Showing posts with label horace. Show all posts
Showing posts with label horace. Show all posts

Monday, 14 November 2022

Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup

“Kau, janganlah mencari (adalah kesalahan untuk mengetahui) akhir yang telah diberikan para dewa kepadaku dan kepadamu, Leuconoe, apalagi mempercayai angka-angka dari Babilonia. O sungguh lebih baik menanggung apa pun yang akan terjadi! Apakah Jupiter masih memiliki banyak musim dingin, atau ini yang terakhir; yang membuat gelombang laut Tirenia terus melemah karena memaksa melawan bibir laut. Bijaklah, saring anggurmu; hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? Sewaktu kita berbicara, waktu yang membuat cemburu telah surut dan pergi: rampaslah hari ini, dan taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari." —Horace, Odes (seri 1; puisi nomor 11) circa 23 SM.

Kira-kira seperti itulah puisi yang ditulis oleh Quintus Horatius Flaccus, atau yang lebih dikenal sebagai Horace—dalam buku Odes—yang terbit pada tahun 23 sebelum masehi. Lantas apa makna implisit dalam puisi yang dikarang oleh penyair Romawi tersebut? Adalah Carpe Diem. Apa itu? Dan yang terpenting, apakah itu penting?

Pendek kata, Carpe Diem adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika ditafsirkan secara kasar bermakna: Petiklah hari ini. Sejatinya, frasa tersebut merupakan bagian dari frasa yang lebih panjang. Versi lengkapnya adalah carpe diem, quam minimum credula postero” yang dapat diterjemahkan sebagai Rebutlah hari ini, berikan sedikit kepercayaan pada esok hari (masa depan).

Secara tersirat, Odes tersebut ingin mengatakan bahwa masa depan tidak dapat diprediksidan kita tidak boleh membiarkan kejadian di masa depan terjadi begitu saja. Kita haruslah memaksimalkan hari iniagar masa depan menjadi jauh lebih baik.

Carpe Diem juga berarti bahwa seseorang harus bertindak sejak hari ini, dan tidak menunggu masa depan. Dengan kata lain, parafrasa ini sama dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekaligus memberi kita petuah agar jangan menunda-nunda sesuatu.

Hantu-hantu Kecemasan

Kini, pertanyaannya adalah mengapa kita harus menyuarakan kembali frasa usang seperti Carpe Diem itu di masa sekarang?

Karena hidup manusia hari ini ada di zaman gangguan media sosial. Ketika di antara kita memeriksa ponsel lebih dari ratusan kali dalam sehari, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton kehidupan orang lain di layar gawai, ketimbang menghidupi realitas yang ada dan benar-benar nyata.

Ditambah lagi, manusia ada di depan distopia baru bernama hiperealitas (ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi).

Skenario terburuknya, jika boleh meminjam aporisma Nietzsche, manusia modern adalah entitas yang akan menyaksikan bagaimana kedigdayaan AI (kecerdasan buatan) menjadi tuhan-tuhan baru. Konsekuensi paling logisnya, konsepsi manusia terhadap waktu semakin bias. Seperti tidak ada masa kini karena telah dibius oleh masa depan. Manusia semakin kehilangan fokus pada hari ini dan terlalu larut dalam utopia-utopia masa nanti.

Sialnya waktu terus berjalan, zaman terus berlari, dan manusia semakin sulit untuk menghidupi hari. Sebab, manusia dipaksa menghidupi kosakata semacam globalisasi, digitalisasi, revolusi industri, dan isasi-isasi berbau futuristik lainnya. Manusia dininabobokan oleh jargon-jargon masa depan. Sampai-sampai pikirannya terjangkit penyakit-penyakit kecemasan seperti terlalu mencemaskan hari esok. Namun di sisi lain, malah menyia-nyiakan hari inihari yang ada di depan matanya sendiri.

