Showing posts with label die fröhliche wissenschaft. Show all posts
Showing posts with label die fröhliche wissenschaft. Show all posts

Sunday, 29 January 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html