Showing posts with label filosofi. Show all posts
Showing posts with label filosofi. Show all posts

Thursday, 27 July 2023

Membaca Que Será, Será

 

Que sera sera (2022) by Chantal Proulx

When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me
Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be
Frasa qué será, será (apa yang akan terjadi, terjadilah)—yang cukup terdengar stoik dan berbau deterministik sekaligus fatalistik ini—mencapai kepopulerannya setelah dinyanyikan Josephine Conway McKenna (diperankan Doris Day) dalam film Alfred Hitchcock berjudul The Man Who Knew Too Much (1956). Lagu yang ditulis Jay Livingston dan Ray Evans ini pada dasarnya menyiratkan kekhawatiran seorang anak terhadap masa depannya. Akan tetapi, saya pikir, manusia dewasa pun turut merasakannya. Sebab, ketakpastian melekat erat dalam diri kita dan tak mengenal usia. Dengan kata lain, kalau boleh pesimistis, ketakpastian adalah sesuatu yang barangkali kekal. Oleh karenanya, ketika saya yang tua bangka ini meresapi lirik demi lirik lagu tersebut, saya merasai ada semacam ke-relate-an yang tak terhindarkan.

Saya menilai, manusia adalah budak kepastian. Semenjak zaman Neanderthal berburu mammoth dengan tombak berujung batu atau sejak seorang bocah akamsi Mesopotamia bermain dengan kecipak air di sungai Efrat dan Tigris, kita memiliki semacam kerinduan puitis akan kepastian (dan keajegan) dalam kehidupan. Hal tersebut terepresentasikan secara gamblang (khususnya, pascarevolusi agrikultur) dalam penciptaan konsep-konsep ideal: masyarakat, hukum, perbankan, tata bahasa, negara, agama, dan sebagainya. Filosofi subtil yang ditawarkan Qué Será, Será adalah mengafirmasi ketakpastian, bahwa ketakmenentuan merupakan sesuatu yang tak terelakkan—dan masa depan tak dapat ditebak-diprediksi, sehingga seseorang mesti menerima-merangkul apa pun yang terjadi. 

Takdir, sebagai konsep metafisik yang arkaik, yang tiada habisnya dinarasikan, menekankan bahwa “hasil” dan “peristiwa” dalam hidup kita telah ditentukan sebelumnya (predestinated) dan berada di luar koridor kendali kita. Lauhulmahfuz dalam Islam, Akashic Records dalam Teosofi, Niyati dalam Buddhisme hanyalah salah tiga contoh konsep yang mendedahkan bagaimana takdir menurut hard determinism bekerja. Ketiganya secara langsung menantang ide-ide kehendak bebas (yang cenderung dikandung banyak -isme filsafat Barat, katakanlah eksistensialisme) dan menegaskan bahwa ada kekuatan yang lebih mahakuasa, yang membentuk pengalaman kita. Qué será, será besar kemungkinan berangkat dari premis dasar ini, dan mendorong individu untuk melepaskan nafsu atau keinginan terbesar manusia: kendali mutlak atas hidup mereka.

When I grew up and fell in loveI asked my sweetheart what lies ahead?Will we have rainbows day after day?Here's what my sweetheart said

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will be

Lebih lanjut, secara interpretatif, frasa qué será, será seakan mengajak kita untuk mencari penghiburan dalam penerimaan total akan apa yang ditakdirkan. Menariknya, merangkul takdir memungkinkan kita untuk terbiasa beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan kekuatan tak terkalahkan dalam kemampuan kita untuk mengatasi setiap badai masalah yang (mungkin) tak berkesudahan. Qué será, será juga memberi pelajaran berharga dalam upaya mendaki puncak kebahagiaan. Dengan kata lain, frasa ini mendorong individu untuk menemukan kepuasan pada saat ini, momen ini, ketimbang terobsesi dengan “hasil” di masa yang akan datang.

Dengan menganut gagasan bahwa kita tak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, kita mengalihkan fokus dari keadaan eksternal pada pemenuhan internal. Pergeseran perspektif ini membebaskan kita dari pengejaran validasi eksternal yang terus-menerus dan memungkinkan kita menemukan kegembiraan dalam kesenangan hidup yang sederhana serta apa adanya.

Pada gilirannya, Qué será, será seakan mengajak kita untuk memikirkan apa yang bisa dan apa yang tak bisa (iya, seperti salah satu judul lagu Rumahsakit). Apa yang tak bisa… Kau raih walau kau t’lah berupaya… Itu hanya tanda… Kau tak membutuhkannya… Apa yang tak bisa… Kau miliki meski kau t’lah temui… Itu hanya tanda… Kau lebih baik tanpanya.

Qué será, será bertopang pada asumsi bahwa, jangan-jangan, kendala ada pada kendali. Artinya, ini adalah soal mengetahui mana yang di dalam kendali, mana yang di luar kendali. Penerimaan total akan takdir ini barangkali akan sedikit mengingatkan kita pada frasa amor fati yang juga merupakan salah satu kredo stoikisme—seakan dengan cara musikal melengkapi puzzle yang ditawarkan -isme tersebut dalam konsep dikotomi kendali. Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah yang tak bisa diubah—yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tak perlu—lebih baik kita mengakui ketakberdayaan manusia sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini.

Meskipun filosofi qué será, será menyajikan perspektif yang cukup meyakinkan—ia tak hadir tanpa kritik. Para kritikus, khususnya dari para penganut kehendak bebas, berpendapat bahwa kehendak bebas itu nyata adanya—sehingga menerima takdir secara total dapat menyebabkan kepasifan, kestagnanan, menghambat kemajuan, bahkan mempunyai tendensi dekadensi. Namun, para determinis yang mengamini qué será, será berpendapat bahwa merangkul takdir tak berarti meninggalkan pilihan-pilihan pribadi yang dapat diambil, melainkan mengakui batas-batas kendali dan menemukan kedamaian dalam pemahaman itu.

Meskipun belum ada yang mengetahui secara pasti kapan polemik soal kehendak bebas bermula, aliran pemikiran yang dari lahir dari diskursus ini—determinisme, libertarianisme, dan kompatibilisme—telah terbentuk selama lebih dari 2000 tahun. Secara kesejarahan,  Islam memiliki semacam perdebatan yang hampir sama: antara kaum Qadariyah (yang mengamini kehendak bebas) dan Jabariyah (yang deterministik). Perdebatan yang terkini, sependek pengetahuan saya, adalah ketika Sam Harris dalam bukunya, Free Will (2012), mengawinkan neurosains dan psikologi, lalu secara gagah berani mencetuskan bahwa kehendak bebas pada dasarnya adalah konsep yang cacat dan tak koheren. Kehendak bebas baginya tak lebih dari sekadar ilusi yang dikonstruksikan sedemikian meyakinkan sehingga banyak dari kita akan menganggap jika ketiadaan konsep abstrak ini akan menyebabkan mimpi buruk berupa nihilisme dan keputusasaan total.