Jika melihat pada data yang ada, angka penderita gangguan kecemasan (anxiety) telah meningkat sebanyak 15% dari tahun 2005. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 264 juta orang menderita gangguan kecemasan.

Belum lagi Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan. Membentuk kegamangan manusia akan masa depan selangkah lebih nyata. Menjadikan batas antara kehidupan dan kematian semakin dekatyang pada akhirnya memproduksi kenyataan baru bahwa manusia hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kematian.

Data dan hipotesis di atas seakan melahirkan alasan kuatmengapa harus merevitalisasi makna Carpe Diem. Sebab filosofi yang dikandungnya berguna bagi manusia yang acap kali dihantui kecemasan. Di dalamnya akan ditemukan wacana besar bahwa, setiap manusia haruslah menikmati fragmen-fragmen insiden yang sedang berlangsung, meresapi keesoterisan momen ini, dan bukan lebih mengkhawatirkan tentang masa depan. Representasi sederhananya adalah dengan menjalani hari-hari tanpa dihantui ketakutan, dan menyikapi dengan tenang hal-hal yang belum tentu terjadi.

Epikureanisme

Carpe Diem biasanya dimaknai dengan latar belakang Horace yang bertopang pada filsafat epikureanisme. Sehingga pemaknaan Carpe Diem bukan untuk mengabaikan masa depan, tetapi lebih untuk menyadari bahwa masa depan dimulai dari hari ini.

Filosofi ini tentu tercermin dalam puisi-puisi Horace yang telah mewakili filsafat epikureanisme. Epikureanisme singkatnya adalah aliran filsafat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Epicurus (Epikuros). Sistem filsafat ini beraliran materialisme yang tentu pada praktiknya sering kali menyerang gagasan-gagasan takhayul, mitos-mitos tertentu, kredo para dewa-dewi, dan intervensi ilahi.

Menurut Mazhab Epikureanisme, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mengarahkan kesadaran manusia ke dalam keadaan ataraxia (bebas dari rasa gelisah, takut, atau cemas; tenang). Istilah dan doktrin ini berakar dari Yunani Kuno. Pertama kali digunakan oleh filsuf bernama Pyrronkemudian oleh Epicurus, dan kaum Stoik.

Selain itu, epikureanisme menggambarkan bahwa salah satu keadaan ideal adalah keadaan yang disebut dengan aponia (keadaan yang absen dari rasa sakit). Perpaduan antara aponia dan ataraxia inilah yang dipandang sebagai puncak kebahagiaan.

Pendiri filsafat ini, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan adalah kebaikan terbesar dan tertinggi. Dan seperti Mazhab Filsafat Helenistik lainnya, kaum Epikurean percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Oleh karena Horace adalah seorang Epikurean. Maka Carpe Diem seakan menjadi kepingan puzzle terakhir yang memungkinkan manusia mencapai keadaan bahagia total ala epikureanisme.

Kesalahpahaman di Baliknya

Sayangnya, filosofi Carpe Diem terkadang disalahpahami. Mungkin karena frasa ini berhubungan langsung dengan epikureanisme sebagai pandang filsafat yang juga sering disamakan dengan gagasan-gagasan hedonisme. Tidak mengherankan, mengingat epikureanisme sekilas mirip dengan hedonisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebahagiaan sebagai kebaikan intrinsik.

Distingsi antara epikureanisme dan hedonisme terletak pada usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Hedonisme mencari kebahagiaan atau kesenangan dengan foya-foya secara materialistik. Ini tentu berbeda dengan epikureanisme yang menekankan pada gagasan hidup sederhana, dan menyebut tidak adanya rasa sakit sebagai kebahagiaan terbesar.

Esensi Carpe Diem juga kadang kala disalahartikan sebagai makan dan minumlah, karena besok kita akan mati. Pemaknaan lebih jauh dari Carpe Diem sebenarnya hanya digunakan untuk membenarkan tindakan spontan serta memanfaatkan hari ini sebaik mungkin, agar manusia tidak mengulangi kebodohan yang sama.

