Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Monday, 3 April 2023

Puisi: untuk: Genrifinaldy

Transverse Line (1923) by Kandinsky



Hari meniadakan semua yang kau tahu:

Aku melihat kau mengarsipkan lembaran takut
yang membukukan kecemasan pada hitam bola mata

Aku juga melihat kau membeli rasa sakit
untuk menandai kecemasan dengan hitam tinta

Hitam akan menegakkan kecemasan
dan kemasan yang kau gunakan

kau berharap mencintai takdir
tetapi kekalahan mencintaimu telak
dengan lembaran yang lebih tebal dari nalar
dan semua buku yang sudah kau cumbu

Hari-hari meniadakan semua yang kau tahu
yang bisa kau namai adalah batas mampu
keterbatasanmu ialah pintu baru
mendobraknya melukai tata waktu

kuyakini, pengetahuanmu:
sayap yang menebas udara
seperti partikel cahaya yang membuat kau terjaga
dan waktu semesta kan menemukan cara menjagamu
dari mati yang selalu kauidamkan

hingga buku kecemasan yang tertumpuk
tebal pada manik mata akan terbakar
dalam waktu: yang meniadakan semua yang pernah kau ketahui.

(2022)

*****
Ditulis oleh Kristal Firdaus
#MenulisKilatIngatan Bagian 4

Sunday, 1 January 2023

Puisi: 2022 + 1


La Danse (1910) by Matisse

“apakah kau siap kehilangan semuanya?”

 

suara itu meluncur mulus

dari pita suaramu menuju

gendang telingaku. seperti Goethe

narasikan tragedi senin pagi

di hari sabtu-minggu. membawa

kesadaranku ke

kemungkinan-kemungkinan

yang mengerikan ... & menyembilu.

 

keheningan yang canggung

berjalan gegas. meretas Unamuno

di kerongkonganku. kau menaruh

kepalamu di atas dada kiriku.

menghitung berapa bpm jantungku

& bertanya-tanya mengapa tiba-tiba

detaknya berubah dari larghetto

jadi prestissimo. gemertak gigimu

yang bergesekan ... ciptakan semacam

kunci e minor dalam bahasa cello. 

 

begini, sayangku, esok ... cahaya

niscaya kembali terbit dari timur &

kita akan lekas memutar keras-keras

As the World Caves In - Maltese,

berjalan ke barat, melatih tari

sampai lihai menari serupa

lukisan Matisse—coba tenangkan

bilur-bilur biru di hitam matamu.

 

kehilangan yang puitik-artistik itu—

akan sembuhkan luka-luka, yang tak

pernah terindera sebelumnya. jika kita siap

untuk kehilangan semuanya—o jika kita siap

mungkin keberuntungan akan sejenak berpihak;

 

mudah bagi kita untuk tertawakan

segala nyeri-lebam di dalam jiwa.

 

(2023)

Thursday, 17 November 2022

Puisi: Nanti, Tolong Putar Instrumen-Instrumen Ini dengan Volume Tertinggi di Hari Kematianku


Wagner - Lohengrin: Prelude
Bach - Prelude in C Major, BWV 846
Satie - Gnossienne No. 1
Satie - Gymnopédie No. 1
Chopin - Nocturne No. 1 in B Flat Minor, Op. 9 No. 1
Rachmaninoff - Piano Concerto No. 2 in C Minor, Op. 18
Liszt - Liebesträume, S. 541: No. 3: Nocturne in A Flat Major
Watson - Je te l'asserai des mots
Vivaldi - Le Quattro Stagioni (The Four Seasons)
Christl - Vivaldi Variation (Arr. for Piano from Concerto for Strings in G Minor, RV 156)
Sibelius - Impromptu for Strings Op. 5
Mozart - Requiem in D Minor, K. 626
Einaudi - Experience
Dreamers - I Will Follow You into the Dark
Chopin - Nocturne in E Flat Major (Op. 9 No. 2)
Paterlini - Rue des Trois Frères
Beethoven - The Piano Sonata No. 14 in C-Sharp Minor, Op. 27
Parrino - The Sound of Silence
Fauré - Élégie in C Minor, Op. 24
Instrumental - Que Será, Será
Stravinsky - L'Oiseau de Feu (The Firebird)
Nietzsche - Albumblatt
Chopin - Fantaisie-Impromptu, Op.66
Brahms - Sechs Klavierstücke, Op. 118: II. Intermezzo in A Major
Richter - The Departure
Tchaikovsky - Swan Lake, Op. 20, Act II: No. 10
Tavener - The Lamb
Debussy - Clair de Lune
Tiersen - Comptine d'un Autre été: L'Après-Midi
Schubert - Symphony No.8, D.759
Chopin - Nocturne in C Sharp Minor (No. 20)
Rausch - The Spirit Carries On