Now I have children of my ownThey ask their mother, what will I beWill I be handsome? Will I be rich?I tell them tenderly

Qué será, seráWhatever will be, will beThe future's not ours to seeQué será, seráWhat will be, will beQué será, será

Pada titik tertentu, Doris Day seakan merayu kita untuk merenungkan kembali perihal kehendak bebas dan kemampuan kita untuk menemukan kepuasan batin di tengah ketakpastian hidup yang mahadingin. Saya kira, menerapkan filosofi q será, será dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan kita untuk menavigasi pasang surut “harapan” dengan lebih elegan. Plus, menemukan pelipur lara dalam pengetahuan bahwa apapun yang akan terjadi, akan terjadi. Dengan atau tanpa persetujuan kita sama sekali.

Thursday, 25 May 2023

Apakah Kecerdasan adalah Kutukan?

“Sebab, dengan banyak hikmat, ada banyak kesusahan, dan dia yang memperbanyak pengetahuan memperbanyak kesengsaraan.” — Eccelesiastes 1:18

Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang figur pendidikan dan psikolog, mempopulerkan teori kecerdasan ganda dalam bukunya⁠, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences⁠. Gardner secara praktis memperluas definisi kecerdasan dan menguraikan beberapa jenis kompetensi intelektual yang berbeda-beda. Ada sembilan tipe kecerdasan: naturalis, musikal, logis-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik, linguistik, intrapersonal, spasial.

Akan tetapi, terlepas dari teori kecerdasan ganda ini dan pertanyaan fundamental tentang "apa itu cerdas?", meskipun saya bukanlah orang yang tergolong cerdas dalam standar mana-apa-pun, saya menaruh hipotesis bernada kecurigaan-sinis di hati bahwa jangan-jangan kecerdasan adalah kutukan. Seperti Prometheus yang menjadi "tersiksa" karena telah mencuri api pengetahuan dari para dewa di Gunung Olympus dalam mitologi Yunani.

Kecerdasan, yang sering kali dipandang sebagai kata sifat yang dicita-citakan, memiliki sisi gelap yang jarang dibayangkan, jarang diperbincangkan, jarang dibahasakan. Saya menilai, sesuatu yang secara sosial-kultural dikultuskan oleh hampir semua peradaban-kebudayaan ini (secara negatif) berpotensi besar untuk memengaruhi kesehatan mental, selera humor, relasi secara horizontal-vertikal, dan bagaimana dunia ide (dalam konteks Plato) tampak secara keseluruhan bagi pengidapnya. Lebih jauh dari itu, daya intelektualitas tinggi menyebabkan pemikiran berlebihan dan analisis tak berujung pangkal; yang berpuncak pada peningkatan dosis kecemasan dan kelelahan mental.

Seorang esais-cum-eksistensialis, Peter Wessel Zapffe, dalam esai yang melambungkan namanya, The Last Messiah, menamai kondisi paradoksal ini dengan sebutan “surplus kesadaran”. Pendek kata, kecerdasan memperkuat eksistensi kesadaran, sesuatu yang paling nyata yang membedakan manusia dengan hewan-hewan. Sialnya, harga yang mesti dibayar manusia untuk merengkuh kesadaran adalah keputusasaan.

Kadar kesadaran berlebih berbanding lurus dengan peningkatan kepekaan yang memungkinkan eskalasi keputusasaan. Dalam The Sickness Unto Death, Kierkegaard, sang filsuf-melankolis, menulis, "Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat—semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

Seorang individu yang cerdas sering kali merenungkan apa-apa yang ada, yang tidak ada, mungkin ada, mungkin tidak ada, tidak mungkin ada, maupun yang tidak mungkin tidak ada. Sayangnya, meraba kemungkinan dari keberadaan bisa membuat pengidap kecerdasan kewalahan. Neuron dalam kepalanya akan condong mencari-melihat pola dari hampir segala sesuatu yang sekilas tampak tidak berhubungan sama sekali. Ia akan terus-menerus mencatat hal-hal yang menarik, hal-hal yang perlu dipelajari, hal-hal yang perlu diperbaiki-diimprovisasi, dan cara-cara untuk terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini tak jarang menyebabkan stres berat dan kegagalan untuk sekadar benar-benar beristirahat.

Dari pengamatan personal dan bacaan-bacaan, saya pun menemukan asumsi bahwa seorang yang cerdas bertendensi untuk "memiliki masalah" dengan "otoritas" atau "status quo" dan nilai-nilai kolektif. Entah negara tempatnya bernaung, agama-kepercayaan yang diyakini mayoritas orang, atasannya di kantor, dan sebagainya. Sebab, ia—sependek yang saya lihat—punya hasrat besar untuk bermain-main dengan apa-apa yang telah dianggap mapan. Hal ini akan menjadi masalah bila dilakukan di waktu dan tempat yang salah.

“Seseorang yang berpikir sepanjang waktu tak memiliki apapun untuk dipikirkan kecuali pikiran. Maka, dia kehilangan kontak dengan kenyataan dan hidup di dunia khayalan.” — Alan Watts

Surplus pikiran pun menimbulkan rasa keterpisahan dari dunia eksternal—semacam alienasi intelektual. Kecerdasan juga membuat pengidapnya terlihat kikuk, aneh, bahkan tampak tolol secara sosial. Bukankah kesenjangan intelektual dan kesulitan menemukan individu yang berpikiran sama mengandung konsekuensi logis, yaitu keterasingan sosial? Individu ini, tak peduli apakah dia tipikal introver atau ekstrover, niscaya berjuang setengah mampus untuk sekadar terhubung secara mendalam dengan orang lain—yang pada gilirannya, ia akan mengalami kesepian akut dan kehilangan sense of belonging.

Psikoanalis terkenal, Carl Jung, benar sekali lagi bahwa "jika seorang individu tahu lebih banyak dari yang individu lainnya, dia menjadi kesepian". Dengan demikian, perbedaan "frekuensi" antara seseorang yang cerdas dengan yang tak cerdas dalam obrolan pun memperparah rasa kesepian-keterasingan ini. Meskipun sepertinya hampir semua individu membutuhkan obrolan ringan, tetapi terlalu banyak obrolan ringan biasanya membuat seseorang yang cerdas mengalami kebosanan-kegabutan dan, pada gilirannya, membuatnya menjadi makhluk soliter penghuni kamar yang mengeksilkan diri dari lingkungan sosial.