Implementasi Carpe Diem pada kehidupan sehari-hari secara tidak langsung membuat manusia menikmati momen ini, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Bahwa manusia memang harus menikmati hidup yang dimiliki saat ini. Yang pada akhirnya akan menyadarkan manusia bahwa, kekhawatiran yang berlebih bisa memperburuk keadaan, dan hanya membuat dirinya terkungkung pada stres yang tidak tercegah.

Dan pada akhirnya, Carpe Diem juga berarti membuat keputusan yang berani, agar tidak menyesal di kemudian hari. Tentu agak sedikit berbeda dengan Amorfati versi Nietzsche yang berarti belajar mencintai pilihan yang sudah dibuat. Namun, yang menjadi narasi dan pertanyaan utama adalah berani atau tidak kita, sebagai manusia membuat keputusan tanpa penyesalan? Berani atau tidak hidup tanpa belenggu masa lalu dan tanpa kecemasan akan masa depan?

Terakhir, di tengah cepatnya dunia dewasa ini menghidupkan kembali makna Carpe Diem adalah salah satu pilihan waras yang bisa untuk diambil. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan, dan masa kini adalah apa yang benar-benar penting. Jangan meratapi pada apa yang hilang, fokus pada apa yang seharusnya datang. Hiduplah di saat ini, di momen ini, tanpa terbebani hidup sebelumnya atau selanjutnya.

Saturday, 8 October 2022

Sapere Aude: Dari Horace, Aufklärung, hingga Trias Mahasiswa

“Dia yang memulai telah setengah selesai; sapere aude; mulai! (Dimidium facti, qui coepit, habet; sapere aude, incipe!)”

—Horace, First Book of Letters (20 SM)

Sapere Aude adalah frasa Latin yang dicetuskan oleh Quintus Horatius Flaccus alias Horace—seorang penyair Romawi Kuno yang juga mempopulerkan Carpe Diem (seize the day/merebut hari)—yang pada titik tertentu menjadi “jantung” dari Epikureanisme, sebuah mazhab filsafat helenistik yang berasal dari ajaran Epicurus/Epikuros.

Pendek kata, Sapere Aude berasal dan berakar dari bahasa Latin—jika ditafsirkan secara kasar bermakna: “beranilah untuk tahu!”. Selain itu, frasa ini juga lazim diterjemahkan sebagai “beranilah untuk berpikir sendiri” dan “beranilah untuk menjadi bijaksana”. Secara tersirat, melalui Sapere Aude, Horace seperti ingin mengatakan bahwa kita semestinya tidak terjatuh ke dalam procrastination (tindakan menunda-nunda pekerjaan)—yang juga senada seperti slogan raksasa perusahaan sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga Nike: Just do it!

Interpretasi yang kedua, ungkapan Sapere Aude seperti mengajak kita untuk berani mengulik rasa ingin tahu—dan menggunakan pikiran kita sendiri dalam upaya mencari pengetahuan dan kebenaran. Interpretasi ini seakan menegaskan bahwa Sapere Aude memanglah semacam respons zaman dari betapa terkungkungnya rasio/akal manusia abad pertengahan (terjadi antara abad ke-5 dan ke-14—yang berlangsung selama kurang lebih 900 tahun) di bawah tirani tradisi dan agama.

Aufklärung

Abad Pencerahan—Zaman Pencerahan—atau dalam bahasa Jerman: Aufklärung—adalah perpanjangan tangan dari Renaisans (bahasa Prancis: Renaissance) yang bermula di Firenze, Italia. Sapere Aude, kemudian dianut, direvitalisasi, dan digaungkan kembali oleh seorang filsuf gigan, Immanuel Kant, yang pada akhirnya menjadi moto untuk seluruh periode Aufklärung; sebuah revolusi yang menekankan intelektualitas dan rasionalitas ketimbang tradisi-tradisi dan jerat dogmatis agama-agama.