(2022)

Tuesday, 25 October 2022

Puisi: Ode untuk Bila

Bila Aku Menulis Puisi dengan Es Krim di Mulutku

lihat, mataku sore. mulutku gua sunyi tempat para pembaharu mendapat wahyu. lidahku campuran antara musim semi, taifun, & musik-musik dengan nada paling melankolik. hidungku ular yang lapar. telingaku laut yang tak pernah takut menerima sungai—& tubuhku, o tubuhku, adalah hotel bagi mereka yang pergi ... tak pernah mau kembali. pikiranku? miniatur dalam skala satu banding satu—dari apa-apa yang tak pernah ada, yang mencurigakan, & yang mencemaskan. kemari, kemarilah, tolong jawab kesintingan-kesintinganku: bahasa apakah airmatamu, & airmataku—aku lelah, ingin mati dipelukmu?

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi Bucin

hari itu, sore itu, kita pun mengautopsi
tubuh kebebasan & temukan kesepian.
sedari itu, kausadari—kita, kau & aku
sepasang lebaran—ada kemenangan
dalam namamu & pengorbanan dalam
namaku. tapi kemurungan-kemurungan
kau & aku, tahu: kita sudah kalah—jauh
sebelum kita dilahirkan, & tak ada yang
mesti kita korbankan. & kau tak pernah
berjihad menahan apa-apa. & aku tak
pernah berkorban apa-apa. kita adalah
kata sifat kiamat campur kesintinganmu &

ke
       ja
              tu
                    han
                             ku.

serupa telenovela yang diputar-putar
ketika di luar sana, el niño & la niña
hancurkan batas-batas dualitas:
kekekalan & kesementaraan
kesedihan & kebahagiaan
kesenian & kesusastraan
masalalu & masadepan
mimpi & kenyataan
pikiran & perasaan
matamu-mataku
lidahmu-lidahku
bibirmu-bibirku
kita—kau-aku
bertubrukan.

“que será, será ...” kata kita berdua 
seraya berdansa-bernyanyi balon kita
ada dua—meletus dalam satu supernova.

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol

: kesedihan adalah narkotika
golongan satu, yang hanya
dibolehkan untuk keperluan
penciptaan jiwa seni-sastra
(narkotika jenis ini, memiliki
potensi yang begitu tinggi
timbulkan ketergantungan).

hari itu, malam itu, kau pinjam pipi kiriku & tumpahkan seluruh sedihmu yang tak pernah sudah itu di pipi kiriku. bibirmu hangat, ya? kataku memecah keheningan. seperti kelahiran kembali, seperti ... seorang perantau yang bertemu perantau lain di tanah perantauan—yang pada gilirannya, cair jadi satu dalam titik lebur tertentu, dalam satu kerangka ruang-waktu. 

tapi bulan bersinar tolol, & kau dapat lihat aku diam-diam benamkan dua per tiga senyawa utama kecemasan-kecemasanku di dahimu. seribu Schopenhauer mati di situ. seribu Kierkegaard menangis di situ. & sejuta pertunjukan Macbeth selesai di bibirmu.

kita buka jendela. tapi yang terbuka adalah kegelapan kosmik—yang entah berapa juta tahun cahaya jauhnya. kita saksikan masa-masa indah yang tak pernah ada. & bulan masih bersinar tolol, di sana. & kita berciuman seperti ketakutan waktu di hadapan hari kematiannya.

(2022)

Bila Einstein Mengidap Gangguan Kecemasan

E = mc²
*E = Elegi
*m = Masalah-Masalah
*c = Kecepatan Kecemasan

I
tak ada rileks yang bisa bergerak
secepat cemas, karena hal tersebut
tak logis, tak masuk akal … secara
matematis, maupun secara fisikal.

II
kecepatan cemas (c) merambat
melalui ruang hampa dengan
kecepatan konstan bernilai
3 x 108 m/s & tak bergantung
pada kecepatan pengamat
ataupun sumber kecemasan.

III
nilai elegi (E) sama atau setara
dengan nilai masalah-masalah dikali
kecepatan cemas yang dikuadratkan.

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi dalam Ekstase 

nabi-nabi samawi berkhotbah: 
tentang tipu daya buah pengetahuan, 
tentang kitab-kitab perihal kejatuhan,
tentang sejarah, tentang air bah,
tentang Mina, tentang Tursina,
tentang Golgota, tentang Hira
tentang langit, tentang bumi,
tentang mula, tentang eskatologi;

tentang kekasih & tentang pecinta 
yang pinta cinta seribu satu malam lagi.

