Showing posts with label determinisme. Show all posts
Showing posts with label determinisme. Show all posts

Thursday, 27 July 2023

Membaca Que Será, Será

 

Que sera sera (2022) by Chantal Proulx

When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me
Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be
Frasa qué será, será (apa yang akan terjadi, terjadilah)—yang cukup terdengar stoik dan berbau deterministik sekaligus fatalistik ini—mencapai kepopulerannya setelah dinyanyikan Josephine Conway McKenna (diperankan Doris Day) dalam film Alfred Hitchcock berjudul The Man Who Knew Too Much (1956). Lagu yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans ini pada dasarnya menyiratkan kekhawatiran seorang anak terhadap masa depannya. Akan tetapi, saya pikir, manusia dewasa pun turut merasakannya. Sebab, ketakpastian melekat erat dalam diri kita dan tak mengenal usia. Dengan kata lain, kalau boleh pesimistis, ketakpastian adalah sesuatu yang barangkali kekal. Oleh karenanya, ketika saya yang tua bangka ini meresapi lirik demi lirik lagu tersebut, saya merasai ada semacam ke-relate-an yang tak terhindarkan.

Saya menilai, manusia adalah budak kepastian. Semenjak zaman Neanderthal berburu mammoth dengan tombak berujung batu atau sejak seorang bocah akamsi Mesopotamia bermain dengan kecipak air di sungai Efrat dan Tigris, kita memiliki semacam kerinduan puitis akan kepastian (dan keajegan) dalam kehidupan. Hal tersebut terepresentasikan secara gamblang (khususnya, pascarevolusi agrikultur) dalam penciptaan konsep-konsep ideal: masyarakat, hukum, perbankan, tata bahasa, negara, agama, dan sebagainya. Filosofi subtil yang ditawarkan Qué Será, Será adalah mengafirmasi ketakpastian, bahwa ketakmenentuan merupakan sesuatu yang tak terelakkan—dan masa depan tak dapat ditebak-diprediksi, sehingga seseorang mesti menerima-merangkul apa pun yang terjadi. 

Takdir, sebagai konsep metafisik yang arkaik, yang tiada habisnya dinarasikan, menekankan bahwa “hasil” dan “peristiwa” dalam hidup kita telah ditentukan sebelumnya (predestinated) dan berada di luar koridor kendali kita. Lauhulmahfuz dalam Islam, Akashic Records dalam Teosofi, Niyati dalam Buddhisme hanyalah salah tiga contoh konsep yang mendedahkan bagaimana takdir menurut hard determinism bekerja. Ketiganya secara langsung menantang ide-ide kehendak bebas (yang cenderung dikandung banyak -isme filsafat Barat, katakanlah eksistensialisme) dan menegaskan bahwa ada kekuatan yang lebih mahakuasa, yang membentuk pengalaman kita. Qué será, será besar kemungkinan berangkat dari premis dasar ini, dan mendorong individu untuk melepaskan nafsu atau keinginan terbesar manusia: kendali mutlak atas hidup mereka.

When I grew up and fell in loveI asked my sweetheart what lies ahead?Will we have rainbows day after day?Here's what my sweetheart said

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be

Lebih lanjut, secara interpretatif, frasa qué será, será seakan mengajak kita untuk mencari penghiburan dalam penerimaan total akan apa yang ditakdirkan. Menariknya, merangkul takdir memungkinkan kita untuk terbiasa beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan kekuatan tak terkalahkan dalam kemampuan kita untuk mengatasi setiap badai masalah yang (mungkin) tak berkesudahan. Qué será, será juga memberi pelajaran berharga dalam upaya mendaki puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, frasa ini mendorong individu untuk menemukan kepuasan pada saat ini, momen ini, ketimbang terobsesi dengan “hasil” di masa yang akan datang.

Dengan menganut gagasan bahwa kita tak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, kita mengalihkan fokus dari keadaan eksternal pada pemenuhan internal. Pergeseran perspektif ini membebaskan kita dari pengejaran validasi eksternal yang terus-menerus dan memungkinkan kita menemukan kegembiraan dalam kesenangan hidup yang sederhana serta apa adanya.

Pada gilirannya, Qué será, será seakan mengajak kita untuk memikirkan apa yang bisa dan apa yang tak bisa (iya, seperti salah satu judul lagu Rumahsakit). Apa yang tak bisa… Kau raih walau kau t’lah berupaya… Itu hanya tanda… Kau tak membutuhkannya… Apa yang tak bisa… Kau miliki meski kau t’lah temui… Itu hanya tanda… Kau lebih baik tanpanya.

Qué será, será bertopang pada asumsi bahwa, jangan-jangan, kendala ada pada kendali. Artinya, ini adalah soal mengetahui mana yang di dalam kendali, mana yang di luar kendali. Penerimaan total akan takdir ini barangkali akan sedikit mengingatkan kita pada frasa amor fati yang juga merupakan salah satu kredo stoikisme—seakan dengan cara musikal melengkapi puzzle yang ditawarkan -isme tersebut dalam konsep dikotomi kendali. Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah yang tak bisa diubah—yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tak perlu—lebih baik kita mengakui ketakberdayaan manusia sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini.

Meskipun filosofi qué será, será menyajikan perspektif yang cukup meyakinkan—ia tak hadir tanpa kritik. Para kritikus, khususnya dari para penganut kehendak bebas, berpendapat bahwa kehendak bebas itu nyata adanya—sehingga menerima takdir secara total dapat menyebabkan kepasifan, kestagnanan, menghambat kemajuan, bahkan mempunyai tendensi dekadensi. Namun, para determinis yang mengamini qué será, será berpendapat bahwa merangkul takdir tak berarti meninggalkan pilihan-pilihan pribadi yang dapat diambil, melainkan mengakui batas-batas kendali dan menemukan kedamaian dalam pemahaman itu.

Meskipun belum ada yang mengetahui secara pasti kapan polemik soal kehendak bebas bermula, aliran pemikiran yang dari lahir dari diskursus ini—determinisme, libertarianisme, dan kompatibilisme—telah terbentuk selama lebih dari 2000 tahun. Secara kesejarahan,  Islam memiliki semacam perdebatan yang hampir sama: antara kaum Qadariyah (yang mengamini kehendak bebas) dan Jabariyah (yang deterministik). Perdebatan yang terkini, sependek pengetahuan saya, adalah ketika Sam Harris dalam bukunya, Free Will (2012), mengawinkan neurosains dan psikologi, lalu secara gagah berani mencetuskan bahwa kehendak bebas pada dasarnya adalah konsep yang cacat dan tak koheren. Kehendak bebas baginya tak lebih dari sekadar ilusi yang dikonstruksikan sedemikian meyakinkan sehingga banyak dari kita akan menganggap jika ketiadaan konsep abstrak ini akan menyebabkan mimpi buruk berupa nihilisme dan keputusasaan total.

Now I have children of my ownThey ask their mother, what will I beWill I be handsome? Will I be rich?I tell them tenderly

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will beQué será, será

Pada titik tertentu, Doris Day seakan merayu kita untuk merenungkan kembali perihal kehendak bebas dan kemampuan kita untuk menemukan kepuasan batin di tengah ketakpastian hidup yang mahadingin. Saya kira, menerapkan filosofi q será, será dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan kita untuk menavigasi pasang surut “harapan” dengan lebih elegan. Plus, menemukan pelipur lara dalam pengetahuan bahwa apapun yang akan terjadi, akan terjadi. Dengan atau tanpa persetujuan kita sama sekali.