Sejatinya, agama sudah cukup “babak belur” di era Renaisans, misalnya, ketika bapak filsafat modern, René Descartes, meneriakkan bidal: Cogito Ergo Sum! (aku berpikir, maka aku ada). Di era Aufklärung, agama makin dibuat “ambyar” oleh Friedrich Nietzsche yang dengan gagah-berani mengungkapan kredo  mengerikan penanda zaman di dalam bukunya, The Gay Science (1886): Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati.  Dan kita telah membunuhnya!

Kecenderungan institusi agama untuk melarang manusia untuk secara mandiri berpikir sendiri adalah bom waktu yang meledak di era Renaisans dan Aufklärung. Pesatnya perkembangan Sains (dan teknologi) mendemistifikasi mitos-mitos yang sebelumnya dipercaya secara kolektif—kemudian menggerakan roda transisi budaya dari hal-hal yang transendental menuju hal-hal yang materialistik dan bisa dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Aufklärung di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi.

Setelah ratusan tahun memegang peranan sentral dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di era Renaisans dan Aufklärung agama lambat laun kehilangan tempatnya. Corak-corak pemikiran sekulerisme ini merevolusi cara kita berpikir-memandang sesuatu. Kemajuan industri dan lahirnya “mesin-mesin”, memberi semacam kontrol atas alam yang mampu diberikan oleh Sains—inilah pemicu meledaknya moto Sapere Aude yang hampir terjadi di seluruh dataran Benua Biru pada saat itu.

Sapere Aude yang diteriakkan Kant seolah meadvokasi keyakinan sekaligus ambisi kalangan akademisi dan kaum intelektual radikal abad ke-18. Secara sarkastik, Kant bahkan mengatakan bahwa Aufklärung adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri.

“Pencerahan adalah pembebasan manusia dari pelajaran yang dibuatnya sendiri. Pelajaran adalah ketidakmampuan manusia untuk menggunakan pemahamannya tanpa arahan dari orang lain. Penyebabnya tidak terletak pada kurangnya akal budi, tetapi pada kurangnya tekad dan keberanian untuk menggunakan pikiran sendiri. Sapere Aude! ‘Beranilah menggunakan akal budimu sendiri!’—itulah moto pencerahan.”

—Kant, An Answer to the Question: What Is Enlightenment? (2009)

Bila ditarik dengan pendekatan yang lebih heroik, Sapere Aude adalah seruan perang dari Kant untuk melawan kepengecutan orang-orang pada masa itu yang tidak berani berpikir bebas—“Sapere Aude!” dia menyeru sembari menenteng-nenteng bukunya, The Critique of Pure Reason (1781), yang isinya begitu khas profesor Jerman pada umumnya (Nietzsche adalah pengecualian): begitu pedantik, bertele-tele, kaku, dan hampir mustahil untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Trias Mahasiswa

Setelah pemaparan yang cukup ensiklopedis dan didaktik seperti di atas—mungkin sekarang pertanyaannya adalah “apa relevansi antara Sapere Aude dengan Trias Mahasiswa (atau Tri Dharma Perguruan Tinggi)”? Relevansinya adalah kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang baik sudah sepatutnya menjadi kritikus paling vokal bagi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara negara.

Poin ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat—secara personal, silakan didebat kalau tidak setuju, penulis menganggap bahwa pengabdian kepada masyarakat semestinya tidak dilakukan dengan kuliah–kerja-nyata, tetapi dengan menyuarakan aspirasi sekaligus keresahan masyarakat. KKN, pada praktiknya, hanya memberikan efek traumatis kepada mahasiswa dan tidak berguna-berguna amat bagi masyarakat.