Kecerdasan pun membawa serta standar-standar tinggi, harapan-harapan langit, dan cenderung membikin pengidapnya perfeksionis. Kecerdasan, bagaimanapun positifnya, adalah rahim yang melahirkan ekspektasi tinggi kepada/dari diri sendiri dan masyarakat, yang disimtomkan oleh stres kronis dan sindrom impostor. Sindrom impostor, pendek kata, adalah ketidakpuasan terhadap prestasi atau pencapaian yang diraih, secara konstan merasa kurang, dan merasa sebagai seorang penipu. Dalam bahasa Nietzsche yang filsuf-moralis, menipu diri sendiri merupakan dosa terbesar seorang manusia. Di pojokan sana, Dostoevsky sang novelis gigan pun besar kemungkinan mengamini kalimat puitis ini.

Dengan demikian, ada semacam pil pahit yang mesti ditelan oleh orang-orang cerdas nan perfeksionis bahwa dunia-kehidupan tidaklah sesempurna yang mampu mereka konstruksikan dalam pikiran-perasaannya. Akan selalu ada disparitas antara dunia ideal dengan realitas; demarkasi nyata antara gairah purba dalam diri untuk mencapai apa-apa yang sublim dengan apa-apa yang mampu ditawarkan kenyataan. Camus dan Beckett, duet maut absurdis, mendedahkan bahwa inilah mengapa hidup ini absurd dan, sialnya, manusia tak bisa lari dari absurditasnya.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula jalan kecerdasan menuju kesengsaraan. Jika buku merupakan infrastruktur pembaca, pintu menuju pengetahuan, dan pengetahuan mengurangi kemungkinan kebahagiaan, maka berbahagialah mereka yang tak pernah membaca apa-apa sepanjang hayat dikandung badan.

Walau bagaimanapun, kecerdasan harus dirayakan-disyukuri-dicintai. Sebab, kecerdasan adalah sesuatu yang menggerakkan roda-roda peradaban menuju masa depan yang lebih asyik, menarik, dan mungkin baik. Dengan penerimaan semacam ini—mengakui serta sadar bahwa ada sisi gelap dari kecerdasan dan memilih untuk mencintainya—timbul pengharapan subtil bahwa semoga masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.

Friday, 21 April 2023

Filsafat Makanan (Esai Translasi)

The Potato Eaters (1885) by van Gogh

Artikel ditulis oleh Prof. Andrea Borghini dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Pertanyaan filosofis yang bagus bisa muncul dari mana saja. Pernahkah seseorang berpikir, misalnya, bahwa ketika kita duduk untuk menyantap semangkuk soto babat atau berjalan-jalan di sepanjang street food bisa menjadi pengantar yang baik untuk merangsang pemikiran filosofis? Barangkali, dengan membayangkan seperti itu kita dapat menakar kemungkinankredo filsafat makananselain "aku makan, maka aku ada".

Apa yang Filosofis tentang Makanan?
Filsafat makanan didasarkan pada gagasan bahwa makanan adalah cermin. Kita mungkin pernah mendengar pepatah, "kita adalah apa yang kita makan". Nah, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang hubungan antara filsafat dengan makanan (yang bersintesis jadi filsafat makanan). Makan mencerminkan proses pembentukan diri: serangkaian keputusan dan keadaan yang membuat kita makan dengan cara-cara tertentu. Di dalamnya, kita bisa melihat cerminan diri kita yang detil dan menyeluruh. Filsafat makanan mencerminkan aspek etis, politis, sosial, artistik, hingga identifikasi pribadi dalam makanan. Pada gilirannya, memacu kita  untuk lebih aktif merenungkan pola makan dan kebiasaan makan demi memahami siapa kita dengan cara yang lebih personal, lebih dalam, lebih subjektif, dan lebih autentik.

Makanan sebagai Relasi
Makanan adalah relasi. Makanan-makanan hanya sehubungan dengan beberapa organisme tertentu, dalam serangkaian keadaan yang "khusus". Misalnya, di beberapa negara di Eropa sarapan dengan menyeruput kopi dan mengisap rokok adalah kebiasaan yang lumrah; namun di Indonesia, sarapan dengan menu yang "sangat eksistensialis" tersebut nampak seperti remaja puber yang baru saja merasakan Quarter-Life Crisis. Kedua, makanan kesukaan terikat dengan prinsip-prinsip kolektif yang cenderung bertentangan. Katakanlah, seseorang menahan diri untuk tidak memakan sate biawak di rumah, tetapi di depan danau di mana tak ada manusia selain dirinya, ia menyantapnya dengan lahap. Dengan demikian, relasi makanan apa pun yang pertama dan terutama adalah cermin dari pemakannya: dipengaruhi keadaan, itu mewakili kebutuhan, kebiasaan, keyakinan, pertimbangan, dan kompromi.

Etika Makanan
Mungkin aspek filosofis yang paling jelas dari pola makan kita adalah keyakinan etis yang membentuknya. Apakah seseorang akan memakan kucing? Seekor kelinci? Mengapa iya atau mengapa tidak? Kemungkinan alasan yang seseorang berikan untuk sikapnya berakar pada prinsip etika, seperti: "Apa enaknya memakan kucing?" atau bahkan "Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu!" Atau, pertimbangkan vegetarisme: sebagian besar dari mereka yang mengikuti pola makan ini melakukannya untuk mencegah kekerasan yang tidak dapat dibenarkan terhadap hewan. Dalam Animal Liberation, Peter Singer melabeli "spesiesisme" sikap orang-orang yang menarik pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara Homo sapiens dan spesies hewan lainnya (seperti rasisme membuat pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara satu ras dan ras lainnya). Jelas, beberapa dari aturan itu bercampur baur dengan prinsip-prinsip agama: keadilan dan surga dapat dipertemukan di atas meja, seperti yang terjadi pada kesempatan lainnya.