II
di sana, antropolog-filolog 
masih coba tafsir Efrat & Tigris, 
Mesir & Mesopotamia, yang berlapis 
enam ribu tahun sebelum lahirnya masehi
Mediterania cari seberkas cahaya tuhan
Romawi curi mitos & dewa-dewi Yunani
pra-Abad Pertengahan—Renaissance 
berbau & berwarna demistifikasi;

di sini, kau menyalib kebiruanku
di rusukmu, seribu Menara Babel
runtuh pascakegentingan kolosal itu. 

III
“sayangku ... o sayangku
bagaimana manusia bisa
belajar memaknai sesuatu
jika tanpa dukalara—jika
tanpa kehilangan—jika
tanpa kecemasan—jika
tanpa kerisauan—jika
tanpa kegetiran—jika
tanpa kegundahan—jika
tanpa darah & airmata?”
dalam dadaku tuhan bersuara.

(2022)

Dari Lebaran ke Lebaran 

aku
      reguk
              airmatamu, 
                                 kekalahan jadi hujan.
                                                                  
kau
      teguk
            airmataku, kesia-siaan jadi sungai.

kita
      tenggak
            airmata kita berdua, & air laut pun             
                                                           tercipta.

(2022)

Sunday, 23 October 2022

Puisi: Malam yang Kebiru-biruan

kecemasan tergelincir dari atas bulan yang berwarna katastrofi. & pecah berkeping-keping. jadi sampah pikiran berbau tragikomedi, jadi sumpah serapah, & jadi bebunyian melankolis tak ritmis yang nyaring tak terdistorsi.

hanya seorang tuli yang tak tahu kebisingan adalah rahim yang memperanakkan segala umpatan—tapi ia jelas lebih tahu: kesunyian jauh lebih mengerikan. & mencurigakan. & memualkan & merisaukan & meresahkan & memuakkan & menggelisahkan.

di puncak omong kosong, bulan sinari seorang tua dengan kegusarannya yang bergetar-getar sedang sibuk sembunyikan kecemasan di senar gitar, di kanvas lukisan, di tuts piano, di pot tanaman, di buku-buku tebal, di film-film monumental. pikiranku menodong tanya kepada apa-apa yang tak pernah ada & tak pernah dilahirkan: kira-kira, berapakah harga ketenangan? apakah bisa ditukar dengan kematian?

(2022)

Tuesday, 6 September 2022

Puisi: Ode untuk Frin-frin

Ode untuk Frin-frin

kau, membuatku mencintai sekaligus mengutuki dunia fana yang juga bedebah ini: mencintai, sebab kau dengan piawai bangsatnya membuat aku yang keparat ini—secara sinting ingin hidup seribu tahun lagi; 

mengutuk, karena kau dengan lihai brengseknya membuatku menyadari—bahwa waktu ternyata sudah berlari serupa bajingan paling asu bahkan sebelum kita bertemu, sebelum ia mencair dalam setiap ciuman pertama anak Adam & Hawa, sebelum kembali membeku dalam malam-malam—tanpa dekapanmu yang matahari. 

& di sini, di tempat aku mencipta puisi, aku masih mencoba mencintai bulan yang dengan laknatnya bertelanjang dada—seperti sedang menghitung berapa banyak ciuman yang akan kita punya—dalam satu kali inkarnasi, seorang manusia yang separuh tubuhnya—adalah bentuk paling buduk dari melankoli. 

atau mungkin sialnya, ia sedang menunggu mitos-mitos perihal katarsis—demi menghapus jahanamnya pertanyaan, dari air mata sebuah rindu: “sampai kapankah kita akan saling mencintai sekaligus mengutuki—betapa sundalnya dunia di tengah-tengah menyebalkannya kemabukan cinta—yang sungguh membagongkan ini?”

(2021) 

Ode untuk Frin-frin II

bunga fritillaria mekar di musim semi, seperti sungai yang berjanji—untuk menghanyutkan Ophelia. separuh langit retak jadi hujan, jadi air bah. jadi sepotong writer’s block yang pecah dalam puisi, lalu jadi tanda baca yang tak pernah selesai bertanya: “kira-kira, berapa kali sebuah bahasa pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya dari seorang pecundang yang memilih diam seribu bahasa—ketika berada di depan kekasihnya?”

sedang mitos-mitos masih tumbuh di kedua bola matamu, sayangku. seperti rindu yang kabur dari pertanyaan tentang waktu. jadi sebilah perang yang berkecamuk pada malam-malam brengsek—berlatar biru paling glumi, tanpa dekapanmu yang matahari. sebelum tuhan meniupkan kata sifat dari surga; ke dalam ciuman pertama sepasang manusia yang dimabuk cinta.

setelah penyair dalam pembuluh darahku, tiba-tiba berubah, jadi seperti ambulans yang terjebak macet—kala dirimu dengan sangsi bertanya: “sampai kapankah kau akan berjihad melawan sepi campur sunyi, seperti orang tolol—sebab melakukannya dengan seorang diri?”