Alih-alih membuat sumur bagi warga, mengecat balai desa, mengukur tanah, membajak sawah, dan hal-hal nonsens lain ketika KKN berlangsung—mahasiswa—akan jauh lebih berguna ketika mengangkat suara-suara masyarakat yang tak pernah tersuarakan. Pertama-tama dengan menanamkan persepsi di benak mereka bahwa otoritas apapun (negara, universitas, dlsb.) adalah entitas paling harus dicurigai, diawasi, dan dikritik.

Sedikit menukil kritik, secara kebahasaan, kritik berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti “dapat didiskusikan”—kritikos diambil dari kata ‘krenein’ yang bermakna memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Tidak, pembaca tidak salah membaca—faktanya, memang tidak ada kata “solusi”. Dengan kata lain, ada anggapan keliru yang telanjur dipahami bahwa kritik harus disertai solusi atau wajib solutif dan konstruktif.

Musuh abadi Platon alias Plato, Diogenes dari Sinope, bahkan pernah mengkritik Platonisme secara destruktif. Dalam satu anekdot terkenal, Plato mencoba mengkarakterisasi manusia menggunakan definisi gurunya: Socrates. Manusia, dalam kata-katanya, adalah “featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu”.

Mendengar berita itu, Diogenese membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulu-bulunya ke Akademi (tempat Plato biasa fafifu-wasweswos)—mengumumkan bahwa dia telah menemukan manusia-nya Plato. Diogenes memenangkan argumen. Pada akhirnya, Plato merevisi definisinya tentang manusia, menjadi “flat-nailed featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu yang memiliki kuku rata”.

Akan tetapi, agar kita tidak terjerumus ke dalam Sinisme-ekstrem à la Diogenes, kritik yang kita lontarkan harus disampaikan dengan tepat di waktu yang tepat. Secara etika dan moral, kritik pun sebaiknya satu paket dengan solusi. Oleh karenanya, meskipun Plato sangat membenci demokrasi ia tetap menyediakan “kerangka-abstrak-solutif” terhadap apa-apa yang dikritiknya, misalnya kritiknya terhadap demokrasi.

Kritik utama Plato terhadap demokrasi adalah bahwa sistem pemerintahan tersebut tidak mengutamakan kebijaksanaan dan pencarian pengetahuan sebagai kebaikan yang melekat, sebab pada akhirnya, demokrasi malah jatuh ke jurang timokrasi dan oligarki. Bahkan menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling buruk karena tidak ada tindakan yang menjamin pemimpin yang dipilih secara sah memiliki kebajikan yang mampu mengartikulasikan kepentingan terbaik bagi masyarakat luas.

Solusi atau negara ideal versi Plato adalah negara yang dipimpin oleh filsuf-raja yang memiliki nilai-nilai keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan—bukan seorang dari antah berantah (khususnya kalangan nonfilsuf) yang berkemungkinan kecil mempunyai atribut-atribut itu.

“Di buku Republic-nya Plato, Socrates mengungkapkan ketakutan besarnya tentang demokrasi karena, dalam pikirannya, demokrasi identik dengan kebebasan—yang hasilnya adalah tirani. Akan tetapi, zaman modern telah membawa kita pada pemahaman yang berbeda tentang demokrasi sebagai cita-cita.”

—Chomsky, Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013 (2003)

Di negara di mana siapa-siapa suatu saat dapat menjadi pemimpin tiran dan berpihak kepada para oligark (baca: negara demokrasi)—merawat kritisisme adalah kunci. Sebab demokrasi adalah rahim yang melahirkan seribu kebebasan dan kemungkinan yang tidak pernah bisa kita bayangkan efek domino-nya. Seseorang harus berani mengkritik, berani membuat konstruksi penilaian tentang kualitas negatif seorang pemimpin atau kebijakan-kebijakannya. Di sinilah peran mahasiswa sebagai spektator sekaligus kritikus wakil rakyat dalam upaya mengabdikan diri kepada masyarakat dan agar berguna bagi peradaban.