Makanan sebagai Produk Seni?
Bisakah makanan dikatakan sebagai produk seni? Bisakah makanan menjadi produk seni? Bisakah seorang juru masak bercita-cita menjadi seniman gigan yang setara dengan Michelangelo, Kandinsky, Picasso, da Vinci, Cézanne, dan van Gogh? Pertanyaan-pertanyaan ini telah memicu perdebatan sengit selama beberapa tahun terakhir. Beberapa berpendapat bahwa makanan (paling banter) hanyalah kerja-kerja kesenian kecil nan fana. Karena tiga alasan utama. Pertama, karena makanan berumur pendek dibandingkan dengan, misalnya bongkahan marmer. Kedua, makanan secara intrinsik terkait dengan tujuan praktis—memenuhi kebutuhan fisiologis untuk makan. Ketiga, makanan bergantung pada konstitusi materialnya dengan cara yang tidak dimiliki oleh musik, lukisan, atau bahkan patung. Lagu seperti "The Great Gig in the Sky"-nya Pink Floyd telah dirilis dalam bentuk vinil, kaset, CD, dan sebagai mp3 di Spotify; tapi tidak dengan makanan. Koki terbaik karenanya akan menjadi pengrajin yang sangat baik; mereka dapat dipasangkan dengan penata rambut mewah atau tukang kebun yang terampil. Di sisi lain, ada yang menganggap perspektif ini tidak adil. Koki baru-baru ini mulai tampil dalam pertunjukan seni dan ini tampaknya secara konkret membantah pernyataan sebelumnya. Mungkin yang paling terkenal adalah kasus Ferran Adrià, koki Catalan yang merevolusi permasakan duniawi selama tiga dekade terakhir.

Pakar Makanan
Orang Amerika sangat menghargai peran ahli makanan; Prancis dan Italia terkenal tidak. Mungkin karena cara yang berbeda dalam memandang praktik penilaian suatu makanan. Apakah sup Bawang Perancis itu asli? Ulasan mengatakan anggur itu elegan: apakah itu masalahnya? Mencicipi makanan atau wine bisa dibilang merupakan aktivitas yang menghibur, dan menjadi pintu pembuka menuju percakapan. Namun, apakah ada kebenaran dalam hal penilaian tentang makanan? Ini adalah salah satu pertanyaan filosofis yang paling sulit. Dalam esainya yang terkenal Of the Standard of Taste, David Hume menunjukkan bagaimana seseorang cenderung menjawab "Ya" dan "Tidak" untuk pertanyaan itu. Di satu sisi, pengalaman mencicipiku bukan milikmu, jadi ini sepenuhnya subjektif; di sisi lain, dengan tingkat keahlian yang memadai, tidak ada yang aneh dengan membayangkan untuk menantang pendapat pengulas tentang suatu anggur atau sebuah restoran.

Ilmu Makanan
Sebagian besar makanan yang kita beli di supermarket mencantumkan label "fakta nutrisi". Kita menggunakannya untuk memandu diri kita sendiri dalam menjalankan diet, agar tetap sehat. Tapi, apa hubungannya angka-angka itu dengan barang-barang yang kita miliki di depan kita dan dengan perut kita? "Fakta" apa yang sebenarnya mereka ingin bangun? Dapatkah ilmu gizi dianggap sebagai ilmu alam yang setara dengankatakanlahbiologi sel? Bagi sejarawan dan filsuf-cum-saintis, makanan adalah medan penelitian yang subur karena menimbulkan pertanyaan mendasar tentang validitas hukum alam (apakah kita benar-benar mengetahui hukum tentang metabolisme?) Dan struktur penelitian ilmiah (siapa yang membiayai studi tentang fakta gizi yang kita temukan pada label-labe itu?).

Politik Makanan
Makanan juga menjadi inti dari sejumlah pertanyaan-pertanyaan bagi filsafat politik. Ini hanya beberapa. Satu, tantangan yang ditimbulkan oleh konsumsi makanan terhadap lingkungan. Misalnya, tahukah kau bahwa peternakan bertanggung jawab atas tingkat polusi yang lebih tinggi daripada perjalanan dengan tiket pesawat? Dua, perdagangan makanan mengangkat masalah keadilan dan ekuitas di pasar global. Barang eksotis seperti kopi, teh, dan cokelat adalah contoh utama: melalui sejarah perdagangannya, kita dapat merekonstruksi hubungan kompleks antara benua, negara bagian, dan manusia selama tiga-empat abad terakhir. Tiga, rantai produksi, distribusi, dan ritel makanan memungkinkan banyak kesempatan untuk berbicara tentang kondisi para pekerja di seluruh dunia.

Makanan dan Pemahaman Diri
Pada akhirnya, karena rata-rata orang merasakan relasinya dengan makanan setiap hari, penolakan untuk merenungkan kebiasaan makan dengan cara yang bermakna dapat disamakan dengan kurangnya pemahaman diri atau kurangnya keautentikan. Pemahaman diri dan keautetikan adalah salah satu tujuan utama dari filsafat, maka makanan menjadi kunci sejati untuk membukanya. Inti dari filsafat makanan karenanya adalah pencarian pola makan yang autentik, sebuah pencarian yang dapat dengan mudah dilanjutkan dengan menganalisis aspek lain dari relasi manusia dengan makanan.

Saturday, 31 December 2022

Analisis Filosofis Tren Fesyen Mamba

Portrait of Madame X (1884) by Sargent

Dewasa ini, setiap sendi kehidupan masyarakat bergerak dengan serba cepat—tak terkecuali industri fesyen dan berbagai geliat mode yang melingkupinya. Baru-baru ini, melansir dari CNN Indonesia, ada semacam kategorisasi citra diri dari cara berpakaian seseorang, khususnya kaum hawa: Cewek Mamba, Cewek Kue, dan Cewek Bumi.

Secara garis besar, sederhananya: Cewek Mamba adalah seorang perempuan yang berpakaian serba hitam; Cewek Kue adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan warna-warna cerah, misalnya, kuning dan merah; Cewek Bumi adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan earth-tone (warna-warna bumi), misalnya, cokelat, abu-abu, dan hijau tua.

Penulis hanya akan menganalisis secara umum (tak spesifik pada gender perempuan) serta singkat tipe yang pertama saja. Sebagaimana gaya hidup, pakaian mempunyai makna—baik secara sosial maupun personal. Makna, dapat ditelisik melalui beberapa pendekatan.

Semiotika

Menurut Derrida, seorang filsuf bahasa, semua ide-gagasan terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa. Jika pakaian adalah semacam metode komunikasi untuk mengomunikasikan sesuatu, maka dengan paradigma yang sama, dapat diasumsikan bahwa tak memakai pakaian pun merupakan suatu metode komunikasi, suatu cara untuk mengomunikasikan suatu pikiran atau perasaan (bahasa). Lantas, apa bahasa yang ingin dikomunikasikan seorang-mamba?

Hitam, adalah warna yang lekat dengan kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan. Seseorang yang berpakaian serba hitam, dengan demikian, memiliki kecenderungan untuk menandai dirinya sebagai individu yang “gelap”, sedang bersedih, sedang berduka, sudah menerima “mati”, mencoba elegan, dan penuh misteri. Dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mencoba membangun tanda diri melalui atribut-atribut sifat yang dilekatkan pada warna hitam.