(2022)

Ode untuk Frin-frin III

mitos-mitos masih menunggu demistifikasi. dalam bayang-bayang ilmu pengetahuan pasca-pandemi. aku mengutuki lisensi puitika yang tak berguna. rinduku padamu, bermetamorfosa. jadi semacam piano butut yang separuh purna. pada simfoni paling sunyi. jadi imbesil. seperti eksil dari sejarah orang lain yang tragikomedi.

aku menunggu deus ex machina. di matamu, bahasa sudah terbakar. baunya vitamin d yang overdosis. menolak padam. seperti cahaya tuhan di perpustakaan alexandria. hangus. tanpa sisa. tanpa ampun. & tanpa sangsi, memilih hanyut di sungai-sungai—tempat antropolog berkata: “konon katanya, peradaban selalu dimulai di lembah-lembah yang dialiri air—& berakhir ketika seorang lelaki gagal mentransfigurasi airmata sebuah rindu jadi puisi.”

(2022)

Sunday, 3 October 2021

Puisi: Seorang Merdeka yang Mencari Merdeka

Mula-mula orang-orang Latin berseru, katanya, Veritas Vos Liberabit: kebenaran akan memerdekakanmu. Lalu pembuluh darahku mendidih, bersama keringat para mondina dan gairah Resistenza Italiana. Fasis yang bengis; kebangsatan Partai Nazi. Che mi sento di morir, morto per la libertà; o betapa kurasakan kematian, mati demi kemerdekaan.

Sedang buku-buku kiri di atas dadamu—masih lupa caranya membuka kosakata, Liber, dari dewa-dewi Romawi. Koloni-koloni di tanah merdeka membentuk konstelasi dari apa yang disebut Insureksi. The Boston Tea Party membidani cetak biru Patung Liberty. Buku di tangan kiri, obor di tangan kanan, berdikari di kaki kiri dan kanan. Seperti sebuah penanda dari Amerika Serikat atas masa-masa suram yang berwarna bangsat. 

Dari keningmu, aku tahu rasa merdeka ternyata serupa menenggak Sampanye dengan atau tanpa es batu. Lupakan itu. Lihatlah, tiga bunga Iris yang bermekaran di Prancis: Liberté, Egalite, Fraternité. Dari perut-perut orang yang kelaparan. Dari Paris sampai Pemakaman Montparnasse, orang-orang miskin mencari sisa-sisa roti di bawah meja makan raja. Hidungku mencium bau-bau ironi. Baunya lebih tengik dari bangkai pesawat terbang yang pernah dipakai untuk meluluhlantakkan sebuah negara tanpa angkatan bersenjata. Satu yang jelas, Monarki juga babi, sayangku. 

Kita berpelukan dengan erat dan mesra. Seperti mendamba musim semi di neraka. Revolusi dalam diri memuncak, serupa kemarahan Adam kala ditendang dari surga—sebelum sempat melumat bibir Hawa. Setelah aku menulis naskah Trias Puitika. Setelah Montesquieu memuntahkan Trias Politika. Setelah negara melakukan pertunjukan akrobat, semacam Trias Idiotika: Executhieves, Legislathieves, Judicathieves. Setelah kemerdekaan dimaling para pejabat yang sinting. Setelah aku mencuri ruang, kau mencuri waktu. Setelah aku, seorang merdeka, menyadari bahwa diriku adalah sebuah sangkar yang mencari seekor burung dalam dirimu: Dunia. 

(2021)

Thursday, 2 September 2021

Puisi: Le Mythe d'Icare

The Fall of Icarus (between 1636-1638) by Jacob Peter Gowy
/1/

pantheon hancur lebur, serupa Yunani kontemporer yang dihantam inflasi. namun akan aku ceritakan kembali, perihal Yunani Kuno: Homer; Diogenes dari Sinope; Thales dari Miletus; Xenophanes dari Colophon; Alcmaeon dari Croton; Zeno dari Elea; Tyrtaios dari Sparta; Archilochos dari Paros; Solon dari Athena.