“ ... bring down the government

They don't, they don't speak for us ... ”

—Radiohead - No Surprises

Skeptisisme Descartes meskipun sudah hiper-klise harus tetap kita amalkan. Suatu otoritas yang melembaga secara formal di bawah istilah de facto dan de jure yang menaungi kepentingan orang banyak mesti dicurigai bersama—dalam ini negara dan pemerintah. Sudah terlalu banyak dari kita yang berpikir positif kepada pemerintah dan mengikuti arus—beberapa dari kita mesti berpikir negatif dan melawan arus—sebagai penyeimbang. Meskipun kalimat tadi terdengar dungu dan serampangan, tetapi kita harus ingat kepada apa yang telah disabdakan Nietzsche dalam magnun opus-nya:

“Negara, adalah yang terdingin dari semua monster dingin. Dengan dingin berbohong pula; dan kebohongan ini merayap dari mulutnya: “Aku, negara, adalah rakyat.” Itu adalah kebohongan!  Pencipta adalah mereka yang menciptakan orang-orang, dan menggantungkan kepercayaan dan cinta atas mereka: dengan demikian mereka melayani kehidupan. Penghancur, adalah mereka yang memasang jerat bagi banyak orang, dan menyebutnya negara: mereka menggantungkan pedang dan seratus nafsu di atasnya.”

—Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (1978)

Mahasiswa adalah agen perubahan, apa jadinya jika agen perubahan tidak berani berpikir sendiri, apatis, dan hanya manut-manut pada berbagai fenomena, gejolak, dan krisis yang terjadi di masyarakat? Katastrofi! Gema Sapere Aude di era Aufklärung mungkin sudah berumur 3 abad lamanya, tetapi kita harus tetap menjaga suara-suara tersebut agar tidak lenyap. Meskipun Horace dan Kant sudah lama mati, semangat kemandirian untuk berpikir harus kita jaga agar tetap hidup dan tidak redup.

Terakhir, di tengah kecarutmarutan kondisi sosio-ekonomi-politik dan masalah-masalah multidimensi internal-eksternal seperti saat ini—penulis berpikir seharusnya mampu merangsang kelahiran banyak orator, penulis, seniman, jurnalis, atau siapapun dengan latar belakang apapun yang bisa dengan tajam “mengingatkan para pemegang kekuasaan” agar tidak menjalankan negara dengan semena-mena. Statum Brutum Amor Fati!

Semoga semua makhluk berbahagia.

Referensi:

MA, Moch Aldy. 2021. “Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup”. MJSColombo;

Q. Horatius Flaccus (Horace). Horace, Satires, Epistles and Ars Poetica. H. Rushton Fairclough. London; Cambridge, Massachusetts. William Heinemann Ltd.; Harvard University Press. 1929;

Croskerry, Pat. "Sapere aude in the diagnostic process" Diagnosis, vol. 7, no. 3, 2020, pp. 165-168. https://doi.org/10.1515/dx-2020-0079;

Nisbet, H. B. (1982). “Was ist Aufklärung?”: The Concept of Enlightenment in Eighteenth-Century Germany. Journal of European Studies, 12(46), 77–95. https://doi.org/10.1177/004724418201204601;

Kant, Immanuel. 2009. An Answer to the Question: What Is Enlightenment?. Penguin Books Ltd;

O'Neill, O. 1998, 'Criticisms of Kantian ethics In: Kantian ethics' In: Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, viewed 1 October 2022, <https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/kantian-ethics/v-1/sections/criticisms-of-kantian-ethics>. doi:10.4324/9780415249126-L042-1;

Santas, G. (2007). PLATO'S CRITICISMS OF DEMOCRACY IN THE REPUBLIC. Social Philosophy and Policy, 24(2), 70-89. doi:10.1017/S0265052507070173

Chomsky, Noam. 2003. Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 1978. Thus Spoke Zarathustra. Penguin Books.