Saussure, seorang ahli bahasa dan tokoh strukturalis, menyatakan bahwa suatu tanda tak hanya ada dalam bentuk citra bunyi, tetapi juga dalam pemahaman. Seekor tokek disebut tokek karena ia memiliki citra bunyi “tokek”—sedangkan seekor kecoak tak memiliki memiliki citra bunyi “kecoak”, tetapi diberikan nama kecoak di atas persetujuan bersama bahwa hewan yang sering hidup di kamar mandi kotor tersebut dinamakan kecoak. Apa hubungannya dengan seorang-mamba?

Tentu saja seorang-mamba tak memiliki citra bunyi yang sama seperti seekor spesies ular endemik Benua Afrika bernama Black Mamba. Pointnya adalah bahwa segala sesuatu yang “ada” (besar kemungkinan) tak bisa lepas dari relasi tanda, penanda, dan petanda. Hitam adalah penanda (signifier) dan hal-hal yang identik dengan warna hitam (kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan) adalah petanda (signified). Ketika seseorang mengatakan kegelapan, kepala kita akan memiliki kecondongan untuk membayangkan warna hitam, begitu pula sebaliknya. Ini (mungkin) adalah bukti betapa kita terobsesi dengan relasi antara Penanda dan Petanda.

Fenomenologi

Selain tak bisa kabur dari bahasa, manusia pun tak bisa lepas dari fenomena. Fenomenologi, adalah ilmu yang mengkaji fenomena dan kesadaran sekaligus aliran filsafat yang berisi diskursus mengenai hal-hal personal (dan khusus) seperti pengalaman. Husserl, seorang filsuf sekaligus Bapak Fenomenologi, menekankan bahwa untuk memahami sebuah fenomena seseorang harus menelaah fenomena tersebut apa adanya. Seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimilikinya tentang suatu fenomena.

Dalam konteks Fesyen Mamba, penulis adalah seorang-mamba yang secara langsung mengalami fenomena tersebut. Jika dikorelasikan dengan kesuraman pandemi tak bertepi yang dirasakan secara pribadi, secara sosial, maupun secara global—ditambah survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): pada tahun 2020, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi (akibat pandemi COVID-19)—penulis menilai bahwa tren Fesyen Mamba mungkin hanyalah konsekuensi logis dari keadaan pandemi—di mana banyak orang kehilangan, berduka, bersedih, dan kemudian melupakan emosinya tersebut dalam cara berpakaian.

Fesyen Mamba, secara lebih luas, juga identik dengan seorang pelayat, à la gothic, dan secara sekilas mirip dengan gaya busana orang-orang dari gerakan Eksistensialisme Prancis tahun ’60-an yang membawa “wabah depresi” kepada dunia.

Sosio-Kultural

Tradisi Barat menganggap hitam sebagai warna ancaman dan pemberontakan—mereka mengasosiasikannya dengan kematian, pemakaman, kekuasaan, intimidasi, dan kontrol. Sehingga para Anarkis (seorang penganut Anarkisme: ideologi yang menentang hierarki dan status quo, khususnya negara) lekat dengan atribut pakaian serba hitam. Akan tetapi, dalam budaya kontemporer, orang-orang Barat melihat ‘hitam’ sebagai warna yang berkelas dan tanda dari suatu fesyen papan atas.

Secara sosio-kultural Timur, khususnya Indonesia secara garis besar, warna hitam dianggap sebagai jenis warna yang sakral. Warna hitam kerap digunakan dalam berbagai jenis pakaian kebesaran, seperti pakaian kerajaan, sampai busana pengantin. Pakaian berwarna hitam tak selalu negatif—dengan kata lain, situasional—bahkan positif, misalnya bagi seseorang yang sedang berziarah atau melayat, memakai pakaian berwarna hitam bermakna “baik”—ikut berduka dan menghargai keluarga yang sedang berduka.

Menurut interpretasi penulis, alih-alih tren yang berangkat dari faktor kesakralan sosio-kultural warna hitam, tren Fesyen Mamba, lebih merupakan gerakan selera personal bernuansa melankolisme-gelap—yang pada gilirannya menjamur secara kolektif karena kesamaan “rasa” di bawah pesimisme-pandemik yang dirasakan secara global. Mungkin juga karena memang seorang-mamba hanya sekadar menyukai warna hitam. Di sisi lain, analisis semiotik bertendensi menghiperbolakan suatu fenomena sosial yang sebenarnya biasa saja. Kita tutup dengan tafsiran de Waelhens atas pemikiran Merleau-Ponty, filsuf ambigu itu, bahwa dunia/realitas tak akan pernah bisa direduksi menjadi satu makna belaka—sebab dunia/realitas sungguhlah rumit. Kedwiartian? Kebanyakartian? Kebanyakan-arti?

*****

Referensi:

de Saussure, Ferdinand. 1998. Course in General Linguistics. Open Court;

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press;

Husserl, Edmund. 1999. The Idea of Phenomenology. Springer;

de Waelhens, Alphonse. 1951. Une philosophie de l’ambiguïté. Publications Universitaires de Louvain;

Kaiser, S. (2011). The Semiotics of Clothing: Linking Structural Analysis with Social Process. In T. Sebeok & J. Umiker-Sebeok (Ed.), The Semiotic Web 1989 (pp. 605-624). Berlin, Boston: De Gruyter Mouton. https://doi.org/10.1515/9783110874099.605;

Smith, J. A., & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis as a useful methodology for research on the lived experience of pain. British journal of pain, 9(1), 41–42. https://doi.org/10.1177/2049463714541642;

Cherry, Kendra. 2020. verywellmind. “The Color Psychology of Black” https://www.verywellmind.com/the-color-psychology-of-black-2795814;

Tim CNN Indonesia. 2022. CNN Indonesia. “Viral Cewek Kue, Cewek Mamba, Cewek Bumi, Apa Sih Artinya?”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220715071236-277-821821/viral-cewek-kue-cewek-mamba-cewek-bumi-apa-sih-artinya).

Tuesday, 27 September 2022

Godardisme: Membangun Filosofi dalam “Vivre sa vie” (Esai Translasi)

[Bagian dari VARIABLES, serangkaian esai tentang seni & politik Jean-Luc Godard]

Dipublikasikan pertama kali di website filmcapsule.com pada 19 November 2014
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha  

*terjemahan ini didedikasikan untuk Godard—& terbit 2 minggu pascakematiannya pada 13 September 2022.