/2/

akan aku ceritakan kembali, romantika: Hipponax dari Ephesos; Stesichoros dari Himnera; Sappho dari Mytilene; Anakreon dari Teos; Pindar dari Thebes; Aeschylus, Sophocles, Euripides, Alkaios, Mytilene, Aesop, Hesiod, Herodotus, Thucydides, Demosthenes, Menander, Socrates, Aristoteles, Pythagoras sampai pada tokoh-tokoh Grika yang tak pernah dianggap ada.

/3/

o sayang, betapa kita dan Mitologi Yunani pernah benar-benar bernyawa, benar-benar menyala kemudian padam—setelahnya, Sisyphus berhenti mendorong batunya—setelahnya, Apollo larut dalam tangisnya hingga menenggelamkan Dionysus beserta kemabukannya.

/4/

setelahnya, langit-langit di atas Zeus yang gagah tiba-tiba ambruk—lautan-lautan yang tenang di tengah-tengah Poseidon, karam—dunia-dunia bawah di bawah Hades perlahan-lahan mengirap tanpa sisa.

/5/

di kegelapan bumi, seumpama bunga, cahaya layu tepat di atas tangkainya sendiri. semasih bunga daffodil menandai kelahiran kembali. sekali lagi, Hiraeth tersesat di sayu matamu; seperti pengembara yang tak ingin pergi.

/6/

setelahnya, bunga iris dari Elysium berguguran saat musim semi, memudarkan simposium & waktu—setelahnya, api yang telah dicuri Prometheus hilang seperti Atlantis—yang ditulis oleh Plato dalam buku Timaeus & Kritias yang melegenda.

/7/

mungkin benar, bahwa beberapa kota yang hilang—terlalu indah untuk ditemukan kembali. mungkin juga benar, ternyata beberapa hal terlalu sempurna untuk menjadi nyata di muka bumi.

/8/

namun adakah musim semi bagi air mataku yang mengalir, lalu membanjiri kolam tempat tenggelamnya Narcissus beserta obsesinya sendiri? dari Athena sampai ke Kreta, bulan menyinari kemenangan Sparta. dengan lilin & bulu, aku menantang takdir & gravitasi.

/9/

o sayangku, di sisa-sisa detik yang tersisa dari waktuku—aku memutar piringan hitam petanda nostalgia: terbang menuju ibu kota hatimu adalah kejatuhan yang disengaja.

/10/

& pada akhirnya, segala yang bermula pasti berakhir—akhir dari puisi ini, aku hanya ingin berkata: bahwa aku mencintaimu lebih dari aku mencintai Yunani dengan segenap mitologinya; bau garam di Laut Aegea; sinar matahari, kejatuhanku & diriku sendiri.

(2021)

Tuesday, 17 August 2021

Puisi: Mengheningkan Cipta untuk Cita-cita

setiap setahun sekali,
bendera-bendera dikibarkan,
hiasan-hiasan digantung
sepanjang jalan,
permainan-permainan
dilombakan, &
merdeka-merdeka
pun diteriakkan, lalu usai,
& setiap senin sampai
jumat, kita akan bertemu
kembali di jalanan, sembari
mengeluh, marah, & memaki,
persetan dengan merdeka,
aku harus secepatnya sampai
di tempat kerja, duduk &
menerima perintah seharian,
hingga senja menjelang
& kita bertarung lagi
di jalanan, berebut menuju
pulang agar bisa sejenak istirahat
mengumpulkan tenaga untuk
mengeluh, marah & memaki
lagi di jalanan esok hari,
kemerdekaan telah usai, & mati,
hadap kanan hadap kiri,
balik kanan balik kiri,
kepada upah
di setiap awal & akhir bulan,
hormat gerak.

& teruntuk setiap mimpi & cita-cita
masa kecil yang tergantung tinggi
di angkasa, marilah kita
mengheningkan cipta:
'Mengheningkan cipta untuk cita-cita,
mulai.'

(2021)

Wednesday, 23 June 2021

Puisi: Jika Hidup adalah Tanda Baca; maka Kehidupan adalah Tanda Tanya Tanpa Titik—yang Lumayan Seru, tetapi Penuh Koma

terkadang aku membayangkan jika dilahirkan sebagai kuda liar di padang sabana; hanya berlari-lari, bebas, ke sana-ke mari & meringkik hihi-hihi. tak perlu sekolah, tak perlu bekerja, tak perlu menikah, tak perlu bertanya-tanya apakah ada kehidupan setelah kematian, tak perlu memikirkan: apakah kompleks Piramida Giza adalah ulah alien yang iseng ataukah sebuah bukti dari betapa jeniusnya nenek moyang umat manusia?

