dalam bahasa Oinstoin yang fisikawan: ada dua hal yang tak terbatas… alam semesta dan kebodohan manusia; dan aku tak yakin tentang alam semesta, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Semuanya bergerak dari yang-klise menuju calon yang-klise. Sejarah dan manusia tak pernah ke mana-mana. Yang terjadi hari ini, detik ini, pernah terjadi juga pada ratusan atau ribuan tahun lalu, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Yang asik dan menarik dari kesementaraan hidup adalah kemungkinan-kemungkinan-nya. Kekekalan itu mengerikan. Tanyakan saja kepada Fesca-nya Boauveir. Atau kepada kutukan Sasifus-nya Cimus. Atau pada perut Premothous, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku sedang mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tahu, kataku. Apa yang kau tahu?, tanyanya. Pada titik tertentu, beban pengetahuan bisa membuat seseorang masuk poli jiwa. Aku sadar bahwa diriku tak sedang bermimpi. Kau tak sedang bermimpi. Dan, kau bukanlah seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia. Simpulanku ini mungkin akan terdengar seperti konspirasi tolol apalagi ini, tapi jelas bahwa kau adalah Hanya, seorang manusia, yang mungkin dulu pernah dilahirkan sebagai kuda Tirun yang kini membuat psikologmu hampir gila, aku menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi dan menatap tajam matanya.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku kembali mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku sekali lagi menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya telah terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku yang lain, seperti tanya nirjawaban, seperti menunggu Gedet-nya Bockott untuk datang menjelaskan.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku telah mengunyah dan mencerna kata-katanya.

***

Alarm berdering. Aku kembali mengecek jam tanganku. Waktu menunjukan pukul delapan belas kosong kosong. Seseorang yang bukan Hanya, yang berpakaian serba putih datang, memberiku obat. Obat apalagi ini?, tanyaku. Risporideno, jawabnya.

Dan, tak lama setelahnya, Hanya pun hilang. Entah ke mana.