***

Jean-Luc Godard sering dilabeli sebagai sutradara/pembuat film intelektual, yang biasanya tampak seperti istilah yang sombong, mewakili sesuatu seperti “didaktik” atau bersifat mendidik—& “obtus” atau sulit dipahami. & terkadang itu mungkin benar. Tapi jika Godard adalah pembuat film intelektual, itu bukanlah suatu sikap gaya-gayaan atau kepura-puraan, tetapi pendalaman yang sungguh-sungguh terhadap konsep tentatif di ruang lingkupnya. Prancis 1960-an adalah sarang wacana politik & diskursus filosofis, Godard & rekan-rekan New Wave-nya (yang dulunya para teoritikus kemudian beralih menjadi sutradara) adalah bagian integral dari lingkungan ini. Wajar jika diskursus ini mulai merembes ke dalam film-film mereka.

Vivre sa vie (1962) karya Godard, misalnya, kaya akan eksistensialisme. Baik dalam bentuk maupun isinya, kisah terjunnya seorang single mother berusia 22 tahun ke dalam prostitusi ini seringkali tampak dimotivasi oleh prinsip-prinsip pembentukan-diri à la eksistensialisme, tetapi anggapan mengenai eksistensialisme dalam film ini tetaplah ambigu. Apakah Nana Kleinfrankenheim (yang diperankan Anna Karina) memang bebas untuk menjalani kehidupan yang dia pilih, ataukah dia malah ditentukan oleh ketiadaan kehendak bebas yang kentara? Apakah otonomi individu, ataukah kecenderungan untuk menolak makna itulah yang mendefinisikan Vivre sa vie?

Salah satu prinsip eksistensialisme yang sering hadir baik secara bentuk maupun isi film tersebut adalah keselarasan antara ajaran & cara hidup seseorang, antara perkataan & tindakan. Dengan prinsip ini, Godard pasti akan menjadi model yang mengagumkan bagi para sinefil untuk film abad ke-20 & ke-21. Pertama sebagai kritikus & teoritikus yang setia, kemudian sebagai pembuat film yang ulet & produktif, Godard mempraktekkan apa-apa yang dia khotbahkan. Tulisan-tulisannya tentang kekuatan & politik dari film diaktualisasikan dalam karyanya, sebagaimana karyanya itu sendiri ada sebagai perpanjangan dari teori & filosofinya sendiri.

Tapi apakah integritas yang sama antara kata-kata & tindakan ini ada pada Nana di Vivre sa vie? Eksistensialisme bergantung pada pembentukan “gagasan yang lebih personal tentang ‘kebenaran’ (Flynn 2),” sebuah esensi unik untuk setiap individu yang berfungsi sebagai peta filosofisnya mengarungi kehidupan. Meskipun Nana sangat menginginkan kebenarannya sendiri, di sepanjang film dia menjadi “didefinisikan” bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak orang lain.

Godard & Karina mencirikan Nana melalui luapan emosinya, serta rasa ingin tahu & perhatiannya yang naif. Misalnya, dalam satu adegan kunci, Nana dengan berurai air mata menonton The Passion of Joan of Arc karya Carl Theodor Dryer tahun 1928. Kekuatan emosional dari adegan yang sangat sunyi ini bergantung pada ketepatan Godard & Karina dalam menangani respons emosional Nana yang dalam & hampir sublim, yang menunjukkan penerimaan perasaannya, sebagai prinsip lain dari eksistensialisme. Adegan kunci lain dalam film ini memperlihatkan Nana yang mencoba membangun filosofinya sendiri, tetapi setelah Nana berbincang dengan filsuf-sungguhan (Brice Parain), Nana semakin bingung dengan teori pertamanya tentang kehidupan.

Cita-cita Eksistensialisme difokuskan pada individu manusia dalam “pengejaran identitas & makna (Flynn 8),” namun dalam Vivre sa vie, Nana secara rutin ditolak agensi dalam mengejar identitasnya sendiri, sama seperti dia tidak dapat menciptakan sistem maknanya sendiri. Godard mencapai ini dengan secara konsisten & radikal menyasar Nana dalam konteks peran sosialnya, sebagai karyawan toko kaset, calon aktris, ibu yang rindu, model yang tidak antusias, & tentu saja, pelacur. Masing-masing peran ini ditentukan oleh fungsinya bagi orang lain, bukan oleh esensinya sendiri. Sebagai seorang aktris & model khususnya, Nana tampaknya bersedia tunduk pada kehendak sutradara atau fotografer, melepaskan identitasnya sendiri untuk mengenakan topeng sebagai “performer”. Sebagai pelacur, Nana kembali dicirikan oleh fungsinya untuk orang lain, namun bahkan sebutan sederhananya sebagai “pelacur Raoul” lenyap saat dia berganti germo, yang mengakibatkan kehancurannya. Meskipun dia mencari integritas eksistensial demi menjalani hidupnya sendiri, untuk dirinya sendiri—Nana menolak pilihanya di setiap kesempatan.

Meskipun Godard dalam Vivre sa vie memasukkan penelusuran à la eksistensialisme, elemen-elemen ini sebagian besar negatif, sebagai pengingat bahwa apa yang Nana cari mati-matian tidak akan pernah didapatkan. Mungkin sebaliknya, film ini merupakan ekspresi dari pembentukan-diri Godard sendiri sebagai seorang pemikir & seniman. Kehadiran sang sutradara dalam film tersebut tampak muncul melalui pembacaan “The Oval Portrait” karya Edgar Allan Poe. Dengan teknik close-up ke wajah Karina, narasi Poe dibacakan oleh suara Godard sendiri, menggantikan aktor yang membaca buku itu. Saat Godard membaca kegilaan seorang seniman dengan rendering gambar istrinya, dengan mengesampingkan Nana, penonton akan menyadari hubungan pribadi yang mendalam dari cerita ini dengan hubungan Godard & Karina, yang mengancam dedikasi Godard terhadap karyanya sendiri.

Ditempatkan di akhir film, adegan ini mengganggu pembacaan eksistensialis terhadap Vivre sa vie seraya “memperluas” film demi mencakup kehidupan Godard dan Karina. Meskipun Godard “melipat” dirinya ke dalam jalinan film, langkah ini tidak bertentangan dengan pencarian Nana untuk filosofi eksistensialnya, itu justru meluas menuju ke arah Godard sendiri. Godard tidak merusak integritas Nana, tetapi sebaliknya—menegaskan integritasnya sendiri, menyusun pernyataan tesis dari filosofi sinematik pribadinya.

Referensi:

Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford.

Tuesday, 20 September 2022

Filosofi Keputusasaan à la Cioran (Esai Translasi)

L APPEL AU SUICIDE OU L'ULTIME FLIRT (1977) by RAYMOND DOUILLET
Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

*Esai ini juga sempat dipresentasikan pada acara Philosophy Week ke-9 di Federal University of the State of Rio de Janeiro (UNIRIO) pada tahun 2019.