aku tak perlu meresapi betapa gabutnya Adam & Hawa ketika masih di taman surga. tak perlu merenungi betapa tersiksanya setan yang selalu dikambinghitamkan atas semua kejahatan. tak perlu berempati pada hewan yang kalah binatang ketimbang manusia. tak perlu memerhatikan manusia-manusia lain yang dewasa ini ditelan kanal-kanal media sosial. tak perlu menertawai betapa bloonnya orang-orang di Eropa sana sebelum Renaissance.
 
atau betapa susahnya Neanderthal membuat percikan api dari batu sekitar 50.000 tahun lalu. atau serumit apa metode komunikasi dari satuan bahasa sebelum adanya Lingua Franca. atau sesederhana apa bahasa yang digunakan di Menara Babel yang melegenda. atau kodifikasi macam apa yang mengikat penyair dalam semacam kredo Lisensi Puitika. atau betapa pentingnya lukisan bunga matahari yang dilukis van Gogh pada tahun 1887 bagi tradisi ilmu seni rupa.
 
atau betapa kesepiannya Darwin ketika 35 hari meneliti teori seleksi alam di Kepulauan Galapagos. atau betapa bingungnya Einstein menjelaskan Relativitas Waktu pada manusia yang tak pernah tepat datang tepat waktu. atau memantik mata kuliah semantik di kepala anak TK. atau betapa bersalahnya senyawa kimia arsenik ketika dipakai untuk membunuh seorang aktivis hak asasi manusia di atas udara. atau bagaimana rasanya meminum kopi campur sianida saat asam lambung sudah di depan mata.

betapa aku tak perlu memikirkan mengapa Hemingway bunuh diri sekitar 3 minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-62. atau mengapa orang-orang keren bunuh diri di umur 27 tahun. atau mengapa orang-orang naif selalu berumur panjang, sepanjang pertanyaanku, tentang mengapa kurikulum sejarah kita memfitnah bahwa Daendels tak membayar upah para pekerjanya dalam proyek jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer jauhnya.

o betapa aku tak perlu mengingat betapa gobloknya Mao yang menyuruh warganya untuk membunuh sekitar 600 juta ekor burung gereja. atau betapa kacaunya Wabah Pes di Pulau Jawa. atau betapa mengerikannya bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina. atau betapa rusuhnya peristiwa Tanjung Priok. atau pecahnya perang saudara di Amerika Serikat. atau mengingat-ngingat betapa berdarahnya Perang Salib atas nama agama. atau mengenang betapa jayanya Filsafat di kota Athena yang selalu tampak dungu di kepala orang-orang Sparta.

atau menafsir gelapnya kosmologi dari buku-buku yang berat itu. atau mengungkap siapa orang tolol di balik patung-patung Moai. atau ada apa di Area 51. atau mengapa Silicon Valley mengawali kedigdayaan AI. atau mengapa industri fesyen melaju dengan sangat cepat. atau mengapa skena musik indie bersinonim dengan senja, kopi, & puisi. atau mengapa pesatnya teknologi membuka lubang-lubang kelinci baru bernama depresi. atau mengapa pada akhirnya utopia berganti baju menjadi distopia.

atau mengapa orang-orang berjudi di Miraza. mengapa di Bogor hujan terjadi hampir setiap hari. mengapa di Afrika, panas & kelaparan adalah makanan sehari-hari. mengapa di Jalur Gaza, misil, rudal, & batu adalah kunci. mengapa di India, Kasta Dalit lebih rendah dari sampah. mengapa di Catalunya, kemerdekaan sama dengan halusinasi. mengapa di Selandia Baru, suku Māori menandai kepunahan Burung Moa. mengapa di Australia, umat manusia kalah perang dengan Burung Emu. mengapa di Kalimantan, Orang Utan kalah telak dari Orang Tambang.

atau menimbang-nimbang kemungkinan jika aku tak dilahirkan di tahun 2000. atau tak pernah dilahirkan sama sekali. atau mencari diriku sendiri yang sudah hilang bersama pandemi jahanam ini. atau mencari cara agar aku bisa secepatnya moksa, memutus rantai-karma, & meludahi semua omong kosong di atas simulasi samsara ini. atau pasrah dengan mengucap Lahaula Walakuata. atau Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā. atau merapal mantra andalan seperti Amorfati; ya sudahlah mau bagaimana lagi.

o betapa aku ingin sekali berkata bahwa hidup berjalan seperti menaiki bianglala di pasar malam yang sudah tutup. & betapa aku ingin menggugat Tuhan: ya Tuhanku, jika hidup adalah adalah tanda baca; maka aku adalah tanda tanya yang tak akan pernah bosan menodong-Mu dengan miliaran pertanyaan—yang selalu berkembang biak dalam bekunya setiap jawaban dari-Mu

