Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Wednesday 19 June 2024

Katakanlah Jika Kau Bertanya Bagaimana Hariku

Hariku lumayan baik. 


Syukurlah. 


Aku hanya merasa seperti seorang skizo dengan migrain yang parah. 


Hah?


Maksudku, delusi & sakit kepala sebelah. 


Sayang, katakan padaku, apa kamu butuh olanzapine atau panadol?


Tramadol. Tidak... aku bercanda. Aku tidak butuh itu. Sejujurnya, aku lebih merasa seperti Dostoevsky dengan sakit gigi yang menahun!


Siapa Dostoevsky?


Begundal Rusia. 


Aku tak tahu siapakah dirinya. Tapi yang jelas, sakit gigi menahun pasti menyiksa... apakah tujuh butir ponstan cukup meredakan itu?


Tidak. & tentu saja van Gogh pun akan turut menggelengkan kepalanya. Alam, seni, & puisi saja tidaklah cukup. Begitu katanya. Apalagi cuma obat pereda nyeri. Tidak ponstan. Tidak juga osagi. Yang kumaksud bukan sakit gigi secara literal. Lihat, meskipun gingsul, gigiku sehat wal afiat.


Ok, lalu di mana masalahnya?


Aku terlalu banyak mengonsumsi yang manis-manis. Yang utopis-utopis. Seperti seorang anak kecil yang giginya rusak karena terlalu banyak mengisap permen. Atau barangkali seperti seseorang yang terkena diabetes. Aku jadi pesimis sebab pernah terlampau optimis. Tapi walau bagaimanapun, hidup, mengecewakan yang optimis, juga yang pesimis. Kini, aku baru tersadar, mayat-mayat yang lengannya frostbite di puncak Gunung Everest itu, sebenarnya, secara halus, memberitahuku bahwa terlalu percaya membikin siapa pun mati hipotermia. Sebagaimana bocah Timur Tengah yang tertimpa reruntuhan gedung. Sebab langit begitu dingin. & doa-doanya tak bisa membelokan roket-roket agar tidak menabrak bangunan setinggi pohon kelapa itu.


Demi tuhan, aku tidak mengerti.


Tak apa. Aku juga tidak mengerti diriku sendiri. Sayang sekali, pikiranku & perasaanku berbicara dalam bahasa yang berbeda. Keduanya, berjarak kira-kira tiga juta tahun cahaya.


Aku semakin tidak mengerti. Mau kuantar ke poli jiwa?


Tidak. Lorong-lorong putih dengan bau kimia yang menusuk-nusuk hidungku & seorang psikiater yang bertanya apa yang kurasakan hanya karena aku telah membayar satu sesi konsultasi seharga satu per tiga gajiku selama sebulan, cuma membikinku trauma. Lagi pula, aku cuma diserang sedih yang tiba-tiba. Datang dari arah yang entah. Tapi yang jelas, hari ini, seperti biasa, meskipun punya riwayat gerd, aku membuka pagi dengan menyeduh kata-kata dari sales kopi Algeria: menunda kepergian, adalah kemenangan telak bagi absurditas kehidupan. Sekira tiga jam setelahnya, seingatku, aku membaca catatan Virginia kepada suaminya, Leonard, sebelum ia mengisi saku mantelnya dengan batu-batu lantas berjalan menuju sungai Ouse di belakang rumahnya & tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. 


Kurasa kamu terjebak kata-kata. Kata-kata cuma kata-kata. Tak nyata. Percayalah, yang kamu rasakan itu cuma fase. Kamu bakal baik-baik saja.


Mungkin, tapi tolong jangan sepelekan kata-kata. Memangnya, apa isi kitab suci? Kata-kata! Itulah yang menggerakan dunia & sejarahnya. Delapan perang salib, yang merentang dari tahun 1096 sampai 1291, adalah contoh kecil seberapa besar kekuatan kata-kata. Kata-kata Presiden Truman, adalah yang membikin orang-orang Hiroshima & Nagasaki dijatuhi Fat Man & Little Boy. Kata-kata “i have a dream”, yang membikin orang-orang sadar betapa bahayanya dunia di bawah politik segregasi & rasisme. & sebagainya. & sebagainya. Maaf kalau aku terkesan berlebihan.


Tak apa, tak perlu meminta maaf. Aku yang salah. 


Tidak. Aku yang salah. 


Hal paling manusia adalah berbuat salah. Kita memang harus memperbanyak maaf. Menurutku, setidaknya ada tiga yang harus kita maafkan: orang tua kita, tuhan, & diri kita sendiri. 


Terakhir kali aku mengisap ganja, dengan olesan madu, aku berencana memaafkan seseorang yang telah melahirkanku ke dunia blangsak ini & sosok mahakuasa—yang punya kekuatan meruntuhkan kapitalisme tak tertahankan—tapi ia lebih memilih untuk murka ketika tahu minggu lalu aku masturbasi demi mendapatkan hormon endorfin dari bangun pagi yang berulang-ulang.