Terlepas dari keganjilannya, gagasan filsuf kelahiran Rumania, Emil Cioran, tidak berada dalam ruang hampa. Kita dapat berargumen bahwa gagasannya adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—bahkan pesimis—yang tidak diketahui dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh profesor UCLA, Joshua Dienstag pada tahun 2009. Tidak ada sekolah-pemikiran-filosofis pesimisme yang tepat, tetapi Dienstag berpendapat—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Leopardi, Schopenhauer, Nietzsche, Unamuno, Camus, dan Cioran—kurang lebih sebagai tubuh dari tradisi ini.

Dalam buku Tragic Sense of Life (2008) karya Miguel de Unamuno, dinyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia. Filsafat Cioran—yang (membaca) dan berangkat dari Unamuno—tentu saja mempertajam dan menguatkan konklusi dan sentimen ini. Kesadaran sebagai penyakit adalah titik awal filosofi keputusasaan à la Cioran. Kesadaran akan apa? akan waktu. Akal kita mampu merefleksikan apa yang dipikirkannya dan memiliki pemahaman penuh tentang keberadaan masa lalu dan masa depan. Filosofi keputusasaan Cioran menyatakan bahwa kapasitas kita ini memiliki efek samping yang menakutkan, seperti pengetahuan bahwa eksistensi kita ada— dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Meskipun Cioran berpendapat bahwa kita bukanlah robot, tetapi kita beroperasi dalam keterbatasan waktu yang tidak tertanggulangi—dan kita tahu ini. Masa depan, oleh karena itu, tidak lain dan tidak bukan adalah masa lalu yang belum datang. Kita semua akan binasa, sama seperti makhluk hidup lain yang menghuni planet ini, dan pengetahuan ini membuat kita secara retroaktif tidak eksis/ada.

Pengetahuan ini juga membuat Sejarah menjadi tidak berarti. Sejarah, menurut Cioran, adalah adaptasi yang kita buat terhadap kondisi temporal kita: kita menciptakan Sejarah dan mengisinya dengan ilusi—agama dan segala macam impian. Pada momen-momen tertentu, Cioran menggunakan metafora dan mitologi untuk mengungkapkan pikirannya. Salah satu ungkapan yang dia gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”. Kita adalah makhluk yang datang dari ketiadaan abadi dan jatuh ke dalam waktu ketika kita dilahirkan: kita menjalani masa kini yang selalu cepat berlalu dan menjadi masa lalu. Untuk itu, kita selalu menitipkan harapan kita di masa depan. Semua hewan lain hidup di masa kini—mereka beradaptasi untuk hidup di masa kini, dilahirkan dan (hampir) siap untuk hidup. Mereka memiliki apa yang mereka butuhkan di dalam diri mereka. Singa, zebra, serangga, dan ikan tidak membutuhkan budaya, sekolah, dan pembelajaran formal. Mereka hidup pada masa kini dan ketakutan mereka akan kematian tidak lebih dari sekadar ketakutan yang naluriah. Hewan, bahkan ketika mereka sakit, tidak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti kita—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Filosofi keputusasaan Cioran, bagaimanapun, tidak melihat rasa sakit hanya terjadi di dunia manusia. Dalam aforisme tertentu dia mengungkapkan bagaimana kesadaran apa pun akan mendapat manfaat dari ketidakberadaan, bahkan kesadaran hewan primitif. Dalam bukunya De l'inconvénient d'être né/The Trouble with Being Born (1976), Cioran menulis, “Lebih baik menjadi hewan daripada manusia, serangga daripada hewan, tumbuhan daripada serangga, dan seterusnya. Pertolongan? Apa pun yang mampu mengurangi kerajaan-kesadaran dan mengompromikan supremasinya.” Menurut filosofi keputusasaan, dunia ideal akan dihuni oleh bebatuan—dan, jika ada kehidupan, itu adalah tumbuh-tumbuhan (Cioran, 1998). Jadi apa yang bisa kita lakukan? Apa jawaban Cioran untuk diagnosisnya yang begitu mengerikan?

Saat menulis buku pertamanya, Cioran menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Rumania. Kemudian, ia beralih secara permanen menggunakan bahasa Prancis. Meskipun beberapa karya pertamanya sudah sangat suram, jawabannya atas betapa hampanya keberadaan manusia masih agak vitalis. Sebentuk kekaguman Ciora terhadap ekstase spiritual orang-orang Kristen yang suci pada awal-awal kepenulisannya hanyalah: dalam persepsi Cioran, ketika kita melihat fenomena ekstase spiritual—tanpa berpegang pada sampul dogmatis agama—orang suci itu akan menjadi semacam orang yang mampu beberapa saat meninggalkan dan lari dari ‘waktu’ di mana kita semua jatuh ke dalamnya. Sosok-sosok suci dan mistikus akan meninggalkan individuasi dan temporalitas manusia dalam momen-momen ekstase spritual yang singkat ini. Namun, setelah Perang Dunia II, Cioran dalam fase Prancis-nya, meskipun diagnosisnya tetap sama—bisa dikatakan bahwa keputusasaannya menjadi lebih dalam—dengan kata lain, Cioran tidak melihat jalan keluar. Tidak ada penolong untuk kondisi temporal kita, bahkan dalam ekstase orang-orang suci. Yang bisa kita coba, hanyalah seni untuk menjalani hidup yang agak dekat dengan asketisme dan kepasrahan non-religius yang kita temukan dalam filsafat Schopenhauer.

Menurut Schopenhauer (2014) pesimisme memberi kita celah kecil untuk melarikan diri dari kondisi keterlemparan ketika kita dilahirkan, meskipun untuk sementara. Schopenhauer (2015) baginya, mengagumi seni, terutama musik, adalah sekutu yang kuat bagi orang-orang yang berusaha menetralisir kehendak yang kejam untuk hidup, meskipun untuk sesaat. Cita-cita asketisme—misalnya, dalam monastisisme Kristen dan Buddhis—bahkan lebih baik bagi Schopenhauer: seorang asket menyangkal kehendak untuk hidup dan bekerja terus-menerus melawan nafsu yang membuat kita terikat pada dunia yang seutuhnya fana dan di mana rasa sakit, bahkan ketika tertunda, sudah pasti menyakitkan. Pengetahuan yang dimiliki dalam mempraktikkan penolakan kehendak untuk hidup, bahkan ketika penolakan ini terjadi secara tidak langsung—seperti dalam kasus para biksu, yang menolak kehendak untuk hidup demi alasan agama dan dogmatis, bukan karena wawasan filosofis—adalah  semacam kemenangan dalam filosofi Schopenhauer. Bagi Schopenhauer (2014), perpaduan dari seluruh “kehidupan” adalah penyebab dari begitu banyak penderitaan, maka akan lebih baik jika bumi kosong seperti bulan. Tapi di dalam Schopenhauer ada secuil kemenangan personal ketika kita menolak kehendak untuk hidup, yang mana itu merupakan pengetahuan tentang penolakan ini. Bagi Cioran, kemenangan kecil pun tidak mungkin. Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi kita. Kita hanya dapat menangani bencana total ini secara parsial dengan mengisolasi diri kita sendiri—seolah-olah kita adalah biksu urban.