***

(ceritanya ganti adegan & tata bahasa)

mula-mula Thales berkata: semua berasal dari air & akan kembali ke air. diikuti dengan Anaximander yang berkata: semua berasal dari Apeiron, semacam sesuatu yang tak diketahui itu adalah apa. Hmmm seperti itu, begitu ujarku. lalu, Anaximenes berkata: semua berasal dari udara. tapi masa iya? begitu ucapmu. entahlah sayang, hanya Aang, Appa, Avatar Roku, & tukang kipas angin yang tahu.

tak mau kalah, Heraclitus berkata: semua berasal dari api. terdengar seperti doktrin-dogma Agama Majusi, begitu katamu sembari menatap tajam mata Freddie yang sedang menyanyikan lagu—tentang Galilei berjudul Bohemian Rhapsody. maka berbicaralah Zarathustra: aku hanya percaya pada Tuhan yang tahu caranya menari. Si Dinamit tersenyum, kemudian melakukan tarian sufi bersama Rumi sampai mati.

sedang Parmenides hanya berkata: realitas adalah lingkaran sempurna yang tak bergerak, terbagi, & berubah, singkatnya monoton. ya begitulah, sama, stagnan, & tanpa kemungkinan untuk mengembang. tapi sayangku, adakah seseorang yang menaruh rasa peduli pada perasaan Isaac Newton yang mengganti namanya menjadi Isaac Tangis—setelah kerangka statis alam semesta buatannya, dihantam Planck bersama kenyataan bahwa alam semesta memang terus mengembang.

tapi alam semesta memang mengembang, sayang. seperti roti yang diberi baking powder. & Einstein memenangkan tender ilmu pengetahuan. & Fisika Klasik berganti baju menjadi Mekanika Kuantum. persis seperti dosis obat lithium karbonat yang sengaja kuganti dengan mencium keningmu setelah melalui hari-hari yang bangsat, rindu-rindu keparat, makna-makna hidup tanpa alamat, & mood-swing yang laknat. lupakan, mari kita berpindah ruang-waktu.

pagi itu, kita melihat abad-abad Pencerahan di Eropa ditandai dengan Descartes yang berujar: Cogito Ergo Sum; aku berpikir, maka aku ada. di sore hari kita melihat Camus dengan gebrakannya: Je Me Rebelle Donc J’existe; aku berontak, maka kita ada. ketika malam tiba, kita menyaksikan masyarakat konsumer di zaman kontem-pler berseru: aku belanja, maka aku ada. esoknya kita terbangun oleh suara-suara bising digitalisasi: Selfito Ergo Sum; aku selfie, maka aku ada. & langsung panik mendengar sangkakala alterasi-budaya: Covido Ergo Zoom; aku covid, maka aku zoom.

apa itu ada? sedang Siti Jenar berkata: ada adalah tiada & kekosongan ini bernyawa. apa itu ada? kata Hegel di The Phenomenology of Spirit yang tak pernah selesai kubaca. apakah ada itu tak ada maknanya? serupa mencari rasio emas di zaman perunggu. pencarian ini takkan merubah kenyataan bahwa kita “Too Poor for Pop Culture” seperti yang pernah dituliskan D. Watkins & digaungkan kembali oleh F. Stevy.

tanyakan saja pada seekor kucing yang diletakkan di sebuah kotak tertutup bersama sebuah botol berisi racun sianida. pertanyaannya, apakah kucing itu masih hidup? nyatanya Schrödinger muak dengan semua omong kosong ini, lalu menelurkan bahasa:

                    G                               G
                      G                           G
                         G                     G
                            G               G
                               G         G
                                  G   G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G

(2021)

Tuesday, 15 June 2021

Puisi: Bumi Manusia Tanpa Nama

Malam itu, di kos-kosan, kau melihatku mengunyah kosakata merdeka yang belum matang secara paripurna. Lagi & lagi, tentu dengan gigi curian yang kudapat dari bahasa Sanskerta. “Merdeka itu apa?” begitu katamu dengan nada manja. Terdengar arkais sekaligus manis. “Hmmm apa ya? Mungkin semacam hasrat terpendam dari makhluk berkaki dua tak berbulu yang sering disebut manusia, gairah terdalam setiap hamba, warga negara, budak korporat, sampai masyarakat adat di desa. Maknanya serupa rasa surga di dunia—mungkin juga hanya sekadar utopia: ketidakmungkinan yang diberi alamat kemungkinan oleh kita, manusia, dalam kalimat-kalimat mungkin saja.”