Ok. Sudikah & sudahkah kamu memaafkan dirimu sendiri?


Sudah. 


Bagus!


Aku hanya heran. Mengapa aku merasa begitu dekat & memahami orang-orang dari berbagai latar tapi menjadi arwah setelah melakukan hal yang sama?


Maksudmu?


Maksudku, apa beda Monet, van Gogh, Rotkho, & Hitler? 


Gaya lukisan? Impresionis, Pascaimpresionis, Abstrak, & Realis?


Tapi apa yang membuat mereka sama? Bunuh diri! Apa beda Cornell, Cobain, Chester, & Curtis? 


Hmmm... aku tidak tahu. Playlist kita berbeda.


Kamu bisa mensimplifikasi lagi & menyebut genre: Metal Alternatif, Grunge, Pascagrunge, & Pascapunk. Apa yang menyatukan? Bunuh diri! Apa beda Linder, Scott, Whale, & Debord? Tentu sinematografi. & yang menyatukan adalah bunuh diri. Tak hanya pelukis, musisi, sutradara, beberapa penulis yang pernah kubaca & kebetulan kusukai pun adalah arwah-arwah penasaran. Sylvia, Virginia, Hemingway, Sexton, Dazai, sampai Zweig. Konon, setiap orang yang mati bunuh diri jadi arwah penasaran. Mungkin penasaran mengapa ia masih harus tetap eksis. Meskipun ingin punah, sepunah-punahnya. 


Maksudmu, kamu pengin punah seperti mereka?


Apa yang buruk dari kepunahan atau kematian? Aku tidak takut mati. Aku telah mati selama miliaran tahun sebelum aku dilahirkan, & tidak merasakan ketidaknyamanan sedikit pun karenanya. Maaf aku kesurupan Twain. 


Tak apa.


Baguslah. Tapi, pada gilirannya, pertanyaan baru lahir, aku berubah jadi burung gagak karena apa-apa yang telah kukonsumsi ataukah aku pada dasarnya memanglah burung gagak yang mencari “bangkai” untuk dikonsumsi?


Kamu bukan burung gagak. Kamu manusia. Seorang lelaki yang kucintai. 


Kamu mencintaiku atau sekadar mencintai gagasanmu tentangku?


Keduanya. Omong-omong, kamu anggap aku apa? 


Penambal void. Secercah cahaya, yang mampu menambal lubang hitam yang mahaluas & tak berbatas. Namun, lambat laun, aku menyadari bahwa jawabanku itu hanyalah gema hati yang putus asa. Tapi langit itu tetap bisu, sebab aku hanyalah satu noktah tak berarti di tengah-tengah alam semesta yang mengembang tak henti. Kegelisahanku, dalam narasi kehidupan yang mahagigan, hanyalah bising tidak berarti. Aku tak tahu harus berapa oktaf doa yang kulangitkan agar tuhan bisa mendengar kehampaanku.


Kamu butuh tuhan. Kamu mesti ibadah. Sudah?


Tidak. Aku tidak percaya pada sosok yang tak memberi rumah hari ini, tetapi malah menjanjikan istana esok hari. Kalaupun aku beribadah, artinya saat itu aku sedang merasa kalah.


Kamu bukan orang kalah. Di mataku, kamu adalah pemenang. Kamu sempurna di mataku. 


Tidak ada kesempurnaan, yang ada hanya kehidupan. Maaf aku kesurupan Kundera.


Tak apa. Aku sudah mulai terbiasa denganmu yang tiba-tiba kesurupan orang-orang tak kukenal namanya.


Baguslah.


Jadi, apa yang sebenarnya kau rasakan?


Aku hanya ingin percaya bahwa ada lagu pengantar tidur yang merdu bagi penderitaanku, sebuah narasi yang akan memvalidasi air mataku, sakit perutku, & sakit punggungku. Kupikir aku terlalu banyak mengunyah pemikir barat. Kamu benar, ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Kini, aku berasumsi bahwa tidak ada ganjaran kosmik yang menantiku. Aku hanya mengada, bertahan, & gagasan tentangku akhirnya lenyap terlupakan, tanpa ada jaminan nyata bahwa sungai hidupku memiliki muara. Sementara harapan-harapanku lenyap seperti bunga dandelion kecil yang disapu semburan lumpur vulkanik. Mungkin, batu yang kudorong setiap hari, lebih kecil dari yang kupikirkan. Sayangnya, sekarang aku telah menjadi monster pesimisme yang diperangi banyak agama... 


(Ia mendekat. Mendekapku dengan erat, dengan hangat. Ia mengelus-elus rambutku. Lembut sekali.)


Tidak, semuanya hanya bercanda. Ternyata, aku baik-baik saja. Itu hanya sebuah fase. Seperti yang kau katakan. Oh, ya, bagaimana harimu?


Baik, sayangku.


Syukurlah...