Kita dapat melihat bahwa filsafat Schopenhauer dan Cioran sama-sama mempromosikan semacam penolakan kehidupan. Pada filsafat Cioran, kita juga melihat kritik tajam terhadap prokreasi. Dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Aku sendirian di pekuburan yang menghadap ke desa ketika seorang wanita hamil datang ke sini. Aku segera pergi, supaya tidak melihat pembawa mayat wanita ini dari jarak dekat, atau untuk merenungkan kontras antara rahim yang agresif dan pusara yang usang—antara janji-janji ilusif dan akhir dari semua omong kosong ini. (Cioran, 1998)

Ketidaksetujuannya terhadap reproduksi tidak terbatas pada wanita dan yang lainnya. Dalam buku catatannya, yang diterbitkan setelah meninggal dunia, dia menulis: “Dengan apa yang aku ketahui, dengan apa yang aku rasakan, aku tidak dapat mengabdikan hidup tanpa menempatkan diriku dalam kontradiksi total dengan diriku sendiri, tanpa menjadi secara intelektual tidak jujur dan kriminal secara moral.” (1997) Pernyataan seperti itu bukanlah kecaman terhadap orangtua karena menjadi orangtua, melainkan kondisi manusia yang secara membabi buta melestarikan dirinya, terlepas dari ketidakmungkinan yang total atas makna yang memuaskan bagi kehidupan dan penderitaan yang kita alami. Bagi filsuf keputusasaan, akan lebih baik jika kita tetap dalam “kemungkinan-kemungkinan”. Sekali lagi, dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Jika benar bahwa dengan kematian kita sekali lagi menjadi seperti sebelumnya, bukankah lebih baik untuk mematuhi kemungkinan murni itu, tidak bergerak darinya? Apa gunanya jalan memutar ini, ketika kita mungkin tetap selamanya dalam keterpenuhan yang tidak disadari? (Cioran, 1998)

Sentimen tersebut bergema dalam tulisan Samuel Beckett, penulis naskah drama asal Irlandia. Dalam Waiting for Godot, tokoh bernama Pozzo mengatakan: “Mereka melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” (Beckett, 2011)

Masih ada pertanyaan: jika hidup begitu mengerikan, mengapa kita tidak meninggalkannya dengan bunuh diri?Memang benar bahwa baik Cioran dan Schopenhauer sebelumnya tidak mengutuk bunuh diri. Sebaliknya: keduanya menegaskan dalam karya-karya mereka bahwa tidak ada gereja atau lembaga sipil yang pernah memberikan argumen yang valid mengenai bunuh diri. Namun, untuk alasan yang berbeda, mereka tidak menganggapnya sebagai alternatif terbaik. Bagi Schopenhauer, bunuh diri, adalah mencoba membunuh kehendak untuk hidup di dalam dirinya—tetapi kehendak untuk hidup adalah kekuatan pendorong metafisik yang menembus semua kenyataan. Bunuh diri tidak menyangkal kehendak untuk hidup, asketisme-lah yang menyangkalnya. Karena Cioran skeptis terhadap kebenaran mutlak, kita tidak menemukan bantuan pengetahuan metafisik, oleh karena itu, menurutnya, bunuh diri sebenarnya adalah alternatif yang valid, tetapi itu bukan tindakan yang perlu, juga tidak manjur. Dalam A Short History of Decay, dia menulis tentang bagaimana bunuh diri diibaratkan semacam harta karun yang kita semua punya aksesnya, tetapi kita bisa memilih untuk menghabiskan seluruh hidup kita tanpa menggunakannya (Cioran, 2012). Setelah kita lahir, kerusakan sudah terjadi, dan bunuh diri tidak mengubah itu—karena alasan ini, bunuh diri menjadi satu lagi tindakan sia-sia terhadap kondisi kita. Dalam salah satu aforismenya yang paling terkenal, Cioran menyatakan bahwa: “Tidak ada gunanya repot-repot membunuh diri sendiri, sejak dirimu selalu terlambat untuk melakukannya.” (Cioran, 1998)

Karya-karya Cioran mengungkapkan filsafat yang korosif, nihilistik, dan pesimistis—yang menyangkal nilai kehidupan, sesuatu yang mungkin kontroversial pada pandangan pertama—atau pada pandangan ketiga, keempat, keseribu ... Namun, mereka yang membacanya mesti berhati-hati dan penuh waspada, sebab penyangkalan ini bukanlah penghormatan atau dorongan untuk bunuh diri, meskipun dia tidak menilai tindakan tersebut dari sudut pandang moral atau perspektif seorang vitalis. Filosofi keputusasaan à la Cioran menggugat kehidupan tanpa mengharapkan kematian. Sebagai kesimpulan, penulis akan menutupnya dengan kata-kata Cioran sendiri:

     Kita tidak terburu-buru menuju kematian, kita melarikan diri dari malapetaka kelahiran, para penyintas berjuang untuk melupakannya. Ketakutan akan kematian hanyalah proyeksi ke masa depan dari ketakutan yang berasal dari momen pertama kehidupan kita. Tentu saja, kita enggan menganggap kelahiran sebagai momok: bukankah hal itu telah ditanamkan dalam diri kita sebagai kebaikan yang berkuasa—tidakkah kita diberitahu bahwa yang terburuk datang terakhir, bukan pada awal kehidupan kita? Namun kejahatan, kejahatan yang sebenarnya, ada di belakang, bukan di depan kita. Apa yang luput dari Yesus tidak luput dari Buddha: “Jika tiga hal tidak ada di dunia, o para murid, Yang Sempurna tidak akan hadir di dunia ...”  Dan di hadapan usia tua dan kematian, Sang Buddha menempatkan fakta kelahiran, sumber dari setiap kelemahan, setiap bencana. (Cioran, 1998).

Referensi:

Beckett, Samuel. Waiting for Godot. New York: Grove Press, 2011.

Cioran, Emil. A Short History of Decay. New York: Arcade Publishing, 2012. Translated by Richard Howard.

Cahiers, 1957-1972. Paris: Gallimard, 1997.

The Trouble with Being Born. New York: Arcade Publishing, 1998. Translated by Richard Howard.

Dienstag, Joshua Foa. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press, 2009.

Unamuno, Miguel de. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications, 2008.