Kau menerawang tanda tanya seraya dikoyak-koyak tata bahasaku. Tapi dengar, dengarlah sayang, dunia biadab ini sepertinya mengidap disabilitas diksi dengan tanda-tanda tuna-rima. Tak semua rasa memiliki bahasa. Tak semua resah memiliki istilah. Hipotesis yang ironis, cenderung fatalis, memang. & terkadang, omong kosong ini berlanjut dengan realitas—yang tiba-tiba menendang esensi merdeka keluar dari jendela pembatas. Lalu kita, harus memberi nafas buatan kepada eksistensi merdeka. Kemudian, berjalan di atas pecahan kaca yang terbuat dari mayat kegagalan dengan sentuhan pesimis yang sudah optimis. Aku ingat, rasanya begitu nendang seperti dihantam Ciu Bekonang, & keras sekali seperti Arak Bali.

Setelah berkontemplasi tiada henti, kau mengajakku untuk menyelami makna agrikultura. Malam kian tenggelam, & sisanya kau habiskan untuk menjambak rambutku. Sontak, Tuhan kabur malam itu. Semasih kau menyebut-nyebut nama-Nya. Bergantian dengan erangan ‘oh ya, oh tidak’. Tidak, gendang telingaku tak kuat menahan lelucon ketika kau melabeli lidahku sebagai Daendels gaya baru. Sungguh, aku tak berminat menjajah tubuhmu dengan roman-roman Cultuurstelsel. Kau meraih ransel di tepi bantal dengan tanganmu. Lihat, tak ada Patriarki dalam sorot mataku. Lantas kau membuka obat tetes mata lalu meneteskannya. Tak ada Misogini pada kedua tanganku. Aku bukan orang yang sadis & kau bahkan bukan masokis.

Namun dari arah bangsal, di samping kos-kosan. Tepatnya dari ketiak jendela, kita melihat para pejabat yang sibuk menyembunyikan bangkai seorang pahlawan. Ah sial, ingin rasanya kubakar dunia ini dengan hipokrisi pemerintah yang tiada habisnya. Persetan dengan itu. Nyatanya, dari pangkal paha sampai pangkal bahumu, tak kutemukan jalan dari Anyer sampai Panarukan. Hanya ketemukan bekas penjajahan di bibirmu. Tapi sejarah selalu ditulis oleh seorang pendusta, sayang. Tak ada bukti kerja paksa di Nusantara, yang ada hanya budaya korupsi. Kompeni tak seburuk yang kita duga. Sejarah negara ini tak sebaik yang kita kira. & bercocok tanam bukan melulu perihal melepaskan seluruh lelah yang masih tersisa.

Papua tak sekadar Isla de Oro alias pulau emas. Seperti yang diungkapkan seorang pimpinan armada laut Spanyol: Alvaro de Saavedra. Tak semudah fitnah yang ditujukan kepada Tan Malaka. Tak sesederhana membaca buku Madilog tanpa dialektika. Komunis tak se-autis yang mereka pikir, percayalah, orang-orang pandir itu bahkan tak bisa membedakan antara Ateisme & Animisme. Antara bacot patriot & miskin logika. Otak mereka terlalu daif, naif, & sakit untuk berpikir secara sehat. Semaun tertawa mendengar ini. Soeharto-lol hengkang dari prosa ini. Bersama ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat yang diduga anggota, dicurigai mengikuti partai terlarang, hingga yang tak berdosa pun mati & hilang entah ke mana.

Sejarah tak pernah selesai hanya dengan disimpan, diterka, & ditelusuri. Ia abadi dalam ingatan manusia, dalam benak kita yang bahkan sudah selesai lalu-lalang di lorong waktu. Memaknai sejarah, tak segampang menelan obat antidepresan ketika depresi mengacak-acak ruang pikiran. Mencari merdeka di dalam negara—juga tak semudah mencari De Facto & De Jure, lalu berteriak: “Hore!”. Ada harapan yang menunggu dikonversi menjadi kenyataan. Ada darah yang masih kental di tengah-tengah pertanyaan. Ada air mata yang larut di atas jenazah ruang & waktu. Ada garuda, & kabar buruknya, ia terpenjara dalam sangkar yang sedang terbakar. Aku memintamu, melupakan sejarah beserta bualan yang mengikutinya. 

Aku jengah. Dalam suasana yang masih gundah, dengan terbata-bata kau bertanya di mana merdeka? Entahlah, aku tak tahu di mana ia berada. Namun bagaimana jika kemerdekaan memang tak pernah ada atau sudah mati? & jika bibirmu masih saja memaksakan untuk mengeja merdeka, bolehkah aku melenyapkan bekas-bekas penjajahan bibirnya di bibirmu—lalu menyusun berkas-berkas kemerdekaan yang baru dengan bibirku sebagai proklamatornya?

(2021)